..::::::..

Syarah Hadits Kedelapan Arbain Nawawiyah

بسم الله الرحمن الرحيم

SYARAH HADITS 8 ARBAIN AN-NAWAWI

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : (( أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَ يُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَ يُؤْ تُوْا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَ هُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلى اللهِ تَعَالَى )). رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ
8. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Bahwasanya Rasulullah  telah bersabda : “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Maka apabila mereka mengerjakan itu, terpeliharalah dari padaku darah dan harta mereka, kecuali menurut hukum Islam dan perhitungan amal mereka terserah pada Allah Ta’ala”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.



SAHABAT YANG MERIWAYATKAN HADITS INI
Mengenai sahabat yang telah meriwayatkan hadits yakni Abdullah bin Umar  , telah dijelaskan pada hadits terdahulu (hadits 3). Dan kesimpulannya bahwa beliau adalah seorang sahabat yang memiliki banyak kelebihan baik dari segi ibadah, ilmu, jihad dan lainnya. Ibnu Umar  meriwayatkan langsung dari Rasulullah .

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini disebutkan dalam lafazh Imam Bukhari. Oleh Imam Muslim disebutkan dalam banyak lafazh dan diriwayatkan dari banyak sahabat, bukan hanya dari Ibnu Umar saja, Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairah (jalan ini yang paling banyak), dan dari Jabir bin Abdullah  . Salah satu perawi dari hadits ini adalah Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari.
Namun hadits yang dipilih oleh Imam Nawawi dalam Al-Arbain An-Nawawiahnya adalah riwayat Imam Bukhari. Karena jika dilihat dari banyak riwayat mengenai hadits ini maka riwayat yang paling lengkap memuat faedah adalah riwayat Imam Bukhari yang disebutkan oleh sahabat yang mulia Abdullah bin Umar رضي الله تعالي عنهما.

LATAR BELAKANG HADITS
Latar belakang hadits ini kembali dimunculkan oleh para sahabat dan diingatkan kepada sesama mereka (para sahabat) ketika wafatnya Rasulullah  .Saat itu sahabat Abu Bakar  tengah memegang khilafah Islamiyah. Dan setelah wafatnya Rasulullah  maka sebagian orang yang pernah Islam dan telah bersyahadat kepada Rasulullah menjadi murtad.
Imam Khattabbi رحمه الله تعاليmengatakan bahwa pada saat itu ada 2 kelompok orang yang murtad, yakni :
1. Orang yang murtad dalam arti sebenarnya yakni keluar dari agama Islam. Dan kelompok ini terdiri dari 2 bagian
a. Kelompok yang murtad karena mereka mengangkat nabi yang lain dan menyangka bahwa masih ada Nabi setelah Nabi Muhammad . Di antaranya yakni golongan yang mengangkat Musailamah dari kalangan Bani Hanifah sebagai seorang nabi yang lebih dikenal dengan nama Musailamah Al Kadzdzab. Dan ada juga golongan yang mengangkat seorang nabi dari Yaman yakni Al Aswad Al Anasi .
Maka meski mereka mengaku Islam namun mereka telah menjadikan seseorang yang bukan Nabi sebagai seorang Nabi dan ini pun telah dihukumi kafir dan dianggap telah meninggalkan agama Islam sebab mereka telah mengingkari aqidah yang sangat jelas dalam Islam yaitu :Tiada Nabi setelah Nabi Muhammad "
Ini menunjukkan siapa saja yang menganggap ada nabi setelah Nabi Muhammad  maka hukumnya kafir, jika telah dijelaskan padanya tentang dalil-dalil yang ada .
b. Kelompok yang murtad dan tidak mengangkat seorang Nabi setelah Rasulullah  .Namun mereka tidak mau tunduk kepada syariat Islam yakni tidak mau sujud kepada Allah dan tidak mau melaksanakan syariat Islam yang lainnya .Dengan kata lain mereka benar-benar telah meninggalkan agama Islam.

2. Orang yang murtad yang disebabkan mengingkari sebagian syariat dalam agama ini. Mereka sebenarnya tidak mengangkat nabi dan tetap melaksanakan syariat Islam dengan baik namun mereka menolak sebagian syariat Islam di antaranya mereka menolak untuk membayar zakat.

KEUTAMAAN HADITS INI
• Imam Daqiq Al 'Ied رحمه الله mengatakan هذ حديث عظيم وقاعدة من قواعد الدين " :" (Hadits ini merupakan hadits yang sangat agung dan merupakan kaidah dari kaidah-kaidah yang sangat penting dalam Ad Din) ;karena di dalamnya ada hukum tentang jihad, hukum tentang peperangan, tentang keutamaan syahadat, shalat dan zakat. Dan walaupun tidak ada perkataan khusus yang menyebutkan tentang keutamaannya namun penyebutan Imam Nawawi رحمه الله akan hadits ini dengan memasukkannya dalam kumpulan hadits Arbain An Nawawinya sudah cukup untuk menunjukkan keutamaan suatu hadits apalagi jika ada ulama lain yang menyebutkan keutamaanya secara khusus .

• Hadits ini merupakan hujjah tentang pentingnya sekaligus keutamaan 3 Rukum Islam yakni masalah syahadatain, masalah shalat dan zakat Jika tidak mengerjakan ketiga Rukun Islam tersebut maka ini merupakan tabrir atau semacam legitimasi akan bolehnya kita membunuh seseorang, atau penghalalan darahnya. Dan inilah yang menunjukkan keutamaan tiga Rukun Islam yang sangat penting tersebut yaitu syahadat, shalat dan zakat.

• Hadits ini merupakan hujjah atas kaidah ushuliyah dan fiqhiyah
نحنُ نَحْكُمُ بِالظَّوَاهِرِ وَ اللّـهُ يَتَوَلَّى السَّرَائِرَ "
"Kita hanya mnghukum dari yang zhohir saja, adapun masalah bathin kita serahkan kepada
Allah "

SYARAH HADITS
 "… أمرت أن أقاتل الناس…"
"…Saya diperintahkan untuk memerangi manusia..."
Bentuk kata (أُ مِرْتُ) dalam bahasa Arab dikenal sebagai bentuk shigah mabni lil majhul. Maksudnya bahwa bentuk kata (أُ مِرْتُ) ini merupakan kata kerja yang tidak disebutkan failnya/pelakunya, yakni tidak diketahui siapa yang memerintahkan. Dikatakan dalam terjemahannya “saya diperintahkan”, di sini tidak disebutkan siapa yang memerintahkan hal tersebut. Maka mengenai hal ini dalam bahasa Arab ada dua wazan (timbangan) :
Wazan fi'il madhi (bentuk lampau) seperti :
* فُعِلَ
* كُتِبَ (telah diwajibkan)
Bentuk-bentuk ini tidak diketahui siapa yang memerintahkan.
Wazan fi'il mudhari' (bentuk sekarang) , seperti :
* يُفعَلُ
* يُكتَبُ (ditulis)
Tidak diketahui siapa yang menulis.

Namun kalau Rasulullah  yang mengatakan “Saya diperintahkan “ maka maksudnya bahwa yang memerintahkan beliau adalah Allah . Sehingga sebagian ulama lughah tidak menyetujui penamaan bentuk kata kerja (أُ مِرْتُ) ini sebagai shigah mabni lil majhul sebab dalam hal ini pelakunya telah jelas yaitu Allah . Karena itu penamaan yang paling tepat adalah shigah mabni lima lam yusamma failuhu, yaitu bentuk fiil yang tidak disebutkan failnya.
Tidak disebutkannya fa'il pada suatu kalimat dapat disebabkan oleh dua hal :
1. tidak diketahui failnya
2. sudah diketahui failnya.
Terkadang kita datang ke rumah lalu melihat makanan di atas meja. Maka kita mengatakan "makanan telah diletakkan/dihidangkan ". Siapa yang meletakkannya tidak kita sebutkan karena kita memang tidak mengetahui. Namun kadang pada beberapa keadaan tertentu kita sudah mengetahui siapa sebenarnya pelakunya.
Maka seperti : "…كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ…" (Telah diwajibkan kepadamu berpuasa( QS.2:183)) atau
"…كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ…." (telah diwajibkan atasmu berperang (QS.2:216)). Di sini tidak disebutkan fa'ilnya karena memang telah diketahui bahwa yang mewajibkannya pasti Allah . Karena itulah kita sebutkan bentuk kata kerja yang disebutkan pada dua contoh tadi sebagai sighah "مبني لما لم يسم فاعله" terutama sekali kalau yang menyebutkan bentuk kata kerja tersebut adalah Rasulullah  maka tidak ada kemungkinan lain selain Allah  yang memerintahkan beliau .
Dalam perkataan "أمرت …" ada beberapa pendapat ulama kita tentang maknanya :
Pendapat Imam Thufi رحمه الله(Beliau adalah salah seorang ulama besar dalam Madzhab Hanbali yang juga menjelaskan tentang hadits Arbain dalam buku yang berjudul At Ta'yin)).
Beliau mengatakan bahwa "jika sahabat yang mengatakan bahwa "Saya diperintahkan” maka ada kemungkinan lain (selain Allah dan Rasul-Nya) yang memerintahkannya boleh jadi khalifah, mu'allim, orang tuanya, pemimpin dan selainnya . Jadi jika nabi yang diperintahkan maka sudah pasti yang memerintahkan beliau adalah Allah . Adapun kalau sahabat yang mengatakan "أمرت …" maka ada kemungkinan lain bahwa yang memerintahkannya mungkin selain Rasulullah . Walaupun pada umumnya jika sahabat mengatakan “kami diperintahkan” atau “Kami dilarang” maka maksudnya adalah Rasulullah .
Jika sahabat yang berkata “Kami diperintahkan” atau “Kami dilarang” maka dalam hukum fiqhiyah dan hukum Hadits dia disebut (الحديث الموقوف لكنه في حكم المرفوع), Hadits tersebut Mauquf namun dalam hukumnya adalah Marfu' .Maka hadits tersebut meski terhenti sanadnya pada sahabat (mauquf) namun hukumnya disandarkan pada Rasulullah  (marfu) dan mesti di terima dan tidak boleh ditolak. Sebab hadits-hadits yang hukumnya marfu’ harus diterima dan tidak boleh ditolak.
Pendapat Imam Ibnu Hajar Al Asqalani رحمه الله
Bahwa apabila seorang sahabat mengatakan “Saya diperintahkan” maka tidak ada kemungkinan lain kecuali yang memerintahkan adalah Rasulullah , karena kata beliau رحمه الله semua sahabat itu mujtahidun. Dan sesama mujtahid tidak boleh meruju' terhadap perkataan mujtahid yang lain . Jadi seorang mujtahid berijtihad dengan ijtihadnya sendiri dan ia tidak boleh ruju' dan tunduk dengan pendapat orang lain. Adapun tabi’in boleh jadi yang memerintahkannya bukan sahabat tetapi mungkin orang lain selain sahabat, mungkin teman-temannya, atau dari kalangan tabi'in, ataupun yang selainnya.
Wallahu ta’ala a’lam.
Sebenarnya tidak terlalu terjadi pertentangan karena pendapat Imam Thufi juga ada benarnya. Bahwa boleh jadi seorang sahabat mengatakan "saya diperintahkan" pada masalah-masalah duniawi dan boleh jadi perintah itu datang dari orang tuanya , kabilahnya dan yang lainnya. Dan maksud dari Imam Ibnu Hajar bahwa boleh jadi adalah khusus masalah-masalah hukum, dan ketika khusus menyangkut masalah hukum maka tidak ada kemungkinan lain yang memerintahkannya kecuali Rasulullah . Maka Perintah ini ("… أمرت أن أقاتل الناس…") datang dari Allah . Dalam suatu kaidah fiqhi dikatakan bahwa الأصل في الأمر الوجوب " " yakni asal dari suatu perintah adalah wajib, dan suatu perintah akan tetap bersifat wajib "maa lam ya’ti assharif yashrifuhu an hukmihi al ashl ", selama tidak ada yang memalingkannya dari hukum asalnya. Dan untuk masalah (memerangi) ini karena tidak ada yang memalingkan dari hukum asalnya sebagai suatu perintah maka hukumnya tetap wajib.
Di sini Rasulullah menyebutkan siapa yang boleh diperangi, dan kepada siapa kita mesti berjihad. Dan inilah yang menunjukkan keutamaan hadits ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa asal dari darah seseorang adalah ma’shum(terpelihara), yakni seorang manusia (jiwa) tidak boleh diganggu dan ditumpahkan darahnya. Namun dalam hadits ini dijelaskan siapa-siapa yang boleh ditumpahkan darahnya.
Namun perlu diperhatikan perbedakan antara perkataan memerangi dan membunuh. Di sini dikatakan "أن أقاتل " : “untuk memerangi” Berkata sebagian ulama bahwa perkataan ini tidak menunjukkan bahwa keharusan untuk membunuh. Karena boleh jadi memerangi mereka hanya sebagai ancaman saja baginya untuk memaksakannya agar mau menerima Islam ini. Di mana untuk masalah shalat, memang bisa dibunuh. Sebab tidak mungkin kita memaksa seseorang untuk shalat. Sehingga tidak cukup jika kita hanya memerangi mereka saja karena tidak mungkin kita yang menggerakkan badannya untuk shalat. Sehingga pada masalah orang yang tidak melaksanakan sholat bisa langsung pada derajat membunuh kalau ia tidak terlihat secara zhohir sholat dengan kata lain darahnya langsung menjadi halal .
Adapun masalah zakat (bisa saja) tanpa membunuh sudah dapat menyebabkan ia mengeluarkan hartanya. Maka cukup kita perangi dan jika mereka telah kita taklukkan bisa saja kita ambil hartanya yang seharusnya mereka keluarkan untuk zakat sehingga tidak perlu sampai membunuhnya. Karena itu ulama kita mengatakan bahwa untuk zakat tidak perlu sampai derajat membunuh. Cukup kita perangi, lalu kita kalahkan kemudian diambil hartanya yang memang merupakan hak kaum muslimin dan bukan merupakan hak mereka.
Perkataan "manusia" (الناس) dalam potongan hadits "… أمرت أن أقاتل الناس…" adalah manusia secara umum sampai mereka melakukan 3 hal. Kita ketahui bahwa Islam ini datang untuk keselamatan manusia. Dan ia datang sebagai rahmat bagi sekalian alam. Kadang ada orang yang mengatakan bahwa kalian mengaku bahwa dien kalian adalah dien rahmat namun banyak juga dalil-dalil dalam dien kalian yang menunjukkan bahwa dien kalian adalah suka melakukan peperangan. Maka kita jawab bahwa agama ini adalah agama bagi sekalian alam dan dia adalah hakikat/hukum asal dari agama ini siapa yang tunduk dalam agama ini dan tunduk kepada-Nya, tunduk kepada hukum-hukum-Nya maka dia akan merasakan rahmat dalam agama ini. Walaupun mungkin pada awalnya kita mengajak mereka pada Ad-Dinul Islam dengan beberapa cara bahkan mungkin ada yang terpaksa melewati Qital/perang sehingga akhirnya mereka baru mau tunduk pada Ad Din ini. Dan kadang ada beberapa orang yang tidak mau sama sekali menerima Ad Dien ini sehingga mereka memang patut diperangi, dan memerangi mereka pada dasarnya ada unsur rahmat di dalamnya. Maksudnya yaitu karena mereka(kuffar) sebenarnya perusak alam ini, maka melenyapkan mereka dari muka bumi ini merupakan unsur rahmat bagi alam semesta.
Allah  berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ الروم :41
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)(QS. Ar Ruum:41).
Manusia yang dimaksud adalah manusia yang tidak mau tunduk pada syariat Allah. Ketika kita melenyapkan perusak-perusak alam tersebut maka hal itu merupakan rahmat bagi alam ini yang menginginkan kedamaian. Inilah yang dapat kita katakan pada mereka yang mau mendatangkan syubhat terhadap disyariatkannya qital (jihad dalam arti perang sesungguhnya) dalam Ad Diinul Islam.
Jadi manusia tidak akan kita perangi jika mereka telah melakukan ketiga hal yang disebutkan pada potongan hadits ini berikutnya . Dan dalil ini walaupun datang secara mutlak namun ia diikat oleh beberapa dalil yang lain, yaitu bahwa ada saja orang-orang yang tidak melakukan 3 hal tadi tapi dibolehkan ditumpahkan darahnya oleh ad Din atau dengan kata lain Ad Din ini membenarkan untuk menumpahkan darah mereka walaupun mereka tidak melaksanakan 3 hal itu. Kita katakan ini dikhususkan pada ahlul kitab tidak diperangi dengan syarat membayar jizyah dalam keadaan hina. Dan ini disebutkan oleh Allah .
QS. At Taubah : 29

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ التوبة :29
Artinya:Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah). (yaitu orang-orang yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan hina

Jadi bagi orang-orang ahlul kitab, maka mereka terlebih dahulu harus membayar jizyah dengan hina agar darah mereka ma’shum (terjaga) meskipun mereka beragama dengan agama yang tidak benar, tidak bersyahadat, tidak shalat dan tidak zakat. Inilah yang mengkhususkan hadits kita ini, di mana dalam hadits ini bahwa dia baru terjaga darahnya jika ia melakukan 3 hal namun ayat Qs 9:29 di atas menunjukkan bahwa ada kaum selain kaum muslimin yang tidak melaksanakan 3 hal tadi namun masih dapat terjaga darahnya sebagai suatu pengkhususan. Adapun jika mereka memberikan jizyah/pajak disertai perkataan kasar atau mengancam kaum muslimin maka ini berarti bahwa mereka belum memenuhi syarat dari Allah yakni membayar jizyah dengan hina. Kata para ulama kita bahwa ayat ini dikhususkan kepada Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasharah), adapun selain dari mereka yakni dari kalangan orang musyrik, dan para penyembah berhala, maka mereka terus diperangi sampai mereka memeluk agama ini.

 "…حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله…"
Dalam beberapa riwayat lain seperti :
 Riwayat Bukhari dari sahabat Anas  :
عن أ نس بن مالك رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (( أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله فإذا قالوها وَصَلُّوا صَلاَتَنَا وَاَسْتَقْبَلُوا قِبْلَتَنَا وَ ذ بحوا ببيحتنا فقد حرمت علينا د ماؤهم وأموالهم إلا بحقها و حسبهم على الله)) وفي روا ية من قول أنس بن مالك: (( …فهو المسلم له ما للمسلم وعليه ما على المسلم))
Dari Anas radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah bersabda : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia yakni orang-orang musyrik sampai mereka bersyahadat "لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله" maka jika mereka telah bersyahadat "لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله" dan sholat sebagaimanan sholat kami dan mereka berkiblat dengan kiblat kami dan mereka memakan sembelihan kami maka haram bagi kami (menumpahkan) darah mereka dan harta mereka kecuali dengan haqnya, bagi mereka apa yang dimiliki kaum muslimin dan atas mereka apa yang dihadapi kaum muslimin
(Riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik  )

 Riwayat Imam Muslim
…حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله ويؤمنوا بي وبما جئت به
............ Sampai dia bersyahadat لا إله إلا الله (kepada Allah) dan beriman kepadaku dan kepada apa yang aku bawa.(Riwayat Imam Muslim)

Mengenai perkataan “sampai beriman kepada apa yang aku bawa” kata Imam Nawawi رحمه الله tidak boleh seseorang mengatakan bahwa siapa yang sudah bersyahadat, shalat dan zakat langsung bebas dari pembunuhan walaupun ia mengingkari hukum-hukum yang lain. Jika ia masih mengingkari hukum-hukum yang lain, maka tetap halal darahnya walau ia tidak disebutkan dalam hadits ini, karena Rasulullah  mengatakan "Sampai dia bersyahadat kepada Allah dan beriman kepadaku dan kepada apa yang aku bawa.." artinya siapa yang mengingkari Rasulullah dan syariat yang dibawa oleh Rasulullah  maka dia tetap diperangi walaupun ia telah melakukan 3 hal yang telah disebutkan dalam hadits ke-8 Arbain An-Nawawi ini. Inilah pentingnya kita mengumpulkan dan menggabungkan beberapa riwayat yang ada dan tidak boleh kita mengambil sebagian dan menolak yang lainnya sehingga dapat disimpulkan apa sebenarnya maksud dari perkataan Rasulullah . (Hal ini akan dijelaskan Insya Allah -red)
Adapun tentang mestinya mengucapkan syahadat agar seseorang itu terjaga darahnya, sangat banyak dalil yang meriwayatkan tentang hal tersebut. Orang yang telah mengucapkan syahadat telah berhak untuk dikatakan sebagai seorang muslim dan telah terjaga kehormatannya bahkan tidak boleh diganggu. Inilah yang menjelaskan mengapa orang-orang munafik itu dipelihara dan tidak diganggu oleh kaum muslimin, meskipun sebenarnya Rasulullah  telah mengetahui siapa saja orang munafik. Sahabat Hudzaifah Ibnu Al-Yaman saja mengetahui orang-orang munafiq, apalagi Rasulullah  tentu lebih dahulu mengetahuinya. Namun Rasulullah  tidak membunuh mereka karena mereka telah bersyahadat walaupun syahadat mereka adalah syahadat yang palsu. Firman Allah  :
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ
وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ المنافقون :1
Artinya:Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.(QS.Al Munafiqun:1)
Maka mekipun mereka dusta dalam persaksian mereka namun mereka sudah mengucapkan syahadatain maka mereka tidak boleh diganggu.
Dalam hadits Usamah bin Zaid ketika beliau akan memenggal leher seorang kafir yang ketika hendak dibunuh tapi langsung bersyahadat"أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمدا رسو ل الله". Namun Usamah bin Zaid tetap saja memenggal leher orang itu. Rasulullah  sangat marah dan menanyakan kepada beliau mengapa dia tetap membunuhnya meskipun ia telah bersyahadat. Kata Usamah bin Zaid orang itu bersyahadat hanya karena takut dengan pedang. Lalu kata Rasulullah  : “Apakah kamu sudah membelah dadanya lalu kamu mengatakan seperti itu?”.

Hadits ini menunjukkan bahwa sekedar mengucapkan syahadat sudah memberikan keamanan bagi orang yang mengatakannya, walaupun hanya keamanan di dunia sedangkan di akhirat dia mesti memenuhi syarat-syarat syahadat yang telah dijelaskan oleh ulama kita.
Maka perkataan Rasulullah : "حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله"sangat banyak didukung oleh riwayat-riwayat yang lain dan dalam hal ini tidak ada khilaf bahwa kalimat syahadat merupakan pintu pertama masuknya seseorang ke dalam Islam dan ia merupakan jalan keselamatan. Siapa yang bersyahadat maka dia adalah saudara kita sesama kaum muslimin, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Anas yaitu :
“baginya apa yang dimiliki oleh kaum muslimin( bila kaum muslimin mendapatkan kebahagiaan maka ia juga akan merasa bahagia) dan atas mereka apa yang atas kaum muslimin( jika kaum muslimin mendapatkan musibah maka dia juga merasakan hal tersebut).
 "…ويقيموا الصلاة…"
"…dan menegakkan sholat…"
Tentang keutamaan shalat sudah dijelaskan pada hadits ketiga. Orang yang mengucapkan syahadat namun tidak shalat maka ia tetap halal darahnya. Dan ini disepakati oleh sahabat, bahkan para sahabat mengatakan kafirnya orang tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dan sebagaiman yang dikatakan Abu Bakar 
" Demi Allah saya akan memerangi orang yang membedakan antara shalat dan zakat "
Artinya sudah tidak ada khilaf di antara para sahabat bahwa orang yang meninggalkan sholat pantas untuk diperangi bahkan untuk dibunuh.
Dan jumhur fuqaha mengatakan bahwa ia mesti dibunuh walaupun mereka masih khilaf tentang kekafirannya, yang jelas mereka(orang yang meninggalkan shalat) sudah halal darahnya. Jika ia meninggalkan sholat karena ketiduran satu hari maka wajib baginya untuk mengqadha' sholatnya . Adapun kalau ia pingsan selama 1 bulan ataupun tidak sadar dalam waktu yang lama maka ia tidak diharuskan mengqadho' sholat tersebut. Adapun yang meninggalkan sholat karena enggan maka ,menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak diterima qadhonya dan seharusnya ia bertaubat kepada Allah.
Namun perlu ditanbih(diingatkan) penjelasan mengenai meninggalkan sholat sebaiknya dimujmalkan (secara garis besar) saja karena dikhawatirkan jika kita mengatakan bahwa mereka dianggap kafir jika meninggalkan sholat berulang kali maka hal ini akan digunakan oleh kaum mutasahil (yang sering memudah-mudahkan) dan mengambil kesempatan untuk memudah-mudahkan perkara sholat sebagai ibadah yang sangat penting yang pertama kali akan dihisab oleh Allah. Dan ini pula sebabnya mengapa Sufyan bin Uyainah hanya menyebutkan secara umum tentang masalah orang yang meninggalkan sholat sehingga orang yang selalu memudah-mudahkan tidak mempunyai hujjah mengenai apa yang mereka ingin lakukan.

 "…ويؤتوا الزكاة …"
Dan Rasulullah  juga menyebutkan “Dan Menunaikan zakat”. Rasulullah  tidak menyebutkan Rukun Islam yang lainnya. Tentang ini telah ikhtilaf ulama yakni apakah berarti orang yang tidak menunaikan dua kewajiban lainnya yang tidak disebutkan dalam hadits ini atau tidak mengakuinya tetap halal/terjaga darahnya atau tidak.
Salah seorang ulama yang menjelaskan tentang hadits-hadits Arbain yaitu Ath Thufi dalam kitabnya At Ta’yin fi syarhi Hadits Arbain mengatakan : “Tidak disebutkannya haji dan shaum dalam hadits ini karena saat itu keduanya belum diwajibkan”.
Tentang masalah zakat ada sebuah kisah terkenal, yaitu ketika Abu Bakar  telah menerima khilafah Islamiah ini. Ketika Rasulullah  wafat sempat terjadi fitnah dalam agama ini, terjadi kegoncangan yang sangat hebat dalam umat ini. Jangankan ketika Abu Bakar  baru naik sebagai khalifah bahkan ketika baru tersebar kabar bahwa Rasulullah  telah wafat, orang sudah berikhtilaf dan terjadi kegoncangan yang sangat hebat ditubuh kaum muslimin. Bahkan Umar  sempat marah dan menghunuskan senjata beliau dan siap membunuh orang-orang yang mengatakan bahwa Rasulullah  telah wafat. Hal ini berlanjut terus sampai awal berjalan kekhalifahan Abu Bakar .
Sebagaimana yang telah disinggung pada latar belakang hadits bahwa pada masa Yaumur riddah tersebut terdapat segolongan orang yang menolak untuk membayar zakat meski mereka tetap melaksanakan syariat Islam yang lain dengan baik dan mereka pun tidak mengangkat seorang nabi.
Mereka mempunyai syubhat sampai mereka menolak untuk membayar zakat dan mengatakan bahwa mereka hanya mau memberikan zakat kepada Rasulullah , adapun setelah wafatnya beliau maka kami tidak berkewajiban lagi untuk membayar zakat. Karena itulah sebagian ulama berhati-hati untuk mengatakan mereka sebagai seorang murtad. Banyak ulama yang mengatakan bahwa mereka lebih pantas disebut ahlul baghyi (orang yang menolak/penentang, orang yang memberontak). Dan mereka tetap meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi yang terakhir dan mereka juga menjalankan syariat Islam ini dengan baik kecuali zakat saja.
Adapun syubhat yang mereka munculkan adalah pemahaman mereka terhadap firman Allah :
 خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ(103) التوبة:103

Artinya:Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS.At Taubah:103)
Kata-kata "خُذْ"adalah perintah kepada satu orang. Dan kalau ada perintah kepada satu orang maka yang diperintahkan adalah Rasulullah . Karena itu mereka mengatakan bahwa ayat ini khusus kepada Rasulullah  karena hanya doa Rasulullah  saja yang bisa mensucikan mereka dan yang bisa memberikan ketenangan kepada kita. Karena itu (menurut mereka) kita tidak perlu memberikan zakat kepada selain Rasulullah  dan syariat yang selainnya tetap kita laksanakan.
Inilah syubhat mereka dan syubhat ini telah dijawab oleh ulama-ulama kita bahwa dalam Al Qur’an, khitab itu (sasaran/arah pembicaraan) ada tiga macam :
1. Khitab yang ditujukan secara umum, seperti :
﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً…﴾ البقرة: 208
Di sini khitab (orang yang dituju ) adalah umum baik pada Rasulullah, sahabat, tabi'tabi'in sampai orang-orang di akhir zaman kelak. Demikian pula ditujukan "يا أيها الناس" dan "يا ايها الذين ءامنو"tidak secara khusus untuk Rasulullah atau kepada sahabat namun untuk semua kaum muslimin.

2. Khitab yang seakan-akan ditujukan kepada Rasulullah namun berlaku juga untuk umat ini.
Rasulullah  memang disebutkan pertama kali karena beliau memang orang yang dapat menerjemahkan dengan baik ayat tersebut dan bisa mengamalkannya untuk menjadi contoh bagi umat Rasulullah . Jadi perintah yang seakan-akan untuk dia sendiri namun sebenarnya berlaku untuk seluruh umat ini.
Seperti firman Allah  dalam Qs Al-Isra':78:
﴿أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا﴾ الإسراء :78
Dirikanlah shalat dari ketika matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).

Maksudnya adalah melaksanakan sholat yang 5 waktu. Perkataan "أَقِمِ الصَّلَاةَ " cuma ditujukan pada satu orang yaitu Rasulullah . Maka kita katakan awalnya ini diperintahkan kepada nabi tapi akhirnya berlaku untuk umatnya. Seperti dalam firman Allah dalam Qs 39:65
﴿وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾ الزمر:65
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.

Dalam ayat ini ada kata لَئِنْ أَشْرَكْتَ ada khithab untuk orang pertama tunggal mudzakkar dan sekilas tentu yang dimaksud adalah Rasulullah sebagai penerima pertama wahyu dari Allah. Namun sebenarnya ayat ini bukan berarti hanya berlaku kepada Nabi Muhammad  lalu jika kita yang syirik maka tidak terhapus amalan kita. Namun ini "min baabil awla" maksudnya kalau saja Rasulullah  sebagai orang yang paling dekat kepada Allah diperingatkan agar tidak melakukan kesyirikan, apa lagi orang sesudahnya akan terhapus amalannya.

3. Khitabnya khusus kepada Rasulullah dan memang hanya berlaku kepada Rasulullah 
Sebagaimana yang dicontohkan oleh sebagian ulama kita dalam firman Allah :
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا  الإسراء:79
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.(QS.Al Israa:79)

Sebagian para ulama kita berpendapat shalat tahajjud merupakan kewajiban bagi Rasulullah sebagai ibadah wajib yang bersifat tambahan. Adapun bagi kita maka yang wajib hanyalah shalat 5 waktu. Maka
نَافِلَةً لَكَ أي زيادة لك
Contoh lain dalam firman Allah QS Al Ahzab : 50 tentang bolehnya menikahi lebih dari 4 orang wanita khusus bagi Rasulullah dan bolehnya menikah tanpa mahar (wanita yang menghibahkan dirinya) maka dikatakan oleh Allah :
…خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ…
...........sebagai pengkhususan bagimu dan tidak bagi orang mukmin..........................

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tidak semua lafazh mufrad itu/tunggal hanya berlaku kepada Nabi saja lalu tidak berlaku kepada ummat ini. Bahkan umumnya lafazh-lafazh mufrad/tunggal walaupun ditujukan kepada Nabi pada pertama kalinya namun juga akan berlaku secara umum kepada ummat ini.
Dan ini pulalah yang berlaku pada ayat
 خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَة… التوبة:103
.............Ambillah dari harta-harta mereka sebagai sedekah.(Qs 9:103)
Maka ini berlaku pada nabi sebagai waliyul amr untuk pertama kali dan juga berlaku pada khalifah-khalifah setelah beliau dan juga ditujukan pada waliyul amr pada zaman sekarang ini untuk mengambil sedekah kaum muslimin.
Jadi syubhat mereka mungkin masuk akal juga tapi mereka telah menta’wil dengan ta’wil yang salah sehingga Abu Bakar  memerangi mereka. Dan syubhat mereka telah dijawab oleh ulama kita tadi.
Kemudian ada masalah lain yang disebutkan juga oleh ulama kita berkaitan tentang masalah ini yaitu : Apakah memerangi orang-orang murtad atau ahlul baghyi (tidak sampai derajat kekufuran) boleh kita menawan budak-budaknya atau mengawini budak-budak perempuannya?
Pada awalnya Ali  dan sahabat-sahabat lain memandang boleh sehingga Ali  sendiri mempunyai anak dari budak yang beliau dapatkan ketika berperang dengan Musailamah Al- Kadzdzab dari Bani Hanifah dan anak yang lahir ini dikenal dengan Muhammad ibnul Hanafiah. Ini nisbah kepada Bani Hanifah yaitu kabilah dari Musailamah Al Kadzdzab. Tapi akhirnya para sahabat memandang bahwa bolehnya menawan budak-budak hanya berlaku pada orang kuffar dan tidak kepada yang murtad sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi. Wallahu A'lam
Dan orang-orang Rafidhah (Syi’ah) memanfaatkan peristiwa ini untuk menuduh bahwa Abu Bakar  adalah orang yang pertama kalinya menjadikan tawanan orang-orang murtad sebagai budak. Walaupun sebenarnya perlakukan Abu Bakar  telah disepakati oleh para sahabat sehingga tidak boleh diingkari perbuatan beliau dan ini adalah hasil ijtihad mereka saat itu, bahkan orang yang mereka agungkan pun (Ali ) telah menyetujuinya.
Adapun tentang ahlul baghyi ini yaitu orang-orang yang telah melampaui batas dan memberontak serta tidak mau membayar zakat, mereka tidak dikatakan murtad. Walaupun waktu itu dikatakan mereka murtad namun penamaan itu hanya sebagai tajawwuz saja untuk mengikutkan dengan yang kebanyakan dan yang kebanyakan saat itu adalah murtad walaupun sebenarnya mereka tidak murtad. Dan sebenarnya hal yang menyebabkan mereka diperangi bukan karena mereka telah keluar dari agama ini tapi karena mereka menolak untuk membayar zakat. Di sinilah Abu Bakar  datang dan berijtihad untuk memerangi mereka yang enggan membayar zakat. Dan inilah makna firman Allah  :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS.Al Maaidah:54)
Kata banyak ahli tafsir kita bahwa ayat ini berlaku terus dan yang paling pertama dipuji dalam ayat ini atau yang termasuk mendapatkan pujian dalam ayat ini adalah Abu Bakar Ash Shiddiq . Di mana ketika banyak yang murtad dari kaum muslimin, beliau datang dan berijtihad untuk memerangi mereka yakni kaum murtad (termasuk orang yang menolak membayar zakat). Dan ini terjadi setelah wafatnya Rasulullah  yaitu ketika khilafah Abu Bakar .
Abu Bakar  ketika memerangi mereka tidak membawakan hadits ini walaupun dalam hadits ini sangat jelas disebutkan bahwa orang yang tidak membayar zakat berhak untuk diperangi. Namun anehnya Abu Bakar tidak membawakan hadits ini kepada mereka yang enggan membayar zakat.Bahkan ketika beliau mau memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, beliau ditentang oleh sebagian para sahabat. Di antaranya adalah Umar . Saat itu Umar menggunakan dalil yang umum dan mengatakan bahwa bukankah Rasulullah telah mengatakan “
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم وحسابهم على الله تعالى
Jadi Umar mengingkari perbuatan Abu Bakar dengan suatu lafazh yang tidak menyebutkan shalat dan zakat. Jadi siapa yang sudah bersyahadat maka sudah terjamin darah dan hartanya. Karena itu Umar mengatakan mengapa kamu mau memerangi padahal Rasulullah sudah mengatakan bahwa "saya memerangi sampai mereka bersyahadat" artinya kalau sudah bersyahadat, walaupun ia tidak mau shalat dan tidak mau zakat tidak berhak untuk diperangi. Lalu Abu Bakar  ketika dibantah oleh Umar dengan hujjah tersebut maka beliau menjawab tidak dengan dalil kita ini. Itulah para ulama kita mengatakan bahwa hadits kita ini tidak diketahui (luput) dari pengetahuan 2 sahabat yang mulia dan hanya diketahui oleh Ibnu Umar رضي الله عنهما . Padahal seandainya mereka menyebutkan hadits ini maka sudah akan menyelesaikan masalah ini seketika. Sedangkan kita ketahui Ibnu Umar mempunyai thabaqah yang sangat jauh dari 2 sahabat yang mulia tersebut.
Faedahnya bahwa kadang ada seorang yang lebih muda atau lebih sedikit ilmunya (Tholibul-'ilmi Ash-Shogir) kadang memberikan faedah yang belum pernah disebutkan oleh orang-orang sebelumnya atau ia memiliki tambahan ilmu yang tidak dimiliki oleh orang yang lebih tinggi ilmunya atau yang lebih afdal baginya. . Karena itu hal yang wajar jika seorang thalibul 'ilmi mengetahui apa yang tidak diketahui oleh seorang yang “kibar” dan apa yang diketahui harus terus dibandingkan dengan apa yang tidak diketahui.
Namun tidak perlu ia merasa bangga sebab apa yang ia miliki masih terlalu sedikit dibandingkan dengan banyak hal yang ia belum pahami. Hal ini menunjukkan bahwa seorang alim walaupun sangat luas ilmunya, kedekatannya dengan ahlil ilmi maka ada saja masalah yang tidak diketahui dan luput darinya. Dengan itu tidak boleh seorangpun taashshub/taklid kepada salah seorang ulama karena bagaimanapun tingkat keilmuannya dan keluasan ilmunya namun dia tidak dapat meliputi semua ilmu ini.
Kata Allah dalam Qs: 12:76
...وفوق كل ذي علم عَلِيْمٌ...
…": dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui".

Setiap orang yang berilmu masih ada ilmu diatasnya dan tidak seorangpun manusia dimuka bumi yang meliputi semua ilmu yang ada. Kedua sahabat yang mulia yakni Abu Bakar dan Umar dan begitu mempunyai kedekatan dengan Rasulullah namun ada hal yang luput dari mereka berdua tentang hadits kita ini yang disebutkan oleh Ibnu Umar رضيالله عنهما .Lalu ada yang mengatakan mengapa Ibnu Umar tidak menengahi agar tidak terjadi pertengkaran dengan hadits kita ini ??.
Lalu diberikan ta'lilnya bahwa mungkin beliau sakit atau mungkin beliau tidak hadir atau tidak mengetahui pertengkaran antara kedua sahabat yang besar ini.
Namun setiap orang dapat mengambil ilmu dari siapa saja. Karena itu Imam Bukhari mengatakan :
لا ينبل الرجل عالما حتي يأخذ العلم ممن هو ذونه و ممن هو مثـله و ممن هو فوقه
Seorang itu tidak bisa menjadi alim dengan sebenar-benar alim sampai ia mengambil ilmu dari orang yang dibawahnya, dan yang sama dengannya dan orang yang diatasnya.

Dan ini hampir sama dengan kisah Khidirdan Nabi Musa . Bukan berarti Khidirlebih afdhal dari Musa  ataupun bukan berarti Khidirlebih alim daripada nabi Musa. Musa adalah orang yang paling afdhol dan paling alim saat itu namun ada saja ilmu yang beliau tidak miliki dan dimiliki oleh Khidir. Dan itulah yang mau beliau tuntut, itulah yang mau beliau ambil dari Khidir. Dan bukan berarti Khidir memiliki semua ilmu yang dimiliki Musa . Bahkan ilmu yang dimiliki Musa  jauh lebih banyak dan lebih afdhal dari Khidir
Dan ini juga menunjukkan pentingnya kita mengambil manfaat dari antara satu dengan yang lainnya. Karena tidak mungkin kita bisa meliputi semua ilmu yang ada.

Maka Abu Bakar untuk membenarkan perbuatan beliau (untuk memerangi orang yang tidak membayar zakat), maka beliau tidak berdalilkan dengan hadits kita (H-8 AN) melainkan dengan perkataan beliau sendiri :
"وَ اللهِ لأُ قَا تِـلَنَّ مَنْ فَرَّ قَ بَيْنَ الصَّلاَةِ وَ الزَّكَاةِ، فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ"
“Demi Allah saya akan memerangi orang yang membedakan antara shalat dan zakat,(Maksudnya hanya mau sholat namun tidak berzakat dan Kalau shalat itu adalah hak badan yang berhubungan dengan Allah  ) maka zakat adalah hak harta (dan siapa yang menolak hak ini maka ia diperangi)”
Inilah alasan yang dikatakan oleh Abu Bakar  dan beliau tidak berdalilkan dari Rasulullah  sebagaimana bunyi hadits ke-8 AN .Jadi Abu Bakar  menggunakan kias waktu itu yakni beliau mengkiaskan shalat dengan zakat. Akhirnya Umar setuju dengan pendapat Abu Bakar ketika beliau melihat kesungguhan Abu Bakar dan tidak mau mundur dari tekadnya untuk memerangi mereka lalu menyebutkan alasan tadi bahwa Abu Bakar akan memerangi orang yang memebedakan antara sholat dan zakat, maka Umar mengatakan “saya tidak melihat kecuali Abu Bakar telah diberikan taufik pada kebenaran”. Artinya apa yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah benar dan akhirnya Umar juga ikut dalam memerangi para murtadin yang menolak membayar zakat.

Dan hadits ini sangat sesuai dengan dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut. Diantaranya :

 QS. At Taubah : 5
 فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ التوبة :5
Apabila sudah habis bulan-bulan haram, maka bunuhlah orang-orang musyikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan . Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Setelah melakukan 3 yakni taubat (maksudnya bersyahadat kembali) dan sudah sholat dan zakat maka tidak boleh diganggu dan dibunuh. Artinya mafhumnya selama mereka tidak melaksanakan ketiga hal ini maka mereka tetap kita intai dan berusaha membunuh mereka. Jadi mereka baru aman harta dan darahnya ketika melakukan ketiga hal ini. Maka ayat ini sangat sesuai dengan hadits kita ini.
Begitu pula dalam QS. At Taubah : 11
 فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ التوبة:11
Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami tafshil/uraikan secara rinci /menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.

Ini menunjukkan selama mereka tidak melaksanakan 3 hal ini mereka bukan ikhwan/saudara kita dalam agama ini. Dan yang bukan saudara kita dalam agama ini maka mereka boleh kita perang (halal darahnya). Dengan ini pula sebagian ulama mengkafirkan orang yang enggan membayar zakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada hadits ke-2 Arbain An-Nawawi bahwa masalah sholat ada khilaf, dan banyak ulama kita yang mengkafirkan orang yang meninggalkan sholat karena malas.Adapun orang yang tidak mau membayar zakat walaupun mereka tidak mengingkari masih diikhtilafkan oleh para ulama kita walaupun jumhur ulama yang mengatakan bahkan hampir mendekati ijma mengatakan bahwa mereka tidak kafir. Namun ada ulama kita yang mengatakan bahwa mereka telah kafir berdalilkan ayat ini dan hadits kita serta dalil yang lainnya seperti Said bin Jubair. Karena و" " fungsinya ma'thuf berarti harus dipenuhi semuanya, berbeda dengan أو" " artinya ikhtiyar(pilihan) yakni jika sebagian diambil yang lainnya tidak ditunaikan maka hal ini tidak mengapa. Karena itu yang tidak menunaikan zakat tetap juga mesti diperangi. Dan sebagian juga mengatakan bahwa ia diperangi namun (perlu diingatkan) memerangi seseorang tidak mesti karena kekafirannya karena kadang orang diperangi bukan karena kekafirannya, namun karena alasan-alasan tertentu yang membolehkan ia diperangi atau dibunuh.
Dan Abu Bakar  juga ketika memerangi mereka juga tidak mengatakan bahwa mereka telah kafir, walaupun sebagian memang telah murtad dan sebagian lagi dikatakan oleh Abu Bakar :
“Demi Allah saya akan memerangi orang yang membedakan antara shalat dan zakat" pada perkataan beliau dikatakan sebab mereka diperangi adalah karena membedakan zakat dan sholat dan dilanjutkan perkataan beliau bahwa zakat adalah hak dari harta dan sekali lagi beliau tidak mengkafirkan orang yang tidak membayar zakat tersebut dalam lisan beliau ini .
Jadi Abu Bakar  memerangi mereka ketika enggan membayar zakat bukan karena mereka kafir namun disebabkan amalan ini ketika enggan membayar zakat merupakan alasan bagi khalifah untuk memerangi orang-orang tersebut.
Ini sekaligus juga menunjukkan keutamaan zakat. Apalagi Allah dan Rasul-Nya telah sangat banyak menyebutkan masalah zakat ini setelah penyebutan masalah shalat dan juga hukum ini yaitu bolehnya memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat.

 "…فإذا فعلوا ذلك…"
Kalau mereka telah melaksanakan syahadat, menegakkan sholat dan membayar zakat. Dan salah satu dari faedah bahwa hadits ini merupakan radd/bantahan kepada ahlul Irja'(kaum murjiah) yang menganggap iman itu hanyalah pengenalan/ma'rifah dan pembenaran lalu mereka tidak memasukkan amalan-amalan dalam musamma(penamaan) iman namun hadits kita ini menunjukkan masalah amalan itu sangat penting. Karena orang yang meninggalkan sholat dan zakat maka halal darahnya, bahkan sebagaimana kata sebagian ulama kita hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut telah kafir dan bukan seorang mu'min. Sebab amalan merupakan salah satu syarat bagi keimanan seseorang. Seorang muallaf walaupun telah jelas hukum-hukum Allah terutama masalah sholat lalu dia terus meninggalkannya maka dia kafir secara mutlaq manurut pendapat jumhur shahabat dan juga rajih dari Imam Ahmad .
Adapun dalil yang mengatakan (terutama dalil yang digunakan orang Murjiah) bahwa tidak kafirnya orang yang meninggalkan sholat dan yang lainnya berasal dari pegangan yang lemah. Mereka hanya mengambil dalil-dalil yang umum dan dengannya mereka menjadikannya hujjah untuk tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan hukum Allah . Misalnya dalil hadits :

لَمْ يَعْـمَـلْ خَيْرًا قَط
"…Tidak pernah melakukan amal kebaikan sedikitpun"
Lalu mereka mengatakan berarti orang tersebut adalah orang yang meninggalkan sholat namun akan dikeluarkan dari api neraka. Padahal hadits ini merupakan hadits yang sangat panjang dan di awal hadits tersebut disebutkan ada orang yang dikeluarkan dari kerak neraka dan semua tubuhnya telah hangus kecuali bekas-bekas wudhu ini menunjukkan bahwa orang tersebut ahlushsholat/pernah sholat . Lalu dikatakan mereka "tidak pernah melakukan amal kebaikan sedikitpun" artinya bukan mereka tidak pernah melakukan kebaikan secara mutlaq sedikitpun sebab ternyata ia ahlushsholah. Maka maksudnya seakan-akan amalan kebaikannya tidak ada dibandingkan dengan dosa-dosanya yang sangat banyak. Sebab sangat mustahil seorang muslim tidak pernah melakukan kebaikan sedikitpun dan kita yakin tak seorangpun di muka bumi yang tidak melakukan satu amal kebaikan sedikitpun. Apalagi seorang muslim, senyumnya seorang muslim adalah kebaikan maka jika kita mengatakan maksud hadits tersebut menafikan semua amal kebaikan secara keseluruhan maka ini adalah pendapat yang sangat lemah sekali.Wallohu A'lam
Karena itulah hujjah-hujjah yang dikatakan orang bahwa tidak kafirnya orang yang meninggalkan sholat dengan dalil-dalil yang umum maka sebenarnya ini pendapat yang lemah apalagi telah datang dalil-dalil yang khusus yang menegaskan kekufuran orang yang meninggalkan sholat.Wallahu ta'ala A'lam






 "…عصموا مني دماءهم وأموالهم …"
Perkataan "عصموا" dari kata عصمَ - يَعْصِمُ artinya yang menghalangi. Adapun "معصوم"artinya yang dihalangi. Jadi kalau Rasulullah  dikatakan "معصوم"artinya yang dihalangi dari perbuatan-perbuatan dosa/kesalahan dan dosa besar. "عصموا" maka fail(pelakunya)nya kembali pada orang-orang yang melakukannya. Artinya jika orang-orang yang sudah bersyahadat, shalat dan zakat maka “mereka” telah melarang aku untuk menumpahkan darah mereka. Artinya orang yang melakukan ketiga hal ini telah menghalangi aku untuk memerangi dan mengambil harta mereka.
Perkataan Rasulullah  "عصموا مني دماءهم وأموالهم" ini menunjukkan bahwa salah satu hak muslim yang paling utama adalah haqqud dam/darah dan haqqul maal /harta. Dan keduanya ini yang tidak boleh diganggu pada seorang muslim. Dan kezaliman itu di antara sesama manusia terjadi pada tiga hal yakni darah dan harta (sebagaimana dalam H-8 ini) dan kehormatan. Walaupun kehormatan ini tidak disebutkan dalam hadits ini bukan berarti bahwa mereka boleh dicela/diganggu kehormatannya. Kadang tidak disebutkannya karena ia sudah termasuk di situ (antara yang 2 tersebut) dan kadang karena menunjukkan sangat pentingnya kedua masalah tersebut. Dan inilah yang membedakan antara yang telah mengadakan ikatan perjanjian dengan Rasulullah . Rasulullah tidak menganggu darah dan harta orang-orang yang telah membuat perjanjian dengan beliau seperti ahlul kitab yang telah membayar jizyah (dzimmi) walaupun mereka tidak masuk Islam . Demikian pula hartanya tidak diganggu kecuali yang memang harus mereka serahkan, misalnya jizyah. Dan bukan berarti kehormatannya perlu dijaga juga sebagaimana kaum muslimin, kehormatannya tidak sama dengan kehormatan kaum muslimin. Maka dari itu boleh bagi kita jika bertemu dengan mereka untuk mendesak mereka ke tempat yang paling sempit, sebagaimana dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
Artinya:Dari Abu Hurairah  bahwasanya Rasulullah  bersabda: "Jangan kalian mendahului orang Yahudi dan Nasrani mengucapkan salam, jika kalian bertemu dengan salah seorang diantara mereka di sebuah jalan maka desaklah ke jalan yang lebih sempit(tepinya)"(HR.Muslim)
Yang dimaksud disini adalah Yahudi dan Nasrani yang dzimmi sebab jika bukan dzimmi maka pasti Rasulullah  akan mengatakan:
فإذا لقيتموهم فا قتلوهم
"Dan jika kalian bertemu dengan mereka maka bunuhklah"
dan bukan sekedar mendesak kejalan yang sempit. Namun dalam hadits tadi kita tidak bisa memerangi mereka karena mereka sudah membeyar upeti (pajak) namun bisa menyingkirkan mereka. Dan ini tidak termasuk menzhalimi dan dibolehkan. Kemudian ada orang yang mengatakan kita mengambil salah satu hak mereka. Ini sebenarnya adalah salah satu cara untuk menarik mereka ke dalam Islam, sebab setiap orang tentunya menginginkan suatu kemuliaan, tempat yang lapang untuk jalan-jalan, Sehingga bila mereka diperlakukan seperti itu maka mereka akan mengatakan daripada seperti itu lebih baik kita masuk ke dalam Islam. Demikianlah salah satu hikmah kata para ulama. Namun hal ini tidak bisa kita lakukan saat sekarang,karena kelemahan kita Hal ini bisa dilakukan saat ada izzul Islam wa-Al-Muslimin. Saat ini kita lemah bahkan kitalah yang diperlakukan demikian.Wallahu Musta’an
Masalah harta, darah dan kehormatan memang merupakan hal yang paling diutamakan. Sebab berapa banyak orang yang dijaga hartanya namun kehornatannya tidak dijaga. Adapun untuk muslim harus diperhatikan 3 hal ini
 "…إلا بحق الإسلام…"
Perkataan ini"إلا بحق الإسلام" tidak disebutkan dalam riwayat Muslim melainkan hanya pada Riwayat Bukhari. Maksudnya bahwa siapa yang sudah melakukan 3 hal tadi maka tidak boleh dibunuh kecuali dalam hak Islam artinya ada suatu saat di mana Islam memberikan hak kepada kita untuk membunuhnya walaupun ia telah melaksanakan ke-3 hal tadi. Dalam kondisi ini ada hukum Islam lainnya yang ia langgar dan memang hukumannya adalah dibunuh ketika ia melanggar hukum/hak Islam tersebut. Dan ada beberapa hal yang disebutkan oleh ulama kita, diantaranya adalah :
• Seorang yang membunuh tanpa alasan yang benar qishosh yang membunuh boleh dibunuh bahkan disyariatkan untuk dibunuh walaupun dia bersyahadat, shalat dan mengeluarkan zakat.
• Orang yang berzina padahal sudah menikah  dirajam sampai mati
• Seorang penyihir (menurut pendapat sebagian ulama)  dibunuh
• Seorang yang mencuri lebih dari 4 kali (menurut pendapat sebagian ulama) dibunuh
Secara lebih lengkapnya akan dijelaskan dalam Hadits ke-14 dari Hadits Arbain ini, tentang orang-orang yang pantas dibunuh atau orang-orang yang hukumannya adalah hak bunuh dalam syariat Islam ini .


 "وحسابهم على الله تعالى …"
Potongan hadits terakhir inilah yang merupakan salah satu dalil tentang kaidah yang sangat terkenal di antara ulama kita yaitu
نحنُ نَحْكُمُ بِا الظَّوَاهِرِ وَ اللّـهُ يَتَوَلَّي السَّرَائِرَ
Kita hanya menghukum dari yang zhahirnya ( yang nampak) saja. Dan masalah bathinnya (tidak nampak kita serahkan pada Allah .
Perkataan ini sangat terkenal di antara kalangan ushul-fiqh. Bahkan sebahagian diantara mereka menganggap ini adalah hadits padahal ini bukan hadits dari Rasulullah .
Karenanya Imam Syaukani memasukkan hadits ini kedalam hadits-hadits maudhu. Dalam kitabnya"Al-Fawaid Al-Majmuu'ah", beliau mengatakan hadits ini maudhu jika disandarkan pada nabi. Tapi memang merupakan kaidah ushuliyah bahwa memang kita berhukum dengan apa yang nampak padanya adapun masalah batin kita serahkan pada Allah .Dan kita ketahui bahwa kaidah-kaidah fiqiyah maupun ushuliyah ditetapkan oleh ulama-ulama kita berdasarkan dalil-dalil yang datang dari Al Qur’an ataupun sunnah. Dan dalil-dalil yang datang tentang masalah ini sangat banyak sekali. Bahwasanya kita hanya berhak menghukum yang lahirnya dan tidak berhak menghukum yang bathinnya. Di antaranya kisah Usamah bin Zaid, ketika beliau membunuh seorang yang mengucapkan syahadah لا إله ألا الله . Dalam kisah tersebut beliau ketika ditanya dan dimarahi oleh Rasulullah , beliau menjawab bahwasanya :Wahai Rasulullah dia mengucapkan dua kalimat syahadat hanya karena takut dengan pedang. Maka kata Rasulullah  : “ Apakah kamu sudah membelah dadanya sehingga kamu berani mengatakan bahwa ia hanya mengucapkan syahadat hanya karena takut pada pedang. Boleh jadi ia memang mau bertobat kepada Allah.”
Teguran dari Rasulullah ini menunjukkan bahwa kita menghukum yang zhahir. Selama ia sudah mengucapkan syahadat kita terima saja. Adapaun masalah batinnya kita serahkan pada Allah . Kalau nabi saja mengajarkan dan beliau menghukum dengan yang lahir apalagi kita tentu lebih pantas untuk tidak menghukumi kecuali yang zhohir saja. Nabi yang diberitahu oleh Allah beberapa hal yang ghaib beliau menghukum dengan yang zhahir, apatah lagi kita yang tidak pernah mengetahui hal-hal yang sifatnya ghaib.
Dalil lain adalah sabda Rasulullah  dalam hadits Bukhari Muslim dari Ummu Salamah رضي الله عنها:
إ ِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ مِنْهُ فَمَنْ قَطَعْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْهُ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ بِهِ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ
Artinya:"Kamu ini senantiasa datang kepadaku untuk mengajukan persoalan kalian . Boleh jadi diantara kamu ada yang lebih baik menyebutkan hujjahnya (lebihpintar berbicara) sehingga saya akhirnya memutuskan dia pihak yang benar sesuai yang saya dengarkan darinya,barangsiapa yang saya putuskan baginya sesuatu dari hak saudaranya maka janganlah dia mengambilnya karena itu merupakan potongan dari neraka"(HR.Muslim)
Disini Rasulullah  hanya bisa mendengarkan alasan pihak pertama dan pihak kedua lalu menghukum dengan apa yang nampak padanya. Sehingga mungkin saja kara Rasulullah ada yang lebih pintar berargumen sehingga ia memenangkannya padahal sebenarnya ia adalah pihak yang salah. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah  menghukum sesuatu dengan apa yang nampak baginya dan tidak menghukum yang bathin karena memang masalah yang batin hanya milik Allah .
و الله عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ( Cuma Allah yang mengetahui apa yang ada dalam hati)
Dengan ini merupakan kaidah yang sangat perlu untuk dipegangi.
Adapun maksud hadits kita ini "وحسابهم على الله تعالى" artinya Rasulullah mengatakan bahwa siapa yang tidak melaksanakan 3 hal tadi akan diperangi dan dibunuh. Adapun apakah sebenarnya dia itu ta’wil atau kenapa ia tidak melaksanakan hal itu maka itu bukan urusan Rasulullah yang jelas Allah memerintahkan untuk menghukum yang zhohir saja. Artinya bahwa orang yang enggan melaksanakan ketiga hal tersebut berhak untuk diperangi, apapun alasannya, adapun yang ada sesuatu dalam hatinya maka Allah yang akan menghisab mereka. Apakah belum sampai padanya hujjah atau masih syubhat pada mereka, yang jelas selama mereka masih tidak melaksanakan ketiga hal ini mereka berhak untuk diperangi. Dan juga maknanya bahwa boleh jadi ada orang yang telah melaksanakan ketiga hal ini, kami sudah tidak membunuh mereka, kami sudah tidak memerangi mereka, tapi mereka hakikatnya tetap orang-orang kuffar, contohnya orang-orang munafik. Orang munafik pada hakikatnya adalah orang-orang kuffar walaupun mereka melakukan ketiga hal tadi namun mereka tidak membenarkan dalam hatinya. Dan pembenaran dalam hati merupakan salah satu syarat yang sangat penting dalam keimanan. Namun masalah hati ini tidak diketahui oleh kita sehingga kata Rasulullah "وحسابهم على الله تعالى".Maka Rasulullah akan berhenti memerangi para munafikun walaupun hati mereka tidak membenarkan karena hal itu kita serahkan kepada Allah .
Kaidah ini berlaku secara umum, artinya sikap kita dalam menghadapi siapa saja sesuai dengan yang nampak oleh kita. Tidak boleh kita menghukum bathin seseorang, tidak boleh kita mencurigai seseorang dengan apa yang nampak darinya. Tidak boleh seseorang yang sudah nampak kesolehannya, kebaikannya ketakwaannya kepada Allah , lalu kita curigai bahwa mungkin ia hanya mau riya saja, mungkin ia mau dipuji oleh manusia saja. Itu bukan urusan kita. Kita hanya menghukum bahwa selama seorang masih nampak ketakwaannya, kebaikannya, kesholehannya, kita mengatakan bahwa ia orang sholeh, dan benar tidaknya hanya Allah yang tahu. Sebaliknya orang yang sudah menampakkkan kedurhakaannya, pengingkarannya kepada Al Qur’an dan sunnah, kita lansung saja mengatakan dalam hati kita bahwasanya ia adalah orang durhaka, orang yang menolak perintah-perintah Allah, sabda-sabda Rasulullah. Karenanya kita tidak membutuhkan pengakuan-pengakuan mereka. Biar mereka tidak henti-hentinya mengatakan:"...walaupun saya begini tapi sebenarnya hati saya baik, kamu melihat saya tidak shalat tapi hati saya baik, kamu melihat saya tidak memakai jilbab tapi sebenarnya hati saya baik..." Yang seperti itu tidak kita butuhkan. Hati kamu baik atau tidak itu adalah urusanmu. Namun Allah  menyuruh kita untuk menghukum apa yang nampak bagi kita. Orang yang tidak shalat kita katakan tidak baik, bahkan boleh jadi dia kafir dan siapa yang melakukannya adalah fasik, durhaka dan seterusnya. Jadi muamalah kita dengan orang sesuai dengan yang nampak bagi kita.
Dan yang menunjukkan tatbiq amali (pengamalan kita dengan kaidah seperti ini) adalah muamalah Rasulullah dengan orang-orang munafik. Sampai-sampai meski Rasulullah  telah mengetahui hakikat dari hatinya, Rasulullah tetap menghukum dengan yang lahir. Adapun orang munafik telah disampaikan oleh Allah  tentang hakikat mereka. Orang munafik adalah orang yang mengatakan apa yang tidak ada dalam hatinya dan melakukan apa yang bukan karena ketaatan pada Allah  tapi karena riya. Dan hal ini sudah diketahui Rasulullah  dan beliau juga mengetahui siapa gembong munafiqin, siapa pengikut-pengikut mereka. Namun Rasulullah  mau mengajarkan pada kita bagaimana bermuamalah dan menghukum dengan apa yang nampak bagi kita. Pada saat sekarang kita tidak mungkin untuk mengetahui apa-apa yang ada dalam hati manusia. Sedangkan Rasulullah  saja yang telah mengetahui siapa-siapa orang munafik dan bahakan beliau telah menyampaikan pada Hudzaifah  beberapa yang munafik, namun selama di dunia ini kita diperintahkan menghukum yang zhahir. Ini adalah salah satu pelajaran yang berharga dari Rasulullah  bagi kita yaitu menghukum seseorang dengan yang zhohirnya.
Ini berlaku untuk semua masalah dalam ad din. Termasuk muamalah dengan ahlul bid’ah. Sebagaimana ulama kita mengatakan bahwa muamalah terhadap ahlul bid’ah itu berbeda antara orang yang tidak menampakkan bid’ahnya dengan orang yang menampakkan bid’ahnya. Orang yang menampakkan bid’ahnya maka tidak mengapa kita bermuamalah dengannya dengan tegasnya bahkan tidak mengapa kita untuk jelaskan juga ditengah-tengah masyarakat. Kalau ia telah menampak-nampakkan bid’ahnya apalagi yang sudah jelas mengajak manusia untuk mengikuti bidahnya, maka orang seperti itu boleh kita menjelaskan pada umat tentang bid’ahnya dan mentahdzir/memperingatkan tentang bahaya bid’ahnya. Adapun orang yang masih menyembunyikan bid’ahnya maka tidak boleh kita menghukumnya. Walaupun mungkin ia berlagak sebagai ahlussunnah wal jamaah, berlagak bermanhaj salaf padahal mereka sebenarnya ahlul bid'ah maka tidak boleh kita menghukum bahwa mereka hanya mau digelari sebagai ahlussunnah wal jamaah, mau digelari sebagai sunni, mau digelari salafi padahal hakikatnya mereka bukan yang seperti itu. Ini tidak boleh. Karena mereka sudah menampakkan apa-apa yang merupakan ciri-ciri ahlussunnah, ciri-ciri manhaj salafushshaleh maka kita hanya dapat menghukum dengan apa yang nampak bagi kita. Adapun masalah-masalah batinnya baik tentang keikhlasannya , itu bukan urusan kita. Dan kita tak bisa menghukum karena memang kita tidak punya fiqhul bathin, kita tidak tahu apa yang ada dalam hati.

Dan ini menunjukkan kesalahan sebagian orang yang senantiasa mencurigai orang-orang yang sudah mau berusaha dengan sebaik-baiknya berqudwah dan beruswah dengan salafush shaleh, dan mau mempelajari dengan baik manhaj ahlussunnah wal jamaah, dan sudah berusaha semaksimal mungkin sebagaimana yang dipahami oleh para ulama kita untuk meneladani mereka dan manhaj ahlussunnah wal jamaah tetapi masih tetap dituduh dengan tuduhan yang macam-macam. Bahwa mereka hanya mau saja mengaku-ngaku dan sebagainya seperti yang banyak kita dengarkan saat sekarang.Wallohul Musta'an. Mereka menuduh orang-orang yang telah berusaha semaksimal mungkin meneladani salafushsholeh dan mengikuti manhaj ahlussunnah wal jamaah namun tetap juga dituduh dengan tuduhan macam-macam. Ini sebenarnya mukhalif (tidak sesuai), atau tidak dikenal dalam kaidah ulama kita "نحنُ نَحْكُمُ بِالظَّوَاهِرِ وَ اللّـهُ يَتَوَلَّي السَّرَائِرَ
Kaidah ini merupakan kaidah ushuliyah, fiqiyah dan berlaku untuk semua masalah termasuk masalah-masalah aqidah dan lainnya. Orang yang sudah menampakkan aqidah ahlussunnah wal jamaah, kita hukumkan demikian dan hukum yang bathiniah kita serahkan pada Allah .

Inilah Hadits kita yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar , dan hadits ini merupakan salah satu hadits yang berkaitan dengan masalah aqidah dan keimanan, karenanya sepakat Imam Bukhari dan Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam Kitabul Iman. Karena ini berkaitan dengan siapa yang boleh diperangi dan apa-apa saja yang memasukkan seseorang ke dalam Islam dan menyelamatkannya dari hukuman di dunia ini.

PERIWAYATAN HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Kutubussittah juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzy dan An-Nasaa'i . Dan Imam Muslim meriwayatkan dengan banyak lafazh dan banyak sahabat dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Umar رضي الله عنهما dan Anas .
Selain kelima Imam tadi juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab shahih beliau.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP