..::::::..

Generasi Meninggalkan Shalat & Mengikuti Syahwat



oleh Hartono Ahmad Jaiz

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ …
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, marilah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah berkenan memberikan berbagai keni’matan bahkan hidayah kepada kita.
Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, mari kita senantiasa bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, menjalani perintah-perintah Allah sekuat kemampuan kita, dan menjauhi larangan-laranganNya.

Read More......

Bagaimana Kalau Amalnya Ditolak Seperti Ini



oleh Hartono Ahmad Jaiz
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, marilah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah berkenan memberikan berbagai keni’matan bahkan hidayah kepada kita.
Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, mari kita senantiasa bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, menjalani perintah-perintah Allah sekuat kemampuan kita, dan menjauhi larangan-laranganNya.

Read More......

Cerdas Dalam Berdzikir



Allah سبحانه و تعالى memerintahkan hamba-hambaNya agar memperbanyak dzikir. Memperbanyak mengingat-Nya. Barangsiapa mencintai Allah سبحانه و تعالى niscaya dengan senang hati ia memperbanyak mengingat Allah سبحانه و تعالى . Betapa tidak, Allah سبحانه و تعالى merupakan Dzat Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tidak sepantasnya seorang yang mengaku beriman kepada Allah سبحانه و تعالى lalu menjadi orang yang malas dan enggan mengingat-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (ingatlah) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab [33] : 41)

Read More......

Malaysia Satu Sikap Hadapi Pengaruh Gay

 

Hidayatullah.com—Sejak mencuat adanya berita  festival Gay di Malaysia, kini, berbagai kalangan negeri tetangga ini seolah sepakat bersatu untuk menolak.
Budiman Mohd Zodi, Wakil organisasi Malaysian Association of Youth Clubs (MAYC), dalam sebuat surat yang dikirim keredaksi BeritaHarian, Malaysia, ia mempertanyakan adanya keganjilan mengapa program-program ‘kebebesan seks’ seperti itu justru dipromosikan di Malaysia, yang nota-bene berpenduduk Islam.
“Mengapakah program seperti ini dipromosikan di Malaysia? Sebuah negara yang majoritas rakyatnya beragama Islam,” ujarnya Rabu, (16/11/2011) kemarin.

Ia bahkan mengungkapkan, sudah jelas UUD di malaysia pasal 3 (1) memperuntukkan Islam adalah agama persatuan. Di pentas dunia Malaysia juga dihormati sebagai sebuah negara Islam.

Baginya, tindakan bijak pihak kepolisian mengharamkan kelompok-kelompok gay atau lesbi mengadakan acara adalah sesuatu yang harus dipuji karena dinilai teelah membuat kerisauan masyarakat.

Read More......

Empat Pendeta Belanda Sodomi Anak Kenya

Hidayatullah.com--Kepolisian Belanda telah diminta lewat Interpol untuk menyelidiki kasus sodomi yang dilakukan seorang uskup dan tiga pendeta Belanda terhadap anak Kenya.

Tuduhan terhadap 'uskup Cor S' (nama aslinya disembunyikan) dan tiga pendeta lainnya dikemukakan oleh seorang mantan mahasiswa seminari di Belanda asal Kenya.

Pemuda itu mengatakan, pertama kali ia dicabuli saat masih menjadi anak altar di Kenya. Selanjutnya pencabulan juga terjadi saat ia mempersiapkan diri untuk belajar teologi di Mill Hill Missionaries, London.

Cor S dan ketiga pendeta tersebut bertugas di Mill Hill Missionaries. Salah satu dari ketiga pendeta telah meninggal dunia.

Read More......

Islam Sebagai Landasan Budaya Jawa

Hidayatullah.com--Eksodus masyarakat Jawa dari pusat-pusat kerajaan Hindu dan Budha yang tidak memberinya kehidupan yang aman, ke daerah-daerah pelabuhan mengantarkan mereka bersentuhan dengan para pedagang Muslim dan para ulama.
Egalitarianisme Islam dan struktur keimanan mudah dimengerti menyebabkan rakyat Jawa berbondong-bondong masuk Islam. Periode ini merupakan gelombang pertama Islamisasi di Pulau Jawa.
Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier, ada dua tahap penyebaran Islam di Pulau Jawa. Pertama, di mana orang menjadi Islam sekadarnya, yang selesai pada abad ke 16.
Kedua, tahap pemantapan untuk betul-betul menjadi orang Islam yang taat secara pelan-pelan menggantikan kehidupan keagamaan yang lama.

Sultan Agung Hanyokrokusumo, penguasa Mataram (1613-1645) mengawali tahap pemantapan melalui pendidikan Islam secara massal kepada masyarakat Jawa. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca al-Qur`an, tata cara beribadah dan tentang ajaran Islam: rukun iman dan rukun Islam.

Read More......

Orientalisme dan Usaha Kudeta Kebudayaan


Hidayatullah.com--SEPERTINYA, Van Lith, misionaris Katolik ordo Yesuit, belajar dari kasus Sadrach. Setelah korespondensi panjang dengan Sadrach, dan pengamatan mendalam di lapangan, Van Lith mengubah pola penginjilannya. Dari individu menjadi penginjilan kolektif dalam bentuk sekolah. Dengan mendidik anak-anak Jawa sejak kecil, diharapkan akan menghasilkan kekatolikan/kekristenan yang murni. Seiring dicanangkannya politik etis di bidang pendidikan di kalangan pribumi, Van Lith lalu mendirikan sekolah calon guru.

Dalam mencari murid yang berkualitas, Van Lith aktif melakukan kunjungan kepada para bangsawan kraton dan priyayi, agar menyekolahkan anaknya di Kolese Xaverius (sekolah yang didirikan Van Lith). Semua murid yang masuk awalnya adalah Muslim, lalu menjadi Katolik ketika lulus. Tidak cukup menjadi guru, beberapa murid Kolese Xaverius  melanjutkan pendidikannya ke jenjang imamat. Sehingga bila dilihat dari banyaknya jumlah imam pribumi yang dihasilkan, menurut Steenbrink, usaha Van Lith ini paling sukses di dunia untuk kegiatan serupa.

Dalam Kolese Xaverius, identitas kejawaan sangat ditekankan, sedangkan segala hal yang berbau Islam dihilangkan. Bahasa Melayu, yang dianggap identik dengan Islam tidak diajarkan, cukup dua bahasa: bahasa Jawa dan bahasa Belanda. Dengan demikian diharapkan proses integrasi kekatolikan dan kejawaan dapat berjalan sempurna.

Read More......

Gagalnya Usaha "Menghapus" Islam dari Jawa




 
Hidayatullah.com—MASIH ingat, nama Mbah Petruk yang mendadak menjadi sangat populer ketika Gunung Merapi kembali bergejolak? Di samping Mbah Petruk, ada juga Nyai Rara Kidul. Berkait dengan dua tokoh jagading lelembut tadi, diadakanlah ritual sedekah gunung dan sedekah laut yang menjadi ritual rutin masyarakat Jawa. Kebanyakan, citra sinkretik seperti ini menjadi wajah tunggal ketika seseorang berbicara tentang Jawa.

Juga, apabila kita mengamati buku-buku mengenai kebudayaan Jawa, maka istilah seperti larung sesaji, kejawen, pusaka keramat, adalah tema-tema dominan ketika berbicara kebudayaan Jawa.

Pandangan seperti itulah sebenarnya yang diinginkan dari gerakan jangka panjang orientalisme dan missionarisme di Jawa di masa kolonial. Di mana mereka berusaha menghapus identitas Islam di tanah itu dengan selalu mengkait-kaitkan antara Jawa dengan Hindu atau Budha.

Read More......

Serial Aurat Buku Syaikh Idahram-2 (bag. 2)

“MEREKA MEMALSUKAN
KITAB-KITAB KARYA ULAMA KLASIK”
Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi
Bagian (2)
Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.
Belakangan diketahui bahwa nama Syaikh Idahram adalah Marhadi kelahiran 1975, sengaja dia samarkan dengan membalik hurufnya menjadi Idahram mengikuti model bahasa Kera Ngalam/Arek Malang.  Kemudian dia beri gelar Syaikh di depannya, yang di negeri kita ini maknanya adalah orang yang sepuh usia dan sepuh ilmunya, ternyata kenyataannya  tidak demikian. Ini bisa disebut sebagai perbuatan mengecoh atau mengelabui yang dalam bahasa arab dan dalam disiplin ilmu hadits disebut tadlis. Oleh karena itu mulai sekarang kita panggil dengan panggilan Ustadz, sebagaimana lazimnya di Indonesia.  Ustadz Idahram, penulis buku “
01 
Serial Aurat Buku Syaikh Idahram 2 (bag. 2)
Secara meyakinkan dan terang-terangan telah melakukan “kedustaan kebohongan” di depan publik, dengan menuduh Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab dengan tuduhan-tuduhan keji sebagai orang yang ajarannya sesat, (setan berbentuk manusia, pemimpin aliran sesat yang sudah diprediksi oleh Nabi sebelumnya dan diperintahkan untuk dibunuh dan dijanjikan pahala bagi yang membunuhnya, karena ia dan kelompoknya melakukan teror kepada umat Islam), mengkafirkan umat Islam, membakar kitab dan mengajarkan pengikutnya untuk memalsukan kitab para ulama dan lain sebagainya. Hal itu didasarkan pada pemahamannya (terjemahannya) yang salah fatal terhadap 

Read More......

Serial Aurat Buku Syaikh Idahram-2 (bag. 1)

“MEREKA MEMALSUKAN
KITAB-KITAB KARYA ULAMA KLASIK”
Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi
Bagian (1)
Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.
 1 197x300 Serial Aurat Buku Syaikh Idahram 2 (bag. 1)
Pendahuluan :
Bismillahirrahmanirrahim.
Buku ini adalah buku ke-2 dari Syaikh Idahram -yang bagi kami ia masih bersifat  majhul al-hal (tidak diketahui jatidirinya)- terkait dengan apa yang ia sebut sebagai trilogi data dan fakta penyimpangan salafi wahabi. Sebelumnya adalah buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” dan Buku ke-3 dengan judul yang lebih heboh lagi: “Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi”.
Buku pertama sudah kami soroti sedikit mengenai bahayanya yang sangat luas, dalam satu makalah yang kami beri judul “Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” Mengusung Faham Rafidhah (Syi’ah Iran)”. Silakan baca di http://www.gensyiah.com/waspada-buku-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi-mengusung-faham-rafidhah-syiah-iran.html Walaupun sebenarnya banyak kesalahan yang ada di dalamnya, namun yang sedikit itu kiranya sudah cukup bagi orang ahlussunnah untuk mengetahui mutu buku itu dan untuk mewaspadai buku dan para pengusungnya.
Sebenarnya kami tidak suka mengomentari tulisan orang lain, namun karena bagian dari kewajiban kami dalam memberi nasehat kepada umat, maka kami pun harus menulis komentar terhadap buku kedua ini.
Dalam promosinya di toko buku online  mereka menulis:

Read More......

Dasyatnya Istighfar

Dalam kehidupan sehari-hari masalah sangat akrab dalam kehidupan kita. Bentuk nya bermacam-macam. Ada yang kesulitan mendapatkan jodoh. Ada yang diuji Allah SWT dalam mendapatkan pekerjaan. Tidak sedikit yang kehilangan orang yang dicintai baik orang tua, anak atau pasang hidup.

Pada situasi itu biasanya kita merasakan kesedihan mendalam. Dunia terasa mau runtuh, hidup terasa sempit karena kita tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Kita merasa sendirian dalam menjalani kerasnya kehidupan.

Melihat masalah memang tidak ada habisnya. Setiap manusia hidup, Allah SWT akan mengujinya dengan masalah. Itu sudah janji Allah SWT menguji keimanan dan ketangguhan manusia mengarungi samudera kehidupan. Dalam mekanisme itu terjadi seleksi alam. Bagi yang memiliki keimanan kuat, dia akan berusaha bertahan sehingga Allah SWT memberikan jalan. Tapi bagi yang lemah keimanan berdampak frustasi (stress) yang tak jarang berakhir bunuh diri.

Masalah sendiri sangat berkorelasi positif dengan paradigma (sudut pandang). Seorang yang memandang negatif masalah akan berdampak aura negatif. Berbeda ketika kita memandangnya sebagai peluang. Energi negatif berubah menjadi energi positif. Ketakutan berganti timbulnya rasa optimisme.

Allah sendiri sudah menegaskan, salah satu terapi mengatasi masalah adalah istigfar. Allah SWT menjamin, orang yang banyak istigfar tidak akan merugi. Dan janji Allah SWT itu pasti dan tak terbantahkan. Jadi jika anda punya masalah kesulitan mendapatkan rezeki, anak dan kebahagiaan perbanyaklah istigfar. Jaminan itu terlukis indah dalam Al-Qur’an :

Allah berfirman,”Maka aku katakan kepada mereka:”Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS.Nuh: 10-12).

Banyak manusia tidak menyadari kekuatan rahasia yang terkandung dalam istigfar. Istigfar terbatas dimaknai sebagai permohonan ampun atas segala dosa. Pemaknaan ini membuat kita kadang malas beristigfar. Sebagian orang “melupakan” energi besar istigfar sebagai warisan agung Rasulullah SAW.

Rasulullah bersabda, “Sungguh, Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya daripada kegembiraan salah seorang dari kalian yang menemukan ontanya yang hilang di padang pasir.” (HR.Bukhari dan Muslim).

Ya, makna istigfar sebagai penghapus dosa itu benar adanya. Tapi sudut pandang itu terlalu sempit. Cobalah menggali lebih dalam indahnya istigfar. Sebab seandainya masalah itu penyakit, istigfar adalah obat yang mujarab. Jika sudah ada obatnya, gratis pula mengapa kita tidak menikmatinya.

Sungguh penghalang kita terhadap Allah Rabbul Izzati salah satunya adalah kebiasaan bermaksiat. Maksiat membuat rezeki kita terhalang. Maka ketika menjalani proses istigfar, kita diminta memohon ampun, menjauhi maksiat dan meminta kebaikan. Rasulullah bersabda :

Siapa yang banyak beristiqfar, Allah akan membebaskannya dari berbagai kedukaan. akan melapangkannya dari berbagai kesempitan hidup, dan memberinya curahan rejeki dari berbagai arah yang tiada diperkirakan sebelumnya. (HR Ahmad)

Kebaikan banyak macam dan bentuknya. Salah satunya seperti yang diterangkan hadits di atas. Kesempatan mendapatkan rezeki menjadi salah satu bentuk kebaikan. Maka istigfar menjadi solusi dari 1001 masalah kita. Sungguh tak ada ruginya mengikuti jejak Rasulullah SAW yang membiasakan 100x istigfar dalam sehari. Padahal beliau sudah mendapatkan jaminan syurga dan tidak kekurangan harta dunia selama menjalani hidupnya.

Membaca istigfar sama dengan sedekah. Dengan memperbanyak beristigfar, percayalah rezeki kita akan mengalir lancar. Kesedihan hati akan hilang, digantikan kelapangan dada menerima takdir Allah. Tentunya setelah berproses dan berikhtiar (berusaha keras). Dan tahukah anda? Istighfar membuat Allah senang apalagi jika kita menjadikan sebuah rutinitas harian.

Rasulullah bersabda,”Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah akan memberikan kegembiraan dari setiap kesedihannya, dan kelapangan bagi setiap kesempitannya dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangka,”(HR.Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).


Inggar Saputra; Pengurus KAMMI Pusat dan peneliti Institute For Reform Sustainable (Insure)

sumber: eramuslim.com
dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com

Read More......

Ulama Berjuluk “Penghidup Agama”

Oleh: Muhammad Luqmanul Hakim

MALAM sudah larut. Banyak orang-orang yang telah terlelap merangkai mimpi. Namun, ada seorang pemuda yang masih terlihat menikmati bacaannya. Ketika rasa kantuk menyerang, ia sandarkan tubuh dan kepalanya pada buku sebentar, lalu terbangun kembali. Tanpa merebahkan punggungnya di tempat tidur, ia lalu meneruskan aktifitas yang menjadi hobinya, yaitu membaca. Begitu seterusnya, hingga ia menunaikan sholat tahajjud.

Menjelang sholat subuh, ia meraih roti yang ia simpan dan memakannya sebagai sahur yang sekaligus menjadi makan malam serta makan siangnya. Ia sudah terbiasa berpuasa dan makan sekali dalam sehari semalam.

Kemudian pada keesokan harinya, ia semakin “gila” mengejar ilmu. Ia pelajari 12 cabang ilmu pada guru-gurunya. Tak sedikit-pun waktunya yang tersia-sia. Bahkan ketika berjalan pun ia terus mengulang-ulang ilmu yang telah dihafalnya, atau membaca buku yang ditelaahnya.

Itulah sosok Imam Nawawi, ulama yang dalam usia muda sudah menghasilkan karya-karya mendunia. Kitab-kitabnya tersebar di berbagai belahan dunia. Bahkan, sebagian dari kitab-kitab yang ditulisnya masih menjadi rujukan utama di kalangan para penuntut ilmu hingga saat ini, termasuk di berbagai pondok pesantren di Indonesia.

Rihlah Ilmiah

Imam Nawawi bernama lengkap Yahya bin Syarf bin Muriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin Hizaam An-Nawawi Ad-Dimasyqiy. Ia disebut juga sebagai Abu Zakariya, padahal ia tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya. Karena ia belum sempat menikah dan membujang hingga akhir hayatnya. Selain itu, orang-orang memberinya gelar "Muhyiddin" (orang yang menghidupkan agama). Padahal ia tidak menyukai gelar ini. Bahkan diriwayatkan ia pernah berkata: “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.” Ucapan itu tidak akan lahir lain kecuali karena sikap ketawaddu’annya.

Ulama kebanggan umat ini lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus (yang sekarang menjadi ibu kota Suriah) pada bulan Muharram tahun 631 H (1233 M). Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat namanya, yaitu an-Nawawi ad-Dimasyqi.

Sejak kecil Imam Nawawi dikenal sebagai anak yang cerdas dan tidak suka bermain. Pernah suatu ketika ia dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya. Namun ia menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Ia lebih suka menghafalkan Al-Quran daripada memenuhi ajakan teman-temannya. Maka tidak mengherankan, sebelum baligh ia sudah hafal Al-Quran 30 juz.

Ketika Syeikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi, salah satu ulama di zamannya mengetahui hal itu, ia pun mendatangi orang tuanya. Ia berpesan bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Orangtua dan gurunya pun semakin memberikan perhatian lebih kepada Imam Nawawi kecil.

Pada tahun 649 H (1251 M), yaitu ketika usianya mencapai 19 tahun, Imam Nawawi melakukan rihlah ilmiah ke kota damaskus. Di sana ia “mondok” di lembaga pendidikan al-Ruwahiyyah atas beasiswa dari lembaga tersebut. Lembaga pendidikan ini dekat dengan masjid termegah pertama di dunia, yaitu masjid Al-Jami’ Al-Umawy. Di sana ia memulai perjalanannya menuntut ilmu. Ia menghabiskan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu sehingga ilmu pun memberikan kepadanya sebagian darinya.

Guru dan Muridnya

Imam Nawawi memiliki banyak guru dan murid. Guru-gurunya merupakan ulama yang ahli di bidangnya. Sedangkan di antara murid-muridnya banyak yang kemudian menjadi ulama besar.

Dalam bidang fiqih dan ushul fiqih, sang Imam berguru pada Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi (w. 650 H), Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi (w. 654 H), Sallar bin aI-Hasan al-Irbali (w. 670 H), Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’I (w. 672 H), dan Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari (w. 690 H.)

Sementara dalam bidang ilmu hadits, ia berguru pada Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari (w. 661 H), Abdul ’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari (w. 662 H), Khalid bin Yusuf an-Nablusi (w. 663 H), Ibrahim bin ’Isa al-Muradi (w. 668 H), Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi (w.672 H), dan Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi (w. 682 H).

Lalu dalam bidang nahwu dan bahasa, guru-gutrunya adalah Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri (w. 664 H), dan juga al-’Izz al-Maliki.

Adapun murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, , Syamsuddin bin an-Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim dan masih banyak yang lainnya.

Pujian Ulama

Banyak ulama yang memberikan apresiasi tinggi kepada Imam Nawawi. Adz-Dzahabi, misalnya pernah berkata: "Imam Nawawi adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Ia merupakan sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara,' memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai.

Ia tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpakaian indah, makan minum lezat, dan tampil mentereng. Makanannya hanyalah roti dengan lauk seadanya. Pakaiannya adalah pakaian yang sangat sederhana, dan alas tidurnya hanyalah kulit yang disamak. Ia selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Tidak jarang ia mengirimi surat para penguasa yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban amanah kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya.

Adapun Abul Abbas bin Faraj pernah bertutur: "Syeikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas). Tingkatan kedua adalah zuhud. Dan tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar."

Cinta Ilmu

Kalau berbicara tentang kecintaan terhadap ilmu, Imam Nawawi adalah sosok yang bisa dijadikan teladan utama. Atas kecintaannya terhadap ilmu, ia menghindari kenikmatan-kenikmatan duniawi yang secara umum manusia cenderung kepadanya .

Kenikmatan berupa makanan, misalnya. Ia tak mau aktifitas makan mengganggu kegiatan belajarnya. Dalam sehari semalam ia tidak makan kecuali sekali setelah waktu akhir isya' dan tidak minum kecuali sekali pada waktu sahur.

Ia makan roti yang dibawakan oleh ayahnya dari desa Nawa yang dibuat sendiri dan cukup untuk persediaan selama satu minggu. Ia juga tidak pernah memakan kecuali satu macam makanan seperti madu, cuka, atau minyak. Sedangkan daging, Imam Nawawi memakannya sekali dalam sebulan, dan hampir tidak pernah ia memakan makanan dengan dua lauk selama hidupnya. Baginya, makan tidak lain hanyalah untuk sekedar menjaga kesehatan tubuhnya.

Kenikmatan lain yang ia hindari dan lebih memilih belajar adalah tidur. Ia tidak pernah menyengaja tidur. Biasanya ia tertidur ketika sedang membaca buku. Itu pun setelah bangun langsung membaca lagi. Ia pernah berkata, “Apabila kantuk mengalahkan diriku maka aku bersandar pada buku sebentar lalu aku terbangun”.

Pernah suatu ketika, salah seorang temannya datang dengan membawa makanan yang masih ada kulitnya, namun ia tidak bersedia memakannya. Ia berkata, “Saya khawatir tubuh saya lembab sehingga saya tertidur”.

Bahkan, yang membuat orang terkagum-kagum atas kegigihannya dalam menuntut ilmu, yaitu ketika muridnya yang bernama ‘Ala-uddin Ibnill ‘Aththar menuturkan bahwa selama 2 tahun penuh ia tidak merebahkan badannya ke bumi, melainkan tidur bersandar pada bukunya.

Selain itu, kenikmatan lain yang ia hindari adalah menikah. Ia sebenarnya bukan tidak mau menikah apalagi menolak syariat nikah. Bahkan, dalam kitab-kitabnya juga banyak yang menyinggung masalah pernikahan. Hanya saja, ia tidak sempat memikirkannya karena besarnya rasa cinta terhadap ilmu. Oleh karena itu, ketika meninggal pada umur 45 tahun ia tetap membujang.
Karya-karyanya

Imam Nawawi merupakan ulama yang dalam usia muda, yaitu sejak berusia 30, sudah menghasilkan karya besar lintas negara dan lintas zaman. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara dunia Islam.

Di dalam karya-karyanya didapati kemudahan dalam mencernanya, keunggulan dalam argumentasinya, kejelasan dalam kerangka berfikirnya serta keobjektifan dalam memaparkan pendapat-pendapat para fuqaha’.

Di antara karyanya yang berjumlah sekitar 40 tersebut ada yang telah ia selesaikan dan ada pula yang belum terselesaikan. Di antara yang telah terselesaikan adalah kitab al-Arba’in Nawawi, Syarh Shahih Muslim, ar-Raudhah (Raudhatut Thalibin), al-Minhaj, Riyadhus Shalihin, al-Adzkar, at-Tibyan, Tahir Tanbih wa Tashhth, Tahdibul Asma’ wal Lughat, Thabaqatul Fuqaha’ dan lain-lain.

Adapun yang belum terselesaikan – andaikatan ia menyelesaikannya, maka tidak ada yang bisa menandingi kitab tersebut, yakni Syarh Muhadzdzab yang bernama al-Majmu’. Ia baru menyelesaikan sampai bab riba saja. Susunannya bagus dan sangat bermanfaat serta kritis. Dalam kitab tersebut, ia mengupas fiqih madzhab Syafi’i dan yang lainnya, menerangkan hadits dengan baik, menjelaskan kalimat-kalimat asing dan perkara-perkara penting yang hanya dijumpai dalam kitab tersebut”.

Demikianlah profil Imam Nawawi, salah satu ulama kebanggan umat. Ulama yang dalam usia muda sudah menghasilkan karya-karya mendunia. Semoga kita bisa meneladaninya dalam kehidupan kita. Amin.

Penulis sedang mengikuti Program Kaderisasi Ulama (PKU)

sumber: hidayatullah.com
dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com

Read More......

Mari Berhenti Sejenak

Perjalanan hidup ini melelahkan, ya sangat melelahkan. Betapa tidak, di saat idealisme kita dihadapkan pada realita yang beraneka ragam corak dan warnanya, kita harus bertahan karena kita tidak ingin tujuan hidup ita yang jauh ternodai dengan kepentingan sesaat. Ini bukan soal halal atau haram terhadap dunia dengan segala keindahannya, tapi soal menyikapinya agar tidak tergiur dan terpedaya olehnya.

Gambaran ini dapat kita rasakan di saat harus mengatakan “tidak” di hadapan mereka semua yang berkata “iya”. Ketika ramai-ramai orang bicara ini dan itu dengan segala argumentasinya, tuntutan idealisme kita membisikkan kita untuk “diam”, tatkala orang lain menilai bahkan mengecam kita dengan tuduhan ini dan itu, idealisme kitapun hanya mengisyaratkan kita untuk sekedar senyum tanpa kata-kata. Di saat orang beretorika dengan segala keahlian bahasanya, idealisme kitapun hanya meminta kita untuk membaca pikiran di balik pikiran. Dan ketika orang ramai-ramai memperbincangkan dunia dengan segala kenikmatannya, idealisme kitapun hanya mengalunkan satu kata, “qonaah”. Itulah idealisme kita di hadapan mereka.

Terkadang tanpa terasa idealisme kita tergeser lantaran pikiran kita terbawa arus yang kita tidak menyadarinya. Belum lagi kondisi jiwa kita yang terus bergejolak mempengaruhi pikiran kita. Pikiran-pikiran itu selalu datang silih berganti tanpa kenal henti seiring dengan perjalanan hidup ini.

Memang, ini semua kita pahami sebagai sunnah kehidupan. Gelombang dan badai harus dipahami sebagai ladang ujian, problematika hidup merupakan hal tidak bisa dipisahkan dari hidup, pahit getir menjadi bumbu yang harus dirasakan oleh setiap kita, jatuh bangun adalah tangga yang harus dilalui dalam menggapai sebuah cita-cita.

Letih, lelah itulah yang sering kita rasakan, kita sering merasakan kejenuhan, bosan bahkan tidak peduli dengan kondisi. Namun jangan pernah ada perasaan pesimis apalagi putus asa karena di balik semua itu pasti ada sesuatu yang dapat kita jadikan pengalaman yang berarti. Dan yang kita perlukan adalah berhenti sesaat. Berhenti bukan berarti selesai atau sampai di sini. Berhenti untuk merenungi kembali perjalanan yang telah kita lalui, berhenti untuk memompa kembali semangat beramal, berhenti untuk mencas batrei keimanan kita agar tidak redup.

Kita butuh waktu untuk melihat kondisi jiwa kita agar tetap stabil dan tahan dalam menghadapi segalanya. Kita terkadang lupa bahwa ada yang harus kita tengok dalam diri kita, “ruhiyah” kita. Kondisi ruhiyah kita yang selalu membutuhkan suasana yang teduh, tenang sehingga ia menjadi kekuatan yang akan melindungi jiwa kita dari berbagai rintangan yang akan menghalangi kita. Kita memerlukan nuansa ruhiyah yang nyaman agar dapat berpikir jernih dan tetap semangat menjalani hidup ini. Kita butuh ketegaran jiwa dalam menghadapi hiruk pikuk hidup.

Inilah yang senantiasa diajarkan oleh Muadz bin Jabal Radiyallahu Anhu kepada sahabatnya dengan ungkapannya yang menyejukkan hati “mari duduk sesaat untuk beriman”. Berhenti sejenak untuk menengok kembali kondisi keimanan agar tetap terjaga. Karena segala yang kita alami dalam hidup harus dihadapi dan bukan lari darinya, ingatlah bahwa lari dari masalah tidak akan menyelesaikan masalah itu, bisa jadi justru akan menambah masalah baru. Memperbaharui keimanan akan membawa kita untuk memahami hakekat hidup ini dengan segala problematikanya. Mari kita sempatkan untuk selalu memperbaharui keimanan kita ditengah kesibukan dan hiruk pikuk kehidupan.[abuthalhah.wordpress.com]

Tulisan Ustadz Muh. Ihsan Zainuddin, Lc.M.Si.

dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com

Read More......

Wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Adalah Musibah Terbesar

…….Karena sesungguhnya seseorang dari umatku tidak akan ditimpa musibah yang lebih besar dari pada musibah atas wafatnya diriku.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma dan Sabith al-Jumahi radhiyallahu ‘anhu mereka berkata:”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Apabila salah seorang di antara kalian ditimpa musibah, maka hendaknya ia mengingat musibah yang ia alami dengan (wafatnya) diriku. Karena sesungguhnya wafatku adalah musibah yang paling besar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, ad-Darimi dan lainnya. Hadits ini shahih dengan dukungan/penguat hadits-hadits yang lainnya sebagaimana disebutkan dalam ash-Shahihah no.1106)

Melalui hadits di atas, jelaslah bagi kita bahwa wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah musibah terbesaryang telah terjadi dan akan terus dialami oleh seluruh ummat Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta kita untuk mengingat kembali atas wafat dan kepergian beliau pada saat kita mengalami musibah, karena dengan cara demikianlah segala musibah yang kita alami akan terasa ringan.

Tidak seorang pun kekasih, orang yang kita cintai, kerabat, atau sahabat pergi meninggalkan kita, melainkan hati kita akan merasakan sakit dan pilu karena berpisah dengannya. Namun, pernahkah kita merasakan hal tersebut pada saat kita merasakan kepergian dan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?

Bagaimana seandainya seseorang kehilangan seluruh anggotakeluarganya? Saat itu hatinya terasa terbakar dan pilu, dan air matanya melahirkan kesedihan. Lalu, tidak lama kemudian ia menikah lagi, dan beberapa tahun setelah itu salah seorang anaknya (dari istri kedua) meninggal kedua. Bagaimana kiranya kesedihan dan kepiluan hatinya jika dibandingkan dengan musibah pertamanya? Bukankah kesedihan tersebut terasa lebih ringan dan musibah yang ia hadapi terlihat lebih kecil?

Demikianlah seharusnya kita menghibur diri kita tiap kalli diuji dengan musibah, yaitu dengan mengingat musibah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berpesan kepada kita dengan sabdanya:

“Wahai sekalian manusia, barang siapa di antara kalian-atau di antara orang-orang yang beriman- ditimpa musibah, maka hendaklah ia menghibur dirinya dengan mengingat musibah wafatku, dibandingkan dengan musibah lain yang menimpa dirinya. Karena sesungguhnya seseorang dari umatku tidak akan ditikpa musibah yang lebih besar dari pada musibah atas wafatnya diriku. (HR. Ibnu Majah, dai ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Shahih Sunan Ibnu Majah no.1300)

Seandainya kita merenungi kalimat فليتعز (hendaknya dia menghibur diri), niscaya kita akan menemukan obat dan penyembuhan padanya, dan sesungguhnya kalimat tersebut adalah rangkaian huruf-huruf yang dapat mengobati jiwa yang sedang duka. Bagaimana seandainya seseorang kehilangan kedua orang tua tercintanya dalam sebuah kecelakaan mobil, misalnya? Bukankah dampak dari musibah tersebut akan terus ada dalam hatinya sepanjang masa? Bagaimana seandainya ia kehilangan ibunya atau istrinya atau anaknya? Lalu, bagaimana dengan diri kita yang telah ditimpa musibah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam namun kita tidak merasakannya?

Sesungguhnya musibah ini harus dianggap sebagai musibah yang besar, terlebih setelah kita mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, hingga aku lebih ia cintai daripada anaknya, bapaknya dan manusianya.” (HR.al-Bukhari no.15 dan Muslim no. 44)

Seolah-olah makna yang nampak dari redaksi di atas adalah:”Tidaklah sempurna keimanan seseorang di antara kalian hingga musibah wafatnya diriku menjadi lebih besar baginya daripada musibah yang menimpa dirinya karena kehilangan anaknya, kedua orang tuanya atau manusia seluruhnnya”.

Di manakah rasa sedih itu kini berada? Dan di manakah-Demi Rabb kalian- kedukaan itu kini bersemayam? Begitulah seharusnya perasaan seorang Mukmin sejati. Sesungguhnya penulis melihat bahwa kepergian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah salah satu musibah dalam agama. Siapa pun yang pergi meninggalkan Anda, sesungguhnya semua itu lebih ringan bila dubandingkan dengan kehilangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Bersabarlah atas setiap musibah, dan tegarlah…
ketahuilah sesungguhnya tiap jiwa tidak akan abadi…
jika engkau ingin menghibur dirimu dengan sebuah musibah…
maka ingatlah musibahmu atas wafatnya Nabi…

Pernahkan engkau kehilangan ibu? Apakah engkau selalu ingat saat ia wafat –yaitu ketika engkau meratapinya- bahwa ia telah mengeluarkanmu dari gelapnya alam rahim kepada terangnya dunia, dan ia telah memelihara sertya merawat dirimu?

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyelamatkan dirimu –melalui dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam- dari gelapnya kesesatan menuju cahaya petunjuk/hidayah dan tauhid. Dan hal ini –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala- merupakan pertolongan begimu agar selamat dari kehidupan yang kekal di Neraka. Apakah dengan air susu ibumu, kasih saying juga kelembutannya engkau dapat terselamatkan dari kehidupan yang kekal di Neraka?

Demi Allah, seandainya saya (penulis) mempunyai seribu orang ibu yang menyayangi dan mengasihi seperti halnya ibu kandung saya sendiri, kemudian mereka semua meninggal dunia dalam satu hari yang sama, niscaya kesedihanku atas kepergian mereka tidak akan melebihi kesedihanku atas wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Apakah engkau pernah kehilangan seorang anak? Apakah tangisanmu atas kepergiannya semakin menjadi-jadi ketika engkau teringat kepada bantuan dan pertolonganya, serta kasih saying dan baktinya? Sebesar apapun semua itu, namun ia tidak akan dapat mencapai apa yang telah dipersembahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala- membuat kita dapat masuk Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, dan di dalamnya kita akan hidup abadi serta memperoleh segala kenikmatan.

Kita memperoleh kebahagiaan dengan adanya bantuan anak-anak kita dan kasih sayang mereka pada tahun-tahun yang lalu. Akan tetapi, kenikmatan Surga itu tidak ada batas dan akhirnya. Lalu tidakkah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih berhak membuat kita sedih dibandingkan dengan kematian orang selain beliau? Bukankah hal itu lebih pantas untuk kita ingat dari pada mengenang mereka yang telah meninggalkan kita, baik anak-anak, keturunan, maupun orang-orang yang kita cintai?


(Sumber: Musibah Terbesar Ummat Islam, hal:9-17 oleh: Husain bin ‘Audah al-‘Awisyah, Pustaka Imam Syafi’i. Disadur oleh Abu Yusuf Sujono)

dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com

Read More......

Ternyata Dia Memang “Bidadari”,… Subhaanallaah!!!

“Subhanallah… aku tak mengira bahwa kau adalah bidadari yang diturunkan Allah untukku. Allah menurunkanmu bukan untuk kumiliki, tetapi

Hari ini ia sengaja datang ke kampus lebih pagi. Selain karena tak ingin terlambat di kuliah pertama, ia ada janji bertemu dengan Ustdz. Faridz di musholla kampus. Dia tegakkan dua rakaat shalat Tahiyatul Masjid, disusul dengan 4 rakaat shalat Dluha. Lalu dia tengadahkan tangan melantunkan doa. Dia menyambung ibadah paginya dengan tilawah tartil sambil menunggu Ustdz. datang. Seorang kawan menghampirinya. Dia tutup tilawahnya setelah menyelesaikan satu pojok.

“Assalamualaikum Akh Ilham…” sapa sang kawan ramah.
“Waalikumussalam warahmatullah… apa kabar akhi?” jawabnya sambil tak lupa bertanya kabar.

“Alhamdulillah ana bikhoiir… antum sendiri gimana? Kabarnya udah siap nikah nih…” mata sang kawan mengerling menggodanya. Dia cuma tersenyum, tak berniat menanggapi gurauannya.
“Akh, di sini ada bidadari.”

Bidadari? Darahnya berdesir. Ah, bidadari, kesannya indah.

“Sini, ana tunjukkan orangnya. Ini akhwat luar biasa, anak kedokteran, prestasinya brilian, aktivis kampus, ketua pembinaan dan kaderisasi akhwat, akhlaknya mengagumkan, ibadahnya tak diragukan. Dia pembina adik ane. Cocok banget sama antum!” kawannya menjelaskan panjang lebar, membuatnya penasaran.

Lalu, telunjuknya mengarah ke sosok seorang akhwat. Tak lama, yang dibilang bidadari itu sudah terlihat jelas.

“Masya Allah… itu yang dibilang bidadari? Mana ada bidadari hitam legam? Yang kubaca dalam Ibnu Katsir, bidadari itu cantik sekali, kulitnya putih transparan seperti putih telur. Eh, mana ada di dunia yang begitu ya.. paling ga, kuning langsatlah. Masa black begitu. Black sweet sih masih banyak yang mau, ini aku belum lihat sweetnya.” Dia menggerutu dalam hati. Tak berminat meneruskan percakapan.

“Akh, ane ke perpustakaan dulu yaa.. bidadari itu, buat antum aja.” Dia berpamitan.
“lho… sama ane mah ga sekufu akh!”
“Ya udah, assalamualaikum.” Ilham beranjak meninggalkan kawannya. Baru beberapa langkah, seorang marbot memanggilnya. Dan menyerahkan amplop putih titipan dari Ustdz. Faridz. Ustdz tidak bisa datang, makanya amplop itu ia titipkan.

“Hmm… ini biodata akhwat yang dijanjikan Ustdz.” langkahnya mantap menuju perpustakaan, tempat paling aman untuk membuka dan membaca biodatanya.

Dia duduk di sana, mengatur nafasnya yang terengah, bukan karena capek, tapi sibuk menahan deburan dalam dada. Perlahan dia membuka amplop itu, sengaja ia tinggalkan selembar foto di dalamnya, dia akan melihatnya nanti.

“Bismillahirrahmaanirrahiim… “ dia kuatkan hati membaca susunan huruf demi huruf dalam biodata. “Akhwat luar biasa, usianya, dua tahun dibawahku, lumayan, lebih muda. Pendidikan, kedokteran umum XX (sedang koas), Alhamdulillah… ayah dan ummi pasti senang sekali. Sepertinya pas untukku.” Gumannya bahagia. Dia berbunga-bunga. Lalu, diambilnya selembar foto di dalam amplop, ah… sebentar, biar kutenangkan diri… Bismillah…

Ah… kenapa akhwat ini?? Keluhnya. Bunga-bunga yang tadi bermekaran luruh satu persatu, beterbangan diterpa angin. Lunglai tubuhnya seolah tak bertenaga. Sesak memenuhi rongga dada.

Kenapa akhwat ini yang disodorkan padaku? Dia kembali mengeluh. Terbayang kembali akhwat berkulit legam dan sama sekali tidak cantik menurut ukurannya. “Semoga ia bukan jodohku..” doanya lancang. Ustadz… masa sih nyariin aku kayak gini? Kalau kayak gini sih.. aku juga bisa nyari sendiri. Congkak mulai merasuk.

Dikeluarkannya selembar foto. Foto diri yang sangat dibanggakan. Dia menatap mata elang yang mengagumkan. Hidung yang mancung, bentuk muka yang menawan. “Apakah salah jika aku menginginkan akhwat sholihah yang cantik?” Dia mendesah resah.

Dia Memang Bidadari

Ilham berusaha menyerahkan semua keputusan pada Allah. Ia akan berikhtiar dengan wajar dan berdoa dengan kesungguhan. Walau ia belum punya kemantapan namun ia akan mengosongkan perasaan buruk di hatinya. Ia akan berangkat dengan perasaan netral. Ia ingin semua langkah dimulai dengan kebersihan hati, kelurusan niat, ketergantungan yang besar pada Allah, dan kesungguhan ikhtiar. Ia tak ingin mengedepankan nafsu apalagi diiringi segala penyakit yang mengusamkan kalbu.

Taaruf yang ia jalani, bersama ukhti Dede —–nama akhwat yang disodorkan Ustdz. Faridz—– sangat wajar dan biasa saja. Ia didampingi Ustdz. Faridz, sedangkan Dede didampingi istri beliau. Komunikasi berjalan dengan baik, penyatuan persepsi lancar, pengungkapan kondisi keluarga dan latar belakangnya juga lancar.

Ilham merasakan ada yang menarik hatinya. Wajah berkulit hitam itu memendarkan cahaya. Benar kata adiknya, jika berbicara sedap dipandang dan didengar. Inilah relativitas kecantikan, meski ada kecantikan yang diakui semua orang.

Ilham sempat deg-degan dan merasa was-was ikhtiarnya akan gagal ketika orangtua Dede mengujinya.

“Abah sudah dengar tentang kebaikan akhlak dan aktivitasmu. Sekarang Abah ingin mendengar langsung bacaan Quranmu. Abah tak akan menyerahkan putri Abah pada seseorang yang tidak bagus bacaan Qurannya.” Begitulah ujiannya. Alhamdulillah semua lancar dan ia diterima meski banyak catatan.

Hingga tibalah waktu yang dinanti. Hari ini seharusnya Ilham dan keluarganya datang untuk mengkhitbah Dede. Hari ini seharusnya rombongan berangkat dengan wajah berseri. Namun, Allah membuat rencana yang sangat berbeda. Ilham yang semalam penuh diliputi senyum simpul, kini banyak menunduk dan beristighfar.

Sungguh siapa sangka, lamaran kali ini gagal. Dede, sang aktivis dakwah yang telah menjual diri dan jiwanya untuk berjihad fii sabiilillah, pulang ke rumah orang tuanya, bukan untuk dilamar, melainkan untuk dimakamkan.

Takdir Allah terjadi atasnya. Selama ini ia giat berdakwah di sebuah desa tertinggal. Desa yang dahulu nyaris kehilangan keislamannya, bergairah kembali dengan pembinaan rutin dari Dede dan kawan-kawannya. Rupanya, hal itu tidak disenangi oleh misionaris yang selama ini hampir berhasil memurtadkan penduduk desa itu.

Dia dibunuh, dalam perjalanannya sepulang dari baksos di desa itu. Dan ia dibunuh, karena mempertahankan akidahnya. Karena mereka tidak berhasil memaksanya untuk menukar keyakinannya dan meninggalkan aktivitas dakwahnya.

Ilham tercenung menatap tanah merah basah di pekuburan itu. Di dalamnya bersemayam jasad sang mujahidah. Bidadari yang hendak disuntingnya. Semilir angin menghembuskan wangi kesturi, wangi para syuhada.

Dalam desahnya ia bergumam,

“Kau ternyata wanita agung. Kau lebih mulia daripada bidadari. Seorang Ilham tak diizinkan Allah untuk sekedar mengkhitbahmu, apalagi memilikimu. Maafkan aku, yang dulu sempat sombong terhadapmu.” Wajahnya tertunduk dalam.

“Subhanallah… aku tak mengira bahwa kau adalah bidadari yang diturunkan Allah untukku. Allah menurunkanmu bukan untuk kumiliki, tetapi untuk menegurku dari segala kesombongan.”

Gumamnya penuh penyesalan.

Kiriman dari Lembaga Muslimah Wahdah Bandung

dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com

Read More......

Dunia, Membunuh Siapapun yang Mempersuntingnya

Tatkala Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah diangkat menjadi khalifah, beliau meminta nasihat kepada Imam ahlul Bashrah, Hasan Al-Bashri.

Maka Hasan memberi nasihat melalui surat yang berbunyi,

“Ketahuilah, semoga Allah memeberi taufik kepada Anda, bahwa berfikir akan menuntun Anda pada kebaikan dan mengamalkannya. Menyesal atas perbuatan buruk mendorong Anda untuk meninggalkannya. Sesuatu yang fana sekalipun banyak, tak dapat mengimbangi sesuatu yang kekal. Menanggung derita sesaat tapi berakhir dengan bahagia selamanya, adalah lebih baik dari bersenang-senang sementara, namun berakhir dengan kesengsaraan selamanya. Waspadalah terhadap kampung dunia yang mematikan, menipu dan memperdayakan diri ini, yang berhias dengan kepalsuan, mencari mangsa dengan tipu daya dan membinasakan setiap orang yang tergila-gila kepadanya dan rindu untuk meminangnya. Dunia seakan menjelma menjadi permaisuri impian. Tatapan mata tertuju kepadanya, jiwa gandrung terhadapnya, hati takluk dan bertekuk lutut dihadapannya. Padahal, dunia akan menikam dan membunuh siapapun yang mempersuntingnya.”

Sumber : Majalah Ar Risalah Edisi 70 Th.VI

dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com

Read More......

Empat Nasib Manusia

Dilihat dari segi nasib, bahagia atau sengsara saat di dunia dan di akhirat, manusia akan mengalami salah satu dari empat nasib; bahagia di dunia-bahagia di akhirat, sengsara di dunia-bahagia di akhirat, bahagia di dunia-sengsara di akhirat dan sengsara di dunia-sengsara pula di akhirat.

Sebelum keempat nasib ini dirinci, perlu dicatat bahwa“bahagia di dunia” yang dimaksud bukanlah kebahagiaan hakiki berupa kebahagiaan dan ketenangan ruhani karena berada di bawah naungan ridha ilahi. Tapi yang dimaksud adalah kebahagiaan yang oleh kebanyakan orang dipersepsikan sebagai kebahagiaan; harta melimpah, hidup nan serba mudah dan musibah yang seakan-akan enggan untuk singgah.

Nah sekarang mari kita rinci satu persatu.

Bahagia di dunia-bahagia di akhirat

Nasib yang paling diidamkan semua orang. Semboyan “kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya mati masuk surga” menjadi puncak khayalan yang diinginkan manusia. Tapi benarkah ada orang yang di dunia kaya dan saat di akhirat beruntung mendapat Jannah-Nya? Tentu saja ada. Itulah orang yang mendapat fadhlullah, anugerah istimewa dari Allah.

Dalam sebuah hadits yang cukup panjang, diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa suatu ketika para shahabat yang ekonominya lemah mengadu pada Nabi tentang rasa iri mereka terhadap shahabat lain yang kaya. Yang kaya bisa infak banyak tapi juga melakukan ibadah yang sama dengan yang mereka lakukan saban hari. Lalu Nabi mengajarkan dzikir-dzikir yang dapat mengimbangi pahala infak. Tapi ternyata shahabat yang kaya juga mendengar dzikir ini lalu mengamalkannya. Saat dikomplain, Nabi SAW menjawab, “ Itulah anugerah Allah yang akan diberikan kepada siapapun yang dikehendaki.”

Itulah anugerah Allah. Allah membagi rezeki sesuai kehendak-Nya. Ada yang sedikit ada yang banyak. Sebagian orang ada yang dikarunia rezeki melimpah, hidupnya pun serba mudah. Namun begitu, ternyata semua itu tidak memalingkannya dari cahaya hidayah. Harta yang dikaruniakan gunakan untuk membangun rel yang memuluskan jalan mereka menuju jannah. Rel-rel yang dibangun adalah besi-besi berkualitas dari infak fi sabilillah, sedekah kepada fakir miskin dan yatim dan berbagai proyek amal jariyah. Lebih daripada itu, harta itu juga digunakan untuk membeli berbagai fasilitas yang dapat membantu meraup ilmu mulai dari buku hingga biaya untuk belajar kepada para guru. Kesehatan dan kemudahan hidup digunakan untuk meningkatkan kualitas ibadah dan pengabdian kepada Allah.

Dengan semua ini, insyaallah, kebahagiaan yang lebih abadi di akhirat telah menanti. Kalau sudah begini, manusia semacam ini memang sulit ditandingi. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki.

Sengsara di dunia-bahagia di akhirat

Ini nasib kebanyakan orang-orang beriman. Kehidupan di dunia bagi mereka seringnya menjadi camp pelatihan untuk menempa iman. Kesulitan hidup berupa sempitnya kran rezeki memicu munculnya ujian-ujian kehidupan seperti tak terpenuhinya kebutuhan logistik, pendidikan, sandang dan papan. Atau kesulitan hidup berupa kekurangan dalam hal fisik; buta, bisu, buntung, lumpuh dan sebagainya.Dera dan cobaan yang kerapkali menguras airmata dan menggoreskan kesedihan dalam jiwa.

Namun begitu, iman mereka menuntun agar bersabar menghadapi semua dan tetap berada di jalan-Nya. Dan pada akhirnya, selain iman yang meningkat, semua kesengsaraan itu akan diganti dengan kebahagiaan yang berlipat. Rasa sakit, sedih dan ketidaknyamanan hati seorang mukmin akan menjadi penebus dosa dan atau meningkatkan derajat. Sedang di akhirat, hilangnya dosa berarti hilangnya halangan menuju kebahagiaandi dalam jannah dengan keindahannya yang memikat. Dan tingginya derajat keimanan adalah jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan kemuliaan di akhirat.

Allah berfirman:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadam, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al Baqarah:155-157)

Bahagia di dunia-sengsara di akhirat

Kalau yang ini adalah gambaran rata-rata kehidupan orang-orang kafir dan manusia durhaka. Sebagian mereka bergelimang harta, hidup mewah dan dihujani kenikmatan-kenikmatan melimpah. Bukan lain karena mereka bebas mencari harta, tanpa peduli mana halal mana haram.Sebagian yang lain barangkali tidak mendapatkan yang semisal. Tapi mereka mendapatkan kebebasan dalam hidup karena merasa tidak terikat dengan aturan apapun. Aturan yang mereka patuhi hanya satu “boleh asal mau atau tidak malu”.

Merekalah yang menjadikan dunia sebagai surga dan berharap atau bahkan yakin bahwa yang Mahakuasa akan memaklumi kedurhakaan dan kelalaian mereka dari perintah-Nya, lalu memasukkan mereka ke jannah-Nya. Padahal sejak di dunia mereka telah diperingatkan:

“Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. 31:24)

Sengsara di dunia sengsara di akhirat.

Inilah orang paling celaka dalam sejarah kehidupan manusia, dunia akhirat. Di dunia hidup miskin, susah payah mencari sesuap nasi dan hutang menumpuk karena usaha selalu tekor hingga hidup pun tak nyaman karena diburu-buru debt kolektor.Atau hidup dalam keterbatasan karena cacat di badan dan masih ditambah ekonomi yang pas-pasan. Dan dengan semua itu, mereka tidak memiliki harapan untuk hidup bahagia di akhirat meski hanya seujung jari, karena iman sama sekali tidak tumbuh dalam hati. Di penghujung hidup mereka mati dalam kondisi kafir, menolak beriman kepada Rabbul Izzati.

Dan di akhirat, neraka yang menyala-nyala telah menanti. Karena ketiadaan iman, mereka tidak akan mendapatkan belas kasihan. Hukuman akan tetap dijalankan karena di dunia mereka telah diperingatkan. Na’udzu billah, semoga kita terhindar dari keburukan ini.

Padahal yang didunia sempat merasakan kesenangan saja, apabila dicelupkan ke dalam neraka, akan musnah semua rasa yang pernah dicecapnya. Lantas bagaimana dengan yang sengsara di dunia dan berakhir dengan siksa di neraka?

عَامِلَةٌنَّاصِبَةٌ {3} تَصْلَىنَارًاحَامِيَةً

“Bekerja keras lagi kepayahan, -sedang di akhirat- memasuki api yang sangat panas (QS. Al Ghasiyah:3-4)

Kita masih bisa memilih

Dari keempat kondisi di atas, sebisanya kita tempatkan diri kita pada yang pertama. Caranya dengan sungguh-sungguh bekerja agar kehidupan dunia sukses dan mulia. Bersamaan dengan itu, kesuksesan itu kita gunakan untuk membeli kebahagiaan yang jauh lebih kekal di akhirat. Jika tidak bisa, pilihan kita hanya tinggal kondisi kedua karena yang ketiga hakikatnya sama-sama celaka dengan yang dibawahnya. Meskipun hidup di dunia kita harus berkawan dengan sengsara, tapi dengan iman di dada kita masih layak tersenyum karena harapan itu masih ada. Harapan agar dimasukkan ke dalam jannah yang serba mewah, atas ijin dan ridha dari Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.Wallahua’lam bishawab, wa astaghfirullaha ‘ala kulli khati`ah. (taufikanwar)

sumber: http://abuthalhah.wordpress.com/2011/07/15/empat-nasib-manusia/


dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com

Read More......

Fluktuasi Keimanan

Sebab-sebab bertambahnya keimanan

Di antara hal-hal yang akan menumbuhsuburkan keimanan dan membuat batangnya kokoh serta menyebabkan tunas-tunasnya bersemi adalah :

Pertama
Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena apabila pengetahuan hamba terhadap Tuhannya semakin dalam dan berhasil membuahkan berbagai konsekuensi yang diharapkan maka pastilah keimanan, rasa cinta dan pengagungan dirinya kepada Allah juga akan semakin meningkat dan menguat.

Kedua
Merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun ayat syar’iyah. Karena apabila seorang hamba terus menerus memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah beserta kemahakuasaan-Nya dan hikmah-Nya yang sangat elok itu maka tidak syak lagi niscaya keimanan dan keyakinannya akan semakin bertambah kuat.

Ketiga
Senantiasa berbuat ketaatan demi mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Karena sesungguhnya pasang surut keimanan itu juga tergantung pada kebaikan, jenis dan jumlah amalan. Apabila suatu amal memiliki nilai lebih baik di sisi Allah maka peningkatan iman yang dihasilkan darinya juga akan semakin besar. Sedangkan standar kebaikan amal itu diukur dengan keikhlasan dan konsistensi untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dilihat dari sisi jenis amalan, maka amal itu terbagi menjadi amal yang wajib dan amal sunnah. Sedangkan amal wajib tentu lebih utama daripada amal sunnah apabil ditinjau dari jenisnya. Begitu pula ada sebagian amal ketaatan lebih ditekankan daripada amal yang lainnya. Sehingga apabila suatu ketaatan termasuk jenis ketaatan yang lebih utama maka niscaya pertambahan iman yang diperoleh darinya juga semakin besar. Demikian pula iman akan mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah/kuantitas amalan. Karena amal itu adalah bagian dari iman maka bertambahnya amal tentu saja akan berakibat bertambahnya keimanan.


Keempat
Meninggalkan kemaksiatan karena merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila keinginan dan faktor pendukung untuk melakukan suatu perbuatan atau ucapan maksiat semakin kuat pada diri seseorang maka meninggalkannya ketika itu akan memiliki dampak yang sangat besar dalam memperkuat dan meningkatkan kualitas iman di dalam dirinya. Karena kemampuannya untuk meninggalkan maksiat itu menunjukkan kekuatan iman serta ketegaran hatinya untuk tetap mengedepankan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya daripada keinginan hawa nafsunya. (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 104-105)

Sebab-sebab berkurangnya keimanan
Di antara sebab-sebab yang bisa menyebabkan keimanan seorang hamba menjadi turun dan surut atau bahkan menjadi hilang dan lenyap adalah sebagai berikut :

Pertama
Bodoh tentang Allah ta’ala, tidak mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya

Kedua
Lalai dan memalingkan diri dari rambu-rambu agama, tidak memperhatikan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat kauni maupun syar’i. Sesungguhnya kelalaian dan sikap tidak mau tahu semacam itu pasti akan membuat hati menjadi sakit atau bahkan mati karena belitan syubhat dan jeratan syahwat yang merasuki hati dan sekujur tubuhnya.

Ketiga
Berbuat atau mengutarakan ucapan maksiat. Oleh karena itulah iman akan turun, melemah dan surut sebanding dengan tingkatan maksiat, jenisnya, kondisi hati orang yang melakukannya serta kekuatan faktor pendorongnya. Iman akan banyak sekali berkurang dan menjadi sangat lemah apabila seorang hamba terjerumus dalam dosa besar, jauh lebih parah dan lebih mengenaskan daripada apabila dia terjerembab dalam dosa kecil. Berkurangnya keimanan karena kejahatan membunuh tentu lebih besar daripada akibat mengambil harta orang. Sebagaimana iman akan lebih banyak berkurang dan lebih lemah karena dua buah maksiat daripada akibat melakukan satu maksiat. Demikianlah seterusnya. Dan apabila seorang hamba yang bermaksiat menyimpan perasaan meremehkan atau menyepelekan dosa di dalam hatinya serta diiringi rasa takut kepada Allah yang sangat minim maka tentu saja pengurangan dan keruntuhan iman yang ditimbulkan juga semakin besar dan semakin berbahaya apabila dibandingkan dengan maksiat yang dilakukan oleh orang yang masih menyimpan rasa takut kepada Allah tetapi tidak mampu menguasai diri untuk tidak melakukan maksiat. Dan apabila dilihat dari sisi kekuatan faktor pendorong yang dimiliki orang maka penyusutan iman yang terjadipun berbeda. Apabila suatu maksiat terjadi pada diri orang yang faktor pendorongnya semakin lemah atau semakin kecil maka penurunan iman yang ditimbulkannya juga akan semakin besar, semakin parah dan lebih tercela daripada orang yang bermaksiat tapi memang padanya terdapat faktor pendorong yang lebih kuat dan lebih besar. Oleh sebab itulah orang miskin yang sombong dan orang tua bangka yang berzina dosanya lebih besar daripada dosa orang kaya yang sombong dan perbuatan zina seorang yang masih muda. Hal itu sebagaimana dikisahkan di dalam hadits, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak akan diperhatikan oleh-Nya pada hari kiamat.” Dan di antara mereka itu adalah orang tua beruban yang berzina dan orang miskin yang sombong.

Keempat
Meninggalkan ketaatan, baik berupa keyakinan, ucapan maupun amalan fisik. Sebab iman akan semakin banyak berkurang apabila ketaatan yang ditinggalkan juga semakin besar. Apabila nilai suatu ketaatan semakin penting dan semakin prinsip maka meninggalkannya pun akan mengakibatkan penyusutan dan keruntuhan iman yang semakin besar dan mengerikan. Bahkan terkadang dengan meninggalkannya bisa membuat pelakunya kehilangan iman secara total, sebagaimana orang yang meninggalkan shalat sama sekali. Perlu diperhatikan pula bahwa meninggalkan ketaatan itu terbagi menjadi dua. Pertama, ada yang menyebabkan hukuman atau siksa yaitu apabila yang ditinggalkan adalah berupa kewajiban dan tidak ada alasan yang hak untuk meninggalkannya. Kedua, sesuatu yang tidak akan mendatangkan hukuman dan siksa karena meninggalkannya, seperti : meninggalkan kewajiban karena udzur syar’i (berdasarkan ketentuan agama) atau hissi (berdasarkan sebab yang terindera), atau tidak melakukan amal yang hukumnya mustahab/sunnah. Contoh untuk orang yang meninggalkan kewajiban karena udzur syar’i atau hissi adalah perempuan yang tidak shalat karena haidh. Sedangkan contoh orang yang meninggalkan amal mustahab/sunnah adalah orang yang tidak mengerjakan shalat Dhuha (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 105-106)

Sumber : http://abumushlih.com/fluktuasi-keimanan.html/

dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com

Read More......

Ganasnya Minoritas Kafir Terhadap Muslimin

Penjajah Belanda yang beragama Kristen, dan mereka itu adalah minoritas di Nusantara, terbukti telah bercokol mencengkeramkan kuku-kukunya di Nusantara selama 350-an tahun dengan aneka pelanggaran dan pemerkosaan hak-hak sipil. Berapa ribu ulama yang telah dibantai dengan cara diadu domba. Contohnya, di zaman Amangkurat I, pengganti Sultan Agung di Kerajaan Mataram Islam, di Jogjakarta, Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan Belanda, lalu para ulama tidak setuju, maka dikumpulkanlah para ulama itu di alun-alun (lapangan) sejumlah 5.000-an ulama, lalu dibantai. Sejarahnya sebagai berikut:

Amangkurat I membantai ribuan ulama

Pembantaian terhadap umat Islam kadang bukan hanya menimpa umat secara umum, namun justru inti umat yang dibantai, yaitu para ulama. Pembantaian yang diarahkan kepada ulama itu di antaranya oleh Amangkurat I, penerus Sultan Agung, raja Mataram Islam di Jawa, tahun 1646.

Peristiwa itu bisa kita simak sebagai berikut:

‘Penyebaran Islam menjadi benar-benar terhambat dan sekaligus merupakan sejarah paling hitam tatkala Amangkurat I mengumpulkan 5000 sampai 6000 orang ulama seluruh Jawa dan membunuhnya seluruhnya secara serentak.’[1]

Masalah ini ditegaskan lagi oleh Sjamsudduha pada halaman lain: ‘Penyebaran Islam pernah mengalami hambatan yang bersifat politis, yaitu adanya pergolakan intern dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hambatan yang paling hebat dalam proses penyebaran Islam terjadi ketika Amangkurat I melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap lima sampai enam ribu ulama dan keluarganya. Penyebaran Islam di Jawa mengalami stagnasi untuk beberapa lama karena kehabisan muballigh, dan perasaan takut.’[2]

Dibantainya lima ribu sampai enam ribu ulama itu adalah masalah yang sangat besar. Sumber yang lain menyebutkan:

‘Amangkurat I, juga terkenal dengan nama Amangkurat Tegal Arum atau Tegal Wangi (karena mangkat di tempat tersebut) ialah putera Sultan Agung; naik tahta Mataram (1645) sebagai pengganti ayahnya. Berlainan dengan Sultan Agung yang bijaksana, Amangkurat I pada waktu hidupnya membuat beberapa kesalahan dan sebagai tanda kelemahan ia mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kompeni Belanda (1646). Tindakannnya ini ditentang oleh beberapa golongan, di antaranya para alim ulama, sehingga mereka ini disuruh bunuh.’[3]

Peristiwa besar berupa pembantaian terhadap ribuan ulama itu tidak terjadi kecuali di belakangnya ada penjajah Belanda yang menyetir Amangkurat I.

Penjajah Belanda itu jumlahnya sedikit, minoritas, tetapi memegang kendali kepemimpinan, terbukti memainkan peran jahatnya terhadap inti umat Islam yaitu membantai ribuan ulama. Kelompok minoritas itu sampai membantai yang mayoritas saja tidak takut, apalagi kejahatan-kejahatan lainnya.


Di Zaman penjajahan menyusu penjajah, zaman merdeka bertingkah

Berikut ini sebagian data kejahatan minoritas kafir penjajah Belanda terhadap umat Islam dalam hal memberi dana sangat besar kepada Kristen dan Katolik, sebaliknya sangat kecil terhadap Islam.

Semenjak masa pemerintah kolonial Belanda, Katolik terutama Protestan memperoleh dana bantuan yang besar sekali, tidak demi­kian dengan Islam. Sebagai contoh pada tahun 1927 alokasi bantuan untuk modal dalam rangka pengembangan agama, adalah sebagai berikut:

Protestan memperoleh € 31.000.000

Katolik memperoleh € 10.080.000

Islam memperoleh € 80.000.[4]

Dana besar dari penjajah Belanda itu digunakan oleh orang Kristen dan Katolik untuk membangun gedung-gedung, sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Sedang ummat Islam tidak punya uang. Pada gilirannya, anak-anak orang kafirin itu telah makan sekolahan sedang anak-anak Muslimin belum, kecuali sedikit, maka ketika merdeka, orang-orang kafirin Nasrani itu masuk ke pos-pos pemer­intahan di mana-mana. Padahal mereka itu ogah-ogahan untuk merde­ka, lebih enak menyusu pada penjajah sesama kafir. Jadi, yang berjuang mengorbankan nyawa dan harta untuk melawan penjajah kafir itu orang Islam, namun ketika merdeka, penyusu Belanda itu justru yang leha-leha duduk di kursi-kursi pemerintahan.

Keadaan itu makin didukung oleh sikap pemerintahan Soekarno yang bersama PKI (Partai Komunis Indonesia) mempecundangi ummat Islam. Senjata ampuh Soekarno dan PKI adalah istilah DI (Darul Islam) yang harus dihabisi sampai seakar-akarnya. Di situ kafirin Nasrani bersorak kegirangan karena ummat Islam dikuyo-kuyo (dipecundangi, disengsarakan). Di masa Soeharto berkuasa 32 tahun pun ummat Islam dikuyo-kuyo lagi oleh Soharto, Ali Moertopo, Benny Moerdani, Sudomo (sebelum masuk Islam) dengan tunggangan Golkar. Sampai hanya untuk bicara agama saja harus pakai SIM (Surat Izin Muballigh). Dan ummat Islam banyak dibantai di mana- mana, di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng Jabar dan sebagainya. Lagi-lagi kafirin Nasrani bersorak sorai.

Mereka yang sorak sorai –selama umat Islam dibantai, dikuyo-kuyo dan didhalimi– itu kini diusulkan oleh Dawam Rahardjo (pembela aliran-aliran sesat yang merusak Islam seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Sepilis –sekulerisme, pluralisme agama, dan liberalisme— dan semacamnya) untuk memimpin Departemen Agama. Padahal diadakannya Departemen Agama itu sendiri menurut sejarahnya adalah hadiah bagi umat Islam, karena para ulama dan umat Islam telah berjuang mati-matian untuk meraih kemerdekaan.

Bagaimana kira-kira kalau usulan Dawam Rahardjo itu terlaksana?

Kalau toh penyengsaraan terhadap umat Islam tidak sampai tingkat pembantaian, maka seandainya dari kalangan Kristen memimpin Departemen Agama, lakon nenek moyangnya dalam ideology dan agama, yaitu penjajah Belanda, bisa diterapkan pula. Yaitu dana untuk Nasrani 41 juta Gulden, sedang untuk Islam hanya 80 ribu Gulden saja.

Tidak usah jauh-jauh ke zaman Belanda, di saat pemerintahan Orde Baru pimpinan presiden Soeharto, ketika Benny Moerdani yang Nasrani itu dijadikan Menteri Pertahanan dan Keamanan/ Panglima Angkatan Bersenjata, ternyata ratusan umat Islam dibantai di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 12 September 1984. Diperkirakan ratusan Muslimin dibantai, diangkut bertruck-truck entah ke mana dikuburkannya, tak jelas.

Kemudian ketika TB Silalahi dari Nasrani pula dijadikan Menteri Aparatur Negara, maka membuat kebijakan yang mengarah pada pembunuhan madrasah-madrasah sore hari, dengan cara menambah lama bersekolah di sekolah-sekolah umum sampai agak sore, sehingga mengakibatkan rontoknya madrasah-madrasah sore hari. Masih pula ditambah dengan menghapus pengadaan guru-buru negeri untuk sekolah swasta, yang artinya adalah membunuh madrasah-madrasah (swasta) se-Indonesia. Hingga kini setelah tahun 2000 pun dampaknya makin memprihatinkan. Madrasah-madrasah (swasta) mengalami koleps, rata-rata dalam keadaan megap-megap, karena kekuarangan guru. Untuk seluruh Indonesia diperkirakan butuh 200.000-an guru madrasah, dan khabarnya sampai sekarang kalau Departemen Agama RI mengajukan kepada pemerintah untuk mengadakan tenaga guru itu senantiasa ditolak, kecuali sangat sedikit. Sebaliknya, TB Silalahi walau sudah tak jadi menteri masih aktif dalam kenasraniannya secara nasional, misalnya jadi ketua panitia natalan tingkat nasional, yang mampu menggiring para pejabat Muslim sampai tingkat presiden untuk hadir di upacara bernatalan ria, satu hal yang telah diharamkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi umat Islam. Seakan fatwa MUI itu dianggap angin lalu oleh para pejabat Muslim. Padahal, mereka (pejabat-pejabat Muslim) itu ketika sebelum naik jabatan biasanya mendekat-dekat kepada umat Islam, paling kurang dengan cara hadir di masjid-masjid,guna meraih simpati umat Islam, misalnya. Terkutuklah mereka. Agama dijadikan alat untuk meraih jabatan.

Betapa bedanya antara pejabat yang Muslim dengan yang kafir. Kalau pejabat kafir, sampai sudah tidak menjabat pun masih gigih menjajakan kekafirannya, seperti menjadi panitia upacara nasional kekafiran mereka, dan mampu menggiring pejabat yang masih aktif untuk hadir di acara kekafiran mereka. Sebaliknya, pejabat-pejabat Muslim, ketika masih menjabat saja sudah lupa terhadap Islam dan umat Islam. Justru biasanya mereka ikut-ikutan ke acara-acara kafir. Kemudian setelah mereka tidak punya jabatan lagi, baru sebagian mendekat-dekat lagi ke umat Islam, tetapi sudah tidak ada daya apa-apa, hanya sekadar mengisi waktu menunggu umur. Itu saja sering-sering hanya berfungsi untuk mengendur-ngendurkan perjuangan Islam, dengan alasan persatuan dan kesatuan, misalnya; lalu cenderung ke pluralisme agama, menyamakan semua agama, atau paling tidak ya sekuler. Yang nampak di permukaan biasanya seperti itu, bila kebetulan tidak tersangkut perkara korupsi dan semacamnya yang mengakibatkan sakit atau malahan meninggal sebelum sempat diadili.

Kalau ketika jadi pejabat dikenal galak, atau pelit, atau lebih dari itu justru tukang peras, biasanya ketika pensiun, mereka minggat, menjauh dari tempat semula. Entah dengan cara membeli tanah di kompleks yang suasananya dianggap aman, atau sekadar ndompleng ke anak atau menantu, bila perlu. Perkara nasib mereka di akherat seperti apa, itu urusan Allah subhanahu wata’ala terhadap mereka. Kalau di dunia sudah banyak mendhalimi manusia, bahkan agama Allah subhanahu wata’ala, maka betapa ngerinya. Maka mumpung masih hidup, sebaiknya bertaubat, memperbanyak amal sholih, ikhlas lillahi Ta’ala, agar husnul khotimah.

Kembali kepada sikap Dawam Rahardjo, perlu diingatkan mengenai kegigigihan orang kafir tersebut. Yang telah dikemukakan itu tadi, orang-orang Nasrani sampai sebegitu jauhnya dalam memecundangi Islam dan umat Islam. Padahal mereka itu tidak langsung memegang jabatan yang berkaitan dengan agama Islam. Bagaimana pula seandainya mereka yang Nasrani itu menjadi menteri agama? Tidak jadi menteri agama saja, terbukti pencelakaan terhadap umat Islam sudah sedemikian drastisnya. Lha kok Dawam Rahardjo yang dijuluki sebagai cendekiawan Muslim malahan sama sekali buta terhadap lakon jahat orang Nasrani yang telah ditusukkan kepada umat Islam se-Indonesia, padahal jelas-jelas di depan mata.

Sebaiknya Dawam Rahardjo membuka mata, melihat sejarah, agar ada sedikit gambaran tentang betapa mengenaskannya (memprihatinkannya) kondisi umat Islam akibat disengsarakan oleh kelompok minoritas anti Islam.

Kembali ke kekejaman Belanda (minoritas tapi menjajah) dalam membunuhi umat Islam. Peristiwa Perang Paderi selama 13 tahun (1824-1837M), antara Islam (Salaf)[5] yang dipimpin Imam Bonjol dan kaum adat (Islam tradisional) di Sumatera Barat dicampur tangani Belanda. Belanda memihak kaum adat. Kaum adat berdebat sesamanya. Sebagian kaum adat memihak ke Imam Bonjol, dan sebagian menyerah terhadap Belanda. Lalu Imam Bonjol sendiri ditipu oleh Belanda dengan cara pura-pura akan diadakan perdamaian, namun hanya menipu untuk menangkapnya, kemudian membuangnya ke Betawi, ke Cianjur Jawa Barat, lalu ditahan di Ambon, dipindah ke Menado, dan wafat di sana setelah 10 tahun di Menado, 6 November 1864.[6]

Belum lagi perang Aceh, Belanda dengan dipanas-panasi oleh penasihatnya, Snouck Hurgronje bahwa satu-satunya jalan hanyalah berlaku keras terhadap para ulama dan umat Islam, lalu dibantailah para ulama di Aceh, beserta umat Islam.



Sikap Snouck terhadap Islam, Ulama, dan Muslimin

Fakta sejarah menunjukkan kedustaan Snaouck Hurgronje dan rencana penyamarannya bukan tidak mungkin menunjukkan bahwa masuk Islamnya di Jeddah serta hubungannya dengan orang-orang Aceh di Mekkah al-Mukarramah pun termasuk perbuatan pura-puranya. Namun, dusta tersebut telah memberinya jalan memasuki daerah Aceh, tempat dia akan mengumpulkan informasi-informasi yang dapat memberi saham dalam mewujudkan pemecahan masalah atas daerah Aceh bagi Belanda. Untuk itu Snouck Hurgronje menerima pekerjaan di Batavia.

Di Batavia, dia mulai mengumpulkan informasi tentang pengajaran Islam di sekolah-sekolah Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta tentang apa yang dinamakan hierarki keagamaan Islam yang berkali-kali disangkal keberadaannya oleh Snouck Hurgronje. Pada dasarnya, Snouck benar karena di dalam Islam tidak dikenal sistem hierarki sebagaimana dalam Katolik atau Kristen pada umumnya. Kemudian datang perintah untuknya agar melaksanakan tugas resmi yang telah digambarkan dalam rekomendasi-rekomendasi sebagai sesuatu yang sangat rahasia. Dalam perjalanan mata-matanya itu, orang-orang Aceh, termasuk beberapa ulama, menaruh kepercayaan penuh kepadanya. Mereka memberi sambutan hangat dan menerima kedatangannya. Laporan-laporannya (kepada pemerintah Belanda, pen) berisi kebencian, dendam, pemutarbalikan, dan kebohongan, khususnya terhadap para ulama yang dianggap sebagai kendala penghambat tunduknya daerah Aceh kepada pemerintah Belanda. Para ulama merupakan motor penggerak spitritual masyarakat dalam membela daerah itu sehingga di dalam laporan-laporan spionasenya, para ulama itu berpuluh-puluh kali dijuluki gerombolan ulama. Selain itu, diapun menyampaikan usul kepada pemerintah kolonial untuk menempuh cara politik kekerasan dan penumpasan terhadap para ulama dengan menyatakan:

“Sesungguhnya musuh utama dan yang giat adalah para ulama dan para petualang yang menyusun gerombolan-gerombolan yang kuat. Sekalipun jumlah mereka sedikit dan tumbuh di antara lapisan-lapisan masyarakat yang bermacam-macam, mereka mendapat tambahan dari sebagian penduduk dan pemimpin-pemimpinnya. Tidak mungkin akan diperoleh manfaat dalam perundingan dengan partai musuh ini karena akidah dan kepentingan pribadi mereka mengharuskan mereka untuk tidak tunduk, kecuali dengan penggunaan kekerasan terhadap mereka. Sesungguhnya persyaratan yang paling mendasar untuk mengembalikan peraturan di daerah Aceh haruslah mengkaunter para ulama dengan kekerasan sehingga ‘ketakutan’ menjadi faktor yang menghalangi orang-orang Aceh untuk bergabung dengan pemimpin-pemimpin gerombolan agar terhindar dari bahaya. Menurut pendapat saya, mesti dipersiapkan rencana mata-mata yang efektif dan terorganisasi untuk memata-matai Tuanku Kuta Karang (pemimpin ulama pada tahun 1892) dan gerombolannya. Pasti akan ada hasil awalnya. Biarpun saya tidak mampu menjelaskan seluruh rinciannya, namun saya berani berkata bahwa pekerjaan mata-mata itu adalah suatu kemungkinan.” [7]

Demikianlah faktanya. Snouck telah melibatkan dirinya untuk kepentingan penjajahan dengan bukti pernyataan dan laporannya kepada Jendral Van Houts untuk memerangi kaum muslimin di seluruh wilayah jajahan Belanda. Dengan kata lain ia mengusulkan untuk menggunakan kekerasan dalam menumpas kaum muslimin. Karena itu Jendral tadi mendapat julukan “pedang Snouck yang ampuh” karena keberhasilannya dalam memerangi umat Islam.

Di samping itu Snouck Hurgronye juga banyak membantu dalam pembinaan kader missionaris Belanda dan membuka sekolahan untuk mengkristenkan muslimin di seluruh wilayah jajahannya.

Terdapat fakta lain pula bahwa seorang tokoh missionaris kondang dan sangat disegani di kalangan kaum orientalis yang bernama Hendrick Kraemer adalah murid Snouck Hurgronje, dari tahun 1921 hingga tahun 1935. Hubungan di antara guru dan murid terus berkesinambungan tanpa putus. Snouck Hurgronje wafat pada tahun 1936.[8]

Dr Van Koningsveled berkata: “Tidak terputus surat menyurat antara Snouck Hurgronje dan muridnya, Hendrik Kraemer, misisionaris terkenal dan berpengaruh dalam lingkungan aktivis kristenisasi dari tahun 1921 sampai dengan 1935. Menurut penjelasan Boland, buku Hendrik Kraemer, Misi Kristen di Dunia Non Kristen[9] mengungkapkan dengan jelas bahwa orang-orang Kristen mempunyai rencana untuk mengkristenkan dunia, khususnya Indonesia. Mereka bertujuan menundukkan dunia Islam.[10] Bahkan, Kreamer membandingkan Islam dengan Nazi.[11]


Zaman merdeka, minoritas pun membantai umat Islam

Bahkan di zaman merdeka dan setelah tahun 2000 pun Indonesia yang mayoritas Muslim ini, kaum minoritas membantai umat Islam di Poso Sulawesi, juga di Ambon. Tibo, otak pembantaian terhadap umat Islam di Poso, dikabarakan mengaku didoakan oleh gereja ketika mau melakukan pembantaian itu.[12] Majalah Sabili No 22, Th XIII, 18 Mei 2006/ 20 Rabi’ul Akhir 1427H memberitakan sebagai berikut:

Gereja acap kali disebut-sebut dalam berbagai kerusuhan di tanah air. Keterlibatan gereja pula yang disebut tervonis mati Tibo baru-baru ini.

Menjelang eksekusi mati, panglima pasukan Merah saat konflik Poso berkecamuk beberapa waktu lalu ini, mengungkap keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). GKST pimpinan pendeta Damanik yang berpusat di Tentena ini, menurut Tibo terlibat dalam pembantaian umat Islam Poso.

Menurut Tibo, (pihak gereja) GKST memberikan dukungan moril dan lainnya kepada pasukan Merah yang hendak menyerang kaum Muslimin Poso. Bahkan, lanjut Tibo, para pendeta mendoakan mereka dengan upacara ala Kristen di Gereja tersebut.

Hasilnya? Sebuah tragedy kemanusiaan yang di luar batas kewajaran manusia. Pembantaian dan penganiayaan terhadap umat Islam secara biadab telah dilakukan pasukan Merah. Fakta ini terungkap dari keterangan sejumlah saksi saat persidangan Tibo beberapa waktu yang lalu.

Kesadisan pasukan Kelelawar pimpinan Tibo terhadap kaum Muslimin terungkap di persidangan. Menurut salah satu saksi, pembina pesantren Walisongo Poso, Ustadz Ilham, ia melihat rekannya dibacok pasukan Merah pimpinan Tibo, sebelum ia nekad loncat dari mobil dan meloloskan diri.

Sebelumnya, Ustadz Ilham bersama 28 orang lainnya disuruh buka baju. Selanjutnya tangan diikat satu persatu dengan sabut kelapa, tali nilon dan kabel. Kemudian digiring lewat hutan tembus desa Lempomawu. Rombongan Ustadz Ilham berjalan ke desa Ranononco dan ditampung di sebuah baruga.

Di sanalah mereka disiksa dalam keadaan berbanjar dua barisan. Selanjutnya ikatan tangan ditambah sampai bersusun tiga. Badan Ustadz Ilham diiris, ditendang dan dipukul dengan berbagai alat. Tak puas dengan itu, mereka menyirami umat Islam dengan air panas selama dua jam.

Kebringasan pasukan Merah itu juga diungkap saksi lainnya, Tuminah. Menurut kesaksian Tuminah, pasukan Merah mengikat mereka dengan tali dan memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Di bilik sebuah sekolah, Dominggus meminta para Muslimah melepas bajunya dan disuruh berputar-putar di depannya.

Jauh sebelumnya, keterlibatan Gereja juga disebut-sebut saat penyerangan kaum Kristen terhadap umat Islam Maluku di akhir tahun 1999. Sehari setelah Natal, Ahad (26/12 1999), dengan amat tiba-tiba, massa Kristen menyerang dan membantai kaum Muslimin di Kecamatan Tobelo, Maluku Utara.

Seorang saksi menceritakan, pembantaian yang menyayat hati umat Islam tersebut. Menurut ceritanya, sebelum penyerangan biadab itu terdengar suara lonceng Gereja saling bersahutan serta suara gaduh tiang listrik, bak pertanda kesiapan untuk menyerang.

Seketika, massa Kristen yang membawa berbagai senjata tajam sudah mengepung dan membombardir Masjid Jami’ tempat berlindungnya ribuan kaum Muslimin. Masjid Jami’pun diguyur bensin dan dengan cepat api menjilat tembok-temboknya.

Jerit tangis anak-anak kecil bayi yang kepanasan dan istighfar para Muslimah terdengar bersahut-sahutan. Yang mencoba keluar masjid langsung dibantai. Kurang lebih 750 orang kaum Muslimin yang berada di dalam masjid tersebut terbakar hidup-hidup, hingga mengeluarkan aroma daging terbakar.[13]

Sejumlah pihak pun mensinyalir keterlibatan Gereja di sejumlah daerah konflik lainnya. Sebut misalnya, kerusuhan Timor Timur (saat masih masuk wilayah Indonesia). Ketika itu, kepala Kanwil Departemen Agama di Timor Timur seorang Katolik. Ternyata karyawannya yang beragama Islam, hanya mau berkhutbah Jum’at di masjid saja dilarang oleh Kakanwilnya yang Katolik itu. Pengakuan karyawan Kanwil Departemen Agama Timor Timur bahwa dirinya dilarang oleh Kakanwilnya untuk berkhutbah di masjid itu penulis dengar langsung ketika penulis bersama rombongan wartawan Islam dari Jakarta berada di Dilly Timor Timur, waktu masih jadi wilayah Indonesia. Nah, kalau menteri agamanya dari Katolik atau Kristen, jenis-jenis pembantaian terhadap umat Islam dan pelarangan-pelarangan khutbah di masjid-masjid bagi karyawan Departemen Agama, apakah tidak dilancarkan, bahkan digalakkan? Dawam Rahardjo perlu berpikir ulang, kalau memang masih mengaku Muslim, atau berpikiran obyektif.


Tirani minoritas

Apakah itu tidak pernah terdengar di telinga seorang professor yang menyandang gelar cendekiawan Muslim seperti Dawam Rahardjo? Sedang tidur di mana dia? Selain itu, apakah tidak pernah mendengar bahwa dalam perpolitikan di Indonesia selama masa Orde baru di bawah rezim Soeharto, dalam tempo 25 tahun dari 32 tahun kekuasaannya sering diistilahkan adanya tirani minoritas, lantaran kebijakan Soeharto mengikuti pihak minoritas dengan CSIS-nya dan di bidang kekuasaan adalah Benny Murdani-nya? Kemudian setelah ada kerenggangan antara Benny dan Soeharto, lantas terjadilah aneka kerusuhan di daerah-daerah Indonesia bagian timur yang di sana campur antara Muslim dan Kristiani, maka umat Islam dibantai, dibakari rumahnya, tokonya, dan bahkan masjid-masjidnya seperti yang terjadi di Timor Timur, Flores dan lainnya. Apakah Dawam tak pernah dengar? Bagaimana ketika pegawai Departemen Agama saja tidak boleh khutbah di masjid oleh atasannya ketika atasannya orang Katolik seperti yang terjadi di Timor Timur, padahal secara penduduk Indonesia, Katolik adalah minoritas. Apakah Dawam tak pernah dengar? Bagaimana misalnya menteri agamanya itu orang Kristen, lalu melarang pegawai Departemen Agama berkhutbah di masjid, sebagaimana Kepala Kanwil Depag Timor Timur waktu masih jadi wilayah Indonesia melarang pegawainya berkhutbah di masjid yang sudah ada, bahkan untuk didirikan musholla saja sulit di sana? Masih banyak lagi tentunya.

Bukan hanya di wilayah yang banyak orang Kristennya. Di zaman Soeharto, saat berlangsung tirani minoritas, maka pencekalan terhadap khotib-khotib dan muballigh pun berlangsung, hingga ada istilah SIM (Surat Izin Muballigh). Daftar apa yang disebut muballigh-muballigh ekstrim pun beredar. Hingga muballigh digagalkan untuk berkhutbah hari raya seperti Pak Dr Deliar Noer yang digagalkan hingga masuk berita di Koran pun, Dawam tentunya dengar. Kenapa? Karena umat Islam dikuyo-kuyo oleh kebijakan yang memihak pada minoritas Kristen.

Nah, sekarang ini, rupanya Dawam justru menjadikan dirinya rela, suka ria, menjadi orang yang tidak perlu ditekan-tekan oleh minoritas Kristen, justru mencadangkan diri untuk di bagian depan sebagai orang yang rela untuk ditepuki oleh orang Kristen. Makin ramai tepuk sorak orang Kristen, makin bersemangatlah Dawam. Padahal, nanti kalau meninggal dunia, Pak Dawam apakah akan dirumat oleh orang Kristen? Apakah yang memandikan, mengkafani, mensholati, dan memasukkan ke liang kubur nanti diharapkan dari orang-orang Kristen? Dan misalnya masih percaya terhadap doa, apakah lebih baik yang mendoakan mayat Dawam nanti orang Kristen dengan nyanyian-nyanyian kemusyrikannya?

Kalau Dawam Rahardjo istiqomah dengan pendapatnya, maka logika yang dapat dipetik: Lebih baik nanti yang merawat jenazah saya adalah dari pihak yang minoritas, misalnya Kristen. Karena mereka yang minoritas itu nanti tidak akan berani sewenang-wenang terhadap jasad saya. Berbeda dengan kalau yang merawat sampai menguburkan jasad saya itu dari pihak yang mayoritas, yakni kaum Muslimin, mereka pasti akan berbuat sewenang-wenang, karena merasa mayoritas, dan tidak dapat dikontrol dalam hal merawat jasad saya. Jadi saya lebih memilih untuk dirawat oleh orang Kristen dari proses perawatan jenazah saya sampai penguburannya. Kalau dapat, justru yang paling minoritas, yaitu orang yang tidak beragamalah yang harus merawat sampai menguburkan jenazah saya. Karena kalau yang paling minoritas, maka tidak mungkin akan berani untuk berbuat sewenang-wenang terhadap jasad saya. Berbeda dengan kalau yang mayoritas. Jadi saya lebih memilih untuk dirawat jenazah saya oleh orang yang tidak beragama, daripada yang beragama.” Itu logika yang pas dari ungkapan-ungkapan Dawam Rahardjo yang telah terlontar sebelumnya, bila dirangkaikan dengan kematiannya, kapan-kapan. (haji).




[1] Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam- Katolik- Protestan di Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1987, halaman 119.



[2] Ibid, halaman 167.



[3] Prof. Mr, AG. Pringgodigdo –Hassan Shadily MA, Ensiklopedi Umum, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1977, halaman 45.



[4] Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam – Katolik- Protestan di Indonesia,_Usaha Nasional Indonesia, cet II, 1987, hal 129.



[5] Sebelum Imam Bonjol datang dari Makkah, sudah berlangsung pemurnian Islam di Minangkabau menjelang akhir abad 18, dengan dibereskannya tarikat-tarikat Syatariyah dan sebagainya ke arah lebih mengikuti syara’. Lalu datanglah Imam Bonjol dan tokoh-tokoh yang baru pulang dari Makkah dan mengikuti manhaj salaf, sesuai dengan Islam yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diwarisi para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan diteruskan ilmunya serta penyebarannya oleh para ulama. Kaum Padri (pimpinan Imam Bonjol) itu mengganti penghulu-penghulu adat dengan qodhi (hakim agama) dan imam. Dengan ini, Imam Bonjol dan jama’ahnya mengubah system social adat. Tapi ini hanya berlangsung 3 tahun. (Sistem Imam Bonjol tentunya system Islam, hukum waris ya cara Islam. Sayangnya, hanya berlangsung 3 tahun, kembali ke adat lagi. Sampai buku ini ditulis, tahun 2006, walaupun masyarakat Sumatera Barat atau Minangkabau itu beragama Islam, tetapi dalam hal warisan harta orang yang meninggal dunia, memakai cara adat, khabarnya, tidak memakai hukum Islam).

Sesudah 3 tahun itu imam tetap ada, tetapi yang berkuasa adalah penghulu adat, bukan imam. Tahun 1827, Belanda mulai ikut-ikutan campur tangan. Imam Bonjol mengajak para penghulu adat untuk menentukan sikap. Tetapi para penghulu adat berdebat sesamanya, ada yang mau perang, ada yang mau menyerah. Imam Bonjol akhirnya pergi – dia tidak kuasa…

Lalu Belanda menipu Imam Bonjol dengan liciknya, yaitu diajak berunding, tetapi ditangkap, 29 Oktober 1837, lalu diasingkan. Mula-mula di Bukittinggi, lalu Cianjur, Ambon, dan Manado. (Lihat Leksikon Islam, Pustaka Azet Perkasa, Jakarta 1988, jilid 2, halaman 561).



[6] (lihat Ensiklopedi Umum, Pringgodigdo, 1977, halaman 444).



[7] K. Van de Maaten, Snouck Hurgronje en de Atjeh Oorlog, Leiden, 1948, hal 95, dikutip Dr Qasim Assamurai, Al-Istisyraqu bainal Maudhu’iyati wal Ifti’aliyah, terjemahan Prof. Dr Syuhudi Isma’il dkk, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, GIP, Jakarta, cetakan pertama 1417H/ 1996M, hal 158.



[8] Dr Ahmad Abdul Hamid Ghurab, ru’yah Islamiyyah lil Istisyraq, terjemahan AM Basalamah, Menyingkap Tabir Orientalisme, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, I, 1992, hal 97-98.



[9] Hendrik Kraemer, the Crisitian Message in a non-Christian World, London, 1938, edisi kedua, 1947.





[10] B.J Boland, the Strugle of Islam in Modern Indonesia’s Gravenhage, 1970, hal 236, dikutip Qasim Assamurai hal 164.



[11] Kraemer, op cit, hal 353, bandingkan Boland, op cit, hal 240, no 146, dikutip Qasim, ibid, hal 164.



[12] To:insistnet@yahoogroups.com

From:”Syahril”
Date:Wed, 12 Apr 2006 17:43:32 +0700

Subject:[INSISTS] Fw: Tibo pahlawan HAM?



dr milis sebelah..,



nc



—– Original Message —–



Sent: Wednesday, April 12, 2006 9:35 AM

Subject: Re: Tibo pahlawan HAM?





Saya juga sungguh bingung dan geram dengan perkembangan kasus Tibo yang semakin tidak jelas dan menjauh dari konteks.

Saya melihat media, baik media cetak maupun elektronik berperan sangat besar dalam membuat kasus tibo menjauh dari substansinya.

Sebagian besar media jelas sekali menutup mata dan tidak mau peduli atas fakta-fakta yang menunjukan bahwa “trio pembantai” ini — Tibo, Da Silva, dan Marianus Riwu, jelas-jelas terlibat dalam pembantaian ratusan Santri di Poso, mereka bertiga bahkan berperan sebagai pimpinan dari pasukan kelelawar hitam, pasukan kelompok merah yang memobilisasi pembantaian terhadap ratusan santri di Poso.

Membaca artikel Kompas beberapa hari lalu, saya sungguh geram dan bingung. Bagaimana tidak ? dalam artikel itu,Tibo dikesankan sebagai seorang yang religius dan tak berdosa, sang wartawan sama sekali tidak menyentuh peran Tibo dalam kasus Pembantaian di Poso. Reaksi dari sebagian kecil masyarakat yang meminta pembatalan hukuman mati terhadap Tibo Cs, diexpose secara besar-besaran baik di Koran maupun TV, sementara reaksi dukungan masyarakat agar Tibo segera dieksekusi sama sekali tak ditayangkan. Apakah seperti yang namanya Cover Both sides? Media juga terlihat menerapkan diskriminasi dan standar ganda dalam memberitakan Kasus Tibo Cs, dan Amrozi Cs.

Standar Ganda dan diskriminasi dalam melihat permasalahan hukum ternyata juga diterapkan oleh “para aktivis kemanusiaan” dan para pakar hukum di negeri ini.Mereka — aktivis manusia dan praktisi hukum– seperti kebakaran jenggot ketika ditetapkannya keputusan agar Tibo Cs dieksekusi mati, belasan artikel mereka tulis di koran-koran tentang penentangan pelaksanaan hukuman Mati di negeri ini, mereka bilang Hukuman Mati adalah warisan dari Zaman Jahiliah, tetapi kemana suara mereka ketika keputusan hukuman mati dijatuhkan kepada Imam Samudra Cs???

Sungguh semua hal di negeri ini sudah terbolak-balik, bahkan kepada media, aktivis kemanusiaan, dan para pakar hukumpun saya sudah tak percaya lagi.

Banyak contoh dan fakta bahwa Media sering berat sebelah dalam memberitakan sesuatu, banyak fakta juga yang menunjukan kapan para aktivis kemanusiaan akan berteriak keras dan kapan mereka akan bungkam seribu bahasa. Hal yang sama juga terjadi pada para pakar hukum.

Di negeri ini semuanya Anomali, Jika Mayoritas Islam yang jadi korban itu bukan masalah, media diam, aktivis kemanusiaan bungkam, pakar hukum tutup mulut, tetapi jika Minoritas sedikit saja jadi korban, maka media akan bersuara kencang, aktivis kemanusiaan akan berteriak keras : Ini melanggar HAM!, sementara para aktivis hukum akan bertindak layaknya pahlawan pembela kebenaran, Hahahhaaa

Sungguh dagelan seperti ini memilukan buat saya..



[13] Majalah SabiliNo 22, Th XIII, 18 Mei 2006/ 20 Rabi’ul Akhir 1427H, halaman 20-21.

dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com

Read More......

Menjebak dan Memerangkap Umat Islam

(Menjegal Umat dan Menggembosi Buku-buku Islam)

Oleh Hartono Ahmad Jaiz*

Semakin semaraknya Islam di masyarakat Indonesia bahkan di negeri-negeri Barat terutama Inggris, tampaknya menjadikan sibuknya pihak-pihak yang tidak suka. Namun ketidaksukaannya itu diperkirakan akan menuai kegagalan bila dilakukan dengan cara-cara kekerasan seperti yang sudah-sudah. Bahkan disikapi dengan ketidak sukaan secara mencolok saja sudah mendapatkan reaksi berat, hingga diperkirakan gagal.

Perhitungan semacam itu agaknya dicarikan jalan keluar untuk mewujudkan ketidak sukaan terhadap Islam, hanya saja dengan cara-cara yang halus, tidak tampak nyata, namun hasilnya dapat dicapai. Dan kalau kelihatan mencolok, maka buru-buru ditutupi, agar kesannya bukan dari pihak-pihak yang tidak suka terhadap Islam, namun biar terkesan bahwa “penjegalan” itu dari pihak yang “islami” sendiri, bahkan tokoh atau panutan.

Bagaimanapun halusnya cara untuk menjegal Islam, namun lantaran Islam ini milik Allah Ta’ala, maka tetap saja akan menimpa pelakunya. Baik itu yang merekayasa ataupun orang yang terjebak dalam perangkap rekayasa. Baik itu dia sadar maupun tidak. Karena Allah Ta’ala telah menjelaskan:

وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ [آل عمران/54]

Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali ‘Imran: 54).

وَمَكَرُوا مَكْرًا وَمَكَرْنَا مَكْرًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ [النمل/50]

Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari. (QS An-Naml/ 27: 50).

(Maaf, beberapa alenia berikut ini mungkin kurang dapat ditangkap alur cerita kasusnya –kecuali bagi yang faham—karena kami mementingkan pesannya, bukan alur ceritanya. Mohon dimaklumi).

Satu contoh kecil, siapa yang nyana, begitu enaknya mewajibkan apa yang disebut “halal bi halal” di televisi satu, da’i sak miliun umat sampai kebablasan. Dia berkata, kurang lebihnya: Lha kalau sedikit-sedikit dibilang bid’ah, ya silakan naik unta saja ke mana-mana. Karena motor itu juga bid’ah.

Weleh-weleh, qadarullah, hanya dalam jangka sekitar satu pekan dari berjumpalitan (berjungkir balik) tentang masalah gawat dalam Islam yakni bid’ah namun dia sepelekan begitu saja secara serampangan, langsung kontan mak bruk petutuk (tiba-tiba) ada yang memutar lagu lama yang konon dia “pengarangnya”, yakni lagu dangdut Aida… aida.. aida…

Keruan saja dia kemungkinan gulung koming . Hingga dikejar-kejar media infotainment yang doyanannya masalah lagu dangdut, biduannya, dan juga “pengarang lagunya”, yakni yang dituduh adalah penjumpalit masalah bid’ah itu.

Lagu dangdut Aida tampaknya bukan lagi menghibur “pengarangnya” namun justru “mewajibkan” dia minta maaf kepada penyanyi dangdut Aida itu atau pilih islah. Rupanya baru terdengar bid’ah baru, ada istilah islah antara penyanyi lagu dangdut berjudul Aida dengan “pengarang lagunya” yakni penjumpalit itu. Atau dengan kata lain, rupanya ada ciptaan baru dimasuk-masukkan ke Islam, hingga ada “istilah” islah (perdamaian) berkaitan dengan tingkah maksiat.

Memangnya ada islah dalam hal maksiat kepada Allah?

Kalau ini benar terjadi maksiatnya, dan kemudian dilakukan pula apa yang disebut islah, maka benar-benar ada bid’ah baru, yakni islah dalam bermaksiat.

Enak tenan! Agama kok dipermainkan!

Kasus itu perlu dijadikan pelajaran oleh siapa saja, terutama yang gigih membela bid’ah di mana-mana. Allah Ta’ala sama sekali tidak luput dari aneka tingkah polah manusia, apalagi yang sengaja melawan aturan yang telah disampaikan Rasul-Nya, bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, dan setiap kesesatan itu adalah dalam neraka.

Para juru dakwah biasa mengucapkan lafal itu dalam bahasa Arabnya, berupa nash hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun dalam prakteknya, ada yang lain di bibir lain di hati dan praktek pengamalan. Bahkan kelainannya itu sampai ada yang “bengak-bengok” (teriak-teriak) lewat pidato yang disiarkan radio dan semacamnya: jangan dengar kan itu radio anu, itu berbahaya.

Yang disebut radio anu itu padahal biasa-biasa saja, hanya berisi bacaan Al-Qur’an, pengajian berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunnah alias hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan pemahaman para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tetapi dianggapnya akan mengancam eksistensi bid’ah yang mereka jalani selama ini, yang memang tidak pernah dijalankan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, tabi’in, tabi’it tabi’ien dan para ulama Ahlus Sunnah. Namun jadi “makanan” harian orang-orang banyak, dan dipertahankan. Ketika ada yang menda’wahi bahwa itu tidak sesuai dengan apa yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka disikapi dengan mencak-mencak. Sampai-sampai yang merasa dirinya jagoan dan dijuluki da’I semiliun ummat kemudian berani menyiarkan, kalau sedikit-sedikit dibilang bid’ah, maka harusnya naik unta saja ke mana-mana, karena motor juga bid’ah. Lha dalah… akibatnya justru dia terkena bid’ah bikinan baru dia pula yakni “mewajibkan” apa yang disebut “halal bi halal” lalu kejeblos adanya lagu lama “dangdut Aida” yang dia sebut diputar ulang lagi, dan dia “wajib” islah itu.

***

Saudara-saudaraku, maaf, mungkin kata-kataku ini kurang enak. Tetapi ini lantaran sayang. Yang terpenting adalah isinya, sebenarnya untuk mengemukakan agar kita ini sadar. Penyadaran terhadap saudaranya sendiri, kadang dengan penampilan yang seram. Itu lantaran masalahnya memang mengenai sesuatu yang sebenarnya harus ditinggalkan, diwaspadai, dan dihindari, namun justru ada gejala dipertahankan, dipiara, dan dibela mati-matian.

Ketika di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum muncul bid’ah saja beliau sudah memperingatkan dengan tegas. Jadinya wajar bila ada pembela bid’ah dengan dalih yang dibuat-buat, kemudian ada reaksi di antaranya seperti ini.

***

Di samping itu, perangkap yang dibuat untuk menipu Ummat Islam bukan hanya masalah bid’ah. Dalam dua dasawarsa ini, Ummat Islam terutama Indonesia tampak mengalami kemajuan dalam aktivitas dan menuntut ilmu Islam. Sehingga masyarakat terutama kaum terpelajar banyak yang kemudian insya Allah faham tentang Islam. Di antaranya karena mereka rajin membaca buku-buku Islam.

Tampaknya gejala ini tidak disukai oleh pihak-pihak yang tidak suka terhadap Islam, baik itu orang kafir maupun munafik serta orang-orang yang ela-elu (kanan kiri oke) dalam Islam.

Keresahan mereka atas berkembangnya Islam itu semakin menjadi-jadi, apalagi melihat gejala, selama pameran buku Islam (IBF Islamic Book Fair) di Senayan Jakarta selama 9 kali (tiap tahun, dari 2001) ternyata pengunjungnya sangat membludak. Jauh lebih ramai dan semarak dibanding pameran buku umum. Pengunjung dan peserta pameran bukan hanya dari dalam negeri namun dari berbagai negeri.

Bagaimana orang yang tidak “doyan” Islam akan senang terhadap gejala yang Islami ini. Sedangkan Allah Ta’ala telah berfirman:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ [البقرة/120]

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS Al-Baqarah: 120).

Di samping itu, orang-orang munafik pun mengadakan tipu daya terhadap orang mu’min, sebagaimana firman Allah:

يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ [البقرة/9، 10]

Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar .

Dalam hati mereka ada penyakit[23], lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (QS Al-Baqarah: 9, 10).

[23]. Yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran Nabi Muhammad s.a.w. lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap Nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam.

Bagaimana pun, mereka bekerjasama secara hiruk pikuk antara kafirin dengan munafiqin. Sehingga muncullah di Indonesia ini terutama sepuluhan tahun terakhir, sejumlah lembaga yang sejatinya merusak Islam namun berlagak bicara tentang Islam. Bermunculan aneka lembaga dan di antaranya ada 44 lembaga yang didanai lembaga orang kafir dari Amerika, sebagaimana dicatat Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi. Maka tidak mengherankan, di sana-sini muncul orang-orang liberal, bahkan sampai diratakan di berbagai perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Dan itu terbukti, di antaranya telah disoroti oleh buku Hartono Ahmad Jaiz yang berjudul Ada Pemurtadan di IAIN.

***

Menggembosi buku-buku Islam

Tampaknya, penggerakan pengusung bid’ah dan penjegalan Islam lewat orang-orang liberal yang menjajakan ide-ide rusaknya lewat asongan maupun bahkan di perguruan-perguruan tinggi Islam; dirasa belum cukup untuk membelokkan Islam. Justru Islam tampaknya makin diamalkan dan dipelajari oleh Ummat ini. Maka ditempuhlan jalan lain, yaitu menggembosi buku-buku Islam.

Setelah pengusung bid’ah dan pengusung kemusyrikan baru berupa faham liberal sampai pluralism agama dan multikulturalisme dirasa belum cukup dalam menghalangi lajunya Islam, pada gilirannya buku-buku Islam jadi sasaran untuk digembosi.

Diboomingkanlah buku porno yang sangat mencengangkan, berjudul Jakarta Under Cover, yang konon bahkan ditulis oleh orang yang tadinya pernah belajar di pesntren. Yang mempopulerkan buku misi syetan perusak moral itu justru di antaranya adalah Koran Republika yang dari riwayatnya, saham awalnya dari Ummat Islam dan pembacanya dapat dibilang Ummat Islam. Itulah cara-cara busuk yang –baik terasa atau tak disadari—tetap busuk. Bertaubatlah wahai teman-teman di Republika, yang telah mempopulerkan bacaan porno itu lewat tulisan khususnya.

Betapa tidak, buku porno itu laku keras, dan tentu saja dikunyah-kunyah oleh orang Islam, dan tidak pernah ada larangan. Malahan di supermarket-supermarket pun tampaknya dijual di depan kasir. Na’udzubillahi min dzalik… negeri semacam ini akibatnya banyak turun bencana di mana-mana, maka salah siapa?

Rupanya buku-buku Islam diserang dengan buku porno belum ada dampak macetnya buku Islam. Kalau toh berkurang ya sedikit saja. Maka tampaknya tidak sampai di situ penggembosan bahkan penggempuran terhadap buku-buku Islam. Belakangan, digempurlah buku-buku Islam dengan fiksi-fiksi, karangan khayalan, rekaan, bikin-bikinan. Dipopulerkan lah pengarang-pengarangnya. Diusung-usunglah mereka ke berbagai tempat, bahkan sampai ke luar negeri. Maka begitu maraknya cerita-cerita yang mereka sebut “islami” itu. Masyarakat pun mengunyah-ngunyah cerita itu. Sedikit demi sedikit, diamati, masyarakat masih pula tetap membaca buku-buku Islam, walau yang muda-muda bergeser menggemari cerita-cerita bikinan yang disebut “bernafaskan Islam” itu.

Belakangan, lebih diperhatikanlah fiksi-fiksi itu, hingga pameran buku Islam (IBF) di Senayan Jakarta dihiasi dengan pemberian hadiah kepada buku yang disebut fiksi dan non fiksi. Tampaknya justru yang fiksi ini lebih ditonjolkan, sehingga istilahnya buku yang sebenarnya justru buku, itu disebut non fiksi. Sedang buku yang hanya cerita bikinan, disebut dengan terhormat, fiksi. (Saya sebagai orang Islam, ketika menyebut orang Islam dengan Muslim, dan orang bukan Islam dengan non Muslim, itu otomatis saya memihak Muslim. Jadi bagaimanapun, penyebutan non fiksi dalam pemberian hadiah dalam pameran buku Islam, itu justru ada “tujuan” merendahkan buku Islam, dikategorikan dengan non fiksi).

Itu tidak mungkin muncul begitu saja, pasti pakai rencana. Dan rencana yang gila-gila-an, adalah membesar-besarkan cerita fiksi, di antaranya yang berjudul Ayat-ayat Cinta. Lagi-lagi Republika berperan. Tampaknya tidak sadar atau bahkan disengaja (?), wallahu a’lam, lewat koran dan peneribitan yang satu ini, justru perlu dikaji, apakah mereka ini menguntungkan Islam atau bahkan merugikan. Kemudian difilmkanlah cerita fiksi itu. Kemudian diusung ke mana-mana, dan dibuatlah seolah bersaing antara Ayat-ayat Cinta dengan fiksi lain yang berjudul Laskar Pelangi. Maka masyarakat dibuat sebegitu tergiurnya dengan aneka giringan yang sangat memukau. Maka sukseslah pengalihan perhatian Ummat Islam dari membaca buku Islam ke buku fiksi khayalan, yang akhirnya difilmkan dan digembar-gemborkan seseru-serunya itu.

Sukseslah penggembosan buku-buku Islam yang serius. Masyarakat sudah dialihkan ke arah fiksi khayalan.

Ketika sudah demikian, maka cara memahami agama dan cara pandang keagamaan pun kemungkinan sekali merujuk kepada pengarang fiksi yang kesohor itu. Sehingga ANDREA HIRATA sang pengarang fiksi Laskar Pelangi itu dijadikan salah satu tokoh untuk dimintai pendapatnya di Mahkamah Konstitusi dalam masalah gugatan orang-orang liberal tentang Undang-undang Penodaan Agama. Padahal, apakah dia faham tentang agama?

Sangat memalukan! Andrea Hirata tidak malu menulis di antaranya ada penggalan kalimat: azan shalat Idul Fitri telah berkumandang (Harian Kompas Lebaran di Negeri Laskar Pelangi, Senin, 14 September 2009 | 03:20 WIB, Oleh ANDREA HIRATA).

Orang yang sangat bodoh pun mestinya tahu bahwa shalat Idul Fitri itu tidak ada adzan sama sekali. Namun pengarang fiksi kesohor itu nekat menulis seperti itu, dan kemudian dimintai pendapatnya tentang Undang-undang Penodaan Agama di sidang MK.

Inilah keberhasilan penggembosan terhadap Islam. Orang yang tidak faham agama pun dapat dimintai pendapatnya dalam masalah berkaitan dengan agama.

Aneka dampak dari penggembosan buku-buku Islam dialihkan ke buku cerita fiksi itu sangat memprihatinkan.

Lebih sedih lagi ketika ada tokoh yang tadinya serius menulis buku dan berceramah menghadapi syubhat yang disebarkan pentolan-pentolan liberal, bertungkus lumus ke sana-sini untuk memberantas faham liberal, tahu-tahu tergiur pula ikut menulis fiksi. Lha dalaah… nanti kalau difilmkan pula, berarti sukseslah penggembosan buku-buku Islam, tanpa mengeluarkan kekerasan, energy besar, atau sikap frontal memusuhi buku-buku Islam yang mencolok. Cukup dengan digiring ke arah fiksi “islami” lalu difilmkan, lalu dicarikan komentar-komentar dari para pesohor, lalu diusung ke mana-mana, maka sukseslah misinya: yakni menggembosi buku-buku Islam.

Sadarlah wahai Ummat Islam. Bahwa kita telah masuk ke perangkap. Dan kalau tidak menyadari, lama-lama nanti tahu-tahu tumbuh subur generasi yang sangat buruk, yakni miskin tapi sombong. Miskin ilmu agama Islam, namun berbangga hati, seolah sudah “islami”. Benar-benar perangkap yang sangat dalam dan menganga…

Ya Allah, berilah petunjuk kepada kami dan saudara-saudara kami. Ampunilah dosa-dosa kami dan saudara-saudara kami muslimin dan muslimat. Dan jangan sampai kami dan saudara-saudara kami muslimin muslimat ini terjebak dalam perangkap kaum kuffar, musyrikin, munafiqin dan penjahat-penjahat semacamnya yang menjerumuskan kami ke jurang kesesatan bahkan neraka. Itulah yang berbahaya sekali bagi kami, namun kadang justru kami merasa bangga dengannya. Astaghfirullahal ‘adhiem. Laa haula walaa quwwata illa bilahil ‘aliyyil ‘adhiem. Allahul musta’an.

Jakarta, Dzulqa’dah 1431H/ November 2010.

*Hartono Ahmad Jaiz, penulis buku Pangkal Kekeliruan Golongan Sesat

(nahimunkar.com)

dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com

Read More......

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP