Kegelisahan Yahudi, Nasrani, dan Orang Munafik Terhadap Masa Depan Islam
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ(120)
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS Al-Baqarah [2] ayat 120)
Tentu masih belum lepas dari ingatan kita, peristiwa genosida yang menimpa kaum Muslim di kawasan Balkan sepanjang 1992-1995. Pasukan Serbia membantai 200 ribu lebih Muslim Bosnia (yang pernah menjadi bagian dari Republik Yugoslavia), dan 8.000 lebih lainnya di Srebrenica. Tidak hanya pembantaian, tetapi juga perkosaan terhadap sekitar 20 ribu Muslimah Bosnia oleh pasukan Serbia, yang dipimpin Jenderal Ratko Mladic. Pembantaian (atau ethnic cleansing) dan perkosaaan yang dilakukan Serbia semata-mata karena didasari kebencian mereka terhadap Islam.
Kasus genosida terhadap Muslim Bosnia ini baru masuk ke dalam agenda Mahkamah Internasional PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) sebelas tahun kemudian (2006), setelah Bosnia mengajukan gugatan. Serbia dinilai bertanggung jawab terhadap kasus genosida tersebut, karena memberikan dukungan strategis dan finansial. Setahun kemudian, Februari 2007, Mahkamah Internasional membebaskan Serbia dari tuduhan pembersihan etnis (ethnic cleansing) di Bosnia. Mahkamah Internasional saat itu dalam putusannya mengatakan, Serbia tidak berencana atau melakukan pembunuhan massal terhadap delapan ribu Muslim di Srebrenica pada tahun 1995. Mahkamah pengadilan tertinggi PBB itu hanya mengatakan, Serbia gagal melaksanakan kewajibannya mencegah terjadinya genosida. Artinya, kasus genosida itu dimaknai sebagai bukan kebijakan negara (Serbia) tetapi oleh perorangan.
Slobodan Milosevic yang saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Federal Yugoslavia, dituding Phon van den Biesen (pengacara asal Belanda yang mewakili Bosnia di International Criminal Tribunal) sebagai motor penggerak di balik peristiwa genosida terhadap Muslim Bosnia dan Srebrenica. Namun akhirnya, Milosevic meninggal dunia ketika sedang menjalani proses hukum di mahkamah internasional.
Tribunal Yugoslavia sebelumnya telah menetapkan 19 orang yang terlibat di dalam peristiwa genosida di Srebrenica, termasuk Slobodan Milosevic, Radovan Karadzic, Jenderal Ratko Mladic dan Zdravko Tolimir (ajudan Jenderal Ratko Mladic). Radovan Karadzic (Presiden Serbia kala itu) setelah selama tiga belas tahun melenyapkan diri, tertangkap pada 21 Juli 2008. Sedangkan Jenderal Ratko Mladic hingga Agustus 2008 dinyatakan masih buron.
Apakah ada landasan ideologis yang membolehkan atau membenarkan mereka (orang-orang Serbia yang bergama Kristen Ortodoks) melakukan pembunuhan terhadap ummat Islam? Dan pertanyaan penting lainnya adalah, apakah pernah ada di sebuah negara yang berpenduduk mayoritas Islam (Presidennya Islam, Panglima Angkatan Bersenjatanya beragama Islam), melakukan pembunuhan massal atau genosida atau ethnic cleansing terhadap penduduk beragama lain?
Kemerdekaan Kosovo
Muslim Serbia yang minoritas, kini kembali menghadapi situasi yang mencekam, pasca dideklarasikannya kemerdekaan Kosovo, salah satu provinsi di Republik Serbia, yang mayoritas penduduknya Islam, pada 17 Februari 2008. Kemerdekaan Kosovo segera diakui oleh sekitar 40 negara, termasuk negara-negara penting seperti AS dan lebih dari separuh negara anggota Uni Eropa. Kemerdekaan itu merupakan ujung dari adanya konflik antara etnis Albania dan Serbia yang telah berlangsung selama 3 tahun belakangan. Kosovo dihuni oleh lebih kurang 1,8 juta Muslim dan 80.000 etnis Serbia.
Beberapa hari setelah deklarasi kemerdekaan Kosovo, sekitar 150.000 warga Serbia tumpah ruah memadati jalan-jalan Beograd untuk memprotes kemerdekaan Kosovo. Tidak sekedar protes, massa juga membakar Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beograd, Serbia, Kamis (21 Februari 2008). Begitu juga dengan sejumlah kedutaan besar negara yang mendukung kemerdekaan Kosovo, didatangi dan menjadi sasaran amuk massa.
Kemerdekaan Kosovo disikapi berbeda oleh sebagian pihak. Ketika Montenegro memisahkan diri, tidak disebut sebagai republik separatis. Namun ketika Kosovo menyatakan kemerdekaannya, disebut republik separatis.
Padahal, Kosovo ketika masih menjadi sebuah wilayah yang bernama Dardania yang kaya dengan sumber alam berupa emas, pernah diinvasi oleh bangsa Serbia, yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Nemanjic (tahun 1190 M). Penjajahan atas Dardania (Kosovo) berakhir, ketika di tahun 1455 M Dinasti Usmani dari Turki menguasai Kosovo. Namun di tahun 1878 Serbia kembali menguasai Kosovo, seiring kekalahan Kerajaan Usmani dalam perang Russo-Ottoman.
Jadi, kemerdekaan Kosovo merupakan hak, bukan separatisme. Ada juga yang mengatakan bahwa kemerdekaan Kosovo tidak murni, karena itu merupakan ‘proyek’ Amerika dalam rangka melemahkan pengaruh Rusia di Serbia dan Balkan pada umumnya. Sayangnya tuduhan yang sama tidak ditujukan kepada Montenegro, yang juga merupakan ‘proyek’ Amerika dalam rangka yang sama. Amerika dan sekutunya membiayai gerakan separatisme di Montenegro, sehinga Montenegro lepas dari Serbia dan menjadi negara sendiri sejak 3 Juni 2006, dengan ibukota Podgorica. Dua hari kemudian, 5 Juni 2006, Serbia pun memproklamasikan kemerdekaannya, dengan ibukota Belgrade.
Amerika bisa saja punya andil di dalam merekayasa kemerdekaan Kosovo, namun sebagai muslim kita harus yakin bahwa rekayasa Allah jualah yang akan menang. Kosovo ketika berada di bawah Serbia, ummat Islam di sana begitu tertekan dan mengalami diksiriminasi bahkan genosida. Tentu akan lebih baik bila Kosovo yang penduduknya mayorits Islam berdaulat sendiri.
Pemerintah Indonesia, tidak langsung mengakui Republik Kosovo di awal-awal kemerdekaannya (17 Februari 2008). Meski, Ketua MPR Hidayat Nurwahid sehari setelah deklarasi kemerdekaan Kosovo memberikan masukan agar pemerintah segera mengakui kemerdekaan Kosovo, karena kemerdekaan itu merupakan hasil referendum yang demokratis: Parlemen Kosovo dengan suara bulat menyetujui satu pernyataan kemerdekaan dari Serbia (deklarasi kemerdekaan Kosovo dibacakan oleh Perdana Menteri Hashim Thaci). Hal itu disampaikan Hidayat Nur Wahid di Doha, Qatar, pada hari Senin tanggal 18 Februari 2008, saat mengikuti konferensi US Islamic World Forum di sana.
Alih-alih mengakui, pemerintah Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam ini, justru bertambah mesra dengan Serbia. Ketika Menlu Serbia Vuk Jeremic berkunjung ke Jakarta, Kamis 27 Maret 2008, Menlu Hasan Wirayuda mengatakan, hubungan Indonesia dan Serbia yang selama ini sudah erat akan lebih ditingkatkan lagi ke arah hubungan yang lebih produktif dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Hasan Wirayuda juga mengatakan, bahwa Indonesia akan mengisi hubungan ini dengan hal-hal yang lebih produktif dengan meningkatkan perdagangan, investasi, people to people contact, serta pertemuan bilateral. Sedangkan mengenai Kosovo, Menlu mengatakan masalah Kosovo merupakan bagian dari masalah dalam negeri Serbia.
Pernyataan Hasan Wirayuda jelas mencerminkan sikap pemerintah Indonesia yang tidak bersimpati terhadap nasib ummat Islam di Kosovo, dan tidak dilandasi dengan pemahaman sejarah yang integral bahwa Kosovo adalah kawasan yang pernah diinvasi Serbia, jadi bukan merupakan wilayah yang secara historis terintegrasi dengan Serbia.
Mungkin pemerintah Indonesia takut bila mengakui Kosovo yang dianggapnya separatis, akan membangkitkan separatisme di Indonesia. Ini jelas tidak relevan, karena telah menyamakan antara hak merdeka Kosovo dengan potensi separatisme yang ada di beberapa daerah di Indonesia, seperti Aceh, Papua, dan Maluku.
Dari kasus Kosovo ini, kita bisa memahami bahwa orang Kristen (dan Yahudi) tidak senang dengan Islam. Ketika ummat Islam Kosovo menjadi bagian dari Serbia, mereka mengalami diskriminasi dan pembantaian massal. Namun ketika mereka menyatakan kemerdekaannya yang merupakan hak, Serbia juga tidak senang. Apa maunya? Sudah jelas, yaitu “…sehingga engkau mengikuti agama mereka…”
Mengkhawatirkan Perkembangan Islam
Permusuhan dan kebencian tanpa alasan rasional terhadap Islam, boleh jadi dibentuk oleh rasa khawatir dan cemas atas nasib peradaban barat yang identik dengan kristen. Pertumbuhan ummat Islam dan sarana ibadahnya kian meningkat dari tahun ke tahun.
Di Jerman, awal November 2006 lalu, seorang Rahib warga Jerman ditemukan tewas setelah membakar dirinya. Tindakan nekad ini dilakukan Roland Fislberg sebagai bentuk protes atas berkembang pesatnya agama Islam di berbagai ibukota dan kota-kota Eropa. Fislberg menuangkan bensin ke bajunya lalu menyulutnya dengan api di lapangan Deir, kota Eirvort, bagian tengah Jerman, hari Rabu 1 Nov 2006. Fislberg melalui suratnya menuliskan, ia membakar diri untuk memberikan peringatan akan bahaya kebangkitan Islam di benua Eropa. Selama empat tahun terakhir, ia telah menunjukkan kecemasannya atas perkembangan pesat Islam di mana ia menuntut pihak gereja Luther untuk mengambil sikap tegas dan serius terhadap hal tersebut.
Kecemasan Fislberg memang beralasan. Menurut suratkabar Field seperti yang dikutipnya dari sebuah penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Arsip Islam menjelaskan, masjid yang memiliki menara dan kubah meningkat jumlahnya di Jerman sejak tahun 2004 dari 141 menjadi 159 masjid. Sementara 128 masjid lainnya masih dalam tahap pembangunan.
Sementara itu, hasil survai pengembang perumahan yang dilakukan Dresdner Bank memperkirakan akan berkurangnya jumlah gereja di Jerman selama beberapa tahun ke depan. Ritual yang disebut Penyucian Agama di 96 gereja dari total 350 gereja di bawah keuskupan Essen saja tinggal menunggu waktu untuk dihentikan. Demikian pula, sejumlah bangunan gereja telah dialih fungsikan untuk tujuan lain. Sebagaimana dilaporkan harian Bild.
Kekhawatiran dan kecemasan seperti Fislberg juga terjadi di Austria. Sebuah riset yang dipublikasikan akhir November 2006 lalu menyebutkan, seperempat penduduk Austria akan menjadi pemeluk Islam, sedangkan sepertiga bocah di bawah usia 15 tahun di negeri itu akan menjadi pemeluk Islam pada pertengahan abad ini. Penelitian yang dibuat Institut Wina Untuk Studi Demografi dan Akademi Sains Austria menyebutkan, berdasarkan beberapa prediksi awal, jumlah ummat Islam mungkin akan meningkat di Austria 14% hingga 26% pada tahun 2051 nanti. Seperti dilansir suratkabar Day Press, terlepas dari masalah imigrasi, jumlah masyarakat Muslim di Austria meningkat dengan sangat tajam, wanita Muslimah di Austria memiliki 2 hingga 3 anak sementara wanita Katholik rata-rata hanya melahirkan satu orang anak.
Di Spanyol juga demikian. Awal Oktober 2006 lalu, aparat keamanan di propinsi Catalonia, Spanyol, yang mencemaskan perkembangan Islam di propinsi itu mengumumkan, sebagian kelompok Islam mulai berusaha menyebarkan agama Islam di propinsi Catalonia sebagai upaya mengembalikan eksistensi Islam di semenanjung pulau Ebiria yang dulu Islam pernah eksis di sana selama 8 abad.
Di Negeri Belanda, awal September 2006, Lembaga Penelitian milik pemerintah Belanda mempublikasikan sebuah laporan yang antara lain menyatakan, jumlah umat Islam di negeri itu akan meningkat menjadi 8 persen dari total penduduk Belanda pada tahun 2020 nanti dari angka sebelumnya 6 persen. Sementara jumlah penganut Kristen akan terus berkurang secara signifikan. Laporan itu menyiratkan, persentase umat Katholik akan menurun menjadi 10 persen dari total penduduk Belanda dari sebelumnya 17 persen pada tahun 2004. Laporan itu juga mengatakan, persentase orang-orang yang mengunjungi gereja di antara para jema’atnya juga benar-benar telah menurun menjadi 38 persen dari 67 persen pada tahun 1970.
Di Denmark pertengahan Juli 2006, suratkabar Verlinseek Tezn mewartakan, sejak tragedi 11 September 2001 lalu, agama Islam mulai mendapatkan sambutan yang cukup besar. Banyak warga Denmark, khususnya usia pancaroba dan pemuda yang tertarik dengan Islam. Perhatian warga Denmark terhadap Islam menimbulkan kecemasan yang cukup besar di kalangan gereja rakyat, di antaranya yang ditunjukkan pendeta kota Vyoburg, Karstein Nessen: “Masuk Islamnya sebanyak 2500 warga Denmark merupakan pertambahan yang di luar kebiasaan dan dalam fase yang sangat berdekatan. Ini menjadikannya sebagai satu dari sekian banyak problem…”
Di Amerika, meski Bush gencar mencitrakan Islam dengan aksi radikal, kekerasan dan bahkan terorisme, namun pada kenyataannya penganut agama Islam terus saja menunjukkan peningkatan dan eksistensinya. Di Washington dan sekitarnya, jumlah warga Amerika yang masuk Islam terus meningkat. Mayoritas dari mereka itu sebelumnya adalah penganut Kristen Katholik di mana usia mereka rata-rata antara 20-40 tahun.
Mereka memeluk Islam setelah mengkaji secara mendalam melalui beberapa bidang mata kuliah di Universitas-universitas yang berbicara tentang Islam. Juga, melalui teman-teman Muslim mereka atau pun melalui berbagai kegiatan yang dilakukan organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga Islam di Amerika. Beralihnya mereka ke agama Islam sama sekali tidak menimbulkan pemutusan hubungan dengan keluarga. Mereka merasakan ketenangan batin yang tiada tara semenjak masuk Islam. Menurut mereka, Islam telah menjawab sekian banyak pertanyaan yang selama ini berkecamauk di kepala mereka.
Tidak hanya di Amerika, bahkan di Israel juga. Saluran 7 TV Israel akhir Juli 2006 menyebutkan, jumlah wanita-wanita Yahudi yang memeluk Islam dan menikah dengan pria muslim meningkat sepanjang tahun 2006 ini. Berdasarkan catatan kantor urusan kependudukan Israel, setiap tahun sekitar 35 wanita Yahudi memeluk Islam. Akan tetapi sepanjang tahun 2006 ini dimana baru paroh pertamanya saja jumlah wanita-wanita Yahudi yang masuk Islam sudah mencapai 42 orang.
Kaum Yahudi dan Nasrani khawatir dan cemas atas semakin meningkatnya perkembangan Islam dan umatnya di belahan dunia. Eropa yang Kristen akan terkikis identitasnya, sebagaimana dikhawatirkan Paus Vatikan, Benediktus XVI. Padahal, bukan Islam yang menyebabkan identitas itu meredup tetapi terutama semakin bertambahnya kasus cerai, aborsi dan seks menyimpang yang menggerogoti masyarakat Eropa. Kondisi inilah yang sesungguhnya akan membuat Eropa semakin kehilangan identitas Kristen-nya.
Kekhawatiran serupa sudah pernah diungkapkan Ratu Margrethe II dari Denmark, tahun 2005 lalu. Ia menuding Islam sebagai ancaman bagi dunia global dan mendesak pemerintahnya untuk tidak bersikap toleran terhadap kelompok minoritas Islam di negara Eropa bagian utara itu. Ratu Margrethe II menyatakan, “Kita harus menunjukkan bahwa kita menentang keberadaan Islam dan kita setiap saat harus menghadapi resiko sebutan yang tidak mengenakkan atas apa yang kita lakukan karena kita menunjukkan ketidaktoleransian kita… Kita ditantang oleh Islam dalam beberapa tahun ini, baik secara global maupun lokal. Islam merupakan tantangan yang harus kita hadapi dengan serius. Kita sudah membiarkan isu ini mengemuka sejak sekian lama karena kita bersikap toleran dan malas.”
Di Denmark terdapat sekitar 170 ribu warga Muslim. Agama Islam di Denmark menjadi agama kedua terbesar setelah agama Kristen Protestan Lutheran. Jumlah imigran di Denmark, mencapai 8 persen dari 5,4 juta total populasi negara itu.
Timur juga khawatir terhadap Islam
Kekhawatiran seperti itu tidak saja terjadi di Barat. Di dunia Timur, Rusia, hal itu juga dirasakan. Sebuah laporan yang dikeluarkan harian Washington Times, Amerika menjelaskan, turunnya angka kelahiran penduduk asli Rusia dan bertambahnya jumlah kaum imigran yang berasal dari sejumlah republik pecahan eks Uni Sovyet telah menyebabkan pertumbuhan yang mencolok di kalangan masyarakat Islam Rusia di mana pada pertengahan abad ini akan mencapai lebih dari separoh penduduk Rusia.
Masyarakat Islam di Rusia dinilai sangat beragam di mana ada etnis Tatar, Fulja dan beberapa etnis lainnya di utara kawasan Kokaz. Belum lagi ditambah dengan kaum imigran baru yang datang dari Asia Tengah. Namun mereka semua sama-sama mengalami angka kelahiran yang sangat tinggi melebihi angka kelahiran etnis Sulavi, Rusia yang mayoritasnya beragama Kristen Orthodoks.
Sejak 1989 jumlah kaum Muslim di Rusia telah bertambah hingga mencapai sekitar 25 juta jiwa. Sebagian pengamat memperkirakan, pada tahun 2015, kaum Muslimin akan menjadi mayoritas di dinas ketentaraan Rusia. Paul Glope, spesialis kajian Islam di Rusia sekaligus asisten penelitian di universitas Tarto, Estonia mengatakan, selama 30 tahun ke depan, jumlah warga Rusia yang berasal dari akar Islam akan melampaui jumlah etnis Rusia asli.
Kekhawatiran seperti itulah yang menyebabkan seorang imam salah satu masjid di kota Kislovodisk, di bagian selatan terbunuh akibat ditembak orang tak dikenal saat keluar rumah. Peristiwa itu terjadi pada bulan September 2006 lalu.
Anggapan bahwa Islam merupakan unsur asing dari Rusia, sebenarnya merupakan pendapat keliru. Rasham Aviasov juru bicara dewan fatwa Rusia menegaskan, kaum Muslimin memiliki akar sejarah di Rusia. Sejak berabad-abad, Islam merupakan bagian dari Rusia. Ia mengatakan, “Tidak benar klaim bahwa Rusia adalah negara Kristen. Orang yang mengatakan demikian boleh jadi ia buta sejarah atau pura-pura buta.”
Mengutip cerita dusta
Puncak dari semua kekhawatiran itu adalah pernyataan Paus Benediktus XVI di Universitas Regensburg, Jerman 12 September 2006. Paus memaparkan apa yang ia lihat sebagai sebuah perbedaan besar antara Kristen dan Islam: Kristen didasarkan atas akal sedangkan Islam menolak akal; Kristen memahami logika dari tindakan-tindakan Tuhan sementara Islam mengingkari bahwa terdapat sejenis logika di dalam tindakan-tindakan Allah.
Untuk membuktikan bahwa Islam tidak menghargai akal, Paus menyatakan bahwa Nabi Muhammad memerintahkan para pengikutnya untuk menyebarkan agama Islam melalui jalan pedang, dan hal tersebut tidaklah rasional karena iman lahir dari dalam jiwa, bukan dari tubuh. Untuk mendukung pendapatnya, Paus mengutip omong kosong seorang kaisar Byzantium akhir abad ke-14, Manuel II Palaeologus: “Tunjukkan kepadaku ajaran baru yang Muhammad bawa, dan pasti kamu tidak akan mendapatkan apa pun kecuali hal-hal yang jahat dan anti-kemanusiaan, seperti perintahnya untuk menyebarkan apa yang dia sampaikan melalui pedang.”
Kata-kata di atas diucapkan Manuel II Palaeologus dalam sebuah perdebatan antara dirinya dengan seorang ulama Muslim asal Persia yang namanya tidak disebutkan. Di tengah panasnya perdebatan tersebut, sang kaisar (berdasarkan ceritanya sendiri) mengucapkan kata-kata tersebut kepada lawan debatnya. Namun peristiwa itu diragukan banyak orang. Jadi, pernyataan seperti dikutip Paus adalah sebuah omong kosong belaka.
Ketika menuliskan kisah bohong di atas, Manuel II Palaeologus adalah kaisar dari sebuah imperium yang sedang sekarat. Dia bertakhta pada 1391, ketika hanya segelintir propinsi yang tersisa dari imperium sebelumnya. Propinsi-propinsi yang masih tersisa ini pun pada masa itu berada di bawah ancaman Turki. Pada masa itu, kekuasaan Turki Utsmani telah mencapai tepi Sungai Danube. Mereka telah menaklukkan Bulgaria dan bagian utara Yunani, dan telah dua kali mengalahkan pasukan bantuan yang dikirim Eropa untuk menyelamatkan Imperium Timur. Pada 29 Mei 1453, hanya beberapa tahun setelah Manuel mangkat, ibukota imperiumnya, Konstantinopel (kini Istanbul), jatuh ke tangan orang-orang Turki. Inilah akhir dari sebuah imperium yang telah berkuasa selama lebih daripada ribuan tahun.
Omong kosong Manuel II Palaelogus yang provokatif itu, sebenarnya tidak sesuai kenyataan. Faktanya, selama beberapa abad Muslim menguasai Yunani, tidak ada yang pernah memaksa orang-orang Yunani menjadi Muslim. Bahkan, ketika itu banyak orang Yunani Kristen menduduki posisi-posisi tinggi di pemerintahan Utsmani. Fakta lain, bangsa Bulgaria, Serbia, Rumania, Hungaria, dan bangsa Eropa lainnya hidup di bawah pemerintahan Utsmani pada satu dan lain waktu dengan tetap memeluk iman Kristen mereka. Tak ada seorang pun yang memaksa mereka untuk menjadi Muslim dan mereka semua tetaplah para penganut Kristen yang taat. Sebaliknya, ketika Pasukan Salib menaklukkan Yerusalem (pada 1099), mereka membantai warga Muslim dan Yahudi atas nama kasih Yesus.
Di bawah pemerintahan Muslim, Yahudi Spanyol menikmati suasana kondusif yang tidak pernah mereka nikmati di tempat mana pun. Para penyair Yahudi seperti Yehuda Halevy menulis dalam bahasa Arab, dan demikian juga Maimonides yang agung. Pada pemerintahan Muslim di Spanyol, Yahudi adalah para menteri, penyair, dan saintis. Di Toledo, para sarjana Kristen, Yahudi, dan Muslim bekerja sama menerjemahkan teks-teks filsafat dan sains Yunani kuno. Inilah yang disebut Zaman Keemasan.
Ketika merebut kembali Spanyol dari tangan Muslim, Katolik menciptakan rezim teror keagamaan. Kaum Muslim dihadapkan pada sebuah pilihan yang kejam: menjadi Kristen, dibantai, atau pergi. Dan ke manakah ratusan ribu Yahudi, yang menolak untuk menanggalkan iman mereka untuk berlindung? Sebagian besar dari mereka disambut dengan tangan terbuka di negeri-negeri Muslim. Yahudi Sephardi (Spanyol) hidup di seluruh dunia Muslim, dari Maroko di Barat hingga Irak di Timur, dari Bulgaria (yang kemudian menjadi bagian dari Khilafah Utsmani) di utara hingga Sudan di selatan. Itulah tempat-tempat di mana mereka tidak dibantai. Yahudi yang hidup di negeri-negeri Muslim sama sekali tidak mengenal siksaan-siksaan model Inkuisisi, auto-da-fe, pembantaian massal, dan pengusiran-massal, yang terjadi di hampir seluruh negeri Kristen, hingga terjadinya peristiwa Holocaust.
Lalu, mengapa Paus mengutip kembali omong kosong Manuel II Palaelogus yang provokatif itu? Tentu dengan maksud tertentu. Dan anehnya, Yahudi yang diberi kelonggaran di negeri-negeri Muslim akibat diancam jiwanya oleh pihak Nasrani itu, kemudian justru menghadapkan ancaman terhadap Muslimin di dunia ini. Bahkan Yahudi bersama pihak Nasrani sering menyewa kaum munafik untuk menghancurkan Islam dari dalam, menggunting dalam lipatan. Mereka mengira akan mendapatkan keuntungan besar dari kejahatan mereka secara bersekongkol menjahati Islam itu.
Terhadap persekongkolan jahat itu, Alloh menasihati Nabi (Ummat Islam):
وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ وَدَعْ أَذَاهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا(48)
Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung. (QS Al-Ahzab: 48).
Akibatnya, kafirin baik Yahudi, Nasrani maupun rekanannya yakni munafiqin pun hanya mengunduh keresahan, kegelisahan, kegusaran dan aneka kekhawatiran yang semakin menghantui mereka. Sedang Islam makin tampak masuk ke relung-relung hati para manusia di dunia ini. Itulah benarnya firman Alloh SWT:
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ(32)
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (QS At-Taubah: 32). (haji/tede)
0 komentar:
Posting Komentar