Orientalisme dan Usaha Kudeta Kebudayaan
Hidayatullah.com--SEPERTINYA,
Van Lith, misionaris Katolik ordo Yesuit, belajar dari kasus Sadrach.
Setelah korespondensi panjang dengan Sadrach, dan pengamatan mendalam di
lapangan, Van Lith mengubah pola penginjilannya. Dari individu menjadi
penginjilan kolektif dalam bentuk sekolah. Dengan mendidik anak-anak
Jawa sejak kecil, diharapkan akan menghasilkan kekatolikan/kekristenan
yang murni. Seiring dicanangkannya politik etis di bidang pendidikan di
kalangan pribumi, Van Lith lalu mendirikan sekolah calon guru.
Dalam
mencari murid yang berkualitas, Van Lith aktif melakukan kunjungan
kepada para bangsawan kraton dan priyayi, agar menyekolahkan anaknya di
Kolese Xaverius (sekolah yang didirikan Van Lith). Semua murid yang
masuk awalnya adalah Muslim, lalu menjadi Katolik ketika lulus. Tidak
cukup menjadi guru, beberapa murid Kolese Xaverius melanjutkan
pendidikannya ke jenjang imamat. Sehingga bila dilihat dari banyaknya
jumlah imam pribumi yang dihasilkan, menurut Steenbrink, usaha Van Lith
ini paling sukses di dunia untuk kegiatan serupa.
Dalam Kolese
Xaverius, identitas kejawaan sangat ditekankan, sedangkan segala hal
yang berbau Islam dihilangkan. Bahasa Melayu, yang dianggap identik
dengan Islam tidak diajarkan, cukup dua bahasa: bahasa Jawa dan bahasa
Belanda. Dengan demikian diharapkan proses integrasi kekatolikan dan
kejawaan dapat berjalan sempurna.
Van Lith juga mendidik para
muridnya untuk serius mengkaji budaya Jawa. Hasil kajian dari para
muridnya itu diterbitkan dalam jurnal St Claverbond, yang diterbitkan di
Belanda.
Satu karya tulis dari pastur Jesuit yang dianggap
mampu menangkap inti dari kebudayaan Jawa adalah disertasi dari Petrus
Joshepus Zoetmulder yang terbit pada 1935. Dalam disertasinya yang
berjudul Pantheisme en Monisme In de Javaansche Soeloek-Litteratuur,
Zoetmulder dianggap mampu mengungkap inti pandangan ketuhanan masyarakat
Jawa, melalui telaahnya terhadap Serat Centhini dan pelbagai karya
sastra suluk Jawa. Menurut Dick Hartoko, meskipun penelitian ilmiah
(mengenai kebudayaan Jawa) tidak pernah berhenti, tetapi itu tidak
menggoyahkan patokan-patokan yang ditancapkan oleh Dr Zoetmulder
setengah abad yang lalu.
Dalam pandangan Zoetmoelder, doktrin
manunggaling kawula gusti sama sekali tidak terkait dengan konsep
wihdatul wujud yang menjadi diskursus kontroversial kalangan ahli
tasawuf Islam. Menurutnya, manunggaling kawula gusti dalam budaya Jawa
adalah suatu bentuk pandangan monistis yang berasal dari ajaran Atman
Hindu. Bahkan pada karya sastra yang eksplisit, corak ke Islamannya pun
akan dianggap sebagai Islam yang telah terpengaruh alam religius India
maupun lewat alam religius Hindu Jawa.
Tetap Berlangsung Hingga
Kini
Inkulturasi, pada perkembangannya tidak
hanya untuk kalangan internal, tapi juga untuk membentuk konsep tentang
Jawa. Sehingga dapat dilihat, saat ini pandangan Zoetmulder menjadi
mainstream dalam banyak penelitian mengenai agama Jawa atau kebudayaan
Jawa.
Beberapa buku tentang Jawa pada periode
berikutnya, masih mengacu pada kerangka berpikir Zoetmulder, bahkan
lebih menspesifikkan lagi tentang apa yang disebut sebagai agama Jawa.
Dan keseriusan ini terbukti mampu
menghasilkan nama-nama besar yang dalam berbagai sisi kebudayaan Jawa,
seperti Bagong Kusudiharjo di bidang tari Jawa, SH Mintarja dengan
novelnya, Api di Bukit Menoreh, YB Mangunwijaya di bidang arsitektur dan
pemberdayaan masyarakat.
Di kalangan antropolog ada nama Niels
Mulder, penulis buku Mistisisme Jawa; Frans Magnis Suseno, “Etika
Jawa, Sebuah Analisa Falsafi” tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Juga ada Sindhunata, “Anak Bajang Menggiring Angin”. Di tingkat
nasional kita mengenal Prof Drijarkara, yang terkenal dengan konsep
’Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler,’ WJS
Poerwadarminto dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Karena itu,
jika wajah sinkretik menjadi wajah utama Muslim Jawa, Wali Sanga
”tertutupi” Siti Jenar dan munculnya anggapan bahwa aqidah kejawen “Manunggaling
Kawulo Gusti” versi kebatinan dianggap sebagai wakil resmi Muslim
Jawa, tidak lain dan tidak bukan adalah buah dari gerakan jangka panjang
orientalisme dan misionarisme di Jawa. Setidaknya, bila masyarakat
tidak berhasil “ter-kristenkan”, paling tidak, mereka akan jauh dari
agamanya, sebuah wasiat suci Samuel Zwemmer untuk para penginjil. Wallahu
’alam bish showab. */Arif
Baca tulisan pertama berjudul "Gagalnya
Usaha "Menghapus" Islam dari Jawa"
sumber: hidayatullah.com
dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com
Artikel Terkait:
- Islam Sebagai Landasan Budaya Jawa
- Gagalnya Usaha "Menghapus" Islam dari Jawa
- Ulama Berjuluk “Penghidup Agama”
- Wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Adalah Musibah Terbesar
- Ternyata Dia Memang “Bidadari”,… Subhaanallaah!!!
- Pasien Terakhir
- Meneladani Para Sahabat yang Dijamin Surga
- Kisah indah Ibnu Hajar dengan Seorang Yahudi
- Mantan tawanan Guantanamo ceritakan penyiksaan mematikan terhadap dirinya
0 komentar:
Posting Komentar