Gejala Bahaya Laten Neo Komunisme di UIN
MIRZAH Abdul Aziz mahasiswi jurusan pemikiran politik Islam di Pascasarjana UIN (Universitas Islam Negeri, dahulu IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengungkapkan sebuah fenomena baru di UIN yang membuatnya trenyuh.
Sebelum menempuh pendidikan di pascasarjana UIN, Mirzah adalah lulusan S1 pada program studi Arab FIB Universitas Indonesia. Fenomena yang dimaksudnya itu, berhubungan dengan masalah penulisan dalam sebuah karya ilmiah. Misalnya, para mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak diperkenankan menulis kata Allah dengan lanjutan SWT (subhanahu wa ta’ala); tidak boleh menulis kata Muhammad dengan diakhiri SAW (shallallahu ‘alaihi wa sallam); tidak boleh menulis Muhammad dengan sebutan Nabi.
Pelarangan itu menurut Prof Dr Suwito yang sehari-hari mengurus kampus pascasarjana UIN, karena yang menganggap Muhammad sebagai Nabi hanya orang Islam, sedangkan non-muslim tidak menganggap Muhammad Nabi. Begitu juga dengan Allah, yang mengakui Allah itu subhanahu wa ta’ala hanya orang Islam, sedangkan mereka yang bukan Islam, tidak demikian.
Menurut Mirzah pula, dalam sebuah karya ilmiah di Pascasarjana UIN tidak boleh ada kalimat-kalimat Islam sebagai agama yang sempurna atau Islam sebagai agama yang haq, dan kalimat-kalimat sejenis itu. Jika kalimat seperti itu ditemukan di dalam karya ilmiah (makalah, tesis atau disertasi), maka akan langsung dicoret! Mirzah sang mahasiswi pascasarjana UIN ini, sangat menyayangkan adanya aturan seperti itu. Apalagi, sepertinya Islam tidak dihargai, namun sebaliknya, pandangan orang-orang kafir menjadi lebih dimuliakan dan dihargai.
Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam benak Mirzah akibat adanya ketentuan yang tidak lazim tersebut: “… mengapa sebuah universitas Islam yang terkenal menjadi anti-pati terhadap penulisan-penulisan seperti itu? Seolah penulisan seperti itu adalah hal yang memalukan dan aib di hadapan warga dunia. Sejak kapan pelarangan tersebut menjadi peraturan? Apakah ada aturan resminya? Atau ada SK Rektor atau dari Depag (Departemen Agama) ada instruksi demikian? UIN memang memiliki cita-cita besar untuk menjadi universitas internasional, dan saya acungi jempol akan mimpi tersebut. UIN memang ingin karya-karyanya diterima oleh masyarakat dunia, saya tidak menolak harapan tersebut. Tapi kita tidak bisa meninggalkan identitas sebagai Universitas Islam.” Begitu tulis Mirzah dalam satu situs.
Aneh atau ada maksud tertentu?
Memang terkesan aneh. Bukan sekedar aneh, tetapi ada muatan inferiority complex (minder). Atau, memang disengaja, untuk maksud-maksud tertentu?
Logika Dr Suwito di UIN Jakarta itu jika diimplementasikan untuk kehidupan sehari-hari akan terlihat kebodohannya. Misalnya, Si Pitung itu, bagi orang Indonesia khususnya masyarakat Betawi, adalah pahlawan. Tapi bagi orang Belanda, si Pitung adalah pemberontak. Nah, dalam rangka menjaga perasaan orang Belanda yang menganggap si Pitung bukan pahlawan tetapi justru pemberontak, maka masyarakat Indonesia terutama yang sedang menulis karya ilmiah, tidak boleh menyebut si Pitung dengan julukan pahlawan.
Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu menjadi Presiden RI karena dipilih oleh 60% rakyat Indonesia yang mengikuti pemilu. Sedangkan 40% lainnya tidak memilih SBY. Masih ada lagi kalangan yang bersikap abstein, meski punya hak suara namun tidak menggunakan haknya, sehingga mereka tidak termasuk kalangan yang memilih SBY sebagai presiden. Nah, dalam rangka menjaga perasaan kalangan yang tidak memilih SBY sebagai Presiden, maka tidak boleh di dalam setiap karya ilmiah menyebut SBY dengan diawali “Presiden”. Bahkan, tidak boleh mengawali nama SBY dengan sebutan “Bapak” karena yang menganggap SBY sebagai bapak khan hanya anak-anaknya SBY saja.
Adanya ketentuan tidak tertulis seperti di atas, yang oleh Mirzah disebut sebagai fenomena terbaru di lingkungan UIN yang membuatnya trenyuh dan keheranan, sangat bisa ditafsirkan, bahwa Dr Suwito sedang melakukan satu tahapan cuci otak (brain washing), agar kemuliaan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW tidak lagi bersemayam di dalam benak mahasiswa UIN. Hal ini boleh jadi merupakan salah satu upaya merelatifkan keberadaan Allah SWT. Ini jelas-jelas merupakan upaya penganut neo-komunisme agar mahasiswa-mahasiswi UIN lambat-laun memposisikan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebatas sebuah fenomena sosiopsikologis. Padahal, Dia sendiri yang menyebut dirinya Allah.
Anjuran Dr Suwito itu ternyata juga sudah disosialisasikan oleh sejumlah orang penganut neo komunisme, sebagaimana bisa ditemukan pada milis faithfreedom. Pada edisi 05 September 2008, salah seorang anggota milis tersebut mengirimkan opininya bertajuk “Allah atau Tuhan?” Selengkapnya demikian:
ALLAH ATAU TUHAN?
Ada “sesuatu” yang maha berkuasa di jagat raya ini. “Sesuatu” itu menciptakan dan mengatur tatanan seisi alam semesta. “Sesuatu” itu adalah sumber kehidupan sekaligus penentu kematian. “Sesuatu” itu tidak terlihat, tetapi keberadaannya sangat nyata.
“Sesuatu” itu dibahasakan oleh orang Arab sebagai “Allah”. Orang-orang yang berbahasa Inggris mengatakannya “God”. Dalam bahasa Indonesia ia disebut “Tuhan”. Ribuan bahasa lain di dunia ini mempunyai kosa katanya masing-masing untuk menyebut “sesuatu” itu.
Sebutan “Allah”, selain digunakan oleh orang Arab, juga digunakan oleh umat Islam di berbagai negara non-Arab termasuk Indonesia.
Penyebutan “Allah” oleh masyarakat Islam di Indonesia adalah hasil penyerapan istilah-istilah Arab yang masuk seiring dengan datangnya ajaran Islam ke Nusantara. Karena sebutan “Allah” itu awal datangnya melekat pada agama Islam, selanjutnya orang-orang Islam mengidentikkan sebutan “Allah” itu dengan identitas keislaman mereka. Nah, dari sini lah kemudian akan muncul bahaya.
Orang Arab, apapun agamanya, menyebut “Allah” untuk memaksudkan “Tuhan”. Ada pula istilah “ilah” yang bisa dimaknai sebagai apapun (termasuk patung berhala, pemimpin/ulama, keinginan) yang dipertuhankan. Tetapi untuk menyebut “sesuatu” yang serba maha itu (Tuhan), tidak ada kosa kata bahasa Arab selain “Allah”.
Sebutan “Allah” di benak orang Arab, sama dengan sebutan “Tuhan” di benak orang Indonesia. Sifatnya netral, dan tidak terkait dengan agama apapun. Kita bisa membaca di dalam Quran ayat 9:30 dan 8:32 penggunaan sebutan “Allah” oleh kaum Yahudi, kaum Nasrani, maupun oleh kaum yang ingkar (kafir).
Lain di Arab, lain pula di sini. Di Indonesia, dan di negara-negara lain yang tidak berbahasa Arab, umat Islam menyebut “Allah” untuk memberi kesan eksklusif sebagai “Tuhannya orang Islam”.
Adanya peng-eksklusif-an sebutan “Allah” ini dapat dilihat dari perilaku umat. Umat Islam lebih memilih untuk menyebut “Allah” daripada “Tuhan”. Seakan-akan sebutan “Allah” itu memiliki keterkaitan yang tak terpisahkan dengan keislaman. Sebaliknya,
sebutan “Tuhan” dirasa sebagai sesuatu yang kurang “islami”.
Selain itu, umat Islam merasa perlu melekatkan gelar “SWT” untuk membedakan “Allah” yang mereka sebut dengan “Allah” yang orang Nasrani sebut. Sejatinya, SWT (Subhanahu Wa Ta’ala) adalah sebuah sanjungan yang artinya “Tersanjung dan Tinggilah Dia”. Namun kemudian sanjungan tersebut mengkristal menjadi “nama belakang” yang digunakan untuk menandakan “Allahnya orang Islam”.
Upaya pembedaan lainnya –yang tampak dipaksakan– adalah dengan memodifikasi tulisan “Allah” menjadi “Alloh” (dengan “o”). Mereka ingin menegaskan bahwa yang mereka tulis itu dibaca dengan “L” tebal, bukan dengan “L” tipis seperti pengucapan orang Nasrani. Kami katakan ini sebagai upaya yang dipaksakan karena aksen Arab sendiri lebih condong kepada bunyi “Allah”, bukan “Alloh”.
Dengan mempersepsi “Allah” sebagai “Tuhannya orang Islam” –yang tampak dari berbagai upaya pengeksklusifan di atas,– sebenarnya umat sudah terjebak pada kerangka berpikir yang sangat berbahaya.
Jika umat mengakui ada “Tuhannya orang Islam”, pasti sebaliknya diakui pula ada “Tuhannya orang non-Islam”. Dengan kata lain, terbentuk anggapan bahwa Tuhan itu ada lebih dari satu! Kerangka berpikir yang demikian telah menyalahi prinsip ketauhidan bahwa Tuhan itu Esa.
Ketahuilah bahwa yang menetapkan shalat dan ibadah-ibadah lainnya atas kita adalah Tuhan. Yang menurunkan kitab suci, nabi-nabi, dan mengutus para rasul adalah Tuhan. Yang memberi rezeki dan jodoh kepada kita maupun kepada rekan kita yang berlainan agama adalah Tuhan. Hanya ada satu Tuhan. Tidak pernah ada yang namanya “Tuhannya orang Islam”.
Racun pikiran yang lahir dari penggunaan sebutan “Allah” ini memang sangat halus, namun dampaknya sangat fatal. Semua itu berawal dari penggunaan bahasa Arab yang ditautkan dengan keyakinan.
Karena itu, mari kita sudahi penggunaan sebutan “Allah”, dan menggantinya dengan sebutan “Tuhan”. Dengan langsung menggunakan bahasa sendiri, kita akan terhindar dari salah persepsi yang membahayakan ketauhidan.
Itulah pemberedelan lafal Allah dari orang yang kacau pikirannya. Padahal Allah sendiri yang menamakan diriNya Allah. Dalam Al-Qur’an Surat Thaha: 14, Allah berfirman:
إِنَّنيِ أَنَا اللهُ لآ إِلَهَ إِلاَّ أَناَ فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِيْ (14) إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيْهاَ لِتُجْزَي كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى(15)
14. Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
15. Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (QS Thaha: 14, 15).
Mengingkari Allah, doktrin neo komunisme
Semangat tulisan di atas sangat jelas, menafikan Allah, mengingkari Allah. Ini jelas-jelas doktrin neo komunisme, yang dibungkus dengan gagasan pluralisme dan sebagainya. Bahaya laten seperti ini sudah seharusnya disikapi dengan tegas oleh pemerintah dan aparat keamanan.
Para penganut neo komunisme ini, untuk menanamkan doktrinnya mengawali upayanya dengan gerakan pemurtadan, dengan menjual slogan pluralisme dan sebagainya. Bahkan mereka tidak sungkan-sungkan menuduh umat Islam sebagai biang kerok konflik horizontal, akibat pemahaman yang tekstual dan jumud. Padahal, sumber konflik horizontal adalah karena semakin leluasanya para penganut neo komunisme berkiprah di ranah politik nasional.
Di masa Orde Baru, penganut komunis sama sekali tidak bisa berkiprah di ranah politik, tidak bisa menjadi anggota parpol, dan sebagainya. Kini, mereka leluasa masuk ke berbagai parpol seperti PDI-P, Golkar dan sebagainya. Bagi komunisme, merebut kekuasaan adalah salah satu pokok ajaran yang wajib dilaksanakan. Maka, mereka berusaha merebut kekuasaan dari tingkat yang paling rendah melalui berbagai pilkada. Hasilnya, berbagai pilkada selalu diwarnai kericuhan.
Gagasan mengganti Allah dengan Tuhan, sudah pernah dijajakan Dr Nurcholish Madjid (salah seorang alumni IAIN –Institut Agama Islam Negeri). Gagasan itu ditawarkannya pada tahun 1985, dengan alasan agar Islam terkesan lebih mempribumi. Rupanya, tawaran itu masih terus dihidup-hidupkan oleh Dr Suwito dan organisme yang lebih muda darinya.
Kalau toh gagasan itu tidak berhasil diimplementasikan, setidaknya sudah berhasil menyulut kemarahan kalangan Islam. Yang penting potensi konflik terus diproduksi. Pelarangan Suwito di atas juga bisa dimasukkan ke dalam ‘strategi’ seperti ini. Begitulah watak penganut komunis. Konflik harus terus diciptakan, sehingga terjadi instabilitas politik. Bila terjadi instabilitas politik dalam jangka waktu cukup panjang, akan menjadi momentum yang kondusif untuk merebut kekuasaan.
Aneh dan menghinakan Islam
Gagasan-gagasan aneh yang diproduksi petinggi dan mahasiswa IAIN-UIN tidak bisa hanya dipandang sebelah mata oleh aparat keamanan. Karena itu merupakan indikasi adanya penyelundupan doktrin komunisme ke dalam Universitas Islam Negeri. Orang-orang seperti Suwito, Kautsar Azhari Noer, atau Azyumardi Azra harus diwaspadai. Jangan justru diberi kursi mulia sebagai Rektor, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN, atau Penasihat Presiden.
Jangan lupa, sebelumnya dari UIN (IAIN) pernah lahir seruan untuk “bertakbir” dengan lafaz anjinghu akbar. Dan itu dibela oleh dekan fakultas Ushuluddin IAIN –kini UIN Bandung, dan Abdul Moqsith Ghazali dari UIN Jakarta. Dari kawasan ini juga pernah lahir pernyataan “kawasan bebas tuhan” dan “tuhan telah mati” yang dibidani para mahasiswanya. Selain itu, pernah ada dosen UIN yang berpendirian, karena Al-Qur’an secara fisik adalah makhluk, maka tidak apa-apa bila diinjak-injak. Begitu juga dengan lafaz Allah yang ditulisnya sendiri di atas secarik kertas, kemudian diinjak-injaknya sendiri di hadapan sejumlah mahasiswanya, bukanlah tindakan yang menistakan Allah SWT. Begitu pendirian sang dosen IAIN-UIN.
Secara fisik, kertas yang bertulisan Al-Qur’an memang makhluk. Begitu juga dengan secarik kertas yang ditulisi lafaz Allah, adalah makhluk. Tetapi Al-qur’an itu sendiri adalah Kalamullah, bukan makhluq. Dan siapa yang menyatakan bahwa Al-Qur’an Kalamullah itu makhluq, maka jelas keluar dari aqidah Ahlus Sunnah alias keluar dari keyakinan yang benar.
Yang tidak sampai menyangkut aqidah saja, coba kita bandingkan dengan bendera partai, misalnya PDI-P dan gambar Megawati pimpinan PDI-P, adalah jelas-jelas makhluk. Lha, kalau memang demikian, berani nggak sang dosen menginjak-injak bendera PDI-P dan gambar Megawati di hadapan massa PDI-P?
Dari contoh-contoh di atas, nampaknya bahaya laten neo komunisme sudah tidak laten lagi, tetapi sudah muncul dengan jubah pluralisme dan sebagainya. Ciri-cirinya sudah jelas, yaitu anti Tuhan, anti Agama, kalau toh berbicara soal agama tujuannya untuk membuat orang ragu-ragu, atau justru menafikannya. Karena neo kumunis jelas anti agama, maka tindakan mengkritisi agama sendiri adalah puncak keimanan dan ketauhidan yang tertinggi. Begitu pemahaman dan doktrin penganut neo komunisme. Padahal sebenarnya justru puncak penodaan terhadap keimanan dan ketauhidan yang tertinggi.
Fakta-fakta ini jelas memilukan. Lebih memilukan lagi, karena gejala-gejalanya marak justru di Universitas Islam Negeri alias IAIN, yang seharusnya menjadi pusat melawan komunisme gaya baru. (haji/ tede).
0 komentar:
Posting Komentar