..::::::..

Hukum Zakat

SYARAT WAJIB DAN CARA MENGELUARKAN ZAKAT


Oleh
Ustadz Abu Al Abbas Kholid bin Syamhudi


PENGANTAR
Salah satu rukun Islam yang harus diamalkan seorang muslim, ialah menunaikan zakat. Keyakinan ini didasari perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Quran dan Sunnah. Bahkan hal ini sudah menjadi konsensus (ijma’) yang tidak boleh dilanggar.

Adapun dalil dari Al Qur’an, diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka". [At Taubah :103].

Dan firmanNya:

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ

"Dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat". [Al Baqarah:110].

Kemudian dalil dari Sunnah, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَ ِمُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

"Sesungguhnya ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, (beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata, "Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab. Karena itu, jika engkau menjumpai mereka, serulah mereka kepada syahadat, tidak ada yang berhak disembah dengan haq, kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka mentaati engkau dalam hal itu, maka ajarilah mereka, bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari- semalam. Jika mereka telah mentaatimu dalam hal tersebut, maka ajarilah mereka, bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah atas harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dibagi-bagikan kepada para faqir miskin dari mereka. Jika mereka telah mentaatimu dalam hal tersebut, maka berhati-hatilah terhadap harta-harta kesayangan mereka dan bertaqwalah dari doa-doa orang yang dizhalimi, karena tidak ada penghalang darinya dengan Allah".[1]

Sedangkan dalil dari ijma’, kaum muslimin telah bersepakat atas kewajibannya, sebagaimana telah dinukilkan oleh Ibnu Qudamah [2] dan Ibnu Rusyd [3].

Kewajiban ini, tentunya memiliki syarat dan cara yang harus diperhatikan kaum muslimin, sehingga dapat menunaikan kewajibannya membayar zakat dengan benar dan tepat.

PERSYARATAN KEWAJIBAN MENGELUARKAN ZAKAT
Syarat-syarat wajibnya mengeluarkan zakat adalah sebagai berikut:

1. Islam.
Islam menjadi syarat kewajiban mengeluarkan zakat dengan dalil hadits Ibnu Abbas di atas. Hadits ini mengemukakan kewajiban zakat, setelah mereka menerima dua kalimat syahadat dan kewajiban shalat. Hal ini tentunya menunjukkan, bahwa orang yang belum menerima Islam tidak berkewajiban mengeluarkan zakat [4]

2. Merdeka.
Tidak diwajibkan zakat pada budak sahaya (orang yang tidak merdeka) atas harta yang dimilikinya, karena kepemilikannya tidak sempurna. Demikian juga budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan (al mukatib), tidak diwajibkan menunaikan zakat dari hartanya, karena berhubungan dengan kebutuhan membebaskan dirinya dari perbudakan. Kebutuhannya ini lebih mendesak dari orang merdeka yang bangkrut (gharim), sehingga sangat pantas sekali tidak diwajibkan [5].

3. Berakal Dan Baligh.
Dalam hal ini masih diperselisihkan, yaitu berkaitan dengan permasalahan zakat harta anak kecil dan orang gila. Yang rajih (kuat), anak kecil dan orang gila tidak diwajibkan mengeluarkan zakat. Akan tetapi kepada wali yang mengelola hartanya, diwajibkan untuk mengeluarkan zakatnya, karena kewajiban zakat berhubungan dengan hartanya [6].

4. Memiliki Nishab.
Makna nishab disini, ialah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan batas kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai pada ukuran tersebut [7]. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَيَسْئَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

"Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berfikir". [Al Baqarah:219].

Makna al afwu adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang. [8]

SYARAT-SYARAT NISHAB
Adapun syarat-syarat nishab ialah sebagai berikut:

1. Harta tersebut diluar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang, seperti: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.

2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab [9] dengan dalil hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

"Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun)" [10].

Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun, yang diambil ketika menemukannya.

Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan berzakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut [11].

NISHAB, UKURAN DAN CARA MENGELUARKAN ZAKATNYA.
1. Nishab Emas Dan Ukuran Zakatnya.
Adapun nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud ialah dinar Islam. Ukuran satu dinar setara dengan 4,25 gram emas. Jadi 20 dinar itu setara dengan 85 gram emas murni. Demikian ini yang telah ditetapkan oleh Syaikh Muhammad Al Utsaimin [12] dan Yusuf Qardhawi [13].

Dalil nishab ini ialah hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ وَلَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ

"Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun - yaitu dalam emas- sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya (zakat) 1/2 dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada di harta zakat, kecuali setelah satu haul" [14].

Kemudian dari nishab tersebut diambil 2,5 % atau 1/40. Dan kalau lebih dari nishab dan belum sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab yang awal. Demikian menurut pendapat yang rajih (kuat).
Misalnya : seseorang memiliki 87 gram emas yang disimpan maka jika telah sampai haulnya maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya 87/40 = 2,175 gram atau uang seharga tersebut.

2. Nishab Perak Dan Ukuran Zakatnya.
Adapun nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gram, sebagaimana hitungan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/104 dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.

3. Nishab Binatang Ternak Dan Ukuran Zakatnya.
Adapun syarat wajib zakat pada binatang ternak sama dengan di atas dan ditambah satu syarat, yaitu binatangnya digembalakan dipadang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.

وَفِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ شَاةٌ.....

"Dan dalam zakat kambing yang digembalakan diluar; kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor …" [15]

Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya ialah sebagai berikut:

1. ONTA.
Nishab onta ialah 5 ekor. Perhitungan selengkapnya sebagai berikut:

JUMLAH ONTA JUMLAH YANG DIKELUARKAN
5 - 9 ekor------>Satu ekor kambing
10 - 14 ekor -->Dua ekor kambing
15 - 19 ekor--->Tiga ekor kambing
20 - 24 ekor--->Empat ekor kambing
25 - 35 ekor -->Satu ekor bintu makhad
36 - 45 ekor--->Satu ekor bintu labun
46 - 60 ekor--->Satu ekor hiqqah
61 - 75 ekor--->Satu ekor jadzah
76 - 90 ekor--->Dua ekor bintu labun
91 - 120 ekor ->Dua ekor hiqqah
121 ekor ------>Tiga ekor bintu labun
130 ekor ------>Satu ekor hiqqah dan dua ekor bintu labun
140 ekor ------>Dua ekor hiqqah dan dua ekor bintu labun
150 ekor ------>Tiga ekor hiqqah
160 ekor ------>Empat ekor bintu labun
170 ekor ------>Satu ekor hiqqah dan tiga ekor bintu labun
180 ekor ------>Dua ekor hiqqah dan dua ekor bintu labun

Keterangan :
1. Bintu makhad ialah onta yang telah berusia satu tahun.
2. Bintu labun ialah onta yang berusia dua tahun.
3. Hiqqah ialah onta yang telah berusia tiga tahun.
4. Jadzah ialah onta yang berusia empat tahun.

2. SAPI.
Nishab sapi ialah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya. Cara penghitungan sebagai berikut.

JUMLAH SAPI JUMLAH YANG DI KELUARKAN
30 - 39 ekor-->Satu ekor tabi’ atau tabi’ah
40 - 59 ekor-->Satu ekor musinah
60 ekor -------->Dua ekor tabi’ atau dua ekor tabi’ah
70 ekor -------->Satu ekor tabi’ dan satu ekor musinnah
80 ekor -------->Dua ekor musinnah
90 ekor -------->Tiga ekor tabi’
100 ekor ------>Dua ekor tabi’ dan satu ekor musinnah.

Keterangan :
1. Tabi’ dan tabi’ah ialah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
2. Musinnah ialah sapi betina yang berusia dua tahun.
3. Setiap 30 ekor sapi zakatnya ialah satu ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya ialah satu ekor musinnah.

3. KAMBING
Nishab kambing ialah 40 ekor. Perhitungannya sebagai berikut:

JUMLAH KAMBING JUMLAH YANG DIKELUARKAN
40 ekor --------------->Satu ekor kambing
120 ekor ------------->Dua ekor kambing.
201 - 300 ekor ----->Tiga ekor kambing.
Lebih dari 300 ekor->Setiap 101 ekor kambing.

Dalil perhitungan nishab zakat binatang ternak.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَالَّتِي أَمَرَ اللَّهُ بِهَا رَسُولَهُ فَمَنْ سُئِلَهَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ عَلَى وَجْهِهَا فَلْيُعْطِهَا وَمَنْ سُئِلَ فَوْقَهَا فَلَا يُعْطِ فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنْ الْإِبِلِ فَمَا دُونَهَا مِنْ الْغَنَمِ مِنْ كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ إِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ أُنْثَى فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَثَلَاثِينَ إِلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ أُنْثَى فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَأَرْبَعِينَ إِلَى سِتِّينَ فَفِيهَا حِقَّةٌ طَرُوقَةُ الْجَمَلِ فَإِذَا بَلَغَتْ وَاحِدَةً وَسِتِّينَ إِلَى خَمْسٍ وَسَبْعِينَ فَفِيهَا جَذَعَةٌ فَإِذَا بَلَغَتْ يَعْنِي سِتًّا وَسَبْعِينَ إِلَى تِسْعِينَ فَفِيهَا بِنْتَا لَبُونٍ فَإِذَا بَلَغَتْ إِحْدَى وَتِسْعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِيهَا حِقَّتَانِ طَرُوقَتَا الْجَمَلِ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ إِلَّا أَرْبَعٌ مِنْ الْإِبِلِ فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا مِنْ الْإِبِلِ فَفِيهَا شَاةٌ وَفِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ شَاةٌ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ إِلَى مِائَتَيْنِ شَاتَانِ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى مِائَتَيْنِ إِلَى ثَلَاثِ مِائَةٍ فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى ثَلَاثِ مِائَةٍ فَفِي كُلِّ مِائَةٍ شَاةٌ فَإِذَا كَانَتْ سَائِمَةُ الرَّجُلِ نَاقِصَةً مِنْ أَرْبَعِينَ شَاةً وَاحِدَةً فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا وَفِي الرِّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْرِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ إِلَّا تِسْعِينَ وَمِائَةً فَلَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا

"Ini adalah kewajiban zakat yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atas kaum muslimin dan yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui RasulNya: Dalam setiap 24 ekor onta dan yang kurang dari itu (zakatnya) kambing; pada setiap 5 ekor (onta), (zakatnya) satu kambing. Kalau telah sampai 25 ekor sampai 35 ekor, maka ada (zakat) binti makhad (onta perempuan yang berusia satu tahun); jika tidak ada, (maka) boleh dengan ibnu labun (onta laki-laki yang berusia dua tahun). Jika sampai 36 hingga 45 ekor, terdapat padanya binti labun (onta perempuan berusia dua tahun). Kalau sampai 46 hingga 60 ekor, terdapat hiqqah (onta perempuan yang telah sempurna berusia 3 tahun) yang siap dihamili oleh onta laki-laki. Kalau sampai 61 hingga 75 terdapat, jidzah(onta yang telah berusia 4 tahun). Kalau sampai 76 hingga 90 ekor, terdapat 2 bintu labun. Kalau sampai 91 hingga 120 ekor, terdapat 2 hiqqah. Kalau sampai lebih dari 120, maka setiap 40 ekor ada bintu labin dan setiap 50 hiqqah. Dan barangsiapa yang memiliki kurang dari 4 ekor onta, maka tidak ada zakatnya kecuali kalau pemiliknya menghendaki. Dan dalam zakat kambing yang digembalakan diluar; kalau sampai 40 ekor hingga 120 ekor ada satu ekor kambing. Dan jika lebih dari 120 sampai 200 ekor, ada 2 ekor. Jika lebih dari 200 sampai 300 ekor, (maka) ada 3 ekor dan kalau lebih dari 300 ekor, maka setiap 100 ekor ada satu ekor kambing. Jika gembalaan seseorang kurang dari 40, seekor saja maka tidak terdapat zakat, kecuali bila pemiliknya menghendakinya " [16].

4. Nishab Zakat Hasil Pertanian Dan Buah-Buahan Serta Ukuran Zakatnya.
Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyari’atkan dalam Islam dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَآأَثْمَرَ وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

"Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermaca-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". [Al An’am :141]

Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah n :

لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقِ صَدَقَةٌ

"Tidak ada di bawah lima wasaq zakat".[17]

Satu wasaq setara dengan 60 sha’ [18]. Sedangkan satu sha’ setara dengan 2,175 kg [19] atau 3 kg.

Demikian menurut takaran Lajnah Daimah Li Al Fatwa Wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan amal resmi yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian ialah 300 x 3 = 900 kg. Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

فِيْمَا سَقَتْ الأَنْهَارُ وَالغَيْمُ الْعُشُوْرُوَ فِيْمَا سُقِِيَ بِالسَّانِيَةِ نِصْفُ الْعُشُوْرِ

"Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20)".[20]

Misalnya: seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) ialah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg.

5. Nishab Zakat Barang Dagangan Dan Ukuran Zakatnya.
Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan ukuran zakat emas.

Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan, sama dengan syarat-syarat yang ada pada zakat yang lain, dan ditambah dengan tiga syarat lainnya,yaitu:

a. Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah dan yang sejenisnya.
b. Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
c. Nilainya telah sampai nishab. [21]

Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.

Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp 200.000.000,- dan laba bersih sebesar Rp 50.000.000,- Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp 100.000.000,- Maka perhitungannya sebagai berikut:

Modal – hutang : Rp 200.000.000,- – Rp 100.000.000,- = Rp 100.000.000,-
Jadi jumlah harta zakat adalah Rp 100.000.000,- + Rp 50.000.000,- = Rp 150.000.000,-
Zakat yang harus dibayarkan: Rp 150.000.000,- x 2,5% = Rp 3.750.000,- [22]

6. Nishab Zakat Harta Karun Dan Ukuran Zakatnya.
Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَفِيْ الرِّكَازِ الْخُمُسُ

"Dalam harta karun temuan terdapat seperlima zakatnya". [23]

CARA MENGHITUNG NISHOB.
Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?

Al Imam An Nawawi berkata,“Menurut mazdhab kami (Syafi’i), mazdhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya –dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak dan binatang ternak– keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah (hitungan) haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut [24]. Inilah pendapat yang rajih, insya Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu, ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya. Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga), hartanya bertambah hingga mencapai nishab. Maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkanlah zakatnya.

Demikian tulisan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat.

Read More......

tarawih 23 rakaat ?!

SHALAT TARAWIH, KEABSAHAN 23 RAKA’AT


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin


Shalat tarawih adalah shalat malam berjama’ah pada bulan Ramadhan. Waktunya, mulai dari selesai shalat Isya’ sampai terbit fajar. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menganjurkan agar melaksanakannya. Sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رواه البخاري و مسلم

"Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan balasan, maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat".[1]

Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha : “Pada suatu malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid. Lalu beberapa orang bermakmum kepada Beliau. Kemudian malam berikutnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, dan orang (makmum) bertambah banyak. Mereka pun berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar. Pagi harinya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ رواه البخاري

"Aku telah melihat perbuatan kalian. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian (untuk shalat), kecuali kekhawatiranku, kalau-kalau itu difardhukan atas kalian". [2]

JUMLAH RAKA’AT SHALAT TARAWIH
Permasalahan mengenai jumlah raka’at shalat tarawih, selalu mengemuka setiap memasuki bulan Ramadhan. Berikut kami angkat permasalahan ini, yang kami nukil dari pembahasan yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, ketika beliau rahimahullah menanggapi sebuah risalah yang ditulis berkaitan dengan pelaksanaan shalat tarawih, baik menyangkut jumlah raka’atnya, maupun lama kecepatan shalatnya.

الحمد لله رب العالمين والصلاة و السلام على نبينا محمد خاتم النبيين وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد

Aku sudah menelaah sebuah risalah tentang shalat tarawih yang ditujukan kepada kaum muslimin. Telah sampai kabar kepadaku, risalah ini dibacakan di beberapa masjid. Risalah ini sangat bagus. Di dalamnya penulis mendorong agar khusyu’ dan tuma’ninah (perlahan) dalam melaksanakan shalat tarawih. Semoga Allah memberikan balasan yang baik atas kebaikannya. Namun, ada beberapa koreksi terhadap risalah ini, yang wajib dijelaskan. Diantaranya sebagai berikut:


PENULIS RISALAH INI MENUKIL RIWAYAT DARI IBNU ABBAS RADHIYALLAHU 'ANHUMA, BAHWA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM SHALAT 20 RAKA'AT PADA BULAN RAMADHAN.[3]
Jawabnya:
Hadits ini dhaif (lemah). Dalam Syarah Shahih Bukhari (2/524) Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan: "Adapun hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 20 raka’at dan witir pada bulan Ramadhan, maka isnad (jalur periwayatannya) hadits ini lemah dan bertentangan dengan hadits 'Aisyah yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, padahal Aisyah orang yang paling mengetahui perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam hari, dibandingkan dengan lainnya".

Hadits Aisyah yang dimaksudkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (3/59), Muslim (2/166) dari Aisyah Radhiyallahu 'anha. Bahwa Abu Salamah bin Abdurrahman Radhiyallahu 'anhu bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'anha perihal shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. Aisyah Radhiyallahu 'anha menjawab:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وفي رواية لمسلم يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ رواه البخاري و مسلم

"Pada bulan Ramadhan, Beliau tidak pernah melebihkan dari 11 rak’at. (Begitu) juga pada bulan lainnya. (Dalam hadits riwayat Muslim) Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 8 raka’at, lalu melakukan witir".

Dengan langgam bahasanya yang keras/tegas, hadits Aisyah ini memberikan kesan pengingkaran terhadap tambahan lebih dari bilangan (sebelas) ini. Sedangkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma tentang cara shalat malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia mengatakan:

فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ رواه مسلم

"Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian witir". [HR Muslim 2/179]

Dengan ini menjadi jelas, bahwa shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam hari itu, berkisar antara 11 dan 13 raka’at.

Jika ada yang mengatakan, bahwa shalat malam yang diterangkan dalam hadits ini bukanlah shalat Tarawih, karena Tarawih merupakan sunnah yang dikerjakan Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu.

Maka jawabnya : Shalat malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan itulah (yang disebut) Tarawih. Mereka menamakannya Tarawih (istirahat), karena mereka memanjangkan shalatnya lalu istirahat setelah dua kali salam. Oleh karena itu dinamakan Tarawih (istirahat). Dan Tarawih termasuk sunnah perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam Syarah Shahih Bukhari (3/10) dan Shahih Muslim (2/177), dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha disebutkan, pada suatu malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid, lalu beberapa orang shalat (bermakmum) di belakang Beliau. Kemudian malam berikutnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, lalu makmum bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak kunjung keluar. Pagi harinya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ رواه البخاري و مسلم

"Aku telah melihat perbuatan kalian. Tidak ada yang menghalangi untuk keluar kepada kalian (untuk shalat), kecuali kekhawatiranku kalau itu difardlukan atas kalian".[4]

Jika ada yang mengatakan: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membatasi diri dengan bilangan raka’at ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarang untuk menambah bilangan ini, karena menambahkan bilangan raka’at merupakan kebaikan dan pahala.

Jawabnya : Bisa jadi kebaikan itu ada pada pembatasan diri dengan bilangan ini, karena itu merupakan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika kebaikan itu terdapat pada pembatasan dengan bilangan ini, maka membatasi diri dengan bilangan ini merupakan perbuatan yang lebih utama.

Bisa jadi juga kebaikan itu ada pada penambahan bilangan. Jika demikian, berarti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kurang dalam melakukan kebaikan dan rela menerima yang kurang daripada yang lebih utama dengan tanpa memberikan penjelasan kepada umatnya. Demikian ini hal yang mustahil.

Jika ada yang mengatakan: Lalu bagaimana menanggapi hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam Muwattha’, dari Yazid bin Ruman, dia mengatakan: "Dahulu pada zaman Umar, orang-orang melaksanakan shalat (tarawih) 23 raka’at di bulan Ramadhan". [Muwattha’ Syarah Az Zarqani, 1/239].

Jawabnya : Hadits ini memiliki illat (salah satu sebab lemahnya hadits) dan bertentangan. Illatnya adalah sanadnya munqhati' (terputus), karena Yazid bin Ruman tidak pernah ketemu Umar, sebagaimana dikatakan oleh ahli hadits, misalnya Imam Nawawi dan yang lainnya.

Segi pertentangannya, hadits ini bertentangan dengan yang diriwayatkan Imam Malik dalam Muwattha’ dari Muhammad bin Yusuf -dia ini tsiqat tsabat (terpercaya sekali)- dari Saib bin Yazid (dia adalah seorang sahabat), dia mengatakan: "Umar bin Khaththab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari agar mengimami orang dengan sebelas raka’at". [Muwattha’ Syarah Az Zarqani, 1/138].

Dilihat dari tiga segi, sesungguhnya hadits yang kedua ini arjah (lebih kuat) dibandingkan dengan hadits Yazid bin Ruman.

Pertama : Amalan (11 raka’at) ini lebih lurus dan lebih bagus, karena sesuai dengan bilangan raka’at yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Umar Radhiyallahu 'anhu tidak akan memilih, kecuali yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam manakala ia tahu. Sangat kecil kemungkinan beliau Radhiyallahu 'anhu tidak mengetahui tentang bilangan ini.

Kedua : Hadits Saib bin Yazid mengenai 11 raka’at dinisbatkan (dikaitkan) kepada Umar. Jadi itu merupakan perkataan Umar. Sedangkan hadits Yazid bin Ruman mengenai 23 raka’at dikaitkan dengan masa Umar ; jadi itu merupakan iqrar (persetujuan) Umar, sedangkan perkataan lebih kuat (kedudukannya) daripada iqrar. Karena perkataan (menunjukkan kejelasan pilihan. Adapun iqrar, kadang untuk sesuatu yang mubah bukan pada pilihan. Umar mengakui (perbuatan) mereka 23 raka’at, karena tidak ada larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan mereka bisa berijtihad dalam masalah ini. Lalu Umar mengakui ijtihad mereka, meskipun memilih sebelas raka’at, berdasarkan perintahnya kepada Ubay.

Ketiga : Hadits Saib bin Yazid mengenai 11 raka’at bersih dari illat, sanadnya bersambung. Sedangkan hadits Yazid bin Ruman memiliki illat (sebab tersembunyi yang bisa melemahkan hadits-pent), sebagaimana penjelasan di muka. Dan juga rekomendasi ketsiqahan sang perawi dari Saib bin Yazid yaitu Muhammad bin Yusuf lebih kuat daripada rekomendasi terhadap ketsiqahan Yazid bin Ruman. Mengenai perawi dari Saib bin Yazid yaitu Muhammad bin Yusuf dikatakan, dia ini tsiqah tsabat (terpercaya sekali). Sedangkan Yazid bin Ruman dianggap, dia ini tsiqah. Demikian ini merupakan salah satu bentuk tarjih (penguatan) dalam ilmu musthalah hadits.

Meskipun hadits Yazid bin Ruman mengenai 23 raka’at ini dianggap sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak memiliki illat dan tidak bertentangan, namun hadits ini tidak bisa diutamakan dari (hadits tentang) bilangan raka’at yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan ataupun pada bulan lainnya.

Menanggapi perselisihan ini, maka wajib bagi kita untuk membaca firman Allah Azza wa Jalla surat An Nisa’ ayat 59, yang artinya: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".

Allah mewajibkan kita agar kembali kepada Allah, yaitu kitabNya dan kepada RasulNya ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, atau kepada sunnahnya kala Beliau sudah meninggal. Allah juga memberitahukan, jalan ini adalah jalan terbaik dan terbagus akibatnya.

Allah juga berfirman, yang artinya: "Maka demi Rabb-mu, (pada hakikatnya) mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati". [An Nisa’:65].

Allah menjadikan berhukum kepada Rasulullah pada perselisihan yang timbul diantara manusia sebagai salah satu tuntutan keimanan. Allah menyatakan “tidak beriman” dengan pernyataan yang diperkuat dengan sumpah terhadap orang yang tidak berhukum kepada Rasul, tidak puas dengan hukumnya dan tidak taat kepadanya.

Dalam sebuah khutbahnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ

Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.[5]

Ini masalah yang sudah pasti disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Petunjuk Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih baik dibandingkan dengan petunjuk orang lain, siapapun juga. Bahkan jika ada kebaikan pada petunjuk seseorang, maka itu semua berasal dari petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan para sahabat memberikan peringatan keras terhadap perbuatan mempertentangkan antara sabda Rasulullah dengan perkataan orang lain, antara petunjuknya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan petunjuk orang lain. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mengatakan:

يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ أَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ

"Hampir saja kalian dihujani batu dari langit, aku mengatakan “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda” (sedangkan) kalian mengatakan "Abu Bakar dan Umar mengatakan".

Bahkan ketika Umar dihadapkan kepadanya dua orang yang saling berselisih, maka terhadap orang yang tidak ridha dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Umar Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Apakah seperti ini?”, lalu ia membunuhnya. Riwayat ini disebutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab Tauhid, dan dalam syarahnya Taisir Azizil Hamid, halaman 510. Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: "Kisah ini masyhur dan beredar di kalangan ulama Salaf dan Khalaf dengan peredaran yang tidak membutuhkan sanad. Dia memiliki beberapa jalur periwayatan. Kelemahan sanadnya tidak mengakibatkannya cela".[6]

Jika dikatakan kepada seorang muslim: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami jama’ah dengan 11 atau 13 raka’at, sedangkan yang lainnya mengimami orang dengan 23 atau 39 raka’at.

Maka tidak ada pilihan bagi seorang muslim, kecuali mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengamalkan petunjuknya. Karena perbuatan yang sesuai dengan Rasulullah adalah amal terbaik dan lurus. Dan tujuan Allah menciptakan manusia, langit dan bumi adalah agar manusia melakukan yang terbaik. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat Al Mulk ayat 2, yang artinya: Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Juga firmanNya dalam surat Hud ayat 7, yang artinya: Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan adalah 'ArsyNya di atas air, agar Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya. Allah tidak mengatakan "agar Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih banyak amalnya".

Sudah diketahui bersama, bahwa suatu amal, semakin diikhlaskan hanya kepada Allah semata dan semakin berittiba’ kepada Rasulullah, maka amal itu pasti semakin baik. Jadi 11 atau 13 raka’at lebih baik daripada ditambah, karena keselarasannya dengan hadits yang sah dari Rasulullah n , sehingga ia lebih utama dan lebih baik. Apalagi jika shalatnya dilakukan dengan perlahan, khusyu’ konsenterasi serta tuma’ninah, yang memungkinkan bagi makmum dan imam untuk berdo’a dan berdzikir.

Jika dikatakan: Sesungguhnya shalat 23 raka’at adalah sunnah yang dilakukan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, dan merupakan salah satu dari Khulafa’ur Rasyidin, yang kita diperintahkan agar mengikutinya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sepeninggalku".[7]

Jawabnya : Demi, Allah! Sungguh Umar Radhiyallahu 'anhu benar-benar termasuk Khulafa' ur Rasyidin, dan kita diperintahkan agar mengikuti sunnahnya. Bahkan dia termasuk salah satu dari dua orang agar kita meneladani keduanya. Rasulullah memerintahkan kepada kita dengan sabdanya:

إِنِّي لَا أَدْرِي مَا بَقَائِي فِيكُمْ فَاقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ

"Sungguh saya tidak tahu, masih berapa lama lagi saya akan bersama kalian. Maka sepeninggalku, ikutilah Abu Bakar dan Umar". [Diriwayatkan oleh Tirmidzi].

Umar Radhiyallahu 'anhu juga seorang yang diterangkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya:

إِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ

"Sesungguhnya Allah telah menjadikan al haq (kebenaran) pada lisan dan hati Umar". [Diriwayatkan Tirmidzi].

Umar Radhiyallahu 'anhu juga orang yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya:

لَقَدْ كَانَ فِيمَا قَبْلَكُمْ مِنَ اْلأُمَمِ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُ فِي أُمَّتِي أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ

"Sungguh telah ada pada umat sebelum kalian, (yaitu) suatu kaum yang mendapatkan ilham. Dan jika ada pada umatmu seorang yang mendapatkan ilham, maka sessugguhnya orang itu adalah Umar". [Muttafaqun ‘alaih].[10]

Yang menjadi permasalahan, manakah sunnah Umar Radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bilangan raka'at tarawih? Sesungguhnya penetapan sunnah Umar pada 23 raka'at merupakan sesuatu yang mustahil. Telah dijelaskan bahwa keabsahan sanadnya –terlebih lagi penentuan sunnahnya- memiliki illat (salah satu tanda lemahnya hadits) dan bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat sanadnya, kandungannya dan lebih lurus amalannya. Yang sah dari Umar, beliau z memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad Dariy agar mengimami manusia dengan 11 raka'at. [11]

Kemudian, anggapan sahnya riwayat penentuan bilangan 23 raka'at berasal dari Umar Radhiyallahu 'anhu, ini juga tidak bisa dijadikan hujjah (yang mengalahkan) perbuatan Rasulullah dan juga tidak bisa menjadi tandingan baginya. Berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah dan perkatan-perkataan para sahabat serta Ijma' (kesepakatan ulama'), bahwa sunnah Rasulullah tidak akan bisa disamai oleh sunnah orang lain. Siapapun orangnya, tidak bisa menentangnya.

Imam Syafi'i rahimahullah berkata,”Seluruh kaum muslimin telah sepakat, bahwa orang yang sudah jelas bagi sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka haram baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut disebabkan oleh perkataan seseorang.”

PENULIS RISALAH MENYATAKAN : SESUNGGUHNYA KAUM MUSLIMIN SENANTIASA (MELAKSANAKAN) 23 RAKA'AT SEJAK ZAMAN SHABAT SAMPAI MASA KITA INI, SEHINGGA MENJADI IJMA'.
Jawabnya:
Yang benar, tidaklah demikian. Perbedaan pendapat telah ada sejak masa sahabat sampai sekarang. Perbedaan ini disebutkan dalam Fath-hul Bari (4/253), Cet. As Salafiyah, yang ringkasnya, 11, 13, 19, 21, 23, 25, 27, 35, 37, 39 [ini (maksudnya 39) dilakukan di Madinah pada masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz. Imam Malik mengatakan: “Perbuatan ini sudah dilakukan sejak seratusan tahun lebih”], 41, 47 dan 49. (Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan shalat tarawih dengan bilangan raka'at ini, silahkan lihat majalah As Sunnah, Edisi 07/VII/2003, Pent).

Jika telah jelas adanya perbedaan, maka yang menjadi hakim pemutus dalam masalah ini adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". [An Nisa':59]

والحمد لله ري العالمين وصلى الله على نبينا محمد وعلىآله وصحبه أجمعين

LAMANYA PELAKSANAAN SHALAT TARAWIH
Sebagaimana kita lihat, banyak orang melaksanakan shalat tarawaih dengan mempercepat, bahkan terkesan tergesa-gesa. Untuk memperjelas permasalahan ini, berikut kami nukilkan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, berkaitan dengan tempo atau lamanya cara melaksanakan shalat tarawih.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menerangkan:
Sangat jelas keterangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memperpanjang shalat malamnya. Begitu pula ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi imam.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, ketika ia Radhiyallahu 'anhu shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperpanjang shalatnya sampai Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkeinginan untuk duduk dan meninggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. [12] Lihat Al Fath-hul Bari (3/19) dan Shahih Muslim (1/537).

Sebagaimana juga pada hadits Hudzaifah [13]. Suatu ketika, ia z shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa’. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati ayat yang mengandung tasbih, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertasbih. Jika melewati ayat do’a, Beliau berdo’a. Jika melewati ayat tentang perlindungan, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon perlindungan. Lihat Shahih Muslim (1/536-537).

Jelaslah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama para sahabat selama tiga malam pada bulan Ramadhan, dan tidak pada malam ke empat, sebagaimana dalam Shahih Bukhari [14]. Lihat Al Fath (4/253) dan Muslim (1/524).

Begitu pula, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama para sahabatnya ketika Ramadhan tersisa 7 hari sampai 1/3 malam, pada malam kedua sampai ½ malam, dan pada malam ketiga sampai mereka (khawatir) tidak bisa sahur. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dan ulama penyusun kitab Sunan. Menurut para ulama penyusun kitab Sunan, perawinya adalah shahih, sebagaimana disebutkan di dalam Nailul Authar.

Perbuatan memanjangkan inilah yang dilakukan oleh para ulama salafush shalih dari kalangan para sahabat dan tabi’in, sebagaimana diterangkan dalam kitab Muwattha’, karya Imam Malik. Lihat Syarah Az Zarqani (1/238-240).

Beda antara hadits ini (yaitu tentang memanjangkan bacaan) dengan hadits Muadz Radhiyallahu 'anhu tentang larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Mu’adz Radhiyallahu 'anhu dari memanjangkan bacaan (yang dimaksud dengan memanjangkan disini adalah melebihkan dari yang diterangkan dalam sunnah), yaitu hadits memanjangkan ini untuk shalat nafilah (hukumnya sunat) yang diperbolehkan bagi orang untuk tidak ikut berjama’ah dan meninggalkannya. Sedangkan hadits Mu’adz (tentang larangan memanjangkan bacaan) itu pada shalat fardhu yang tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk meninggalkan jama’ah dan mufaraqah (keluar) dari jama’ah, kecuali dengan alas an syar’i. Jadi mereka wajib meniatkannya dan menyempurnakannya. [Lihat Majmu’ Fatawa, hlm. 257-258].

Kesimpulan, kedua hadits itu tidak bertentangan.

Demikianlah beberapa masalah yang berkaitan dengan shalat tarawih. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

[Diangkat dari Majmu’ Fatawa Wa Rasail, 14/210-211]

Read More......

Bid'ah Shalat tarawih

SEPUTAR BID’AH SHALAT TARAWIH


Oleh
Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin, Lc



HAKIKAT BID’AH
Asal kata bid’ah adalah menciptakan (suatu hal yang baru) tanpa ada contoh sebelumnya [1]. Sebagaimana firman Allah, Allah pencipta langit dan bumi. (Al Baqarah : 117). Bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa contoh sebelumnya [2].

Adapun bid’ah menurut makna syar’i, ialah sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Ibnu Taimiyah, yaitu segala cara beragama yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan RasulNya; yakni yang tidak diperintahkan, baik dalam wujud perintah wajib atau berbentuk anjuran [3], baik berupa keyakinan, ibadah dan muamalah.

Sedangkan menurut Imam Asy Syathibi, bid’ah ialah suatu cara dalam beragama yang dibuat untuk menandingi syari’at yang ada (yakni menyerupai cara ibadah yang disyari’atkan, padahal hakikatnya tidaklah sama, bahkan bertentangan dengannya); tujuan pelaksanaannya ialah untuk berlebihan dalam ibadah kepada Allah.

Jadi, yang dimaksud dengan bid’ah, ialah segala bentuk praktek beragama yang tidak memiliki dalil atau landasan hukum dalam agama yang mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan keberadaannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu, lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki dalil atau landasan hukum dari agama, maka hal itu termasuk bid’ah.

CAHAYA SUNNAH DAN GELAPNYA BID’AH
Setiap muslim wajib mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup atau sesudah meninggal dunia. Mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk bagian dari kesempurnaan cinta seseorang kepada Allah, sebagaimana firman Allah, Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku”. [Ali Imran : 31].

Bahkan Allah mengancam orang-orang yang menyelisihi sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menimpakan fitnah dan siksaan yang pedih, seperti dalam firman Allah: Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [An Nur : 63].

Setiap muslim dilarang menyelisihi sunnah Rasul dan jalan orang-orang mukmin, sebagaimana firman Allah: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. [An Nisa’ : 115].

Nabi menganjurkan kepada semua Umat Islam untuk berpegang teguh dengan sunnah-sunnahnya sepeninggal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak membuat perkara-perkara bid’ah. Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi bersabda dalam khutbahnya:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat, walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat". [Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah].

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, "Hendaklah kalian mengikuti, dan janganlah kalian berbuat kebid’ahan. Sungguh kalian telah dicukupkan dalam beragama dengan Islam ini".

Imam Al Auza’i berkata,"Bersabarlah kalian di atas sunnah. Tetaplah tegak sebagaimana para sahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka telah katakan. Tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya, dan ikutilah jalan salafush shalih."

BID’AH-BID’AH DALAM SHALAT TARAWIH
Dalam rubik ini, saya akan menguraikan bahasan khusus seputar masalah bid’ah dalam shalat tarawih yang banyak menyebar di tengah masyarakat, dan diyakini sebagai perkara sunnah serta dianggap baik oleh sebagian besar orang awam. Akibatnya sunnah-sunnah shalat tarawih yang dianjurkan, banyak kehilangan bentuk dan kemurniannya. Di antara bid’ah yang lazim terjadi di masyarakat seputar masalah shalat tarawih, ialah sebagai berikut.

Pertama : Shalat Tarawih Dengan Cepat, Laksana Ayam Mematuk Makanan.
Mayoritas imam masjid kurang memiliki akal sehat dan pengetahuan agama yang baik. Hal itu nampak dari cara melakukan shalat. Bahwa hampir semua shalat yang dilakukan, mirip dengan shalatnya orang yang sedang kesurupan, terutama ketika shalat tarawih. Mereka melakukan shalat 23 raka’at hanya dalam waktu 20 menit, dengan membaca surat Al ‘Ala atau Adh Dhuha.

Menurut semua madzhab, dalam melakukan shalat tidak boleh seperti itu, karena ia merupakan shalat orang munafik, sebagaimana firmanNya: "Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, maka mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia dan tidak menyebut Allah, kecuali hanya sedikit sekali". [An Nisa’ : 142].

Bentuk dan cara shalat tarawih yang seperti itu, jelas bertentangan dengan cara shalat tarawih Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat dan ulama salaf. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

"Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat". [Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي

"Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat". [HR Bukhari, Muslim, Ahmad. Lihat Irwaul Ghalil no: 213].

Ad Darimy meriwayatkan, bahwa Abu Aliyah berkata,"Jika kami mendatangi seseorang untuk menuntut ilmu, maka kami akan melihat ia shalat. Jika ia shalat dengan benar, kami akan duduk untuk belajar dengannya. Dan kami berkata,’Dia akan lebih baik dalam masalah lain’. Sebaliknya, jika shalatnya rusak, maka kami akan berpaling darinya dan kami berkata,’Dia akan lebih rusak dalam masalah yang lain".[4]

Dan suatu hal yang menguatkan lagi, bahwa demikian itu menjadi perkara bid’ah, karena dikerjakan secara rutin dan permanen pada setiap bulan Ramadhan. Mereka beranggapan, bahwa hal itu merupakan cara terbaik dalam menunaikan shalat tarawih.

Kedua : Membaca Surat Al An’am Dalam Satu Raka’at Dari Shalat Tarawih.
Para ulama menganggap, bahwa membaca surat Al An’am dalam satu raka’at dari shalat tarawih termasuk perbuatan bid’ah, karena demikian itu tidak bersandarkan kepada suatu dalil. Adapun hadits dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab bahwa Rasulullah bersabda:

أُنْزِلَتْ سُوْرَةُ الأَنْعَامِ جَمَّةً وَاحِدَةً يُشَيِّعُهَا سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ بِالتَّسْبِيْحِ وَالتَّحْمِيْدِ.

"Surat Al’An’am diturunkan sekaligus dalam sekali tahapan yang dihantarkan oleh tujuh puluh ribu malaikat sambil membaca tasbih dan tahmid".

Banyak orang awam yang tertipu dengan hadits ini. Padahal menurut Imam As Suyuthi, bahwa hadits di atas adalah dhaif. Andaikata pun hadits tersebut shahih, juga sedikitpun tidak ada anjuran yang bersifat sunnah dibaca dalam satu raka’at.

Membaca surat Al An’am dalam satu raka’at bisa dikatakan bid’ah karena beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, mengkhususkan surat Al An’am menipu ummat, bahwa surat yang lain kurang afdhal atau tidak baik untuk dibaca pada waktu shalat tarawih. Kedua, bacaan tersebut hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih. Ketiga, memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga mereka akan marah atau jengkel atau timbul kebencian terhadap ibadah. Keempat, yang demikian itu menyelisihi sunnah, sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan agar raka’at kedua lebih pendek daripada raka’at pertama, sementara bid’ah ini telah merubah secara tolal sunnah tersebut dan melawan syari’at.[5]

Ketiga : Bid’ah Mengumpulkan Ayat-Ayat Sajadah.
Seorang imam mengumpulkan ayat-ayat sajadah ketika khataman Al Qur’an pada shalat tarawih dalam raka’at terakhir, kemudian ia sujud bersama makmum. [6]

Keempat : Membaca Beberapa Ayat Yang Disebut Ayat-Ayat Hirs (Perlindingan).
Mengumpulkan beberapa ayat yang mereka sebut dengan nama ayat-ayat perlindungan, lalu dibaca secara keseluruhan di akhir raka’at dalam shalat tarawih.[7]

Kelima : Bid’ah Dzikir Dan Do’a Ketika Hendak Memulai Shalat Tarawih.
Ucapan seorang bilal atau imam ketika hendak memulai shalat tarawih yang dibaca dengan berjama’ah dan suara keras.[8]

صَلاَةَ التَّرَاوِيْحِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ رَحِمَكُمُ اللهُ.
صَلاَةَ التَّرَاوِيْحِ آجَرَكُمُ اللهُ.

Kebid’ahan ini banyak sekali menyebar di negeri ini. Dianggap sebagai sesuatu yang baik dan sunnah, padahal hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat. Padahal setiap cara ibadah dan praktek agama yang tidak ada dalil atau landasan hukumnya, maka tertolak dan dinyatakan sebagai perbuatan bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

"Barangsiapa yang membuat-buat ibadah dalam ajaran kami ini (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu tertolak". [HR Bukhari].

Keenam : Berdzikir Dengan Dipandu Seorang Bilal.
Berdzikir dengan dipandu seorang bilal setiap selesai shalat dua raka’at dari shalat tarawih, maka perbuatan seperti ini termasuk bid’ah. Namun terkadang bacaan dzikir dilakukan sendiri-sendiri dengan ringan, atau terkadang dzikir tersebut dibaca secara berjama’ah.[9]

Dzikir dengan cara ini termasuk bid’ah, karena beberapa alasan berikut. Pertama, karena membuat tata cara baru dalam beribadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan perbuatan bid’ah. Dari Jabir bin Abdullah diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : "Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk ibadah adalah yang dibikin-bikin, dan setiap bid’ah itu adalah sesat". [10] Kedua, dzikir tersebut hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih saja, padahal mengkhususkan suatu ibadah yang tidak berdasarkan dalil, maka hal itu termasuk perbuatan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Ketiga, tindakan itu boleh jadi memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga menimbulkan sikap kebencian terhadap ibadah. Keempat, perbuatan itu dengan jelas telah menyelisihi sunnah. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan membaca dzikir secara berjama’ah dalam shalat tarawih. Begitu pula beliau n tidak pernah mengajarkan bacaan dzikir-dzikir tersebut. Maka bentuk dzikir seperti itu bertentangan dengan sunnah Rasulullah dan kebiasaan para sahabat.

Ketujuh : Mengkhususkan Membaca Qunut Pada Shalat Tarawih.
Mengkhususkan qunut hanya pada pertengahan Ramadhan dalam shalat tarawih. Yang demikian itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Imam Malik dalam kitab Mudawwanah Al Kubra menyatakan,”Tidak ada dalil shahih yang bisa digunakan sebagai sandaran bagi orang yang mengkhususkan qunut dalam shalat tarawih pada bulan Ramadhan, baik pada awal maupun akhir Ramadhan, atau pada shalat witir [11].

Kedelapan : Shalat Tarawih Bersama-Sama Antara Kaum Laki-Laki Dan Kaum Wanita Dalam Satu Masjid.
Diantara kebid’ahan dan kemungkaran dalam masjid yang berkaitan dengan shalat -terutama shalat tarawih- yaitu melakukan shalat berjamaah campur-baur antara kaum laki-laki dan kaum wanita dalam satu masjid [12].

Kesembilan : Dzikir Dengan Suara Keras Dan Berjama’ah Seperti Koor.
Dzikir berjama’ah dengan suara keras seperti koor pada setiap waktu istirahat dalam shalat tarawih, merupakan perbuatan bid’ah [13]. Adapun lafadz dzikir yang mereka baca secara berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan daerah, maka perbuatan seperti ini termasuk mengumpulkan berbagai macam keburukan dan kebid’ahan, antara lain: Pertama, bid’ah dzikir berjama’ah dengan suara koor. Kedua, bid’ah dalam menggunakan lafadz-lafadz dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah. Ketiga, mengganggu kaum muslimin dengan suara keras, dan boleh jadi dzikir tersebut disampaikan lewat mikrofon atau pengeras suara. Keempat, membuat praktek ibadah baru dalam shalat tarawih yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

"Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka ibadahnya itu tertolak". [HR Muslim].

Kesepuluh : Dzikir Berjama’ah Dengan Suara Keras Saat Akan Dimulainya Raka’at Baru Dalam Shalat Tarawih.
Bacaan dzikir yang diamalkan setiap selesai salam dari dua raka’at shalat tarawih, dan (kemudian) hendak memulai raka’at yang baru, (dzikir seperti ini)termasuk perbuatan bid’ah. Tata cara dan bacaan dzikir tersebut antara lain:
Seorang bilal membaca:

فَضْلٌ مِنَ اللهِ وَالنِّعْمَةُ يَا تَوَّابُ يَا وَاسِعَ الْمَغْفِرَةِ . أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ.

Lalu dijawab oleh para jama’ah shalat tarawih secara bersama-sama dengan suara keras

صَلُّوْا عَلَيْهِ, ....... أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ. .......

Kemudian pada raka’at-raka’at yang akhir mereka mendo’akan kepada khulafaurrasyidin yang empat.

Kesebelas : Bid’ah Do’a Berjama’ah Ketika Istirahat Antara Shalat Tarawih Dengan Shalat Witir.
Do’a berjama’ah pada saat istirahat antara shalat tarawih dengan shalat witir merupakan perbuatan bid’ah yang munkar. Begitu juga ketika hendak shalat witir, bilal atau imam mengucapkan:

صَلُّوْا سُنَّةَ الْوِتْرِ رَحِمَكُمُ اللهُ أَوْ آجَرَكُمُ اللهُ.

Kebanyakan mereka yang mengamalkan bid’ah ini telah membuat bacaan do’a secara khusus, yang tidak bersandar kepada satu dalilpun, dan tidak pernah diajarkan oleh para ulama salaf mapun imam sunnah [14].

Keduabelas : Melazimkan Surat Al Ikhlas Dan Mu’awidzatain Dalam Setiap Raka’at Akhir Dari Shalat Witir.
Melazimkan surat Al Ikhlas dan Muawidzatain dalam setiap raka’at terakhir dari shalat witir, termasuk perbuatan bid’ah. Hal tersebut tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ulama salaf dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Sementara sebagai orang awam terpesona dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah, karena terdapat seorang perawi As Sary bin Ismail dan Miqdam bin Daud, yang keduanya merupakan perawi yang dhaif. Begitu juga hadits serupa diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Sunan-nya dan Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya, serta Ibnu Majah dalam Sunan-nya, dari hadits Aisyah dengan sanad yang lemah.

Imam Al Mundziri berkata, bahwa hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi serta Ibnu Majah dari Aisyah dari Khushaif bin Abdurahman Al Harrani; telah dinyatakan sebagai perawi yang lemah oleh kebanyakan para imam ahli hadits.

Ibnul Jauzi berkata,”Imam Ahmad dan Yahya Ibnu Main telah mengingkari dengan keras tambahan Muawidzatain dalam raka’at akhir dari shalat witir [15].

