Pemikiran Azra dan Lainnya Dipertanyakan Orang
Pemikiran Azra dan Lainnya Dipertanyakan Orang
Reaksi orang terhadap pemikiran yang dilontarkan tokoh-tokoh liberal atau penyesat sering muncul di sana-sini. Walaupun mereka tidak seleluasa para tokoh dalam menggunakan media massa untuk menyampaikan pendapat mereka, namun bukan berarti tidak mencuat sama sekali.
Adapun yang memiliki akses media massa ataupun sarana lain secara baik, tampak gencar pula dalam menghadang lajunya suara-suara aneh yang disebarkan para tokoh liberal ataupun penyesat. Misalnya pak Adian Husaini, dalam hal menanggapi lontaran-lontaran Azyumardi Azra saja sudah entah berapa kali. Dari masalah yang rumit berbau filsafat dengan apa yang disebut hikmah abadi sampai agama multikulturalisme yang dilontarkan Azra, dilalap semua oleh Adian Husaini, kemudian disanggah dengan lihainya.
Di luar yang telah mencuat dengan lantang itu ternyata tidak sedikit sanggahan-sanggahan yang lebih menggigit yang ditujukan kepada sang tokoh liberal ataupun yang bersuara miring terhadap Islam, hanya saja belum tentu menyebar secara luas. Karena sifatnya hanya komunikasi antar kawan atau bahkan catatan pribadi, maka kadang letupan-letupan itu dengan bahasa-bahasa yang tajam dan kadang terasa vulgar. Itu kemungkinan sebagai akibat dari dorongan dalam lubuk hati yang tegas untuk menghantam kebatilan yang disebarkan oleh sang tokoh liberal.
Berikut ini kita simak contoh-contoh catatan mereka.
Kasus Ahmadiyah
Azra Mengajak “Adil dan Beradab”
Azyumardi Azra menulis di rubrik resonansi Harian Republika Kamis 21 Juli 2005 halaman 12 berjudul “Run Amuck dan Perbedaan Aliran”. Dia uraikan arti kata run Amuck yang jadi kosa kata Inggeris dari kata amuk dan mengamuk. Kemudian dia contohkan kejadian mengamuk, di antaranya dari layar televisi disaksikan, massa yang mengamuk karena kalah dalam pilkada (pemilihan kepala daerah), gerombolan mahasiswa yang menggebuki mantan pejabat dan satpam di sebuah perguruan tinggi di Surabaya; dan juga massa yang membawa pentungan bambu mengepung kompleks aliran Ahmadiyah di Parung.
Lalu Azra menegaskan, amuk dan mengamuk tidak dibenarkan ajaran agama, dan tidak akan menolong melenyapkan perbedaan-perbedaan dalam kepercayaan, penafsiran, dan praktik agama.
Azra mengutip Al-Syahrastani (1076-1153) dalam karyanya Al-Milal wa An-Nihal untuk mengantisipasi lebih jauh –supaya tidak run amuck—al-Syahrastani berpesan bahwa dalam perselisihan, orang-orang harus memulainya lewat bantuan hakim, dan kemudian mengakhirinya dengan menerima keputusannya.
Tampaknya Azra hati-hati dalam menulis masalah ini. Tidak sembarangan seperti seniornya, Dawam Rahardjo. (Kami sebut seniornya karena Prof Dawam Rahardjo lah pemberi kata sambutan waktu syukuran kelulusan doctor Azra dari Universitas Columbia Amerika. Silahkan baca artikel berjudul Langkah-langkah Perjuangan Seorang Profesor Pendukung Kesesatan). Dalam kasus Ahmadiyah Parung ini Dawam Rahardjo tampak tidak hati-hati. Akibatnya, ada berita sebagai berikut:
Sehari pasca penyerbuan terhadap Pusat Jemaat Ahmadiyah di Parung, Bogor, 15 Juli lalu, Johan Effendi mantan petinggi Depag yang juga anggota resmi Ahmadiyah, mengadakan jumpa pers di PBNU. Jumpa pers yang diliput oleh sebagian besar media teve itu, antara lain dihadiri oleh Dawam Rahardjo, Ulil, Musdah Mulia, dan sebagainya.
Dawam Rahardjo petinggi ormas Muhamamdiyah era Amien Rais dan Syafi’i Ma’arif, tampil bak pahlawan kesiangan membela Ahmadiyah.
Kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya, tidak saja menggelontorkan pembelaan terhadap Ahmadiyah dengan alasan hak asasi manusia, tetapi juga ia mengeluarkan pernyataan yang sangat kampungan, yaitu _… kalau ada gerakan anti Islam, maka saya akan ikut…,_ sebagaimana bisa dilihat dari berbagai tayangan media televisi yang menayangkan jumpa pers tersebut. (swaramuslim.net, Membongkar Kesesatan Ahmadiyah Counter Liberalisme Oleh : Erros Jafar 21 Jul 2005 – 1:30 am)
Antara Azra dan Dawam ada perbedaan dalam bereaksi tentang kasus Ahmadiyah Parung. Azra tampak hati-hati, Dawam tidak. Tetapi sebenarnya hanya beda cara. Padahal, tulisan Azra juga hanya ingin menggolongkan dan memojokkan pengepung Ahmadiyah, tanpa melihat latar belakang kejadian sebenarnya yang sudah memanas sejak 1985-an. Dan Azra sama sekali tidak mempersoalkan betapa jauhnya Ahmadiyah itu memutar balikkan ayat-ayat al-Qur’an dalam apa yang mereka yakini sebagai wahyu dalam kitab suci Ahmadiyah, Tadzkirah. Lebih kongkret lagi bila dilihat, apakah tokoh-tokoh ini pernah peduli apabila umat Islam –baik di dalam negeri maupun luar negeri– dibantai di sana sini, dipecundangi, didhalimi dan sebagainya. Tetapi dalam kasus umat sedang membela agamanya, Islam, pentungan yang hanya dipegang oleh sebagian orang, dan telah dikomandoi pimpinannya untuk tidak berbuat anarkis, dan kenyataannya tidak sampai untuk menggebuki orang Ahmadiyah pun telah mereka kritik sejadi-jadinya.
Ketika saling melempar, dari dua belah pihak, massa Islam dan massa Ahmadiyah sama-sama ada yang terluka. Kenapa kemudian massa Islam mereka sebut anarkis? Padahal, mereka tidak mengemukakan bukti-bukti bahwa massa Islam itu dikomandoi untuk melempari. Kenyataan di lapangan bahkan yang ada, pemuka-pemuka yang mengangkat-angkat tangan pertanda mencegah jama’ahnya berbuat kerusuhan.
Apakah mengkritik sejadi-jadinya tanpa melihat latar belakang dan kejadian sesungguhnya, –hanya melihat dari teve yang belum tentu obyektif itu– yang beliau maksud adil dan beradab?
(Hartono Ahmad Jaiz) catatan pribadi.
Mempertanyakan Amien Rais, Azyumardi Azra, dan Dimyati Hartono
Majalah Suara Hidayatullah : Desember 2001
Mempertanyakan Amien Rais
Untuk lebih memperkuat Opini-nya, Tempo mewawancarai sejumlah tokoh Islam, antara lain M Amien Rais. Pada Tempo edisi tersebut Amien Rais mengatakan, “Jika politik bendera atau gincu yang dipegang, akan tampak berkibar-kibar dan menyala-nyala. Tapi hal itu akan menimbulkan reaksi dari kelompok lain. Sebaliknya jika politik garam yang dipegang, itu tak akan menyala atau berkibar-kibar. Cuma rasa gurih dan asinnya langsung dirasakan masyarakat.”
Pernyataan Amien Rais seperti itu bukan pertama kali dilontarkan. Dalam beberapa kesempatan, antara lain saat peluncuran buku Tidak Ada Negara Islam beberapa tahun silam, Amien pernah melontarkan pendapat senada. Tapi sesungguhnya Amien bukan orang yang konsisten dengan pernyataannya. Ketika Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dibentuk, organisasi yang dipimpin Habibie itu begitu berkibar-kibar dan menyala-nyala, sehingga menimbulkan reaksi dari pihak lain. Banyak kelompok Kristen dan nasionalis sekuler yang merasa curiga terhadap ICMI. Organisasi itu dituduh sektarian. Tapi anehnya Amien mau bergabung di ICMI, bahkan mau menjadi ketua dewan pakarnya. Kalau Amien konsisten, kenapa ia tidak meminta ICMI menggunakan politik garam, misalnya dengan menanggalkan kata Muslim dari nama organisasi itu?
Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yang
memiliki banyak unit amal usaha berupa lembaga pendidikan dan lembaga
kesehatan masyarakat, sehingga masjid, sekolah, pesantren, universitas dan
rumah sakit Muhammadiyah tersebar dan berkibar-kibar di berbagai pelosok
negeri. Para misionaris Kristen sudah pasti tak suka melihat perkembangan
itu karena amal usaha Muhammadiyah jelas-jelas menyaingi missi dan zending mereka. Lantas kenapa Amien Rais mau bergabung di dalamnya dan pernah menjadi ketua umumnya? Kenapa dia tidak mengajak warga Muhammadiyah menggunakan politik garam, misalnya dengan menghapus nama Muhammadiyah dan lambang matahari dari berbagai sekolah yang mereka miliki?
Lantas seperti bagaimanakah politik garam yang bisa dicontohkan Amien Rais
dalam kehidupan sehari-hari? Mungkin Amien akan menyodorkan Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai contoh perwujudan dari politik garam kalangan Muhammadiyah? Lantas kenapa Bara Hasibuan dan kawan-kawannya yang Kristen dan beraliran nasionalis sekuler keluar dari PAN? Apakah lantaran garamnya terlalu asin?
Mempertanyakan Azyumardi Azra
Tokoh lain yang mendukung Opini Tempo seperti diakui Bambang
Harymurti adalah Azyumardi Azra, Rektor IAIN Jakarta. “Bagi saya, upaya
memasukkan Piagam Jakarta dalam UUD 1945 justru kurang menguntungkan. Kita
bisa terjebak dalam formalisme dan simbolisme Islam yang belum tentu bisa dilaksanakan. Lagipula, formalisme dan simbolisme Islam itu seringkali kontraproduktif.”
Kepada Profesor Azyumardi, kita patut bertanya, apakah pendirian Institut Agama Islam Negeri (IAIN) bukan sebuah formalisme dan simbolisme pendidikan Islam? Apakah selama ini civitas akademika IAIN merasa telah terjebak dalam formalisme dan simbolisme keislaman karena berada dalam institusi pendidikan Islam? Apakah selama ini pencantuman kata Agama Islam dalam nama IAIN terasa kontraproduktif? Apakah ada keinginan menghilangkan kata Agama Islam dari nama perguruan tinggi itu, sehingga kemudian bisa merasa terbebas dari kungkungan formalisme dan simbolisme itu? Apakah keberadaan fakultas syariah di IAIN merupakan salah satu bentuk formalisme Islam, sehingga perlu dibubarkan? Apakah para mahasiswi IAIN yang selama ini menjalankan syariat Islam dengan mengenakan jilbab sebaiknya menanggalkan jilbabnya karena peraturan mengenakan pakaian muslimah di kampus IAIN merupakan formalisme dari syariat Islam?
Mempertanyakan Dimyati Hartono
Tokoh anti Piagam Jakarta lain yang dikutip Tempo adalah Dimyati Hartono. “Perdebatan tentang hilangnya tujuh kata dari Piagam Jakarta pada UUD 1945 sudah selesai. Hal itu sudah pula diterima oleh para pendiri bangsa yang notabene tokoh-tokoh Islam cemerlang,” kata anggota fraksi PDI Perjuangan itu.
Sebagai seorang guru besar ilmu hukum, nampaknya Dimyati pura-pura tidak tahu bahwa dalam sebuah negara penganut demokrasi, tak ada aturan yang dibuat manusia yang bersifat final. Sesuai dinamika zaman, apa yang sudah diputuskan oleh orang-orang terdahulu yang paling cemerlang sekalipun bisa diubah oleh orang-orang terkemudian, yakni oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen. Misalnya aturan pemilihan presiden, oleh para pendiri republik ini yang cemerlang dirumuskan bahwa presiden dipilih oleh MPR. Belakangan, jika rakyat dan wakilnya menghendaki, aturan tersebut bisa diamandemen, sehingga presiden dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, dalam konstitusi tidak ada aturan yang bersifat final dan sudah selesai. Yang sudah selesai dirumuskan dan tidak boleh diubah hanyalah kitab suci yang diturunkan Allah pada manusia.
Dimyati Hartono juga mengatakan, “Dicantumkan atau tidak tujuh kata itu sebenarnya tak jadi masalah bagi ummat Islam. Buktinya, meski sekarang tidak dicantumkan, ummat Islam tetap memiliki kebebasan menjalankan syariat agamanya.”
Dimyati sepatutnya ingat, akibat tidak dicantumkannya Piagam Jakarta, orang-orang beriman tipis tetap memiliki kebebasan menjalankan ‘syariat’ maksiatnya dimana-mana.
Tanpa Piagam Jakarta orang bebas melakukan perzinaan sesukanya. Saat ini perzinaan telah dilakukan tidak hanya oleh orang dewasa, tetapi juga dilakukan para pelajar SMP dan SD. Telah berapa ribu perempuan hamil sebelum nikah. Ada berapa puluh ribu pelacur di negeri ini yang dengan tenang menjalankan profesinya tanpa khawatir sanksi hukum. Sebab perundangan di negeri ini tidak memiliki aturan yang menghukum pasangan di luar nikah yang melakukan perzinaan, asalkan suka sama suka. Perundangan seperti itu tidak ada karena dalam konstitusi kita tidak ada kewajiban bagi ummat Islam menjalankan syariat Islam. Alhasil, menolak Piagam Jakarta sama artinya mempertahankan perzinaan dan berbagai kemaksiatan merajalela di negeri ini. Sampai kapankah kaum sekuler menolak Piagam Jakarta? Apakah menunggu waktu hingga istri dan anak-anak perempuan mereka dizinai orang lain, lalu cuma bisa melongo karena tidak ada hukum yang dapat menjerat para pezina?· (Saiful Hamiwanto)
Diskusi online infoPalestina.com
UIN
muwahhid Posted on 6/3/2005 3:42:33 PM
Assalamu’alaikum wr wb.
Seperti kita ketahui ,bahwa UIN SYARIF HIDAYATULLOH ,JIL DAN YAHUDI memiliki kaitan satu sama lain.Setidaknya fakta dan data mereka telah tercium oleh beberapa intelek muslim yang mempunyai tanggung jawab dalam membersihkan akidah umat.Seperti kata Bang Ridwan Saidi,penulis buku DATA DAN FAKTA YAHUDI DI INDONESIA ,beliau berkata dalam suatu majelis,bahwa Al-Misbach,buku karangan Quraish Shihab itu artinya adalah lampu sinagog.Sebenarnya kengawuran orang ini(quraish) sangat banyak dan akidahnya yang tidak jelas,contoh dalam karangan bukunya Dia ada di mana-mana….ini seperti ucapan orang-orang jahmiyyah…yang mentakwilkan Al Quran seenak udelnya serta mengingkari Alloh berada di langit. Padahal Alloh berfirman bahwa Dia beristiwaa di Arsi Nya dalam tujuh tempat di dalam kitabNya:
@Dalam surat Al Arof
@surat Yunus
@Surat Arro’du
@Surat Al Furqon
@Surat Assajdah
@Surat Thohaa
@Surat Al Hadid
Dan Ibnu Taimiyyah juga sering mendebat para jahmiyyin dan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang bodoh.
Itu pada masa ibnu Taimiyyah,apalagi sekarang kebodohan itu merata pada sebagian intelek yang intisab pada Islam,padahal Islam berlepas diri dari mereka disebabkan penafsiran Al Qur’an dan Assunnah sesuai hawa nafsunya bahkan di banyak tempat(radio,tv)mereka mengatakan “ngga usahlah sholat tanpa adzan”,”celana diatas mata kaki,atau memelihara jenggot itu kuno dan ketinggalan zaman”, ada juga yang mengatakan”Islam mengajarkan demokrasi dan kebebasan pendapat”,Islam adalah agama damai dan menolak kekerasan(maksudnya jihad),minuman keras itu hanya utk mengusir hawa dingin jadi tidak haram,ada yang menganjurkan dialog lintas agama(penyamaan agama).
Naudzubillah,sebegitu parahkah keadaan mereka,bahkan kabar terakhir yang
dikatakan bang ridwan saidi. Ketua MUI ,Umar syihab mengusir seorang ustadz
yg datang dari Arab yang menelanjangi gerakan Yahudi di Indonesia,dan kabarnya sang ustadz sudah dideportasi.
Ya Alloh inikah ketua MUI ?
Bahkan lanjut bang ridwan, Quraish syihab menurut salah seorang temannya yang dulu juga sama kuliah di al azhar mengatkan bahwa Quraish Shihab adalah seorang SYI’I (penganut syiah) Anaknya Najwa Syihab, dalam salah satu edisi majalah buatan kaum sesat, mengatakan terhormat tanpa memakai jilbab!!! dan menganggap jilbab tidak wajib.!!!
Belum lagi si Rektor UIN. Si idiot A.Azra yang pembelaannya mati-matian terhadap kaum kafir dan membiarkan pemurtadan di UIN (lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, ada pemurtadan di IAIN)
Dan di temukkannya 1 kontener tafsir Qur’an yang dibuat di Israel,di markaz PBNU, dan bang Ridwan pernah di tawarkan 1 jilid seharga 75.000 ,namun beliau tidak membelinya.
Sekarang tugas kita membina akidah umat dan membentenginya dengan TAWHEED ,karena kalau bukan kita siapa lagi yang akan menghadang gerak laju tentara-tentara syetan yang berwujud manusia.
Semoga Alloh membinasakan penyesat dan perusak akidah di setiap tempat dan zaman.
Wallohu ‘alam
Wassalamu’alaikum wr wb
Date: Sun Feb 17 04:37:25 PST 2008
From: Wido Q Supraha
net.id>
To: Al-Ikhwan@yahoogrou
insistnet@yahoogrou
Subject: [INSISTS] Azyumardi Azra dan Valentine Ala Indonesia
—
14/02/2008 11:31 WIB
Azyumardi Azra dan Valentine Ala Indonesia
Iqbal Fadil – detikcom
Jakarta – Pelarangan perayaan hari Valentine di Indonesia dinilai tidak tepat. Apalagi kalau dengan pendekatan doktrinal keagamaan. Tidak akancocok. Namun tidak ada salahnya dengan Valentine ala Indonesia.“Valentine’s Day memang tradisi yang berakar dari Katolik. Karena pengaruh globalisasi, hari Valentine menyebar ke mana-mana,” tutur cendekiawan muslim Azyumardi Azra di Hotel Sultan, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (14/2/2008).
Menurut mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah ini, Valentine saat ini sudah berubah menjadi fenomena sosial budaya. “Pelarangan oleh pemerintah tidak tepat. Valentine adalah gejala globalisasi. Gejala gaya hidup yang menyebar ke mana-mana,” ujarnya. Menurut Azyumardi, antisipasi yang harus dilakukan justru dengan pendekatan sosial kultural juga, yakni mengarahkan perayaan Valentine kepada hal-hal yang positif.
“Jadi kalau ada yang merayakan Valentine, disesuaikan dengan konteks
Indonesia. Sebab Valentine tidak bisa dicegah, sulit untuk dibendung dan
dilarang,” pungkas Azyumardi. ( ziz / sss )
Source : http://www.detiknew
02/tgl/14/ tim> s.com/index. php/detik. read/tahun/ 2008/bulan/ 02/tgl/14/ tim
e/113119/idnews/ 893886/idkanal/ 10
From: insistnet@yahoogrou ps.com [mailto:insistnet@yahoogrou ps.com] On
Behalf
Of Naufal
Sent: Monday, February 18, 2008 8:32 AM
To: insistnet@yahoogrou ps.com
Subject: Re: Re:[INSISTS] Azyumardi Azra dan Valentine Ala Indonesia
Azyumardi Azra :
Sebab Valentine tidak bisa dicegah, sulit untuk dibendung dan dilarang,”
pungkas Azyumardi. ( ziz / sss )
Siapa yg bilang tidak bisa dicegah?
Siapa yg bilang sulit dibendung dan dilarang?
yang bilang begitu kan dia sendiri?!?!?
belom tentu orang lain bepikir begitu juga kan?!
Kalo merasa nga PeDe datau ngga mampu mencegah dan membendung sehingga merasa sulit mencegah dan membendung hal itu, ya gak usah ngajak orang lain supaya ikut merasa sulit juga donk?!
gimana sih nih pak Azra, masa’ kayak gitu aja sulit???? apanya yg sulit sih?
to:insistnet@yahoogroups.com
From:”Akmal”
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by
yahoogroups.com. Learn more
Date:Mon, 18 Feb 2008 11:36:13 +0700
Subject:RE: Re:[INSISTS] Azyumardi Azra dan Valentine Ala Indonesia
mungkin besok2 dia akan bilang : “Iblis itu sulit dibendung, dan syetan ada dimana-mana. Jadi gak usah dicegah, cukup disesuaikan dgn kultur kita, maka jadilah syetan yang Indonesiawi. ..” kekekekeke “
0 komentar:
Posting Komentar