Waspadai Studi Islam di Barat
Maaf Bu Erma, saya sangat terkesan dengan bimbingan Bu Erma ke teman-teman. Saya seorang mahasiswa Bu, jurusan Ekonomi Islam dan sekarang sedang dalam tahap akhir. Saya sangat ingin melanjutkan studi master di luar negeri. Sekiranya Ibu ada saran dan masukan apa dan di mana yang baik bagi saya, saya ucapkan terima kasih. Semoga kebaikan Ibu diberi balasan dari Allah. Amin.
Hamba Allah via www.suara-islam.com
Assalamu’alaykum wr wb,
Akhi/Ukhti yang dirahmati Allah, terima kasih telah setia membaca kolom Konsultasi Pendidikan ini.
Apabila antum berkeinginan kuat untuk melanjutkan sekolah di luar negeri, maka saya sarankan untuk mencari sekolah di tanah muslim, seperti Malaysia, Brunei, Mesir, atau Saudi Arabia. Universitasnya pun hendaknya dipilih yang bukan kepanjangan tangan dari Barat (seperti the American University, yang ada di Cairo dan Dubai). Melihat jurusan antum, yakni Ekonomi Islam, godaan untuk mengambil master dan bahkan doktor di bidang Studi Islam di universitas Barat cukup besar. Apalagi, proyek ini menawarkan dana yang besar berupa beasiswa bagi para pelajar berlatar belakang pendidikan Islam.
Namun, kita perlu sangat waspada terhadap tawaran-tawaran beasiswa untuk Studi Islam ini. Prof. Dr. Ismail Raji al-Faruqi, mantan Ketua Jurusan Studi Islam di Temple University, Pennsylvania, USA yang akhirnya syahid ditembak oleh agen zionis, menasehati kaum muslimin agar tidak belajar Islam ke Barat karena program Studi Islam di Barat tidak pernah luput dari misi Zionis dan Misionaris Kristen (Daud Rasyid, “Pembaruan Islam & Orientalisme dalam Sorotan”, hlm. 26).
Apa yang disampaikan oleh Prof. Dr Ismail Raji al-Faruqi menjadi lebih terang-benderang apabila kita mengetahui sejarah berdirinya Studi Islam di Barat. Saya akan memaparkan sejarah ini secara sekilas.
Dalam buku “A History of The Crusades” (1994), Steven Runciman menulis bahwa umat Kristen dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah mereka boleh berperang untuk negaranya, sementara agama mereka adalah agama perdamaian. Disebutkan dalam Kitab Jeremiah VIII, 15: “We looked for peace, but no good came” (Kami mencari perdamaian, tapi tidak ada kebaikan yang muncul darinya). Kaum cendikiawan Kristen pun terbelah dua: Gereja Timur (Bizantium) menganggap bahwa perang agama itu tidak ada sedangkan Gereja Barat (Roma) meyakini bahwa perang boleh dikobarkan atas nama Tuhan demi mencapai kebaikan. Untuk itulah, Pope Urban II menggalang kekuatan dari negara-negara Kristen untuk menghancurkan Islam. Pope Urban II menggunakan momentum masuknya pengaruh dan kekuatan Islam ke Jerussalem sebagai pembakar semangat perang. Maka, terjadilah Perang Salib I.
Berbeda dengan pandangan Pope Gereja Barat, Gereja Timur mengucilkan selama tiga tahun tentara Kristen yang membunuh manusia dalam perang. Kematian mereka dalam perang melawan kaum non-Kristen (infidel) pun tidak dianggap sebagai pahlawan (martyr). Para cendikiawan Kristen dari Gereja Timur, seperti Peter Venerabilis, Mark of Toledo, Thomas Aquinas, dan Brother Bacon menyadari bahwa umat Islam tidak bisa dipaksa secara fisik untuk masuk Kristen. Perang fisik hanyalah akan semakin mengobarkan kebencian terhadap Kristen. Selain itu, kemenangan dari perang fisik adalah matinya umat Islam yang kalah perang. Orang mati tidak bisa dikristenkan; jika demikian, musnahlah tujuan perang agama.
Walaupun menolak memerangi umat Islam secara fisik, namun pandangan Gereja Timur terhadap Islam tidak berbeda dengan Gereja Barat, yakni bahwa Islam adalah suatu penyelewengan kebenaran, agama kekerasan dan perang, agama yang mendukung pelecehan seksual, dan Muhammad bin Abdullah adalah nabi palsu (Franco Cardini, “Europe and Islam”, hlm. 89). Peter Venerabilis dkk meyakini bahwa jalan terbaik untuk mengalahkan Islam adalah melalui pemikiran. Untuk itu, mereka perlu mempelajari Islam dan al-Qur’an serta menggunakannya untuk memurtadkan umat Islam (Cardini, hlm. 88). Langkah pertama yang dilakukan adalah menerjemahkan Al-Qur’an. Terjemahan Peter ini menjadi bahan kuliah wajib bagi setiap calon agamawan Kristen. Inilah cikal bakal dibukanya jurusan Studi Islam pada universitas-universitas Barat.
Dari paparan singkat di atas bisa kita lihat bahwa sejarah berdirinya Studi Islam adalah untuk memurtadkan kaum muslimin dan menghancurkan Islam. Oleh karena itu, tidak heran jika umat Islam yang belajar Studi Islam di Barat kembali ke masyarakat kaum muslimin dengan pemikiran-pemikiran yang merusak Islam. Allahu a’lam.
Erma Pawitasari, M.Ed
Kandidat Doktor Universitas Ibnu Khaldun Bogor
Direktur Eksekutif Andalusia Education Center & Management Services (AIEMS)
E-mail:erma.pawitasari@alum.bu.edu
Sumber: suaraislam online, Tuesday, 17 May 2011 09:52 | Written by Shodiq Ramadhan, diberi ilustrasi oleh nahimunkar.com diambil dari voaislam.
(nahimunkar.com)
0 komentar:
Posting Komentar