Ketigabelas : Berhenti Dari Shalat Qiyamul Lail Atau Shalat Tarawih Setelah Khataman Al-Qur’an.
Sebagian umat Islam ada yang menghentikan qiyamul lail atau shalat tarawih setelah menyelesaikan khataman Al Qur’an, padahal perbuatan tersebut termasuk bid’ah [16].

Keempatbelas : Membaca Dua Juz Atau Lebih Dari Al-Qur’an Pada Shalat Tarawih Terakhir.
Membaca dua juz atau lebih pada malam terakhir dalam shalat tarawih. Ada juga yang melazimkan dari mulai surat Adh Dhuha hingga selesai [17].

Demikianlah penjelasan beberapa bid’ah seputar shalat tarawih, yang secara umum sudah banyak tersebar di tengah masyarakat. Maka demi menjaga keutuhan ajaran Islam dan melestarikan sunnah, serta memelihara pahala ibadah -terutama shalat tarawih- maka saya mengajak kepada seluruh umat Islam agar meninggalkan kebiasaan buruk dan perbuatan bid’ah dalam setiap bidang agama. Al Qur’an dan Sunnah Rasul dengan tegas memperingatkan tentang bahaya bid’ah. Begitu pula para sahabat dan para tabi’in yang mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melakukan kebajikan juga memperingatkan bahaya bid’ah dengan tegas

Diantara dalil dari Al Qur’an yang memperingatkan tercelanya bid’ah, antara lain sebagai berikut.

DALIL-DALIL DARI AL-KITAB
Allah berfirman, 'Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa". ([Al An’Am : 153].

Jalan yang lurus adalah jalan Allah yang wajib diikuti. Jalan itu adalah Sunnah. Sedangkan jalan yang beraneka ragam dan corak itu hanyalah jalan ahli bid’ah yang melenceng dari jalan yang lurus.

DALIL-DALIL DARI AS-SUNNAH
Nabi bersabda,

إِنِّيْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian ajaran putih bersih. Malamnya laksana siangnya. Dan tidaklah seseorang yang menjauhinya, kecuali pasti akan mengalami kehancuran". [HR Ahmad dan Ibnu Majah].

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

"Barangsiapa memberi contoh yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengerjakan perbuatan baik tersebut, tanpa mengurangi pahala-orang itu sedikitpun. Dan barangsiapa memberi contoh yang buruk dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengerjakan perbuatan dosa itu setelahnya, tanpa mengurangi dosa orang-orang itu sedikitpun". [HR Muslim]

Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, bahwa pernah pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat suatu garis, lalu bersabda,”Ini adalah jalan Allah yang lurus,” kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat garis-garis di sebelah kanan dan kirinya, lalu bersabda,”Ini adalah jalan-jalan, dan setiap jalan tersebut terdapat syetan yang mengajak kepada jalan itu,” kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan firman Allah: "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa". (Al An’am:153)". [HR Ahmad dalam Musnad, Ad Darimi, Al Hakim dalam Mustadrak dan Ibnu Abu Ashim dalam As Sunnah].

Read More......

Hukum puasa bagi ibu hamil dan menyusui

APABILA IBU HAMIL DAN MENYUSUI BERPUASA



Allah telah mewajibkan shaum Ramadhan atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib puasa. Namun pada golongan tertentu, Allah juga telah memberikan keringanan (rukshah) untuk boleh tidak berpuasa dan mewajibkan qadha atas mereka pada waktu lain ataupun membayar fidyah. Allah berfirman,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

"Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin". [Al Baqarah:184].

Sebagian ulama berpendapat, ibu hamil atau menyusui termasuk kategori golongan orang yang diberi rukhshah, berdasarkan keumuman ayat di atas.

Hal ini juga didukung oleh pengetahuan medis, mengingat kondisi ibu hamil atau menyusui yang umumnya kurang mendukung untuk bisa menjalankan ibadah puasa, dan jika

dipaksakan justru membayakan sang ibu maupun bayi. Dari sini tampaklah hikmah Allah memberikan rukshah kepada golongan yang memiliki udzur, sebab Allah tidaklah membebani kewajiban kepada para hambaNya di luar kesanggupan mereka. Berikut kami paparkan secara medis, mampukah ibu hamil dan menyusui untuk menjalankan ibadah puasa?

KEBUTUHAN KALORI, VITAMIN DAN MINERAL PADA IBU HAMIL ATAU MENYUSUI
Secara umum, kebutuhan kalori atau tenaga, vitamin seta mineral pada ibu hamil jelas meningkat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Hal ini wajar saja karena seluruh zat tersebut diperlukan janin bagi perkembangannya di dalam rahim.

Adapun bagi ibu menyusui, kebutuhan akan zat gizi tersebut bahkan lebih meningkat dan lebih besar dibandingkan pada saat hamil. Ibu menyusui memerlukan sekitar 2200 sampai 2600 kalori per hari, sedangkan ibu hamil hanya 2200 sampai 2300 kalori per hari.

Pada enam bulan pertama setelah persalinan, kebutuhan zat-zat gizi ibu lebih besar dari pada kebutuhannya setelah masa tersebut. Ini dikarenakan ibu menyusui memerlukan energi ekstra untuk memulihkan kondisi kesehatannya setelah persalinan, selain untuk aktivitasnya sehari-hari sekaligus untuk produksi ASI. Produksi ASI bisa mencapai 600 sampai 1000 cc tiap harinya. Untuk memproduksi ASI sebanyak 850 cc, ibu perlu menambahkan 1000 kalori dari kebutuhan orang dewasa normal.

Karena kebutuhan kalori ibu hamil dan menyusui meningkat, biasanya mereka akan makan lebih banyak dibanding sebelum hamil. Terkadang frekuensi makan berubah menjadi 4 sampai 5 kali. Ini bisa dimengerti karena nafsu makan mereka otomatis bertambah.

Oleh karena itu, para ibu wajib memperhatikan makanan yang dikonsumsinya. Tidak hanya dari segi kuantitas, namun juga kualitas gizi. Makanan yang dikonsumsi ibu, sebaiknya yang bergizi tinggi dan seimbang serta bervariasi, yang terdiri dari sumber tenaga (karbohidrat dan lemak), zat pembangun (protein) dan zat pengatur, yaitu vitamin dan mineral.

KEBUTUHAN KALORI IBU HAMIL DAN MENYUSUI BILA BERPUASA
Apabila ibu hamil atau menyusui berpuasa, sudah jelas pada siang harinya mereka akan menahan diri dari makan dan minum selama kurang lebih 12 sampai 13 jam. Dengan demikian pasokan kalori dan zat-zat gizi otomatis menurun sehingga tidak mencukupi kebutuhan kalori, vitamin serta mineral sang ibu.

Kalori yang tidak terpenuhi bisa menyebabkan keadaan hipoglikemia, yaitu suatu gejala berkurangnya kadar gula dalam darah. Ditandai dengan pusing, gemetar, mual, demam dan gelisah. Keadaan ini akan berpengaruh pada janin dalam rahim ataupun bayi yang sedang disusui.

Beragam kelainan juga bisa timbul, bila ibu hamil atau menyusui kekurangan protein, vitamin dan mineral. Misalnya saja kekurangan kebutuhan vitamin D, akan berdampak pada janin atau bayi, yaitu akan mengalami gangguan pada pertumbuhan tulangnya. Contoh lainnya adalah asam folat yang termasuk dalam golongan vitamin B yang biasa dipasangkan dengan vitamin B12. Jadi orang yang mengalami defisiensi asam folat biasanya juga kekurangan vitamin B12. Asam folat berperan dalam pembentukan DNA pada proses produksi sel darah merah dan perkembangan saraf. Salah satu kelainan saraf pada janin adalah cacat tabung saraf atau NTD (Neural Tube Defect). Salah satu dari 3 jenis NTD yang sering terjadi adalah Spina bifida yaitu tulang belakang yang tidak tertutup sempurna.

Salah satu mineral yang sangat penting adalah zat besi (ferrum). Apabila zat ini berkurang pada makanan yang dikonsumsi ibu hamil dan menyusui, selain menyebabkan anemia, juga bisa mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bayi serta otaknya, sekaligus akan menurunkan daya tahan tubuh. Resiko pada ibu hamil yang mengalami anemia adalah saat melahirkan nantinya kemungkinan akan mengalami kesulitan, disertai juga perdarahan karena luka akibat persalinan sulit menutup.

MENCOBA LEBIH DAHULU
Ibu hamil atau menyusui bisa berpuasa asalkan tidak ada masalah dengan kondisi kehamilannya ataupun kondisi fisik ibu saat menyusui; seperti mual, muntah, pendarahan, lesu atau anemis serta kelainan-kelainan lain yang menyertai kehamilan.

Apabila pada saat menjalani ibadah puasa, kondisi fisik ibu lemas , pusing, pandangan mata berkunang-kunang, gemetar , mual ataupun gerakan janin yang semula aktif menjadi lemah dan lambat ataupun bahkan tidak ada gerakannya sama sekali, maka sebaiknya ibu segera berbuka. Jangan ditunda sampai tiba waktu berbuka meskipun jarak waktunya hanya kurang setengah jam atau beberapa menit lagi. Karena kondisi hipoglikemia akan membahayakan janin, yakni janin mengalami hipoglikemia, kekurangan kalori juga nutrisi yang diperlukan janin dalam pertumbuhannya.

Apabila ibu hamil ataupun menyusui berkeinginan untuk menjalankan ibadah puasa silakan saja mencoba lebih dahulu, dengan catatan asupan makanan dengan gizi tinggi yang memenuhi kebutuhan ibu serta bayi tetap dipertahankan. Misalnya makan dengan porsi yang lebih sebaiknya diganti pada malam harinya. Ataupun diganti makanan atau minuman yang lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan kalori, protein, vitamin dan mineral. Ada satu kebiasaan orang berpuasa pada saat berbuka adalah minum terlalu banyak karena rasa haus yang berlebih. Kebiasaan ini tidak baik, karena mungkin makanan bergizi lainnya tidak banyak masuk disebabkan lambung banyak terisi air sehingga kebutuhan kalori tidak tercukupi.

Satu hal yang sangat baik bila membuat menu minuman yang dicampur susu, kurma dan buah buahan serta madu . Hal ini akan mengurangi risiko hipoglikemia dan defisiensi (kekurangan) zat-zat gizi yang diperlukan bagi ibu hamil atau menyusui saat berpuasa.

Kebutuhan karbohidrat juga bisa diganti dengan sering makan kurma ataupun minum madu di malam harinya, serta menjelang makan sahur. Kurma yang mengandung kalori tinggi tidak membuat penuh atau kenyang di lambung, sehingga makanan bergizi lainnya bisa masuk. Disamping itu untuk menjaga agar daya tahan tubuh cukup panjang dalam berpuasa dan kalori yang dikonsumsi disimpan lama dalam tubuh. Sebaiknya ibu hamil banyak mengkonsumsi protein hewani terutama daging. Daging adalah makanan yang mengandung kalori dan protein sangat tinggi yang bisa disimpan tubuh dalam waktu cukup lama, sehingga tidak cepat merasa lapar. Jangan hanya makan seadanya pada saat makan sahur, karena merasa tidak bisa makan berat pada pagi hari atau masih merasa kenyang. Padahal ibu akan berpuasa selama12 sampai 13 jam.

Protein hewani juga amat baik untuk ibu menyusui, karena ia memiliki pengaruh sangat baik pada kerja hormon prolaktin, salah satu hormon yang berpengaruh pada produksi ASI. Perbandingannya dengan protein nabati adalah 2:1. Memang protein hewani cukup mahal dibanding protein nabati, sehingga tidak harus tiap hari mengkonsumsi daging tetapi bisa diselingi protein nabati misalnya tempe.

Selain makanan bergizi, persediaan cairan tubuh juga harus dipertahankan . Sebaiknya ibu memenuhi kebutuhan cairan hariannya yang sebesar 2 sampai 3 liter cairan perhari. Usahakan tidak minum air putih dalam jumlah banyak, tetapi diselingi susu, sari buah, air kacang hijau atau jus buah-buahan. Yang penting cairan yang masuk dalam tubuh bisa memenuhi kebutuhan air ketuban dan pertumbuhan janin serta produksi ASI. Apabila minum dalam jumlah banyak, sebaiknya dicicil beberapa kali dari buka puasa sampai saat sahur. Cara menilai apakah cairan tubuh tercukupi adalah dengan melihat frekuensi buang air kecil sang ibu.

Mengkonsumsi sayur juga bisa menambah pemasukan cairan tubuh, terutama sayur berkuah. Ibu menyusui bisa membuat menu sayuran yang bisa melancarkan produksi ASI, misalnya daun katuk, daun bayam, daun kangkung, atau sayuran yang berwarna hijau. Selain banyak vitamin, sayuran juga berkhasiat untuk melancarkan buang air besar. Apabila cairan tubuh tercukupi insyaAllah ibu hamil atau menyusui tidak akan lemas saat berpuasa.

Penting untuk diketahui, ibu hamil dan menyusui memerlukan suplemen vitamin dan zat penambah darah (zat besi) selain makanan bergizi untuk mengurangi risiko anemia, terlebih lagi pada saat berpuasa.

KAPANKAH IBU HAMIL DIANJURKAN UNTUK TIDAK BERPUASA?
Ibu hamil dengan usia kandungan satu sampai tiga bulan dengan gejala mual pusing dan muntah yang berlebihan dan sangat mengganggu sebaiknya tidak berpuasa. Namun apabila tidak mengganggu kesehatan fisik sang ibu yang sekaligus berpengaruh pada kesehatan fisik janin, silahkan dicoba untuk berpuasa. Apalagi jika ibu tidak mengalami gejala-gejala di atas.

Ibu hamil pada usia kandungan 6 sampai 9 bulan sebaiknya tidak berpuasa. Pada masa seperti ini janin sudah memproduksi hormon insulin yang mengubah glukosa menjadi glikogen yang berguna dalam proses pembentukan lemak sehingga berat janin bertambah.

Sementara makanan yang masuk ke dalam tubuh ibu hanya bisa disimpan selama delapan jam yang siap dihisap oleh janin. Setelah delapan jam persediaan makanan tersebut habis, sedangkan hormon insulin tetap bekerja. Apabila ibu berpuasa selama 12 sampai 13 jam maka janin akan kekurangan cadangan makanan selama 4 sampai 5 jam . Kondisi ini kurang baik karena janin bisa mengalami hipoglikemia. Sehingga paling aman untuk berpuasa adalah pada usia kandungan antara 4 sampai 6 bulan.

Namun menurut pengalaman kasus penulis, pada usia kehamilan berapapun bisa dicoba untuk berpuasa sesuai kemampuan masing- masing, dengan syarat kebutuhan makanan untuk ibu dan janin tetap tercukupi. Jika pada saat menjalani ibadah puasa sang ibu tidak mampu misalnya timbul gejala hipoglikemia, kekurangan cairan dan sebagainya, sebaiknya segera berbuka.

DIANJURKAN UNTUK TIDAK BERPUASA BAGI IBU MENYUSUI
Bagi ibu menyusui terutama yang masih menyusui ASI eksklusif (4 sampai 6 bulan) dianjurkan untuk tidak berpuasa. Hal ini disebabkan setiap 2 sampai 3 jam sekali mereka harus memberikan ASI kepada bayinya. Apabila asupan makan berkurang maka kandungan zat gizi pada ASI juga berkurang. Padahal bayi yang sedang dalam masa pertumbuhan sangat memerlukan gizi yang sempurna melalui ASI. Apabila ibu puasa, kemungkinan selain ibu menjadi kurus , sang bayi pun ikut menjadi kurus dan lemah.

Sedangkan ibu yang masih menyusui bayi, tetapi bayi sudah mendapatkan makanan tambahan (di atas usia 4 sampai6 bulan), boleh saja berpuasa. Ibu bisa mengatur untuk menyusui dengan frekuensi lebih di malam hari. Diupayakan agar bayi bisa makan sesuai kebutuhan gizinya disamping ASI, bila perlu diberi susu formula.

Sudah dijelaskan bahwa kebutuhan kalori ibu menyusui adalah lebih tinggi dari pada ibu hamil, sehingga apabila seorang ibu menyusui berpuasa, asupan makanan harus benar-benar mencukupi, lebih-lebih 6 bulan setelah melahirkan. Apabila ditengah perjalanan menjalankan ibadah puasa terdapat gangguan pad ibu menyusui segera berbuka misalnya sang ibu menjadi lemah atau sakit.

PENUTUP
Rukhsah yang diberikan Allah kepada ibu hamil dan menyusui, jangan disalahartikan bahwa ibu hamil atau menyusui boleh saja meninggalkan kewajiban berpuasa dibulan Ramadhan. Mungkin ada sebagian kaum ibu yang secara fisik tidak ada gangguan terhadap kehamilannya dan mampu berpuasa, namun ia meninggalkan kewajiban berpuasa, tanpa dicoba lebih dahulu seberapa kekuatannya untuk berpuasa, dengan alasan kehamilannya ataupun alasan menyusui, padahal si kecil sudah kuat makan dan sudah besar serta tak terlalu menggantungkan ASI.

Dilain pihak ada juga ibu hamil mempunyai niat yang salah yaitu ingin berpuasa sebulan penuh karena merasa tidak terhalangi haid atau ingin merasakan kegembiraan dengan anggota keluarga lainnya yang berpuasa. Ada pula sebagian ibu menyusui yang berpuasa dengan alasan ingin cepat langsing, karena badan bertambah pesat pasca melahirkan, sementara hak anak akan pemenuhan kebutuhan ASI ditinggalkan lantaran ibu menggantikan dengan susu formula.

Di sisi lain ada ibu hamil atau menyusui dengan niat benar-benar ikhlas karena Allah menjalankan ibadah puasa, namun mereka memaksakan diri, sedangkan kemampuan fisik lemah serta ada kendala pada kehamilan ataupun bayinya serta kebutuhan kalori, vitamin, mineral pada janin atau anaknya tak mencukupi, padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan kemudahan dan keringanan bagi ibu hamil atau menyusui.

Penjelasan bagaimana kemudahan dan keringanan untuk meninggalkan puasa wajib dibulan Ramadhan bagi ibu hamil atau menyusui banyak dijelaskan para ulama dalam kitab-kitab fiqih, silakan merujuk kepada tulisan para ulama ahlu sunnah. Wallahu a’lamu bish shawab. (Ummu Izzah)

Read More......

Denda bersenggama di siang hari bulan ramadhan

Oleh
Ustadz Abu Asma' Kholid bin Syamhudi


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ
وَ فِيْ رِوَايَةٍ أَصَبْتُ أَهْلِيْ فِيْ رَمَضَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ- وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ- قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ عَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا -يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ -أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka !” Beliau menjawab,”Ada apa denganmu?” Dia berkata,”Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.” (Dalam riwayat lain berbunyi : aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadhan). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi,”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab,”Ttidak.” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi : “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi satu ‘irq berisi kurma –Al irq adalah alat takaran- (maka) Beliau berkata: “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab,”Saya orangnya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata: “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata: “Berilah makan keluargamu!”

KOSA KATA
1. رَجُلٌ : Seorang lelaki namanya Salamah atau Sulaiman bin Shakhr Al Bayadhi [1].
2. وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي: Aku menggauli istriku [2].
3. أَصَبْتُ أَهْلِيْ فِيْ رَمَضَانَ : Aku menggauli istriku (di siang) bulan Ramadhan [3].
4. وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ : Al araq adalah alat ukur (ini merupakan penafsiran dari perawi hadits) [4].
5. الْعَرَقُ : Satu keranjang yang dapat menampung 15 sha’ sehingga sama dengan 60 mud [5].

MAKNA HADITS
Ketika menjelaskan makna hadits ini, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan:

“Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menceritakan, dahulu mereka duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana kebiasaan mereka untuk belajar dan bergaul dengan Beliau. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku telah celaka dengan sebab dosa yang dilakukannya disertai keinginan untuk terbebas dari dosa tersebut, sembari berkata “Wahai Rasulullah, aku telah celaka”. Ketika itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya tentang sebabnya. Orang itupun menjawab, bahwa ia telah menggauli istrinya di siang bulan Ramadhan dalam keadaan puasa. (Mendengar ini, Red), Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memarahinya karena ia datang untuk bertaubat, ingin lepas dari perbuatan (dosa)nya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan bimbingan dengan bertanya kepadanya, apakah ia bisa mendapatkan budak untuk dimerdekakan sebagai kafarat?. Laki-laki itu menjawab, tidak bisa. Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi, apakah ia mampu berpuasa dua bulan penuh berturut-turut? Ia menjawab, tidak bisa juga. Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pindah ke marhalah (tingkatan) ketiga yang akhir dengan menyatakan, dapatkah ia memberi makan 60 orang miskin? Orang itupun menjawab, tidak bisa juga. Kemudian ia duduk dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiam diri, hingga datang seorang Anshar membawa sekeranjang berisi kurma. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan kepada orang tersebut, ambillah dan bershadaqahlah dengannya, sebagai kafarat (tebusan) yang wajib ia keluarkan. Namun, karena kefakiran orang ini dan pengetahuannya tentang kedermawanan dan kecintaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada umatnya, orang tersebut malah menginginkannya sambil berkata: Adakah orang yang lebih fakir dariku? Dan ia bersumpah, bahwa di antara dua ujung Madinah, tidak ada keluarga yang lebih fakir dari keluarganya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa karena ta’ajub (heran) dengan keadaan orang ini yang datang dalam keadaan takut ingin lepas dari dosanya, lalu ketika mendapatkannya berbalik menginginkan harta tersebut. Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkankanya untuk memberi makan keluarganya, karena memenuhi kebutuhan tersebut didahulukan dari kafarat [6].

FAIDAH HADITS
1. Kewajiban bertanya tentang amalan yang menyelisihi syariat yang dilakukan seseorang dan takut terhadap akibat buruknya [7].

2. Besarnya dosa orang berpuasa yang melakukan hubungan suami istri di siang Ramadhan [8].

3. Bergaul dengan istri di siang Ramadhan secara sengaja membatalkan puasa. Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah, yang artinya : "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. "[Al Baqarah : 187].

Ibnu Taimiyah menyatakan, pembatal puasa menurut nash dan ijma’ adalah makan, minum dan jima’ (menggauli istri), berdasarkan firman Allah

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ) (البقرة:187)

Allah memberitahukan tentang bergaul dengan istri, sehingga dapat dipahami dari ayat ini, bahwa yang diinginkan adalah puasa (menahan diri) dari mempergauli istri, makan dan minum [9]. Hukum ini telah menjadi kesepakatan dan ijma’ ulama kaum Muslimin sebagaimana dinukil oleh Ibnu Al Mundzir, Ibnu Qudamah, Ibnu Hazm [10] dan Ibnu Taimiyyah [11].

Ibnu Hazm dalam Maratib Al Ijma’ menyatakan, kaum Muslimin sepakat (ijma’), bahwa minum dan jima’ (mengauli istri), jika dilakukan pada siang hari dengan sengaja dan ia ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal [12].

Sedangkan bila menggauli istrinya dalam keadaan lupa, bahwa ia sedang berpuasa atau lupa di hari Ramadhan, maka ini tidak membatalkan puasa dan tidak terkena kafarat, sebagaimana pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Pendapat ini berdalil kepada keumuman firman Allah :

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآإِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا

"(Mereka berdoa): "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah". [Al Baqarah : 286].

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

"Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku, kesalahan, kelupaan dan keterpaksaan". [HR Ibnu Majah].

Juga dengan hadits :

مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاء عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَة

"Siapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha dan tidak ada kewajiban kafarat". [HR Ibnu Hibban; Ad Daraquthni, 2/178 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 1990] [13]

Menurut Ibnu Hajar, sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat tidak wajibnya mengqadha bagi orang yang berjima’ ini diambil dari keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebagian riwayat hadits berbunyi: مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ , karena berbuka lebih umum dari sekedar makan, minum atau jima’ saja [14].

Serta qiyas (analogi) pada hukum orang yang lupa makan dan minum pada siang Ramadhan. sebagaimana pandangan Ibnu Al Mulaqin. Menurutnya, jima’ (berhubungan suami istri) pada siang hari pada bulan Ramadhan karena lupa, sama seperti makan karena lupa. Ini adalah pendapat para sahabat kami (madzhab Syafi’iyah, Pen). Hal ini ditunjukkan oleh hadits di atas: Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha dan tidak ada kewajiban kafarat. Karena, jika kita berpendapat puasanya sah, maka tidak ada kafarat [15].

4. Kewajiban membayar kafarat bagi orang yang mempergauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan [16].
Imam An Nawawi menyatakan, madzhab kami dan madzhab para ulama menyatakan wajibnya kafarat atasnya, jika berjima’ dengan sengaja [17]. Begitu pula Imam Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al ‘Id menyatakan, mayoritas umat Islam berpendapat wajibnya kafarat dengan sebab merusakan puasa dengan jima’ secara sengaja, dan sebagian orang menukilkan pendapat, bahwa kafarat tidak wajib dan ini pendapat yang syadz (aneh) [18].

5. Kafarat (denda)nya adalah melakukan salah satu dari tiga jenis yang telah ditentukan tersebut, yaitu membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin.
Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu.

Ibnu Al Mulaqqin menyatakan, dalam hadits ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tertib (berurutan) tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan yang ditulis dalam kitab Al Mudawanah [19].

Menurut Ibnu Daqiqi Al ‘Id, dalil kewajiban tertib urut (dalam kafarat ini) adalah tertib urut dalam pertanyaan Nabi. Pernyataan Beliau pertama kali, apakah kamu bisa mendapati budak untuk dimerdekakan? Kemudian diurutkan dengan puasa setelah membebaskan budak, kemudian memberi makan setelah puasa [20].

Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan, pendapat wajibnya tertib urut dikuatkan juga dengan kenyataan, jika hal ini lebih hati-hati, karena mengamalkannya (secara tertib) itu sah, baik kita berpendapat boleh memilih salah satunya atau tidak boleh [21].

Pendapat terakhir inilah yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin [22].

6. Pada pertanyaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “apakah kamu bisa mendapati budak untuk dimerdekakan?” berisi permasalahan, apakah budak yang dimerdekakan itu harus beragama Islam atau tidak?

Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat.

Menurut Ibnu Daqiq Al ‘Id, pertanyaan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam “apakah kamu bisa mendapati budak untuk dimerdekakan?” digunakan sebagai dalil oleh orang yang membolehkan membebaskan budak kafir dalam membayar kafarat, karena pernyataannya Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ini bersifat mutlak (umum). Sedangkan ulama yang mensyaratkan budak tersebut harus beriman (artinya harus Islam), mereka mentaqyid kemutlakan (mengaitkan keumuman) yang ada disini dengan syarat yang ada dalam pembayaran kafarat pembunuhan [23].

Ibnu Mulaqqin menjelaskan, pernyataan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas dijadikan dalil kebolehan memerdekakan budak kafir dalam kafarat., dan ini pendapat Imam Abu Hanifah serta lainnya. Sedangkan Imam Asy Syafi’i berpendapat tidak boleh kecuali budak mukmin, karena beliau rahimahullah membawa (makna) kemutlakan (kata budak disini) kepada yang muqayyad dalam kafarat pembunuhan [24]. Sedangkan Abu Hanifah (sebaliknya, Red), yaitu membawa (makna, Red) muqayyad tersebut kepada (makna, Red) muthlak. Perbedaan ini dilandasi oleh perbedaan pendapat dalam masalah lain, yaitu apabila sebab berbeda, sementara hukumannya sama, apakah yang mutlak dapat dikaitkan kepada yang muqayyad ataukah tidak?[25] Maksudnya adalah, apakah hukum membebaskan budak dalam kafarat jima’ ini dapat disamakan dengan kafarat pembunuhan yang muqayyad (dikaitkan) dengan iman? Sehingga disyaratkan harus iman pada budak yang dimerdekakan sebagai kafarat tersebut.

Menurut Ibnu Mulaqqin, di antara yang menguatkan madzhab Asy Syafi’i ialah, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits As Sauda`:

اعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

"Bebaskanlah karena ia seorang mukmin" [26].

7. Kemudahan syariat Islam yang memperhatikan keadaan mukallaf (orang yang sudah terkena beban syariat) dan tidak pernah membebani dengan sesuatu diluar kemampuannya [27].

8. Seseorang yang berbuat dosa kemudian datang bertaubat, tidak boleh dicela.
Sebagaimana orang tersebut menyatakan يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . Pengakuan ini menunjukkan, ia mengetahui bahwa hal itu merupakan kemaksiatan. Sebab, kedatangannya kepada Rasulullah untuk bertanya dan memberikan pengakuan seperti itu menunjukan pengetahuan, penyesalan dan taubat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadapinya tanpa mencelanya.

[Diangkat dari kitab Umdatul Ahkam, Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi].

Read More......

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP