..::::::..

Zina, Kejahatan yang Merusak Tatanan Masyarakat

Oleh Hartono Ahmad Jaiz

Di manapun, sebenarnya manusia di dunia ini tahu bahwa zina itu adalah kejahatan, pidana (kriminal), dan merusak moral, bahkan merusak tatanan masyarakat. Maka siapapun yang terbukti berzina mestinya dijatuhi hukuman. Yaitu bila ada bukti yang menguatkan, atau ada kehamilan atau ada pengakuan.

Oleh karena itu sangat aneh bila di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim, lantas di negeri itu hukumnya tidak mengenal bahwa zina itu kejahatan pidana. Lebih aneh lagi ketika hukumnya menganggap bahwa bujangan (belum nikah) dalam keadaan suka sama suka ketika berzina tidak diperkarakan karena dianggap bukan pidana, bukan kejahatan, bukan kriminal. Ini hukum buta namanya. Lebih buta dibanding orang yang buta huruf. Karena orang buta huruf pun tahu bahwa itu adalah zina. Kalau suka sama suka itu hanya bukan memperkosa. Itu bagi orang yang pikirannya waras. Sehingga ketika ada hukum yang menilai bahwa zina kalau dilakukan oleh bujang dan suka sama suka itu bukan kejahatan, berarti hukum itu dari orang tidak waras. Pemakai dan apalagi yang menerapkannya, dan apalagi yang mempertahankannya itu juga orang-orang yang tidak waras. Di dunia ini mestinya tidak digunakan orang-orang yang tidak waras untuk mengurusnya. Karena akan merusak tatanan masyarakat, menjadikan manusia rusak.

Di negeri yang penduduknya mayoritas bukan Islam seperti Korea Selatan pun tetap memberlakukan hukuman zina. Bahkan ketika para penggugat menginginkan agar undang-undang pemidanaan bagi yang zina itu dibatalkan, maka mahkamah konstitusi Korea Selatan menyatakan,

perzinahan harus tetap dinyatakan sebagai pelanggaran pidana

dengan alasan merusak tata sosial.

Aturan Islam mengenai zina

Adapun di dalam Islam, aturan yang ditegakkan mengenai zina sudah jelas. Karena dalam Al-Qur’an ditegaskan:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ [النور/2]

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS An-Nur: 2).

Dalam hadits, orang yang sudah pernah nikah dan sudah pernah berhubungan badan, bila kemudian berzina maka menjadikan halal darahnya yaitu dihukum bunuh dengan cara dirajam, dilempari batu sampai mati. Hanya ada tiga macam orang Muslim yang halal darahnya (hukumannya dibunuh) yaitu:

1. Perempuan ataupun lelaki yang pernah nikah dan sudah bersetubuh lalu berzina.

2. Seseorang yang membunuh orang lain tanpa hak.

3. Orang yang keluar dari agamanya, memisahkan diri dari Jama’ah (murtad).

Hal itu ditegaskan dalam hadist muttafaq ‘alaih (disepakati shahihnya oleh dua imam besar hadits –Al-Bukhari dan Muslim):

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ).

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali satu dari tiga orang berikut ini; seorang janda (perempuan ataupun lelaki yang pernah nikah dan sudah bersetubuh) yang berzina, seseorang yang membunuh orang lain dan orang yang keluar dari agamanya, memisahkan diri dari Jama’ah (murtad).” (Muttafaq ‘alaih).

Pelaku zina muhshon (yang pernah menikah dan sudah bersetubuh tetapi kemudian berzina) halal darahnya, yaitu dengan hukum bunuh, caranya dengan rajam, dilempari batu sampai mati. Hukum rajam itu ditegaskan dalam hadits Muttafaq ‘alaih:

عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ وَإِنَّ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنْ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتْ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوْ الِاعْتِرَافُ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ( .

Dari Ibnu Syihab dia berkata; telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa dia pernah mendengar Abdullah bin Abbas berkata, “ Umar bin Khattab berkata sambil duduk di atas mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kebenaran, dan Dia juga telah menurunkan kitab kepadanya, di antara ayat yang diturunkan kepadanya, yang kita semua telah membacanya, mempelajari dan berusaha memahaminya adalah ayat tentang rajam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaksanakan hukuman rajam tersebut, begitu juga kita akan tetap melaksanakan okum tersebut setelah kepergian beliau. Aku khawatir, jika semakin lama, maka akan ada yang berkata, ‘Di dalam al Qur’an tidak kita dapati ayat mengenai hukum rajam’. Lantas mereka tersesat karena meninggalkan hukum wajib itu yang telah diturunkan oleh Allah Ta’la. Sesungguhnya hukuman rajam yang terdapat dalam kitabullah, wajib dijalankan atas orang laki-laki dan perempuan yang telah menikah melakukan perzinahan apabila ada bukti yang menguatkan, atau ada kehamilan atau ada pengakuan.” (HR Muslim – 3201/ Muttafaq ‘alaih)

Juga hadits-hadits shahih lainnya, di antaranya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ عُمَرَ يَعْنِي ابْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خَطَبَ فَقَالَ

إِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ فِيمَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا مِنْ بَعْدِهِ وَإِنِّي خَشِيتُ إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ الزَّمَانُ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ تَعَالَى فَالرَّجْمُ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى مِنْ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا كَانَ مُحْصَنًا إِذَا قَامَتْ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ حَمْلٌ أَوْ اعْتِرَافٌ وَايْمُ اللَّهِ لَوْلَا أَنْ يَقُولَ النَّاسُ زَادَ عُمَرُ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَكَتَبْتُهَا

Dari Abdullah bin Abbas berkata, ” Umar Ibnul Khaththab berpidato, ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kebenaran dan menurunkan kepadanya Al Kitab (Al-Qur’an). Termasuk yang diturunkan kepada beliau adalah ayat rajam. Kami membaca dan memahaminya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan (ayat) rajam dan kami juga memberlakukannya setelah beliau. Aku kawatir ketika zaman terus berlalu, lalu ada seseorang mengatakan, ‘Kami tidak mendapati ayat rajam dalam Kitabullah’. Maka mereka akan sesat dengan meninggalkan kewajiban yang telah Allah turunkan. Rajam adalah hukum yang pas bagi laki-laki dan perempuan yang berzina dan telah menikah; jika bukti telah ada, atau adanya kehamilan, atau pengakuan. Demi Allah, sekiranya manusia tidak akan mengatakan ‘Umar telah menambahi Kitabullah’, sungguh aku akan menuliskannya.” (HR Abu Dawud – 3835, Shahih menurut Syaikh Al-Albani dalam صحيح وضعيف سنن أبي داود 4418)

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ أَشْهَدُ لَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ (رواه الدارمي)

Dari Zaid bin Tsabit, ia berkata; aku bersaksi telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang laki-laki dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah dia.”(HR Ad-Darimi – 2220, Shahih menurut Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah nomor 2913)

Dalam kehidupan di dunia ini, zina telah dinilai sebagai tindak kejahatan, criminal atau pidana. Di negeri yang mayoritas bukan Muslim pun contohnyaUndang-undang Korea Selatan menyatakan, zina dihukumi sebagai pelanggaran pidana. Sehingga aktris pun dihukum dalam kasus zina. Inilah beritanya:

Aktris Dihukum Kasus Zina

/Tanggal: 18 Desember 2008 /

Pengadilan di Korea Selatan memvonis salah seorang aktris terkemuka

negara itu dalam kasus zina. Aktris Ok So-ri mengakui dakwaan dan

pengadilan menjatuhkan hukuman kurungan 8 bulan. Hukuman itu

ditangguhkan selama dua tahun.

Pengadilan terhadap Ok berlangsung setelah mahkamah konstitusi menolak

permintaannya agar membatalkan undang-undang yang menyatakan perzinahan

sebagai pelanggaran pidana.

Dalam pernyataannya, dia mengatakan, undang-undang itu pelanggaran hak

asasi manusia dan sama dengan balas dendam.

Menurut ketentuan hukum yang telah berlaku 50 tahun di Korea Selatan,

orang yang melakukan perzinahan bisa dipenjara hingga dua tahun.

Menurut situs BBC, para pengecam undang-undang itu menyatakan lebih baik

pengadu diberi hak untuk menuntut kompensasi di pengadilan perdata.

Namun, pada bulan Oktober mahkamah konstitusi menyatakan untuk kali

keempat perzinahan harus tetap dinyatakan sebagai pelanggaran pidana

dengan alasan merusak tata sosial.

Ok mengakui memiliki hubungan gelap dengan seorang penyanyi pop ternama,

dan suaminya, Park Chul, dilaporkan menuntut “hukuman berat” dijatuhkan.

(By Republika Contributor)

Sumber: www.mui.or.id

http://www.mui.or.id/files/fckeditor/flash/mui_top.swf

Bagaimanapun, zina adalah kejahatan, criminal atau pidana yang merusak tatanan social. Oleh karena itu hukumnya harus ditegakkan, agar masyarakat terjamin dari tindakan yang merusak itu, sehingga menjadi masyarakat yang baik dan diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP