Islam Sebagai Landasan Budaya Jawa
Hidayatullah.com--Eksodus
masyarakat Jawa dari pusat-pusat kerajaan Hindu dan Budha yang tidak
memberinya kehidupan yang aman, ke daerah-daerah pelabuhan mengantarkan
mereka bersentuhan dengan para pedagang Muslim dan para ulama.
Egalitarianisme Islam dan struktur keimanan mudah dimengerti
menyebabkan rakyat Jawa berbondong-bondong masuk Islam. Periode ini
merupakan gelombang pertama Islamisasi di Pulau Jawa.
Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier, ada dua tahap penyebaran Islam
di Pulau Jawa. Pertama, di mana orang menjadi Islam sekadarnya,
yang selesai pada abad ke 16.
Kedua, tahap pemantapan untuk betul-betul menjadi orang
Islam yang taat secara pelan-pelan menggantikan kehidupan keagamaan yang
lama.
Sultan Agung Hanyokrokusumo, penguasa Mataram (1613-1645)
mengawali tahap pemantapan melalui pendidikan Islam secara massal
kepada masyarakat Jawa. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar
membaca al-Qur`an, tata cara beribadah dan tentang ajaran Islam: rukun
iman dan rukun Islam.
Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum bisa membaca
al-Qur`an, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Para guru agama
ini diberi gelar Kyahi Anom oleh pihak kraton. Di tingkat kadipaten
didirikan pesantren yang dipimpin oleh Kyahi Sepuh.
Saat itu juga dilakukan penerjemahan kitab-kitab besar berbahasa Arab
dalam kajian yang bersistem bandungan (halaqah). Kitab-kitab itu
meliputi kitab fikih, tafsir, Hadits, ilmu kalam dan tasawuf. Juga
nahwu, sharaf dan falaq.
Sistem kalender juga disesuaikan dengan sistem Islam. Sehingga budaya
ilmu tidak hanya menjadi milik elit tapi menjadi milik masyarakat
secara keseluruhan.
Akselerasi pemahaman Islam melalui sistem
pendidikan massal inilah yang menyebabkan Islamisasi di segala sisi
kehidupan masyarakat. Konsep-konsep Islam telah menjadi landasan
kegiatan kemasyarakatan. Istilah upawasa (poso) sembahyang,
suwargo dan neroko hanya bisa ditafsirkan dengan pengertian shaum,
shalat, jannah dan naar.
Islam juga menancapkan budaya baru
seperti adil, mikir yang tidak bisa dicari padanannya dalam akar kata
asli bahasa Jawa. Taawun yang dijabarkan dalam budaya gotong royong
adalah ciri khas masyarakat asli Jawa, juga tasamuh yang diwujudkan
dalam budaya tepa salira.
Ritus-ritus penting dalam masyarakat Jawa seperti kelahiran,
perkawinan dan kematian juga didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Masyarakat Jawa sudah tidak mengenal bagaimana cara ijab qabul ala
agama asli Jawa ataupun merawat jenazah ala kejawen.
Oleh
karena itu, dikotomi antara Islam dengan abangan yang dipropagandakan
anak didik orientalis maupun kalangan misionaris tidak pernah
mendapatkan pijakan teoritis yang kuat. Sebab, yang berlaku di Jawa kata
Andrey Moller adalah ortopraks Islam, yakni meski pelan namun pasti
terus bergerak menuju Islam.
Oleh karena itu, orang Jawa, baik itu dari kalangan priyayi maupun
abangan di masa tuanya akan berubah menjadi santri yang rajin ke masjid,
yasinan dan khataman. Wallahu a’lam bish shawab.
*/Sahid 2011
Baca juga: Tulisan
Pertama // Tulisan
Kedua
sumber: hidayatullah.com
dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar