..::::::..

Islam dan jiwa patriorisme salafu shalih

Oleh Shalih Hasyim

Sudahkah kita mempertaruhkan kehidupan kita di jalan Allah SWT secara all out ?
KETIKA seorang memproklamirkan dirinya sebagai seorang Muslim, pada saat yang bersamaan ia dituntut sebagai muhajir (berhijrah secara maknawi – spiritual – dan atau makani –teritorial – dari lingkungan social yang gelap menuju cahaya iman - dan mujahid (memperjuangkan kesadaran barunya).

Hijrah dan jihad merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan. Allah SWT akan menurunkan pertolongan-Nya berupa bonus (pahala) berbanding lurus dengan kualitas kelelahan kita (al Ujratu ‘ala qadril masyaqqati). Bahkan, kenikmatan Islam yang kita rasakan hari ini efek dari tetesan darah dan air mata pendahulu kita (salafus shalih).

Jika kita menengok ke belakang, sesungguhnya madrasatul Islam telah meluluskan para pahlawan dalam berbagai aspek kehidupan. Pahlawan ilmu, pahlawan spiritual, pahlawan harta dan pahlawan di medan laga. Mengerahkan pikiran (ijtihad), hati (mujahadah) dan pisik (jihad) untuk mengharumkan nama Allah SWT memiliki nilai yang sama pentingnya dalam timbangan Islam. Bahkan, indicator penting generasi sahabat adalah mereka laksana pendeta di malam hari dan singa di siang hari (rahibun fillail wa farisun finnahar).

Pengorbanan monumental yang diperagakan oleh Ibrahim as dan Ismail as merupakan uswah dan qudwah bagi kita wujud kongkrit kecintaan dan ketaatan sejati dan kesiapan berkorban untuk Allah SWT. Berkorban disini tidak sekedar menyembelih hewan korban, tetapi berkorban dalam arti yang luas.

“Katakanlah, Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, Dan Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At Taubah (9) : 24).

Ayat ini mengandung pelajaran yang cukup penting, yaitu menomorsatukan kecintaan kita hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Di saat pengorbanan harta, ilmu, jiwa dan seluruh potensi diminta untuk kepentingan Allah dan Rasul-Nya, maka kita mengedepankan sikap sami’na wa ‘atha’na, tanpa ada rasa keberatan dan pertimbangan. Disinilah kunci pembuka pertolongan, kemenangan, dan kemuliaan citra diri kita.

Kemuliaan itu hanyalah bagi Allah SWT bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang beriman (Al Munafiqun ( ) : 8).

Islam bukan sekedar rumusan abstrak yang mengendap di otak, tetapi menuntut bukti perjuangan, pengorbanan pemeluknya. Islam bukan sebatas kaya serimonial tetapi miskin aplikasi. Islam adalah gabungan iman dan amal shalih. Iman bagaikan pohon, amal shalih adalah buahnya.

Rekamlah kehidupan perjuangan para nabi dan rasul hingga junjungan kita Rasulullah SAW para sahabat, para syuhada, mujahidin dan shalihin. Tak seorangpun diantara mereka yang sepi dari perjuangan dan pengorbanan, baik dalam bentuk moril maupun material, spiritual dan finansial, jiwa dan harta. Mereka telah menyerahkan secara all out seluruh potensi yang mereka miliki untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin.

Khadijah mengorbankan jiwa dan hartanya untuk mensupport misi suaminya, Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya untuk Islam, Ali bin Abi Thalib berani mempertaruhkan nyawanya untuk meniduri ranjang Rasulullah SAW ketika hijrah ke Madinah. Pada malam harinya dikeluarkan keputusan akan membunuh Nabi SAW oleh para pemuda pilihan dari setiap kabilah.

Imam Malik dipenjara, diikat, dan dicambuk oleh penguasa yang zhalim hingga ruas-ruas tulangnya nyaris putus. Imam Syafii dimasukkan di balik jeruji karena fitnah ulama jahat, bahkan beliau diperintah berjalan kaki diterik padang pasir dua bulan lamanya, dari Yaman ke Baghdad. Imam Nawawi penyusun kitab hadits Arbain dan Riyadhus Shalihin diusir dari tanah kelahirannya Syam, karena berpegang teguh pada aturan Allah dan menentang kebijakan penguasa yang serakah dan represif.

Imam Abu Hanifah tewas karena dipaksa minum racun, setelah sebelumnya dipenjara dalam keadaan dirantai besi yang berat pada lehernya. Imam Ahmad Ibnu Hambal disiksa dan dipenjara bertahun-tahun lamanya karena keteguhan sikapnya dalam mempertahankan aqidah, beliau menolak Al Quran disebut makhluk (ciptaan) karena firman Allah Al Khaliq adalah Allah SWT.

Hasan Al Banna yang membentuk milisi Mujahidin yang memerangi Yahudi dan penjajah Inggris di Mesir, syahid diberondong peluru. Sayid Qutub yang terkenal di Indonesia dengan karya spektakulernya “Tafsir Fi Zhilalil Quran” dan Abdul Aziz Badri yang terkenal karyanya ‘Ulama dan Penguasa’ keduanya syahid di tiang gantungan.

Pahlawan Yang Lahir Dari Rahim Pertiwi

Di Indonesia pula ditulis dalam tinta emas sejarah para pejuang kemerdekaan. Yang mengobarkan semangat jihad, perlawanan terhadap kezhaliman, membekali dirinya dengan pemahaman agama (tafaqquh fiddin) sebelum terjun bebas dalam dunia militer untuk seterusnya aktif dalam aksi-aksi perlawanan dalam mempertahankan kedaulatan negeri. Memulai karir militernya sebagai seorang dai muda yang giat berdakwah di era 1936-1942 di daerah Cilacap dan Banyumas. Hingga pada masa itu Soedirman adalah muballigh masyhur yang mengakar di benak public.

Ia lahir dari keluarga petani kecil, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahanya hanyalah seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo.

Bakat dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul Wathon ini, juga peningkatan kemampuan pisik dan penggemblengan mental. Bakat kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah. Bahkan semangatnya berjihad telah mengantarkan Soedirman menjadi orang nomor satu dalam sejarah militer Indonesia.

Sebagai kader Muhammadiyah, Panglima Besar Jendral Soedirman dikenal sebagai santri atau jamaah yang cukup aktif dalam halaqah pengajian ‘malam Selasa’ yaitu pengajian yang diadakan di oleh PP Muhammadiyah di Kauman berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Seorang Panglima yang istimewa, dengan kekuatan iman dan keislaman yang melekat kuat dalam dadanya. Sangat meneladani kehidupan Rasulullah SAW dalam kesederhanaan, sehingga perlakuan khusus dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya dipandang terlalu berlebihan dan ditolaknya secara halus.

Seorang jendral yang shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wujud nyata pelaksanaan jihad fi sabilillah. Spirit inilah yang diwariskan kepada anak buahnya bahwa mereka yang gugur di medan laga tidaklah mati melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk mensosialisasikan gelora jihad, baik di kalangan internal tentara maupun rakyat secara umum, Jendral Besar ini menyebarkan pamphlet/selebaran yang berisi seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus melawan Belanda dengan mengutip tarjamah hadits Rasulullah SAW.

“Insjaflah ! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnya) beloem pernah toeroet berperang (membela kebenaran dan keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafikan”.

Perang gerilya yang dilakukan, tak lepas dari usaha mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Jendral Soedirman yang memiliki naluri seorang pejuang, mempersepsikan desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya. Maka beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW beserta Abu Bakar saat akan hijrah ke Madinah.

Sebuah perjuangan yang penuh dengan keteladanan, patut dijadikan pelajaran dan contoh kita semua, sebagai anak bangsa. Perjalanan panjang seorang mujahid dakwah yang tidak lagi memikirkan tentang dirinya melainkan berbuat untuk bangsanya yang tercinta. Penyakit TBC yang diderita, tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya 38 tahun, Soedirman kembali kepada-Nya pada tanggal 29 Januari 1950, hari Ahad. Bangsa Indonesia mencatat satu lagi pejuang yang lahir dari rahim ummat, untuk ummat dan selalu berjalan seiring dengan kepentingan ummat.

Kisah-kisah perjuangan yang sangat menarik banyak lahir dalam setiap kali terjadi aksi pertempuran, dan ini bukti dari pertolongan Allah kepada para tentara-Nya yang rela berkorban lahir dan batin demi menegakkan nilai-nilai immaterial. Sebagaimana yang dialami Bung Tomo dalam perang gerilya, bersama pasukannya saat sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa karena pesawat Belanda telah mengepung dari atas dan tidak ada lagi tempat berlindung. Namun, atas kekuasaan Allah SWT, gumpalan awan menutupi Bung Tomo beserta pasukannya yang berada dalam sasaran tembak pesawat-pesawat tempur Belanda, sehingga beliau selamat.

Fenomena nashrullah inilah yang semakin mengokohkan jiwa perlawanan Bung Tomo. Spirit jihadnya semakin berstamina. Dan secara berkesinambungan ia injeksikan kepada teman-temannya. Terjadilah peristiwa 10 Nopember 1945. Bung Tomo berhasil menggerakkan arek-arek Suroboyo hanya dengan membawa senjata bamboo runcing. Dengan pekikan “Allahu Akbar” beliau berubah menjadi pahlawan yang gagah berani. Maka, Bung Tomo menjadi orang yang paling diinginkan Belanda. Bagi yang dapat menagkapnya atau membunuhnya hidup-hidup akan dijanjikan hadiah besar.

Muhasabah

Demikianlah keteladanan yang dipentaskan oleh wali-wali Allah SWT dalam berjuang dan berkorban. Sangat kontradiktif dengan kondisi kaum Muslimin sekarang. Misalnya, bila memasukkan uang di kotak masjid, tangannya tidak seringan mengeluarkan uang untuk membeli karcis sepak bola. Ke mall, tempat-tempat perbelanjaan dan tempat-tempat rekreasi. Ummat Islam kurang tertarik pergi ke majlis ilmu dan majlis shalat jamaah, tetapi semangat pergi ke matahari shopping center. Hadiah-hadiah untuk berbagai hiburan, konser musik mencapai ratusan juta rupiah, sedangkan dana untuk para pengungsi dan relawan, guru ngaji, muballigh, berjumlah sangat minim.

Sekedar mengorbankan sedikit saja dari apa yang kita anggap milik kita, rasanya berat untuk Allah SWT semata. Kita perlu berbagai kiat dan rekayasa dalam memotivasi diri kita hanya untuk sekedar merelakan sebagian kecil ‘milik’ kita. Untuk berkorban kita terlalu mempertimbangkannya dari berbagai sudut, terutama dari sisi ekonomi, dari aspek untung-rugi. Seringkali setelah pertimbangan yang njelimet, akhirnya tidak jadi berkorban. Kalaupun terpaksa berkorban, kita memasang harapan pahala yang berlipat-ganda.

Sudahkah kita mempertaruhkan kehidupan kita di jalan Allah SWT secara all out ?. Jika sudah, berapa bagian harta yang telah kita nafkahkan di jalan-Nya, dibandingkan yang kita keluarkan untuk anggaran BBM dan belanja rokok setiap harinya ?. Berapa banyak waktu, tenaga, pikiran yang telah kita habiskan di jalan Allah dibandingkan dengan yang telah kita habiskan di jalan syetan dan hawa nafsu demi untuk memenuhi syahwat perut dan syahwat farji ?. Sudahkah kita membalas kebaikan Allah SWT yang tidak terhitung dengan balasan yang setimpal ? Nikmat Allah SWT mana lagi yang engkau dustakan ?

Karenanya, Hassan al Banna pernah mengatakan, “Jadilah engkau mangga, ketika engkau melempar, ia menjatuhkan dirinya kepada yang melempar.”

*)Penulis adalah kolumnis hidayatullah, kini tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Read More......

Makna Gempa Sumatra 2009

Oleh: Dr. Adian Husaini

Bumi Indonesia, negeri kita, lagi-lagi dihantam gempa. Kali ini, 30 September 2009, wilayah Sumatra Barat, khususnya kota Padang dan Pariaman menerima pukulan berat. Bumi digoncang keras dengan gempa berkekuatan 7,6 skala Richter. Hampir semua gedung bertingkat di Kota Padang runtuh atau rusak berat. Ratusan orang tertimbun dalam reruntuhan gedung. Ratusan lainnya tertimbun tanah. Bahkan ada puluhan anak yang sedang belajar di satu gedung bimbingan belajar tertimbun reruntuhan bangunan.

Mengapa semua ini terjadi? Mengapa peristiwa ini menimpa bumi Minang yang terkenal dengan semboyan ”Adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah”. Dan Mengapa ini terjadi? Padahal, baru sebulan lalu, pada awal September 2009, tepat di awal-awal Ramadhan 1430 Hijriah, wilayah kita lain, Jawa Barat bagian selatan, dihantam gempa serupa. Hanya saja, karena lokasi pusat gempa yang jauh dari daerah pemukiman, maka dampaknya tidak sedahsyat gempa di Sumatra kali ini. Namun, waktu itu, gempa sempat membuat panik warga ibu kota Jakarta. Banyak gedung bertingkat sudah bergoyang dan penghuninya berhamburan.

Seperti biasa, setiap terjadi gempa, para ilmuwan selalu menjelaskan, bahwa gempa terjadi karena bergeser atau pecahnya lempengan tertentu di bumi. Bagi orang sekular, gempa dianggap sebagai peristiwa alam biasa. Tidak ada hubungannya dengan aspek Ketuhanan. Tapi, sebaliknya, orang mukmin yakin benar bahwa gempa ini bukan sekedar peristiwa alam biasa. Hubungan kausalitas tidaklah bersifat pasti, tetapi tergantung kepada kehendak (Iradah) Allah. Api yang mestinya membakar tubuh Nabi Ibrahim, bisa kehilangan daya bakarnya, karena kehendak Allah. Biasanya, dalam berbagai bencana muncul berbagai ”keajaiban” yang di luar jangkauan manusia.


Allah SWT menjelaskan dalam al-Quran (yang artinya):

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Al-Hadid:22-24)


Sebuah ayat al-Quran juga menjelaskan terjadinya peristiwa semacam gempa bumi di masa lalu, (yang artinya): "Orang-orang sebelum mereka telah melakukan makar kepada Allah, maka Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari pondasi-pondasinya, dan Allah menjatuhkan atap-atap (bangunan) dari atas mereka, dan Allah menurunkan azab dari arah yang tidak mereka perkirakan.” (QS an-Nahl: 26).

Entah rahasia apa yang terkandung dalam Gempa Sumatra kali ini. Setiap musibah mengandung banyak makna. Akal kita terlalu terbatas untuk memahami hakekat segala sesuatu dalam kehidupan. Kita tidak mudah paham, mengapa dalam gempa kali ini, begitu banyak anak-anak yang tertimbun reruntuhan gedung. Anak-anak itu sedang belajar. Bukan sedang bermaksiat. Hikmah apa yang terkandung dalam peristiwa semacam ini? Tidak mudah memahami semua itu, sebagaimana juga Nabi Musa a.s. sangat sulit memahami berbagai tindakan Chaidir a.s.

Memang, suatu musibah bisa bermakna sebagai hukuman Allah bagi orang-orang yang berdosa. Musibah juga bisa bermakna ujian bagi orang-orang yang beriman. Musibah pun bermakna peringatan Allah bagi orang-orang yang selamat. Kita yang selamat dari musibah, sejatinya sedang diberi peringatan oleh Allah, agar kita segera ingat kepada Allah, agar segera melakukan evaluasi dan segera melakukan perbaikan diri. Biasanya, manusia memang cenderung mendekat kepada Allah ketika berada dalam bahaya. Kita biasanya berdoa dengan tulus ikhlas ketika pesawat yang kita tumpangi dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Ketika itu kita berjanji, berdoa dengan tulus, bahwa kalau kita selamat, maka kita akan berbuat baik di dunia. Tapi, ketika pesawat mendarat dengan selamat, maka biasanya manusia kembali melupakan Allah dan sibuk dengan urusan dunia. Sejumlah ayat al-Quran menggambarkan sifat manusia kebanyakan semacam itu:


”Dialah (Allah) yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan; sehingga ketika kamu berada di dalam bahtera, lalu meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, maka datanglah angin badai; dan ketika gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka tengah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan keta’atan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): ”Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Maka, tatakala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi, tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu; lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Yunus: 22-23).


Bagi saudara-saudara kita yang terkena musibah, Insyaallah ini adalah ujian bagi mereka. Jika mereka sabar, maka pahala besarlah bagi mereka. Ujian adalah bagian dari kehidupan orang mukmin, baik ujian senang maupun ujian susah. Manusia selalu diuji imannya. Dengan ujian itulah, maka tampak, siapa yang imannya benar dan siapa yang imannya dusta.

”Apakah manusia menyangka b ahwa mereka akan dibiarkan mengatakan ”Kami beriman”, sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS al-Ankabut: 2-3).


Lihatlah di dunia ini! Ada orang-orang yang diuji oleh Allah dengan segala macam kekurangan. Ada yang diuji dengan kecacatan, kebodohan, dan kemiskinan. Ada yang diuji dengan harta melimpah, kecerdasan, dan kecantikan. Ada yang diuji dengan musibah demi musibah. Semua itu adalah ujian dari Allah. Hidup di dunia ini adalah menempuh ujian demi ujian. Jika kita lulus, maka kita akan selamat di akhirat. Karena itu, apa pun hakekat dari musibah gempa Sumatra kali ini, maka mudah-mudahan ujian itu mampu mendorong saudara-saudara kita di sana untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dan semakin aktif berdakwah memberantas segala bentuk kemunkaran yang mendatangkan kemurkaan Allah. Kita diingatkan, bahwa manusia mudah lupa. Sampai beberapa hari setelah musibah, biasanya masjid-masjid masih dipenuhi jamaah. Tapi, setahun berlalu, biasanya manusia sudah kembali melupakan Allah dan lebih sibuk pada urusan duniawi.

Bagi yang meninggal dalam musibah, kita doakan, semoga mereka diterima Allah dengan baik; amal-amalnya diterima, dan dosa-dosanya diampuni. Musibah tidak pandang bulu. Manusia yang baik dan buruk juga bisa terkena. Allah SWT sudah mengingatkan, “Dan takutlah kepada fitnah (bencana, penderitaan, ujian) yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah, Allah sangat keras siksanya.” (QS an-Anfal:25).

Kita yang selamat baiknya segera menyadari, bahwa di mana pun kita berada, kematian akan selalu mengintai. Dalam surat an-Nahl:26, kita diingatkan, bahwa hukuman Allah ditimpakan kepada umat manusia, karena melakukan makar kepada Allah. Mereka berani menentang Allah secara terbuka, secara terang-terangan. Kita tidak perlu ikut-ikutan tindakan makar kepada Allah yang dilakukan sebagian orang. Misalnya, Allah jelas-jelas menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina. Tetapi yang kita saksikan, di negeri kita, ada orang nikah malah masuk penjara dan para pelaku zina tidak mendapatkan sanksi apa-apa. Bahkan, di negeri yang harusnya menjunjung tinggi paham Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa) ini, sejumlah media massa berani menghujat hukum-hukum Allah secara terbuka. Padahal, yang berhak menentukan halal dan haram adalah Allah. Adalah tindakan yang tidak beradab jika maanusia berani merampas hak Allah tersebut.

Kita menyaksikan, bagaimana sekelompok orang – dengan alasan kebebasan berekspresi (freedom od expression) -- dengan terang-terangan menantang aturan Allah dalam soal pakaian. Mereka menyerukan kebebasan. Mereka pikir, tubuh mereka adalah milik mutlak mereka sendiri, sehingga mereka menolak segala aturan tentang pakaian. Bukankah tindakan itu sama saja dengan menantang Allah: ”Wahai Allah, jangan coba-coba mengatur-atur tubuhku! Mau aku tutup atau aku buka, tidak ada urusan dengan Engkau. Ini urusanku sendiri. Ini tubuh-tubuhku sendiri! Aku yang berhak mengatur. Bukan Engkau!” Memang, menurut Prof. Naquib al-Attas, ciri utama dari peradaban Barat adalah ”Manusia dituhankan dan Tuhan dimanusiakan!” ((Man is deified and Deity humanised). Manusia merasa berhak menjadi tuhan dan mengatur dirinya sendiri. Persetan dengan segala aturan Tuhan!

Para ulama sering menyerukan agar tayangan-tayangan di TV yang merusak akhlak dihentikan. Banyak laki-laki yang berpakaian dan berperilaku seperti wanita. Padahal itu jelas-jelas dilaknat oleh Rasulullah saw. Tapi, peringatan Rasulullah saw yang disampaikan para ulama itu diabaikan, bahkan dilecehkan. Kaum wanita yang tercekoki paham kesetaraan gender didorong untuk semakin berani menentang suami, menolak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, dan menganggap wanita sama sederajat dengan laki-laki. Bahkan, di zaman seperti sekarang ini, ada sejumlah dosen agama yang secara terang-terangan berani menghalalkan perkawinan sesama jenis. Manusia seperti ini bahkan dihormati, diangkat sebagai cendekiawan, disanjung-sanjung, diundang seminar ke sana kemari, diberi kesempatan menjadi dosen agama. Jika manusia telah durhaka secara terbuka kepada Allah, maka Sang Pencipta tentu mempunyai kebijakan sendiri. Rasulullah SAW bersabda: "Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri". (HR Thabrani dan Al Hakim).

Dalam soal homoseksual, Allah sudah memperingatkan:

“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang Amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu". (QS al-Ankabut:28).


Rasulullah saw juga memperingatkan:

“Barangsiapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Ahmad).

Pada setiap zaman, manusia selalu terbelah sikapnya dalam menyikapi kebenaran. Ada yang menjadi pendukung kebenaran dan ada pendukung kebatilan. Yang ironis, di era kebebasan sekarang ini, ada orang-orang yang sebenarnya tidak memahami persoalan dengan baik, ikut-ikutan bicara. Pada 29 September 2009 lalu, dalam perjalanan kembali ke Jakarta, di tengah malam, saya mendengarkan pro-kontra masyarakat tentang rencana kedatangan seorang artis porno dari Jepang ke Indonesia. Si artis itu kabarnya akan main film di Indonesia. Yang ajaib, banyak sekali pendengar radio tersebut yang menyatakan dukungannya terhadap kedatangan artis porno tersebut. Kata mereka tidak ada alasan untuk melarangnya, karena dia bukaan teroris. Suara MUI yang keberatan dengan rencana kedatangan artis tersebut, menjadi bahan ejekan. Sungguh begitu sukses setan dalam menipu manusia, sehingga perbuatan-perbuatan bejat dipandang indah; sebaliknya perbuatan baik malah dipandang jahat.

”Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi setan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka setan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih.” (QS an-Nahl: 63).


Mudah-mudahan segala macam musibah yang menimpa kita dan saudara-saudara kita mampu melecut kita semua untuk sadar diri dan mengenali mana yang baik dan mana yang buruk. Allah SWT senantiasa membukakan pintu taubat-Nya untuk kita semua. Dunia ini hanyalah kehidupan yang penuh dengan tipuan dan ujian. Akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya. Banyak manusia meratapi bencana fisik, tapi mengabaikan bencana iman berupa meluasnya kekufuran. Kita wajib menolong saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, semampu kita. Pada saat yang sama, kita berdoa, mudah-mudahan Allah masih mengasihani kita semua, menunda azab atau hukumannya, dan memberikan kesempatan kepada kita untuk berbenah dan memperbaiki diri. Amin. [Depok, 3 Oktober 2009/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta FM dan situs www.hidayatullah.com

Read More......

Segeralah Beramal Dalam Detik-DetikYang Tersisa Ini !

Berbicaralah tentang dunia. Bertanyalah tentangnya. Maka jika engkau dituntun untuk menemukan jawaban yang hakiki, engkau akan dituntun pada satu jawaban. Bahwa ia –dunia itu- hanyalah bayangan yang tidak lama lagi akan hilang. Bahwa ia hanyalah setetes air bila dibandingkan lautan luas tak bertepi.


Sebanyak apapun yang engkau rengkuh di sini, di dunia ini, maka ia hanya setetes. Oh, tidak. Bahkan kurang dari setetes. Karena setetes itu adalah untuk dunia seluruhnya, sementara engkau tak memiliki dunia seluruhnya. Hanya sepersekian dunia ini yang sanggup engkau nikmati.

Duhai, betapa celakanya engkau jika kau sangka dunia ini telah menjadi segala-galanya. Tidak, sahabat. Di sini, di tempat bernama dunia ini, tidak ada yang segala-galanya. Hanya manusia yang tak percaya keabadian akhirat yang akan menjadikan dunia ini segala-galanya. Ingatlah, dunia yang kau lihat gemerlap ini hanya bayangan. Hanya setetes air. Hanya beberapa nafas. Hanya beberapa tahun. Dan setelah itu, engkau akan memasuki gerbang keabadian. Di sana, -dengan limpahan RahmatNya padamu- hanya amalanmu yang akan menuntunmu menaiki anak-anak tangga kebahagiaan. Menuju surga, yang kenikmatannya tak pernah disaksikan oleh pandangan mata siapapun, tak pernah didengarkan oleh telinga siapapun jua dan tak pernah terbetik dalam pikiran dan hati makhluq manapun.

Tapi, di sinilah, di tempat bernama dunia inilah engkau menyemainya. Dunia ini adalah ladang akhiratmu. Di sinilah sumber kebahagiaan dan keberuntunganmu di akhirat. Hanya di sini engkau diizinkan olehNya untuk mengumpulkan bekal yang menguntungkanmu di sana. Di sinilah arena dan gelanggang para muttaqin, shiddiqin dan syuhada’ berlomba menuju ampunan Rabb mereka.

Hmm, kalau saja engkau tahu, dunia inilah yang selalu menjadi angan-angan para penduduk Surga dan para penghuni Neraka. Allah Ta’ala mengatakan tentang penghuni Neraka : “Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata : “Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami serta menjadi orang-orang yang beriman”, (tentulah engkau –Muhammad- akan melihat suatu peristiwa yang memilukan.” (QS. 6 : 27)

Dalam ayat lain dikatakan : “Dan mereka (para penghuni neraka) itu berteriak di dalam neraka itu : “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan amal yang shaleh berbeda dengan dahulu telah kami kerjakan.” (QS. 35 : 37)

Angan-angan yang sia-sia belaka…Hari-hari dunia adalah hari-hari ‘amal, bukan perhitungan dan pembalasan. Tapi hari-hari akhirat adalah hari-hari perhitungan dan pembalasan, bukan ‘amal !

Tentang penghuni surga yang mengangankan dunia, ‘Abdullah ibn Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan : “ Sesungguhnya para syuhada’ itu bagaikan burung-burung hijau yang lepas bebas di surga ke mana saja ia mau. Kemudian ia akan kembali pada pelita-pelita yang bergantungan di ‘arsy. Dan ketika mereka berada dalam keadaan seperti itu, muncullah Rabb mereka di hadapan mereka seraya berkata : “Wahai hamba-hambaKu, mintalah kepadaKu apa saja yang kalian inginkan !”.
Mereka pun berkata : “Wahai Rabb kami ! Kami meminta padaMu agar Engkau mengembalikan ruh kami ke dalam jasad kami, lalu Engkau kembalikan kami ke dunia hingga kami dibunuh sekali lagi di sana (di jalanMu).”
Maka tatkala Allah melihat bahwa mereka tidak meminta selain hal itu, Dia pun meninggalkan mereka.” ( HR. Muslim)

Allah telah mengetahui bahwa mereka, para syuhada’ itu akan meminta untuk dikembalikan sekali lagi ke dunia dan bahwa mereka tidak akan dikembalikan ke dunia. Namun Allah Ta’ala hendak memberitahukan kepada orang-orang mu’min yang masih hidup di dunia bahwa kelak cita-cita mereka di surga adalah mati terbunuh di jalanNya. Ini tidak lain agar mereka semakin terdorong untuk meraih itu.

Sungguh jauh perbedaan antara kedua angan-angan itu. Sama-sama berangan untuk kembali demi melakukan amal shaleh. Namun yang satu karena merasakan dahsyatnya siksa neraka, sementara yang lain karena telah merasakan ni’mat yang tiada bandingnya.

Seorang salaf bernama Ibrahim At Taimy rahimahullah pernah mengatakan : “Aku membayangkan diriku berada di dalam surga, memakan buah-buahnya, memeluk bidadari-bidadarinya yang perawan dan menikmati segala kenikmatannya. Lalu aku berkata kepada diriku sendiri : “Wahai diriku ! Apa sesungguhnya yang engkau angan-angankan saat ini ??”.
Ia menjawab : “Aku mengangankan untuk dikembalikan ke dunia agar aku dapat menambah amal-amal yang menyebabkan aku mendapatkan semua nikmat ini.”
Lalu aku membayangkan diriku di dalam neraka. Dibakar dengan apinya yang menyala-nyala. Dipaksa untuk meminum air hamim-nya yang dipenuhi darah dan nanah. Dan memakan buah zaqqum-nya yang menjijikkan. Maka aku berkata pada diriku sendiri : “Apakah yang engkau inginkan saat ini ??”

Ia menjawab : “Aku ingin dikembalikan ke dunia lagi agar aku dapat mengerjakan amalan yang dapat menyelamatkan aku dari siksaan yang mengerikan ini.”
(Setelah membayangkan itu semua), akupun berkata pada diriku sendiri : “Wahai diriku ! Engkau telah mendapatkan angan-anganmu itu. (Kini engkau masih berada di dunia), maka segeralah beramal !”.

Sahabatku,
Bahkan ada seorang ulama salaf yang pernah menggali lubang kuburan untuk dirinya sendiri. Bila ia mengalami dan merasakan kejemuan dalam beramal, ia pun turun ke dalam lobang itu. Di sana ia menyelonjorkan tubuhnya. Lalu berkata : “Wahai diriku ! Anggaplah sekarang ini engkau telah mati dan telah berada dalam liang lahadmu, apakah yang engkau inginkan ?”.
Maka ia pun menjawab : “Aku ingin dikembalikan lagi ke dunia agar aku dapat beramal shaleh.”
Ia lalu mengatakan kepada dirinya sendiri : “Sekarang engkau telah mendapatkan apa yang engkau inginkan. (Engkau sekarang masih hidup di dunia). Bangunlah dan kerjakanlah amal shaleh itu !”.
Demikianlah sahabat. Jika engkau mengetahui tentang para penghuni kubur itu, engkau akan tahu apa yang selalu mereka angan-angankan. Mereka selalu mengangankan dapat bertasbih persis seperti yang engkau lakukan saat ini, walau hanya sekali saja. Mereka akan iri melihatmu tegak mengerjakan shalat. Duhai, andai kami dapat mengerjakannya walau hanya satu raka’at saja, begitulah kata mereka. Jika dahulu di dunia mereka adalah pemilik kekayaan yang melimpah, maka di sana, di alam kubur itu, mereka berharap dapat bersedekah meski hanya serupiah dua rupiah. Yang penting ada tambahan catatan kebajikan di sisi Allah. Yah, jika engkau berada di tempat itu, seperti itulah angan-anganmu sepanjang waktu.

Ibn Qudamah rahimahullah meriwayatkan dalam Washiyat-nya (hal.13) bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki yang mengerjakan shalat dua raka’at di samping sebuah kuburan. Setelah itu ia bersandar hingga tertidur. Dan di dalam tidurnya ia bermimpi seperti melihat penghuni kubur itu berkata padanya : “Menjauhlah dariku !! Engkau telah menyakitiku. Demi Allah, sungguh dua raka’at yang engkau kerjakan itu jika saja aku yang mengerjakannya, maka ia jauh lebih aku sukai daripada dunia beserta isinya. Sungguh kalian yang masih hidup ini selalu beramal tapi sama sekali tidak mengetahui hakikat kematian ini. Tapi kami, kami telah mengetahuinya namun kami tidak dapat lagi mengerjakan amalan apapun.”

Maka, sahabatku…
Sadarilah bahwa masa hidup kita sungguh terbatas. Nafas kita hanya berbilang. Setiap tarikan dan hembusan nafas tak lebih dari sebuah pertanda bahwa usia kita di dunia telah berkurang. Sungguh sangat singkat usia duniawi kita ini. Karenanya, setiap penggalan bahkan setiap bagian terkecilnya adalah permata yang tak ternilai dan tiada bandingnya. Ingatlah, bahwa dengan kehidupan yang singkat ini akan terjadi sebuah kehidupan yang abadi, abadi dalam kenikmatan atau abadi dalam azab yang penuh pedih-perih.

Bila kita mencoba membandingkan kehidupan ini dengan kehidupan akhirat, akan sadarlah kita bahwa setiap nafas itu berbanding lebih besar daripada beribu-ribu tahun di akhirat ; entah itu dalam kenikmatan yang tak berbatas atau sebaliknya.

Karenanya jangan sia-siakan permata umurmu tanpa melakukan suatu amalan. Jangan engkau biarkan ia pergi tanpa mendapatkan balasan yang setimpal. Bersungguh-sungguhlah agar setiap tarikan nafasmu tak pernah kosong dari keshalehan dan taqarrub padaNya. Sebab jika engkau kehilangan sebutir permata duniamu, betapa sedihnya hatimu…Tapi bagaimana jika yang hilang adalah permata akhiratmu ? Bagaimana mungkin engkau tega menyia-nyiakan dan membuang detik-detikmu begitu saja ? Bagaimana mungkin engkau ‘tenang-tenang’ saja, padahal semakin banyak jejak-jejak usiamu di dunia ini yang terhapus ?

Bayangkanlah jeritan penyesalan para penghuni kubur dan neraka itu. Air mata darah sekalipun tak memberi mereka jalan untuk kembali ke dunia. Sia-sia belaka. Sahabatku, kini, aku dan kau masih di sini. Yah, masih di dunia fana ini. Tempat kita menyemai tanaman akhirat. Maka segeralah beramal ! [Muhammad Ihsan Zainuddin]
(Buletin Nasional Al Balagh Edisi 011/TH.I R.Tsani/16 April 2010)

Read More......

Natal bersama dan misi kristen

Oleh: Dr. Adian Husaini

Pada 27 Desember 2009, saya sempat menonton acara Perayaan Natal Bersama melalui TVRI. Acara itu seperti sudah dianggap sebagai ritual tahunan kenegaraan. Biasanya pejabat tinggi banyak yang diundang. Malam itu, Presiden SBY juga datang. Ada juga Wapres Boediono, dan sejumlah pejabat tinggi negara lainnya. Menyimak rangkaian acaranya, Perayaan Natal Bersama itu jelas sebagai suatu bentuk Proklamasi agama Kristen dan realisasi konsep Misi Kristen di Indonesia.

Pesan utama yang ingin disampaikan melalui acara tersebut sangat jelas bahwa Jesus, Putra Tuhan, sang Juru Selamat sudah tiba untuk menebus dosa manusia. Berbagai lagu dan sendratari yang ditampilkan membawa pesan tersebut. Disamping lagu dan tari, ada pesan Natal dan juga Doa Syafaat dibawakan oleh pejabat KWI (Katolik) dan PGI (Protestan).

Menarik jika kita amati wajah Pak SBY dan pejabat muslim lainnya yang hadir acara itu. Kita juga mencoba menebak-nebak, apa kira-kira perasaan Pak SBY dan orang Muslim di situ, ketika mendengar lagu-lagu dan seruan tentang kedatangan Jesus sebagai anak Allah dan Juru Selamat. Kita berprasangka baik, dan menduga-duga, hati Pak SBY yang Muslim itu pasti berkata: “Ini tidakbenar! Sebab, saya Muslim. Saya yakin benar, bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib. Saya yakin, Nabi Isa adalah utusan Allah, rasul Allah; bukan Tuhan atau anak Tuhan.”

Pak SBY yang punya sebuah Majlis Zikir tentu sudah pernah mendengar ayat Al-Quran: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (Terjemah QS as-Shaff: 6).

Ada juga ayat Al-Quran yang menyatakan: “Dan mereka mengatakan, (Allah) Yang Maha Pemurah itu punya anak. Sungguh (kalian yang menyatakan bahwa Allah punya anak), telah melakukan tindakan yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah gara-gara ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah punya anak.” (Terjemah QS Maryam: 88-91).

Sebagai Muslim, Pak SBY tentu paham benar ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dalam Perayaan Natal Bersama itu, orang-orang Muslim “dipaksa” mendengar cerita-cerita tentang Jesus yang bertentangan dengan keimanan mereka. Kata beberapa orang, praktik-praktik pencampuran Perayaan Hari Raya Agama seperti itu perlu dilakukan demi tujuan mulia, yaitu untuk membina Kerukunan Umat Beragama. Malah, ada yang berpendapat, agar MUI mencabut fatwa tentang Haram-nya seorang Muslim merayakan Natal Bersama. Sebagai Muslim, dan juga sebagai Presiden, Pak SBY ketika itu “harus” duduk mendengarkan semua cerita tentang Jesus, yang sudah pasti tidak diyakininya. Pada kondisi seperti itulah, Pak SBY juga terpaksa tidak menyatakan secara terbuka, bahwa dia mempunyai kepercayaan dan keimanan yang berbeda dengan kaum Nasrani.

Sebenarnya, jika kita berpikir jernih, praktik-praktik semacam ini seharusnya dihentikan. Membangun kerukunan umat beragama tidak perlu dilakukan dengan cara-cara yang dapat menyuburkan kemunafikan seperti itu. Rasulullah saw, para sahabat, dan para ulama Islam – yang sejati – tidak pernah mengajarkan tindakan seperti itu. Untuk membangun kerukunan umat beragama, banyak cara lain yang bisa dilakukan. Sebenarnya, jika kaum Nasrani merayakan hari raya mereka, di kalangan mereka sendiri, itu juga tidak ada masalah dan tidak perlu mengundang kontroversi.

Berita tentang ke-Tuhanan Jesus tentu tidak mudah ditelan begitu saja oleh kaum Muslim. Sebab, Islam memiliki kitab suci Al-Quran yang dengan sangat gamblang menjelaskan kesalahan kepercayaan kaum Kristen tersebut. Al-Quran menyatakan, bahwa berita tentang penyaliban Jesus (Nabi Isa) adalah bohong belaka. Penyaliban Jesus, dalam pandangan Islam, tidak memiliki dasar yang kuat. “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (Terjemah QS al-Kahfi: 4-5).

Ayat-ayat dalam kitab suci yang secara tegas membantah klaim-klaim kaum Kristen tentang ketuhanan Jesus seperti ini hanya dijumpai dalam Al-Quran. Ayat semacam itu tidak kita dijumpai pada Kitab Veda (Hindu), Tripitaka (Budha), atau Su Si (Konghucu). Karena itu, wajar, selama seorang mengaku dan meyakini keimanan Islam-nya, hatinya akan dengan tegas menolak semua pernyataan yang tidak benar tentang Nabi Isa. Kaum Ahlul Kitab yang hatinya ikhlas dalam menerima kebenaran pasti akan mengakui kenabian Muhammad saw dan kebenaran Al-Quran (QS 3:199).

Keyakinan kaum Muslim tentang Nabi Isa seperti itu seharusnya dihormati oleh kaum Kristen. Sehingga, tidaklah etis jika “memaksa” seorang Muslim yang berpegang kepada iman Islam-nya untuk duduk mendengar cerita tentang Yesus dalam versi Kristen yang sama sekali berbeda versinya dengan cerita tentang Nabi Isa dalam versi Islam. Inilah sebenarnya hakekat saling hormat-menghormati antar pemeluk agama. Mereka bisa bekerjasama satu sama lain, dalam berbagai hal. Tetapi, bukan membiasakan diri bersikap “pura-pura” dalam soal keimanan. Sikap saling menghormati bisa ditumbuhkan dengan tetap berpegang kepada keimanan masing-masing.

Islam juga menghormati sikap pemimpin Katolik Paus Yohanes Paulus II, ketika menyatakan, bahwa Islam, bahwa Islam bukanlah agama penyelamatan: “Islam is not a religion of redemption.” Paus juga menyatakan, dalam Islam tidak ada ruang bagi Salib dan Kebangkitah Yesus. Yesus memang disebutkan, tetapi, kata Paus, dia hanya sekedar seorang Nabi, yang menyiapkan kedatangan Nabi terakhir, yaitu Muhammad. Karena itulah, Paus berkesimpulan: “For this reason, not only the theology but also the anthropology of Islam is very distant from Christianity.” Jadi,menurut Paus, secara teologis dan antropologis, ada perbedaan yang mendasar antara Islam dan Kristen. (Lihat, John Cornwell, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy, (London: Penguin Books Ltd., 2005).

Ada lagi yang sering tidak dipahami oleh pemeluk agama selain Islam atau bahkan kalangan Muslim sendiri. Yaitu, bahwasanya Islam adalah agama wahyu yang memiliki uswah hasanah (contoh teladan). Sebagai agama wahyu (agama langit), Islam mendasarkan keyakinan dan semua praktik ritualnya berdasarkan wahyu dan contoh dari Nabi Muhammad saw. Karena itu, hanya orang Muslim yang kini memiliki bentuk ibadah yang satu. Orang Muslim membaca al-Fatihah yang sama dalam shalat; ruku’ dengan cara yang sana; sujud dengan cara yang sama, dan salam dengan cara yang sama pula. Semua itu ada contoh dari Nabi Muhammad saw.

Bahkan, kaum Muslim berdebat tentang hal-hal yang “kecil” dalam ibadah shalat, seperti apakah dalam tahiyat, jari telunjuk digerakkan atau tidak. Sebab, memang ada riwayat yang berbeda dari Rasulullah saw tentang hal itu. Yang jelas, semua Muslim ingin mencontoh Sang Nabi sampai hal-hal yang “kecil” seperti itu diperdebatkan. Tapi, semua orang Muslim, saat melaksanakan tahiyat dalam shalat, pasti mengeluarkan jari telunjuk, bukan jari jempol atau jari kelingking.

Karena kuatnya berpegang pada keteladanan Nabi Muhammad saw dalam ibadah itulah, maka –misalnya -- orang Islam tidak mudah untuk diajak mengganti salam Islam dengan salam lainnya. Karena salam resmi orang Islam, sesuai ajaran Nabi saw adalah: Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.” Ucapan salam seperti ini berdasarkan contoh dari Nabi Muhammad, bukan berasal dari budaya atau hasil Kongres umat Islam pada saat tertentu. Di mana pun, kapan pun, umat Islam akan mengucapkan salam seperti itu. Apa pun suku dan bangsanya. Upaya untuk “pribumisasi” salam Islam dan menggantinya dengan “Selamat pagi” dan sejenisnya, telah gagal dilakukan. Dulu, semasa menjabat sebagai Menteri P&K (1978-1982), Dr. Daoed Joesoef menolak mengucapkan salam Islam, dengan alasan, ia bukan hanya menterinya orang Islam.

Sekarang, cara berpikir Daoed Joesoef itu sudah out of date, sudah ketinggalan zaman. Kini, Presiden SBY pun sangat fasih dalam mengucapkan salam. Bahkan, biasanya ia mendahului dengan ucapan basmalah. Sekarang sudah banyak tokoh non-Muslim yang dengan lancar mengucapkan salam Islam. Saya pernah bertanya kepada seorang tokoh non-Muslim, apakah dia boleh mengucapkan salam Islam, seperti yang baru saja dia ucapkan. Dia menjawab: Boleh!

Kondisi seperti itu berbeda dengan umat Islam. Untuk urusan salam saja, Rasulullah saw memberikan contoh dan panduan yang sangat rinci. Bagaimana seharusnya seorang Muslim memberikan salam kepada sesama Muslim, bagaimana menjawab salam dari non-Muslim, dan sebagainya. Umat Islam secara ikhlas berusaha mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw tersebut. Sifat dan posisi ajaran Islam seperti ini seyogyanya dipahami. Termasuk dalam soal perayaan Hari Besar Agama. Panduan dalam soal ini juga sangat jelas. Karena itu, jika umat Islam menolak untuk mengikuti Perayaan Hari Besar agama lain, itu pun harusnya dipahami dan tidak dicap sebagai bentuk rasa permusuhan dengan agama lain. Pemahaman akan sifat dan karakter masing-masing agama itu perlu dipahami oleh masing-masing tokoh agama, agar tidak memaksakan pemahamannya kepada orang lain.

Budaya dan Misi

Aspek lain yang menonjol dalam Peraayaan Natal Bersama 27 Desember 2009 adalah upaya kaum Kristen untuk menampilkan citra adanya penyatuan Kristen dengan budaya Indonesia. Para penari mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah. Citra penyatuan Kristen dengan adat istiadat di Indonesia sudah lama diusahakan oleh para misionaris di Indonesia. Strategi budaya dijalankan agar misi Kristen lebih mudah diterima oleh rakyat Indonesia, dan agar citra Kristen sebagai agama penjajah dapat hilang di mata rakyat.

Penyebaran agama Kristen dengan strategi budaya Jawa pada dekade pertama abad XX, misalnya, terutama ditempuh oleh kalangan Yesuit dan juga misi Katolik pada umumnya. Misi Kristen ingin menggusur atau memisahkan citra penyatuan Islam dengan Jawa. Tokoh misionaris Katolik, misalnya, telah lama berusaha menggusur dominasi bahasa Melayu dan menggantinya dengan bahasa Jawa. Di sekolah Katolik di Muntilan, misalnya, penggunaan bahasa Melayu dihindari sejauh mungkin. Sebab, bahasa Melayu identik dengan bahasa kaum Muslim. Penggunaan bahasa Melayu dikhawatirkan akan menyiratkan dukungan terhadap agama Islam.

J.D. Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.”

Senada dengan ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: “Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara. (Seperti dikutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia).

Kiprah Pater van Lith dalam gerakan misi di Jawa digambarkan oleh Fl. Hasto Rosariyanto, SJ dalam bukunya, Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009). Dalam buku ini diceritakan, bahwa dalam suatu Kongres bahasa Jawa, secara provokatif van Lith memperingatkan orang-orang Jawa untuk berbangga akan budaya mereka dan karena itu mereka harus menghapus bahasa Melayu dari sekolah. Van Lith lebih suka mempromosikan bahasa Belanda, karena dianggapnya sebagai bahasa kemajuan.

Upaya untuk menggusur bahasa Melayu dari kehidupan berbangsa di Indonesia, sebagaimana dipromosikan van Lith tidak berhasil dilakukan. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai suku bangsa justru mendeklarasikan: “Kami berbahasa satu, bahasa Indonesia.” Demi persatuan bangsa, para pemuda dari Jawa juga merelakan bahasa Jawa tidak dijadikan sebagai bahasa nasional Indonesia.

Van Lith, yang datang ke Indonesia pada 1896, menulis dalam sebuah suratnya:

“Jika para misionaris ingin membawa orang non-Kristen kepada Kristus, mereka harus menemukan titik-awal bagi penginjilan. Di dalam agama merekalah terletak hati dari orang-orang ini. Kalau para misionaris mengabaikan ini, mereka juga akan kehilangan titik temu untuk menawarkan kabar gembira dalam hati mereka. Di Pulau Jawa, khususnya, di mana penduduk yang paling maju dari seluruh kepulauan ini tinggal, mempelajari Hinduisme, Budhisme, Islam, dan budaya Jawa adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda. Agama-agama ini telah berkembang, tetapi agama asli tidak pernah tercabut dari hati orang-orang ini.”


Dalam salah satu artikelnya yang ditemukan sesudah kematiannya, van Lith juga menyemangati teman-teman misionaris agar menempatkan diri sesama warga dengan orang Jawa:

“Kalau kita, orang Belanda, ingin tetap tinggal di Jawa dan hidup dalam damai dan menikmati keindahan serta kekayaan pulau tercinta ini, maka ada satu tuntutan, yaitu bahwa kita harus selalu belajar memperlakukan orang Jawa sebagai saudara kita. Di tengah-tengah orang Jawa, kita tidak bisa berlagak seperti penguasa, atau sebagai majikan, atau sebagai komandan, tetapi seharusnya sebagai sesama warga. Kita harus belajar menyesuaikan diri, belajar menguasai bahasa orang-orang ini dan adat kebiasaan mereka; hanya dengan berlaku demikian kita bisa menjalin persahabatan dengan mereka ini.”


Demi pendekatan budaya, van Lith sampai bisa menerima orang Katolik Jawa melakukan sunat. Padahal, dalam suratnya, Paulus menyatakan: “Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu”. (Gal. 5,2). Van Lith menerima sunat bagi orang Katolik Jawa, tetapi menolak tambahan doa Arab (Islam). Ia juga menentang sunat sebagai bentuk pertobatan menjadi Muslim.

Para misionaris, seperti van Lith, berkeinginan memisahkan orang Jawa dengan Islam. Sebab, orang Jawa memang sangat kokoh memegang identitasnya sebagai Muslim, meskipun mereka belum mengamalkan ajaran Islam sepenuhnya. Sulitnya orang Jawa ditembus misi Kristen digambarkan oleh tokoh misi Katolik, Pater van den Elzen, dalam sebuah suratnya bertanggal 19 Desember 1863:

“Orang Jawa menganggap diri mereka sebagai Muslim meskipun mereka tidak mempraktekkannya. Mereka tidak bertindak sebagai Muslim seperti dituntut oleh ajaran “Buku Suci” mereka. Saya tidak dapat mempercayai bahwa tidak ada satu pun orang Jawa menjadi Katolik semenjak didirikannya missi pada tahun 1808. Dulunya Jawa ini sedikit lebih maju daripada sekarang ini. Sejak tahun 1382, ketika Islam masuk, Jawa terus mengalami kemunduran. Saya dapat mengerti sekarang, mengapa Santo Fransiskus Xaverius tidak pernah menginjakkan kakinya di Jawa. Tentulah ia mendapat informasi yang amat akurat tentang penduduk di wilayah ini, termasuk Jawa. Dan Portugis yang telah berhasil menduduki beberapa tempat disini menganjurkan agar ia pergi ke Maluku, Jepang, dan Cina, karena tahu tak ada apa-apa yang bisa dibuat di Jawa. Akan tetapi, dalam pandanganku di pedalaman toh ada sesuatu yang dapat dilakukan.”


Demikianlah semangat misi Kristen untuk mengubah agama orang Jawa, dari Islam menjadi Kristen. Berbagai cara telah dan terus digunakan untuk menjalankan misi tersebut. Kaum Muslim memahami semangat kaum Kristen tersebut. Tapi, tentunya, tidak mudah bagi kaum Muslim untuk menerima begitu saja usaha kaum misionaris tersebut. Sebab, bagi orang Muslim, keimanan adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan mereka. [Depok, 14 Muharram 1431 H/1 Januari 2010/www.hidayatullah.com]

Read More......

Wahai Pemuda, Jangan Layu Sebelum Berbuah!

Sering di usia produktif, dorongan kuat untuk beramal saleh berbanding lurus dengan dorongan melanggar.


SEMUA manusia di dunia ini secara fisik tunduk kepada fenomena penciptaan-Nya. Ia akan meniti fase shobi (bayi), thifl (balita), murahiq (pemuda), kuhulah (dewasa), dan syaikh (tua). Makhluk-makhluk-Nya itu selalu bertasbih kepada Allah Swt dengan bahasanya sendiri. Tetapi, usia paling menentukan arah kehidupan seseorang adalah fase murahaqa (puber) dan kuhulah (produktif) antara usia 15-35 tahun.

Ada sebuah ungkapan ahli hikmah: “Siapa yang tumbuh, berkembang pada masa mudanya di atas, akhlak, orientasi (ittijah), kepribadian (syakhshiyyah), karakter, bakat (syakilah) khusus, maka rambutnya akan memutih (al masyiibu) dalam keadaan ia memiliki tradisi (daabu), akhlak seperti itu.”

Ahli sastra Arab dahulu pernah menjelaskan impian orang tua yang ingin kembali pada masa muda. Tetapi, itu suatu kemustahilan.

اَلاَ لَيْتَ الشَّباَب يَعْود يَوماً . سأُخْبِره بِماَ فَعَلَ الْمَشيْب

“Alangkah indahnya jika masa muda kembali lagi hari ini. Aku akan memberitahukan kepada khalayak (ramai) tentang apa yang dilakukan oleh orang yang sudah pikun dan beruban”.

Marilah kita hitung usia produktif dalam logika kehidupan manusia.

Umumnya umat Rasulullah Saw berusia antara 60-70 tahun (HR. Ahmad). Seumpama kita ditakdirkan berumur 63 tahun seperti uswah, qudwah (panutan) kita, 13 tahun pertama tentu tidak masuk perhitungan, berarti tidak bisa kita nilai. Kita belum baligh. Jadi, usia kita yang bisa dihitung 47 tahun.

Jika dalam sehari tidur belasan jam. Yang tersisa setiap hari 2/3. Tinggallah seputar 16 jam. Dalam aktivitas tidur tersebut tidak ada catatan amal. Untuk ukuran ini saja, dari 47 tahun, yang tertinggal 2/3-nya.

Lantas, sebagian besar ke mana? Orang itu produktif pada usia puber atau pada usia tua? Pertanyaan itu perlu kita jawab secara serius. Supaya aktivitas kita bisa dihisab oleh Allah Swt.

Semakin sering kita berhasil menghadapi godaan pada usia muda, seperti itulah ending kita pada masa tua (syaikhukhah). Sebaliknya, semakin sering kita kalah dalam mengantisipasi ujian, seperti itulah akhir kehidupan kita. Pertarungan yang paling berat dan keras adalah pada usia muda. Kalau diibaratkan seperti matahari, maka usia muda adalah ketika sinar matahari berada persis di tengah-tengah kita. Betapa teriknya pada siang bolong itu.

Itulah sebabnya Allah Swt memberikan penghargaan kepada pemuda yang tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah Swt (syaabun nasya-a fi ‘ibadatillah). Bahkan Allah Swt memberikan perlindungan di padang Mahsyar, ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya. Karena pada usia produktif tersebut dorongan kuat untuk beramal saleh berbanding lurus dengan dorongan melanggar. Maka, mengelola masa muda agar tunduk kepada karakter keagamaan merupakan perjuangan yang berliku, licin, dan mendaki. Hanya pemuda yang mendapat rahmat dari-Nya yang berhasil melewati godaan.

أَللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ عُمْرِيْ أَخِرَهُ وَ خَيْرَ عَمَلِيْ خَوَاتِيْمَهُ وَ خَيْرَ أَيَّامِيْ يَوْمَ أَلْقاَكَ فِيْهِ


“Ya Allah, jadikanlah usiaku yang paling baik adalah pada penghujungnya, dan amalku yang terbaik adalah pungkasannya, dan hari-hariku yang terbaik adalah hari-hari saya bertemu dengan-MU.” [al Hadits].

Secara sunnatullah keberhasilan masa tua kita ditentukan oleh perjuangan yang tak kenal menyerah di masa muda. Keberhasilan mustahil diperoleh dengan gratis (majjanan), tanpa melewati proses ujian. Ibarat anak sekolah, untuk naik kelas harus mengikuti ujian. Jika kita kurang terampil mengelola masa muda dengan menggali potensi thalabul ‘ilmi (ijtihad), taqarrub ilallah (mujahadah), jihad fii sabilillah (jihad), secara maksimal kelak akan kita pertanggungjawabkan di Mahkamah Ilahi (‘an syabaabihi fiimaa ablaahu).

Ali bin Abi Thalib mengatakan:

مَنْ ساَءَ خُلُقُهُ عَذَّبَ نَفْسَهُ

“Barangsiapa jelek akhlaknya (ketika pemuda), ia akan tersiksa ketika tua.”

Mengikuti Siklus Ibadah

Mengapa kita perlu shalat lima waktu sehari semalam. Kita ibarat membuat kolam renang di depan rumah, setiap kali azan berkumandang kita segera membersihkan lumpur yang menempel dalam diri kita. Sehingga tidak tersisa sisi gelap dalam pikiran dan hati kita, demikianlah sabda Rasulullah Saw.

demikian sabda Nabi.

Allah Swt membuat perencanaan ibadah, agar kita selalu terjaga. Ibadah yaumiyyah, harian (shalat lima waktu), usbuiyyah, mingguan (shalat Jum’at, puasa Senin Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan), syahriyyah, bulanan (puasa Ramadan), sanawiyyah, tahunan (shalat idul fithr dan idul qurban), marrotan fil umr, sekali seumur hidup (ibadah haji ke Baitullah).

Maka, kita perlu membuat standarisasi dalam beribadah. Ada empat kegiatan ubudiyah yang perlu kita lakukan dengan istiqomah (konsisten) dan mudawamah wal istimror (secara berkesinambungan).

Pertama : Shalat fardhu secara berjamaah di masjid

Kedua : Shalat sunnah rawatib ba’diyah dan qabliyah

Ketiga : Membaca al Quran satu juz sehari

Keempat : Ditambah dengan ibadah bulanan

Muhasabah : Seminggu sekali

Ibadah harian yang perlu dipertahankan untuk menjaga stamina ritme spiritual. Ibadah wajib kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (taqarrub). Ibadah sunnah kita lakukan, untuk membangun kecintaan secara timbal balik antara kita dengan Allah Swt. Jika kita sudah dicintai, aktifitas kita merupakan jelmaan dari kehendak-kehendak-Nya.

Supaya kita dekat dengan diri kita sendiri, kita perlu muhasabah usbuiyyah (intropeksi mingguan). Hati kita mengalami gerakan yang tidak berhenti. Dan itu harus selalu dikontrol. Jika kita sudah mencapai kenaikan grafik amal, dan kekurangan kita bisa kita hitung. Berarti kita dalam posisi ideal. Terjaga dari dosa, hanya Rasulullah Saw.

Bangkit Dari Keterpurukan

Jika kita terjatuh melakukan dosa, kita segera bangkit. Setiap langkah menuju dosa harus kita persempit ruangnya. Karena, dosa kecil yang kita remehkan, akan mengajak kepada dosa-dosa kecil berikutnya. Dosa itu beranak pinak, berkembang biak.

Langkah-langkah untuk bangkit, sebagai berikut:

Pertama: Istighfar (memohon ampun kepada Allah Swt). Bukan sekedar memperbanyak istighfar, sekalipun itu berpahala. Yang paling penting adalah dengan istighfar kita selalu menyadari seharusnya makin hari kekurangan, bau tidak sedap dalam diri kita semakin tertutupi (hilang).

Kedua, beramal. Setiap kali melakukan kejahatan, susullah dengan amal saleh. (ittaqillah haitsumaa kunta wa atbi’issayyiata al hasanata tamhuhaa). Kebaikan itu bisa menghapus dosa. Jika kita senang melakukan satu kebaikan, akan mengajak kepada kebaikan berikutnya. Misalnya, jika kita suka ke masjid, maka dengan sendirinya kita akan termotivasi untuk melakukan berbagai amal saleh di situ. Sholat fardhu, sholat sunnah, membaca Al-Quran, zikir dll.

Rasulullah Saw bersabda : “Jika engkau melihat seorang laki-laki terbiasa ke masjid, saksikanlah sesungguhnya ia seorang beriman.” [al Hadits].

Demikian pula jika kita senang melangkahkan kaki menuju ke tempat maksiat, maka akan mengerakkan untuk berbuat dosa berikutnya.

Jika kita sedang bersemangat dalam beribadah, lakukanlah sebanyak mungkin yang Anda mampu. Jika grafik ibadah menurun, minimal pertahankan yang wajib. Hati kita elastis, fluktuatif. Kita memiliki saat maju dan saat mundur. Dengan cara di atas kita bisa mengelola naik turunnya hati kita dengan baik.

Terakhir: Berdoa kepada Allah Saw, semoga kita tetap teguh dalam agama-Nya. Ya muqollibal qulub tsabbit qolbii ‘alaa diinik (Wahai Yang Membolak Balikkan hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-MU).

Penutup, wahai para pemuda, ingatlah falsafah pohon pisang. “Janganlah mati sebelum berbuah.” [Abu Hilyatil Auliyah Hadziqoh/www.hidayatullah.com]

Read More......

Posisi Muhammadiyah

Oleh: Dr. Adian Husaini

Selama bulan Ramadhan 1430 Hijriah, sejumlah diskusi tentang Muhammadiyah digelar di berbagai tempat. Beberapa diantaranya sempat saya hadiri. Pada 5 September 2009 saya menghadiri diskusi yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta. Diskusi itu membahas topik Muhammadiyah antara Serbuan Fundamentalisme dan Liberalisme. Pada 10 September 2009, kembali saya menghadiri diskusi tentang Muhammadiyah dan Wahabi di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta.

Menyusul terjadinya bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, wacana tentang RADIKALISME keagamaan kembali mencuat. Radikalisme dianggap sebagai biang keladi munculnya terorisme. Orang menjadi teroris, menurut pendapat ini, karena dia beragama secara radikal. Maka, supaya tidak menjadi teroris, dilakukanlah proses “deradikalisasi”. Diskusi tentang masalah ini semakin marak, setelah mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono secara terbuka menunjuk paham Wahabi dan Ikhwanul Muslimin sebagai paham keras yang ada kaitannya dengan aksi terorisme.

Kebetulan, Hendropriyono juga baru saja lulus doktor di Universitas Gadjah Mada. Dalam disertasi doktornya di Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Terorisme dalam Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional.” AM Hendropriyono antara lain menulis: “Fundamentalisme yang diusungnya (al-Qaidah) hanya ingin menegaskan otoritas keagamaan yang bersifat holistik dan mutlak… bahkan Islam Indonesia menilai ancaman yang sangat berbahaya adalah mengidentifikasi Islam dengan fundamentalisme atau ideologi keras ala Wahabi atau Ikhwanul Muslimin…” (hal. 4).

Lebih jauh Hendropriyono juga menulis: Karenanya Gus Dur dan NU menyerukan perlawanan terhadap gerakan garis keras Wahabi yang sudah melakukan infiltrasi dan terus kembangkan sayapnya di Indonesia… adapun Wahabi yang secara intelektual dinilai marginal berkembang menjadi signifikan bukan karena pemikirannya, tetapi karena kekuasaan Raja Ibn Saud dan penerusnya. NU menolak ideologi dan gerakan ekstrim bersifat trans-nasional tersebut. (hal. 5)... Din Syamsuddin keluarkan keputusan No. 149/kep/I.0/B/2006, agar Muhammadiyah bebas dari paham, misi, politik dari luar.” (hal. 5).

Di tengah tekanan politik dan opini global semacam itu, maka sebagian kalangan Muslim berusaha “menyesuaikan diri”. Sejumlah negara dan LSM Barat kemudian juga menawarkan dana untuk proses de-radikalisasi Islam. Tentu saja, di tengah kesulitan ekonomi yang melanda bangsa Indonesia, dana-dana itu terlalu menggiurkan untuk ditolak oleh sebagian kalangan. Sejumlah organisasi dan tokoh Islam lalu meluncurkan pernyataan, bahwa mereka adalah muslim moderat. Mereka tidak termasuk radikal dan tidak termasuk juga liberal. Dalam berbagai artikel, saya sudah mengusulkan, agar perkataan radikal diganti dengan istilah “ekstrim”, sebab kata “ekstrim” memang ada padanannya dalam Islam, yaitu tatharruf atau ghuluw. Keduanya, berarti tindakan yang melampaui batas-batas syariat Islam.

Tidak dapat dipungkiri, ada sebagian kalangan Muslim yang bersikap ekstrim dalam memahami dan menjalankan agamanya. Ada yang dengan mudah mengkafirkan orang Islam lain, hanya karena perbedaan masalah furu’iyyah. Orang yang terlibat dalam pemilu, meskipun dengan niat untuk memperjuangkan Islam, dicap sebagai kaum musyrik. Tapi, ada juga kelompok – biasanya menyebut dirinya liberal – yang tidak mau lagi membedakan antara mukmin dan kafir. Bagi kelompok ekstrim jenis ini, semua agama sama saja. Baik beragama Islam atau beragama apa saja, dia pandang sama saja. Yang penting baginya adalah “agama kemanusiaan”. Padahal, dalam Al-Quran jelas-jelas dibedakan antara orang mukmin dan orang kafir. Orang mukmin disebut sebagai “khairul bariyyah” (sebaik-baik makhluk); sedangkan orang kafir disebut “syarrul bariyyah” (seburuk-buruknya makhluk).

Dalam diskusi di PW Muhammadiyah Yogya ketika itu, saya menyampaikan, agar kaum Muslim – khususnya warga Muhammadiyah – menyadari makna hakiki dari ad-Dinul Islam yang berbeda dengan segala agama yang eksis saat ini. Islam bukanlah agama budaya yang ajarannya tunduk kepada kondisi budaya setempat. Perbedaan hakikat Islam dengan agama lain inilah yang menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama yang memiliki ritual yang tidak berkembang sepanjang zaman. Keyakinan akan kebenaran dan keunikan Islam ini sama sekali tidak membenarkan kaum Muslim untuk bersikap tidak toleran terhadap pemeluk agama lain. Kaum Muslim pun juga diminta menghormati keyakinan agama lain, meskipun keyakinan mereka juga mengklaim kebenaran atas ajaran agama mereka sendiri.

Jika kita mencermati sejarah pendirian Muhammadiyah, tampak, bahwa dengan berdasarkan keyakinan terhadap Islam yang sangat kokoh itulah, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah1330 H atau 18 November 1912 M. Menurut Alwi Shihab, dalam bukunya Membendung Arus, Muhammadiyah didirikan sebagai respon terhadap (1) praktik keagamaan yang dinilai menyimpang dari ajaran Islam, (2) gerakan Kristenisasi dan (3) gerakan Free Mason. (Lihat, Alwi Shihab, Membendung Arus: Repons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (1998).

Jadi, sejak awal, Muhammadiyah bukan hanya peduli pada soal takhayul, bid’ah dan khurafat, tetapi juga sadar akan tantangan Kristenisasi dan liberalisasi yang diusung oleh Freemason. Kelompok terakhir ini terkenal dengan jargonnya: liberty, egality, dan fraternity. Freemason mulai beroperasi di Indonesia tahun 1764 dan dibubarkan oleh Bung Karno pada tahun 1961. Organisasi inilah yang rajin menggelorakan semangat dan slogan “Freedom” di berbagai penjuru dunia.

Sejak awal pendiriannya, Muhammadiyah sadar benar akan tantangan semacam itu. Maka, hingga saat ini, dengan keyakinan yang kuat itulah, warga Muhammadiyah – melalui Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah, menyatakan, bahwa “Muhammadiyah berasas Islam” (pasal 4). Sedangkan tujuan organisasi atau persyarikatan Muhammadiyah adalah tegas dan lugas: “Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” (pasal 6).

Dari Anggaran Dasar Muhamadiyah sendiri, dapat ditarik sejumlah pokok pikiran/prinsip/pendirian, yaitu (1) Hidup manusia harus berdasar Tauhid (meng-Esakan) Allah; beribadah serta tunduk dan taat hanya kepada Allah. (2) Hidup itu bermasyarakat. (3) Hanya hukum Allah yang sebenar-benarnyalah satu-satunya yang dapat dijadikan sendi untuk membentuk pribadi yang utama dan mengatur ketertiban hidup bersama (masyarakat) dalam menuju hidup bahagia dan sejahtera yang hakiki, di dunia dan akhirat. (4) Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah wajib, sebagai ibadah kepada Allah berbuat ihsan dan islah kepada manusia/masyarakat. (Pokok pikiran keempat ini dirumuskan dalam Muqaddimah AD Muhammadiyah sebagai berikut: Menjunjung tinggi hukum Allah lebih dari pada hukum yang manapun juga adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yang mengaku bertuhan kepada Allah. Agama Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia dunia dan akhirat). (5) Perjuangan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, hanyalah akan dapat berhasil bila mengikuti jejak (ittiba’) perjuangan para nabi terutama perjuangan Nabi Muhammad saw. (6) Perjuangan mewujudkan pokok pikiran tersebut hanyalah akan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan berhasil, bila dengan cara berorganisasi. Organisasi adalah satu-satunya alat atau cara perjuangan sebaik-baiknya.

Kuatnya visi dan misi keislaman Muhammadiyah dapat disimak dalam dokumen penting dalam Muhammadiyah yang disebut “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah”, yang antara lain menegaskan:

1. Muhammadiyah adalah Gerakan berasas Islam, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad saw, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: al-Quran dan Sunnah Rasul.
4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: aqidah, akhlak, ibadah, muamalah duniawiyat. (Penjelasan: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan churafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam…).
5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfilsafat Pancasila, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhai Allah SWT.

Demikianlah sekilas gambaran tentang Muhammadiyah. Apakah Muhammadiyah ada hubungannya dengan Wahabi? Tidak dapat dipungkiri, bahwa Gerakan Pembaruan di Timur Tengah, terutama yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran dan gerakan pendiri Muhammadiyah KH A. Dahlan. Rasyid Ridha sendiri juga banyak memberikan pembelaan terhadap pemikiran dan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang oleh para seterunya dicap sebagai pembawa paham Wahabi.

Di Indonesia, salah satu buku yang banyak dijadikan rujukan di Indonesia dalam mendeskripsikan apa itu Wahabi, adalah karya Prof. Dr. Harun Nasution, yang berjudul Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2003, cet. Ke-14). Dalam buku ini dijelaskan seputar gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad Abd Wahhab (1703-1787), sebagai berikut:

1. Yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah selain dari Tuhan telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.
2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi dari Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi musyrik.
3. Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirik.
4. Meminta syafaat selain kepada Tuhan juga syirik.
5. Bernazar kepada selain dari Tuhan juga syirik.
6. Memperoleh pengetahuan selain dari Alquran, Hadits dan qiyas (analogi) merupakan kekufuran.
7. Tidak percaya kepada kada dan kadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
8. Demikian pula menafsirkan Alquran dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur. (hal. 15-17)

Sayangnya, buku Prof. Harun Nasution ini sama sekali tidak menyebutkan rujukan dari satu pun karya Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri. Cara penilaian terhadap Wahabi semacam ini tentu saja tidak fair dan tidak ilmiah. Sebuah buku yang baik dalam menyajikan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab disusun oleh Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim. Buku itu diberinya judul al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah. Buku yang merupakan kumpulan karya dan surat-surat Muhammad bin Abdul Wahhab ini menghimpun berbagai jawaban sang tokoh terhadap tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri tidak pernah menamai ajarannya sebagai paham “Wahabi”. Orang-orang di luar dirinya yang memberikan nama itu. Beliau sendiri mengaku sebagai pemeluk mazhab Hanbali, sama dengan tokoh sufi Abdul Qadir al-Jilani. Buku-buku ilmiah tentang Wahabi perlu dikaji dengan serius agar tidak mudah memberikan gambaran yang keliru tentang paham Wahabi. Kita boleh saja berbeda tentang beberapa hal dengan mazhab atau kelompok lain. Tetapi, selama perbedaan itu masih dalam batas-batas keislaman, seharusnya di antara sesama Muslim terjalin sikap saling menghormati dan menghargai. NU dan Muhammadiyah, misalnya, adalah dua organisasi Islam yang sama-sama menegaskan komitmen kepada penegakan Islam. Perbedaan diantara keduanya masih dalam batas-batas furu’iyyah.

Di tengah dominasi paham sekularisme, liberalisme, materialisme, hedonisme, dan sebagainya, sebagai salah satu pengurus Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, saya hanya sempat berbagi harapan dengan sesama warga Muhammadiyah, bahwa yang terpenting saat ini, seluruh jajaran Muhammadiyah bersungguh-sungguh dan tetap istiqamah dalam merujudkan tujuan Muhammadiyah, yaitu: “MENEGAKKAN DAN MENJUNJUNG TINGGI AGAMA ISLAM SEHINGGA TERWUJUD MASYARAKAT ISLAM YANG SEBENAR-BENARNYA.”.

Dan salah satu pesan KH A. Dahlan kepada warga Muhammadiyah adalah: “Harus bersungguh-sungguh hati dan tetap tegak pendiriannya (jangan was-was).” Juga, pesan Kyai Ahmad Dahlan yang lain, “Jangan sentimen, jangan sakit hati, kalau menerima celaan dan kritikan.” (Catatan: Paparan tentang Muhammadiyah ini dikutip dari buku Ideologi dan Strategi Muhammadiyah karya Drs. H. Hamdan Hambali, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2008, cetakan keempat).

Insyaallah, dengan niat ikhlas dan kesungguhan dalam berjuang di jalan Allah, kita mampu menjaga dan melanjutkan amanah KH Ahmad Dahlan dan seluruh pejuang Islam di tubuh Muhammadiyah lainnya yang telah mempertaruhkan diri, harta, dan lisan mereka dalam upaya mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di bumi Indonesia tercinta ini. (Depok, 24 Ramadhan 1430 H/14 September 2009/www.hidayatullah.com]

Read More......

"YESUS" BELUM WAFAT

Di antara keyakinan Ahlussunnah, yang membedakannya dengan kelompok lain adalah aqidah tentang masih hidupnya Nabi Isa. Beliau ada di langit dan suatu saat nanti menjelang kiamat akan turun.


Yang membedakannya dengan aqidah orang Kristen adalah keyakinan kita bahwa beliau akan datang menegakkan syari’at Islam,membunuh babi, menghancurkan salib serta bahu membahu dengan kaum Muslimin bersama Imam mereka al-Mahdi guna melawan Dajjal bersama para tentaranya.

Pembahasan kali ini mencoba menyorot persoalan ini. Sebab tidak sedikit dari kaum Muslimin yang menolak judul di atas karena dianggap non sense. Selamat menyimak !

Nabi Isa ‘alaihissalam -atau dalam lidah orang barat disebut yesus-belumlah meninggal. Ayat-ayat dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa beliau tidaklah meninggal ataupun dibunuh, tetapi beliau telah diangkat ke langit.

Hal ini sebagaimana diterangkan oleh ayat berikut: “Dan karena ucapan mereka, “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Surat an-Nisaa’: 157-158)

Dalam beberapa terjemahan bahasa Inggris, kita mendapati beberapa ayat yang diterjemahkan memberi kesan bahwa Nabi Isa wafat sebelum Ia diangkat ke keharibaan Allah. Ayat-ayat ini adalah sebagai berikut: (Ingatlah) ketika Allah berfirman, “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku...(Surah Ali Imran: 55)

Pada surat al-Maa’idah ayat 117, peristiwa tersebut diceritakan dengan perkataan Nabi Isa yang juga diterjemahkan seperti itu, seolah-olah menyiratkan arti yang sama bahwa beliau telah wafat: “Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu, ‘Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu’, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (Surat al-Maa’idah: 117)

Meskipun demikian, makna bahasa Arab dari ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi Isa AS, tidak meninggal dalam arti yang kita pahami. Dalam bahasa Arab, kata yang diterjemahkan dalam ayat-ayat tersebut menjadi “meninggal” (to die) adalah kata “tawaffa” dan berasal dari kata “wafa’” (memenuhi/mengabulkan). Tawaffa tidak berarti “kematian” tetapi merupakan aksi “penarikan jiwa kembali”, baik dalam keadaan tidur maupun meninggal. Juga dari Al-Qur’an, kita memahami bahwa “penarikan jiwa kembali” tidak serta merta bermakna kematian. Misalnya, dalam satu ayat di mana kata “tawaffa” digunakan, makna yang dimaksud bukanlah kematian seorang manusia, tetapi “penarikan jiwa dari tidurnya”: Dan Dialah yang menidurkan kamu (yatawaffaakum) di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. (Surat al-An’aam: 60). Kata yang digunakan untuk “menarik kembali” dalam ayat ini adalah sama dengan kata yang digunakan dalam surat Ali Imran ayat 55. Dengan kata lain, dalam kedua ayat tersebut, kata “tawaffa” digunakan dan maknanya jelas bahwa seseorang tidak mati dalam kondisi tidurnya. Karena itu, apa yang dimaksudkan di sini adalah “menarik jiwa kembali”. Makna yang sama juga berlaku pada ayat berikut: “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. (Surat az-Zumar: 42)

Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat ini, Allah menarik jiwa orang yang sedang tidur, namun Dia mengirim kembali jiwa-jiwa tersebut kepada mereka yang waktu kematiannya belum ditentukan. Dalam konteks ini tidur, seseorang tidaklah wafat dalam arti meninggal. Akan tetapi, ini untuk periode yang temporal, jiwa meninggalkan tubuh dan tetap pada dimensi yang lain. Ketika kita terbangun, jiwa pun kembali ke dalam tubuh.

Imam al-Qurtubi menjelaskan bahwa ada tiga makna dalam istilah ‘wafat’: wafat kematian, wafat tidur, dan terakhir wafat diangkat kepada Allah. Kondisi terakhir inilah yang terjadi pada Nabi Isa AS. Kesimpulannya, kita dapat mengatakan bahwa Nabi Isa kemungkinan berada pada suatu tempat yang khusus, diangkat keharibaan Allah. Apa yang sebenarnya dia alami bukanlah kematian dalam arti yang biasa kita pahami, melainkan benar-benar merupakan suatu keberangkatan dari dimensi ini.

Nabi Isa Akan Kembali ke Bumi
Dari apa yang sejauh ini telah diterangkan, yang pasti adalah beliau akan turun ke bumi menjelang hari kiamat. Jabir bin Abdullah berkata, “Saya mendengarkan Rasulullah bersabda, ‘Umatku tidak akan berhenti berperang untuk membela yang benar hingga datang hari kiamat’. Rasulullah lalu bersabda, ‘Kemudian, turunlah Isa bin Maryam dan pemimpin mereka berkata, ‘Ke sinilah dan pimpinlah kami dalam shalat’, namun dia akan berkata, ‘Tidak! Sebab sebagian kalian adalah pemimpin untuk sebagian yang lain, sebagai penghormatan Allah terhadap umat ini (HR. Muslim), Jadi dengan demikian, Yesus belum wafat ! Wallahu Ta’ala a’lam [ab]

Read More......

Penistaan Al Quran ala doktor UIN jogja

Oleh : Dr Adian Husaini

Pada 5 November 2009, saya mendapat undangan untuk berbicara dalam sebuah seminar di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seminar bertema ”Islam dan Tantangan Pemikiran Global” itu diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Pesantren Modern Gontor cabang Lombok. Seminar dibuka oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Zainul Majdi. Turut memberikan sambutan adalah pimpinan Pondok Pesantren Gontor KH Abdullah Syukri Zarkasyi dan Tuan Guru Sofwan Hakim, ketua Forum Kerjasama Pesantren se-NTB. Seminar dihadiri sekitar 300 pimpinan dan guru-guru pesantren se- NTB. Tim pembicara dari INSISTS dipimpin oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.



Tampaknya, bagi para ulama dan tokoh Islam di NTB, isu liberalisasi Islam sudah cukup akrab dengan mereka. Mereka mengakui, sejumlah masalah yang dibahas dalam seminar sudah terjadi juga di daerah mereka, meskipun dalam skala yang belum masif seperti di sejumlah kota di Pulau Jawa. Salah satu masalah yang sudah mulai dilontarkan kaum liberal di NTB adalah soal ”Desakralisasi Al-Quran.” Ada seorang tokoh yang mengaku sempat berdiskusi dengan seorang mahasiswa IAIN Mataram, yang bertanya kepadanya: ”Apakah Al-Quran itu benar-benar suci atau dianggap suci?”

Mendengar pertanyaan itu saya menjawab dengan agak bercanda, ”Tanyakan pada si mahasiswa, apakah dia benar-benar manusia atau dianggap manusia?”



Dalam seminar di NTB, isu ”desakralisasi Al-Quran” memang disinggung juga oleh KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Gubernur NTB yang juga kandidat doktor ilmu Tafsir di Universitas al-Azhar Kairo, bahkan menguraikan cukup panjang sejarah serangan kaum orientalis terhadap Islam, termasuk terhadap Al-Quran. Ia menunjukkan sejumlah contoh kesungguhan dan kesabaran para orientalis dalam menyerang Islam. ”Sehingga dalam pertarungan ini, siapa yang lebih sabar yang akan menang,” ujarnya seraya mengajak para peserta seminar untuk meningkatkan kesabaran dalam berjuang.



Proyek ”desakralisasi Al-Quran” memang termasuk salah satu tema pokok dalam liberalisasi Islam. Mengikuti tradisi kajian Al-Quran model orientalis, sejumlah pemikir liberal tampak berusaha keras meyakinkan kaum Muslim, bahwa Al-Quran bukanlah sebuah kitab suci, tetapi kitab yang dianggap suci. Ada yang berusaha keras menulis artikel untuk membuat kaum Muslimin ragu-ragu terhadap kebenaran dan keotentikan Al-Quran. Dia mencoba meyakinkan, bahwa Al-Quran adalah kitab biasa-biasa saja, yang juga mengandung kesalahan secara tata bahasa. Tentu saja, pekerjaan semacam ini akan sia-sia saja. Meskipun si penulis mendapatkan imbalan tertentu di dunia.



Pikiran semacam ini tampaknya cukup luas merasuki pemikiran kalangan akademisi di lingkungan Perguruan Tinggi Islam saat ini. Tentu kita masih ingat, bagaimana seorang dosen IAIN Surabaya yang pada 5 Mei 2006, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. Dia katakan, "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput. Sebagai budaya, Al-Quran tidak sakral. Yang sakral adalah kalamullah secara substantif.”



Sebuah jurnal yang diterbitkan di IAIN Semarang edisi 23 Th. XI/2003, menulis di sampul belakangnya: ”ADAKAH SEBUAH OBJEK KESUCIAN DAN KEBENARAN YANG BERLAKU UNIVERSAL? TIDAK ADA! SEKALI LAGI, TIDAK ADA! TUHAN SEKALIPUN!” Di pengantar redaksinya juga ditegaskan: ”Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”



Mengapa kaum liberal giat dalam mengkampanyekan tema ”desakralisasi Al-Quran”, bahwa Al-Quran bukanlah kitab suci? Ternyata, jika kita cermati, tujuan mereka adalah ingin memberikan legitimasi terhadap masuknya berbagai metode penafsiran Al-Quran, di luar ilmu Tafsir Al-Quran. Dengan meletakkan posisi Al-Quran sebagai teks biasa, teks sastra, teks budaya, atau teks sejarah, yang sama dengan teks-teks lain, maka dimungkinkan masuknya model pemahaman Al-Quran yang baru, seperti hermeneutika.



Di NTB itulah, saya lebih berkesempatan membaca sebuah buku berjudul Arah Baru Studi Ulum Al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya karya seorang dosen STAIN di Jawa Timur, yang juga doktor lulusan UIN Yogyakarta. Sebut saja inisialnya ”AW”. Tesis master dosen ini juga sudah diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, yang juga menolak kesucian Al-Quran. Buku Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, semakin menegaskan, adanya kecenderungan dan gerakan penghancuran ulumul-Quran para ulama Islam, digantikan dengan teori-teori ilmu sosial para ilmuwan Barat. AW sangat getol dalam mempromosikan penggunaan hermeneutika untuk – katanya – memahami pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani. Seperti biasa, para pengguna hermeneutika biasanya melakukan proses desekralisasi teks Al-Quran. Itu pula yang dilakukan dosen STAIN ini. Simaklah pandangan penulis tentang Al-Quran berikut ini:



”Dalam karya ini, saya membedakan antara wahyu, al-Qur’an, dan Mushaf Usmani. Ketiganya adalah tiga nama yang kendati mengacu pada satu substansi, tetapi kadar muatan ketiganya berbeda. Wahyu sebagai pesan otentiks Tuhan masih memuat keseluruhan pesan Tuhan; al-Qur’an sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab oral memuat kira-kira sekitar 50 persen pesan Tuhan; dan Mushaf Usmani sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab tulis hanya memuat kira-kira tiga puluh persen pesan Tuhan. Jika selama menjadi wahyu masih memuat keseluruhan pesan Tuhan, tidak demikian halnya ketika telah menjadi Al-Quran dan Mushaf Usmani. Hal itu terjadi, bukan karena Tuhan tidak mampu menjamin keabadian pesan-Nya, melainkan karena keterbatasan Bahasa Arab yang dijadikan wadah pesan Tuhan yang tak terbatas itu.” (hal.vii).



Saya sangat prihatin dan sekaligus kasihan membaca berbagai uraian dalam buku ini. Sebab, buku ini ditulis oleh seorang dosen agama dan doktor lulusan UIN Yogya. Selain disebarkan melalui tulisan, dosen ini tentu juga mengajarkan pemikirannya kepada para mahasiswanya. Banyak sekali kekacauan dan kerancuan pemikirannya, yang tentu saja memerlukan terapi yang sangat serius. Marilah kita lihat contoh-contoh kekacauan berpikir dosen yang dinyatakan lulus doktornya di UIN Yogya dengan predikat cum laude ini. Dia menulis sebagai berikut:



”Ketika pesan Tuhan diwadahkan ke dalam bahasa Arab itu, maka Muhammad sebagai agen tunggal Tuhan yang juga sebagai masyarakat Arab memilih lafaz dan makna tertentu yang mampu memuat dua pesan, yakni pesan Tuhan dan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Implikasinya, teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya mampu menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun. Oleh karena itu, diperlukan sebuah teori interpretasi lain yang dinilai mampu menemani tafsir, sehingga yang terungkap bukan hanya pesan pemilik bahasa,tetapi juga pesan Tuhan. Hermeneutika tampaknya bisa menjadi mitra tafsir guna mengungkap pesan Tuhan di balik Bahasa Arab sebagai fenomena budaya.” (hal.viii).



Sekilas saja, kita bisa menilai, bahwa kata-kata si dosen STAIN itu sebenarnya asbun (asal bunyi). Tuduhan bahwa Ilmu Tafsir selama ini tidak mampu menangkap pesan Allah dalam Al-Quran adalah suatu bentuk pernyataan asal-asalan. Tentu kita tidak bisa menyimpulkan si dosen ini ”sakit jiwa”, sebab bisa meraih gelar doktor dari UIN Yogya dengan predikat cum laude dan bisa menulis banyak buku. Tetapi, yang jelas, selama 1400 tahun lebih, umat Islam di seluruh dunia telah memahami Al-Quran dengan menggunakan Ilmu Tafsir dan tidak menggunakan hermeneutika. Lalu, tiba-tiba di ”zaman edan” ini muncul ”pemikir luar biasa hebat” dari UIN Yogya yang dengan gagah berani menyimpulkan:



”teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya mampu menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun.”



Karena berlagak menjadi mujtahid besar itulah maka pengguna hermeneutika -- seperti penulis buku ini -- lalu bersikap sok hebat dan merendahkan martabat, keilmuan, dan keikhlasan Khalifah Usman bin Affan serta para ulama Islam terkemuka. Tapi, ironisnya, pada saat yang sama, kaum liberal juga sangat hormat dan bertaklid buta begitu saja kepada Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Khaled Abou el-Fadl, Farid Essac, Paul Ricour, Fazlur Rahman, Hegel, dan sebagainya.



Simaklah sejumlah ungkapan AW tentang Mushaf Usmani berikut ini:



”Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa proses pembukuan Al-Quran diwarnai campur tangan Utsman dalam posisinya sebagai khalifah, yang oleh Abu Zayd disebut sebagai ”dekrit” khalifah.” (hal. 169)... ”Maka tidak bisa disalahkan kiranya jika diasumsikan bahwa di balik keputusan khalifah Utsman tersebut mengandung adanya unsur ideologis, terutama ideologi pemilik bahasa yang dipilih menjadi bahasa Mushaf Usmani.” (hal. 170)...”Lebih-lebih, Khalifah Utsman telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus kitab-kitab individu, seperti milik Ibnu Mas’ud dan Siti Hafsah. Ini jelas berimplikasi pada pemusatan pembacaan hanya pada Mushaf Usmani. Jika boleh memberi istilah, Mushaf Usmani ini telah menjadi ”penjara” bagi pesan rahasia Tuhan. Penjara yang dimaksud di sini adalah ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan al-Qur’an (Mushaf Usmani) merupakan dua anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya.” (hal. 172).



Begitulah pandangan doktor UIN Yogya yang sangat merendahkan martabat Sayyidina Utsman bin Affan dan menistakan Al-Quran. Sebenarnya, jika AW mau mengungkapkan berbagai penjelasan dalam kitab Ulumul Quran, maka dengan mudah ditemukan penjelasan seputar tindakan Khalifah Utsman r.a. yang sangat mulia dan luar biasa besar jasanya dalam kodifikasi Mushaf Al-Quran. Tapi, dia lebih percaya kepada pendapat-pendapat orientalis yang memberikan berbagai tuduhan dan sangkaan terhadap Khalifah Utsman r.a., menantu Rasulullah saw, dan termasuk salah satu sahabat yang dijamin masuk sorga oleh Rasulullah saw.



Tindakan Sayyidina Utsman itu pun sudah mendapat pesertujuan dari semua sahabat, termasuk Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menentang tindakan Utsman r.a., karena memang kodifikasi Al-Quran itu bukan dilakukan untuk kepentingan politik atau kesukuan. Karena itulah, sepanjang sejarah Islam, meskipun terjadi berbagai konflik politik, tidak pernah terpikir suatu rezim untuk membuat Al-Quran baru. Betapa pun kerasnya konflik antara Ali dan Mu’awiyah, keduanya tetap menjadikan Mushaf Utsmani sebagai pedoman. Setelah Abbasiyah berkuasa, mereka juga tidak mengganti Mushaf Utsmani dengan Mushaf baru. Maka, tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman r.a. dan Mushaf Utsmani sebenarnya sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan kebodohan dan kebencian.



Kajian terakhir yang menyudutkan Mushaf Usmani, misalnya datang dari seorang orientalis Kristen Jerman (berasal dari Lebanon) yang menggunakan nama samaran Christoph Luxenberg. Sebagaimana para pendahulunya, Luxenberg juga menggugat Al-Quran sebagai “wahyu” yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Ia mencoba menggugurkan keyakinan kaum Muslim bahwa Al-Quran adalah “tanzil”, “suci”, bebas dari kesalahan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran (QS 15:9). Menurut Luxenberg -- dengan melakukan kajian semantic terhadap sejumlah kata dalam Al-Quran Arab yang diambil dari perbendaharaan bahasa Syriac -- Al Qur'an yang ada saat ini (Mushaf Utsmani) adalah salah salin (mistranscribed) dan berbeda dengan teks aslinya. Teks asli Al Qur'an, simpulnya, lebih mirip bahasa Aramaic, ketimbang Arab. Dan naskah asli itu telah dimusnahkan Khalifah Usman bin Affan. Dengan kata lain, Al-Quran yang dipegang oleh kaum Muslim saat ini, bukanlah wahyu Allah SWT, melainkan akal-akalan Utsman bin Affan r.a.



Lunxenberg – seperti banyak orientalis lainnya – mempertanyakan motivasi Utsman bin Affan melakukan kodifikasi Al-Quran. Ia menduga, teks Al-Quran yang dimusnahkan Utsman bin Affan berbeda dengan teks Mushaf Utsmani yang sekarang ini. Tuduhan semacam ini sama sekali tidak beralasan, sebab proses kodifikasi Al-Quran di zaman Utsman bin Affan sangat terbuka kerjanya, dan Al-Quran selalu diingat oleh ratusan, ribuan – bahkan kini jutaan kaum Muslimin. Setiap kekeliruan akan selalu dikoreksi oleh kaum Muslim.



Tetapi, para orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang Al-Quran dengan berbagai cara. Ironisnya, cara-cara orientalis semacam ini sekarang dilakukan oleh beberapa akademisi dari kalangan Perguruan Tinggi Islam sendiri. Bahkan, tuduhan-tuduhan tidak beradab terhadap Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu seperti yang dilakukan doktor UIN Yogya itu juga kemudian dialamatkan kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Dengan menjiplak begitu saja pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, tanpa sikap kritis sedikit pun, AW menulis: ”Al-Quran versi bahasa Quraisy inilah yang diperjuangkan oleh Imam Syafi’i sebagai wahyu Tuhan yang layak dihormati hingga pada teks tulisannya, sebagai konsekuensi logis di mana dan dalam suku apa ia dilahirkan.” (hal. 170).



Tentu sangatlah tidak beradab memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada seorang ulama besar seperti Imam Syafii, yang begitu besar jasanya kepada umat Islam. Apalagi memberikan tuduhan dan prasangka negatif kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. Umat Islam sangat mencintai Nabi Muhammad saw, dan tentu, umat Islam juga sangat mencintai para sahabatnya dan juga pelanjut risalahnya, yaitu para ulama yang alim dan shalih. Adab seperti inilah yang seharusnya dijaga dalam dunia ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Tindakan menghujat dan melecehkan Al-Quran, sahabat, dan ulama, tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun dengan mengatasnamakan kebebasan ilmiah dan sikap kiritis.



Apalagi, faktanya, doktor UIN Yogya ini juga sama sekali tidak bersikap kritis ketika mengutip pendapat-pendapat para orientalis dan pemikir liberal. Ia menolak pemahaman bahwa lafaz dan makna Al-Quran (Mushaf Utsmani) berasal dari Allah, sehingga bersifat sakral (suci), dan membacanya dalam bentuk tartil pun dinilai sebagai membaca wahyu Allah dan si pembaca mendapatkan pahala. Menurut sang doktor UIN Yogya tersebut, yang sakral dari Mushaf Utsmani hanyalah maknanya, sementara lafaznya tidak sakral.



”Namun demikian, lafadznya, sebagai wadah pesan Tuhan tetap harus dihormati. Karena itu, yang dianjurkan membaca di sini adalah dalam arti mengungkap pesan itu, bukan tartilnya. Karena pesan itu terdapat dalam bahasa yang profan, maka diperlukan alat apa saja yang secara metodologis absah digunakan dalam sebuah kajian ilmiah, termasuk hermeneutika.” (hal. 184).



Membaca pemikiran doktor cum laude dari UIN Yogya ini, tentu wajar jika selama ini kita mempertanyakan, mengapa penggunaan hermeneutika dalam studi Al-Quran terus digalakkan di Perguruan Tinggi Islam. Tampak jelas, bagaimana pemikiran sang doktor ini dalam menistakan Al-Quran, para sahabat Nabi Muhammad saw, dan para ulama Islam yang sangat kredibel. Kita bisa melihat bagaimana tendensiusnya kajian yang mempromosikan hermeneutika sebagai metode alternatif dalam penafsiran Al-Quran. Kajian semacam ini jauh dari sikap ilmiah yang bermutu. Maka, adalah aneh, ketika seorang guru besar di UIN Yogya, Prof. Dr. Hamim Ilyas, membuat kriteria bahwa salah satu ciri kaum fundamentalis adalah menolak penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran.

Mengapa muncul kegilaan pada hermeneutika dan penistaan Ilmu Tafsir pada sebagian akademisi di Perguruan Tinggi Islam? Kita menemukan jawabannya pada artikel Dr. Syamsuddin Arif di Harian Republika (30 September 2004), yang berjudul “Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd”:



“Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak mengatakan seluruhnya -- adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat… Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.”



Dan memang faktanya, para pengguna hermeneutika dan pengecam Tafsir Al-Quran, hingga kini tidak pernah mampu membuat satu Tafsir Al-Quran pun. Sebab, tampaknya, ”maqam” mereka baru sampai pada tahap merusak dan hanya isapan jempol belaka, jika diangggap para hermeneut ini mampu menciptakan metode Tafsir Al-Quran baru yang sanggup menandingi kehebatan Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fiqih, dan sebagainya. Bahkan, tampak jelas, buku karya doktor UIN Yogya ini pun tidak menunjukkan contoh, bagaimana metode dan model Studi Al-Quran yang baru dan hebat.

Kita yakin, Al-Quran ini Kalamullah. Al-Quran adalah milik Allah. Dan pasti, Allah yang menjaganya dari berbagai upaya untuk merusaknya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang tahu diri! Tidak patut burung emprit berlagak seperti burung elang. Wallahu a’lam. [Malang, 7 November 2009/www.hidayatullah.com]



Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Read More......

Penyebab terbesar terjadinya bencana Merapi

Tradisi LABUHAN MERAPI yang pernah dipimpin MARIDJAN untuk menghormati KYAI SAPU JAGAT [Iblis penghuni Merapi, semoga Allah Ta'ala melaknatnya] yang mereka yakini sebagai penjaga keselamatan dan ketentraman Kesultanan dan warga Jogya, adalah bentuk SYIRIK kepada ALLAH TA’ALA dalam ULUHIYYAH dan RUBUBIYYAH sekaligus dan SEBAB TERBESAR bencana Merapi.

Betapa Allah Ta’ala tidak murka, ibadah yang seharusnya hanya dipersembahkan kepada-Nya mereka persembahkan kepada IBLIS PENGHUNI GUNUNG MERAPI. Mereka persembahkan beberapa bentuk ibadah kepadanya:
1. Memohon keselamatan kepadanya [Du'aul Mas'alah]
2. Harap kepadanya [ibadah hati]
3. Takut kepadanya [ibadah hati]
4. Tawakkal kepadanya [ibadah hati]
5. Biasanya ditambahi dengan sesajen berupa hewan sembelihan dan berbagai jenis makanan sebagai persembahan kepadanya

Ini dalam uluhiyyah [ibadah]. Adapun dalam rububiyyah, mereka yakini iblis tersebut sebagai penyelamat mereka, pelindung dan pemberi rasa aman kepada mereka. Demi Allah, tidak ada sebab bencana yang melebihi kezaliman terbesar ini. Allah Ta’ala telah mengingatkan

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا

“Dan mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Penyayang mempunyai anak.” Sesungguhnya (dengan perkataan itu) kamu telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, serta gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Penyayang mempunyai anak”.” (Maryam: 88-91)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga telah mengingatkan

اجتنبوا السبع الموبقات قالوا يا رسول الله وما هن قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”, Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah apakah tujuh perkara yang membinasakan itu?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan riba’, lari dari medan perang (jihad), menuduh berzina wanita mu’minah padahal dia tidak tahu menahu (dengan zina tersebut)”.” (HR. Al-Bukhari, no. 2615 dan Muslim, no. 272)

Lebih parah lagi, ketika mereka ditimpa musibah, bukannya kembali kepada Allah Ta’ala, bertaubat kepada-Nya dam memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, malah mereka kembali kepada juru kunci pewaris Maridjan dan kepada benda-benda [jimat] yang mereka yakini itulah yang bisa menyelamatkan mereka dari bencana.

Maka dalam hal ini, kesyirikan mereka lebih buruk dari syiriknya orang-orang musyrikin Jahiliyah dahulu [yang Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam diutus untuk MENDAKWAHI dan MEMERANGI mereka], dimana mereka (sebagian musyrikin Jahiliyah) hanya menyekutukan Allah Ta’ala ketika mereka dalam keadaan aman dan tantram, namun ketika ditimpa bencana dan membutuhkan pertolongan, mereka kembali mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka menyekutukan-Nya.” (Al-‘Ankabut: 65)

Jika mereka mengatakan, “Kami mempersembahkan upacara kepada KYAI SAPU JAGAT [maupun bertawasul dengan para nabi dan wali] hanyalah agar beliau menjadi WASILAH atau perantara untuk mendekatkan diri kami kepada Allah Ta’ala, atau agar beliau memintakan keamanan untuk kami kepada Allah Ta’ala”.

JAWABANNYA: Kesyirikan ini sama persis dengan yang dilakukan oleh kaum musyrikin di zaman jahiliyah dahulu, dimana mereka memohon kepada berhala-berhala juga agar bisa lebih dekat dengan Allah Ta’ala atau mendapat syafa’at di sisi-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَالّذِينَ اتّخَذُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاّ لِيُقَرّبُونَآ إِلَى اللّهِ زُلْفَىَ

Dan orang-orang mengambil penolong selain Allah mereka berkata: “Kami tidaklah meng`ibadati mereka melainkan supaya mereka betul-betul mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.” [Az-Zumar: 3]

Juga firman Allah Ta’ala

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” [Yunus: 18]

Namun jika kenyataannya mereka berkeyakinan bahwa KYAI SAPU JAGAD yang memberikan keamanan kepada mereka [bukan sebagai wasilah untuk beribadah kepada Allah Ta'ala dan mendapatkan keamanan dari-Nya], maka dari sisi ini pun kesyirikan mereka lebih buruk dari kesyirikan kaum musyrikin Jahilyah. Wallahul Musta’an.

Oleh karenanya kami katakan, membantu korban bencana dengan materi sangat penting. Namun sungguh jauh lebih penting dari itu adalah membantu mereka dengan MENGAJAK mereka kepada TAUHID dan SUNNAH.

Sebab, musibah yang menimpa mereka di dunia ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan adzab Allah Ta’ala di akhirat kelak jika mereka mati dalam keadaan menyekutukan Allah Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (Al-Maidah: 72)

Juga firman Allah Ta’ala

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” (Al-Bayyinah: 6)

Selengkapnya tentang BAHAYA SYIRIK http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/01/peringatan-dari-bahaya-syirik-1/

SUMBER: http://www.facebook.com/SofyanRuray/posts/128651673855688

HARAPAN: Sebarkanlah nasihat dan dakwah ini kepada kaum muslimin, melaui status, notes, dll. Semoga menjadi sebab hidayah insya Allah Ta’ala.

LINK INFORMASI RESMI SEPUTAR BENCANA MERAPI:

“Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi aib seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Silahkan kirim bantuan anda melalui jalur resmi yang dapat menyalurkannya kepada korban bencana, banyak di antara mereka kehilangan harta benda dan tempat tinggal, sebagian besar mereka adalah dari kaum muslimin. Info selanjutnya silahkan lihat di antara link berikut:

Peta lokasi pengungsi 29 Oktober
http://geospasial.bnpb.go.id/2010/10/29/peta-lokasi-pengungsi-bencana-gunungapi-merapi/

Data pengungsi di Sleman per 29 oktober
http://www.slemankab.go.id/data-pengungsi-per-29-oktober-2010-pukul-13-00-wib.slm

Laporan Aktivitas Gunung Merapi 30 Oktober dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, memuat beberapa rekomendasi penting: http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/index.php

Peta Kawasan Rawan Bencana Merapi disertai keterangan-keterangan penting.
http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/peta/2010/07/a_502cf7.jpg

Foto hasil kamera pengamatan merapi, update setiap 15 detik sekali..Kamera G. Merapi
www.merapi.bgl.esdm.go.id

Update data Merapi, Sabtu (30/10) Pukul 19.30 WIB
http://bnpb.go.id/website/index.php?option=com_content&task=view&id=2931&Itemid=60

Skematik arah evakuasi di kecamatan Dukun Magelang
http://al-ashree.com/umum/skematik-dukun-magelang/

(sumber: abumushlih.com)

Read More......

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP