..::::::..

Pluralisme Agama, Gagasan Orang Dungu

Oleh Nadya Putri Mualka

Gagasan pluralisme agama, yaitu paham yang menganggap semua agama itu sama karena berasal dari Allah, sebenarnya berasal dari faham rusak Ibnu Arabi yaitu Wihdatul Adyan (penyatuan semua agama), yang diikuti secara taklid oleh orang-orang semacam, Gus Dur, Ulil, Abdul Munir Mulkhan, Syafii Maarif dan sebagainya.

Agama Kristen (Katolik dan Protestan) –serta ratusan bahkan ribuan sekte yang berasal darinya– jelas bukan ajaran yang berasal dari Allah melalui Nabi Isa alaihissalam. Tetapi, ajaran agama yang antara lain dibawa oleh Paulus dengan cara merusak ajaran agama yang dibawa Nabi Isa alaihissalam. Begitu juga dengan agama Kong Hucu, Budha, Hindu, Shinto dan sebagainya, bukanlah ajaran agama yang berasal dari Allah.

Mengapa gagasan pluralisme agama disebut sebagai gagasan orang dungu? Cobalah simak kejadian berikut ini:

Seorang pemandu tamu Ma’had Al-Zaytun pimpinan AS Panjigumilang di Indramayu Jawa Barat menjelaskan kondisi pesantren megah itu kepada pengunjung dalam mobil ketika mengelilingi pergedungan dan kawasan pesantren ini. Pemandu mengatakan, pesantren ini menerima juga santri-santri yang non muslim. Lalu seorang bocah keturunan India dalam mobil ini bertanya, “Lho kok menerima santri non Muslim Pak, kan ini pesantren?”

“Ya, kami menerima murid yang non muslim pula, karena semua agama itu sama, semuanya dari Tuhan juga. Jadi semua agama sama,” jawab pemandu.

Mobil pun tetap berjalan pelan-pelan. Pemandu masih sering menjelaskan ini dan itu kepada pengunjung sekitar 10-an orang dalam mobil itu. Lalu mobil lewat di depan deretan kandang yang isinya banyak sapi. Bocah keturunan India itu bertanya lagi:

“Pak, itu banyak sapi, untuk apa pak, sapi-sapi itu?”

“Untuk disembelih, dijadikan lauk bagi para santri,” jawab pemandu.

“Lho, sapi kok disembelih Pak. Tadi bapak bilang, semua agama sama. Lha kok sapi boleh disembelih pak?” Tanya bocah keturunan India yang bagi agama dia sapi tak boleh disembelih itu.

Ditunggu bermenit-menit tidak ada jawaban dari pemandu. Adanya hanya diam. Padahal hanya menghadapi bocah yang dibawa oleh bapak dan ibunya dan belum dapat bepergian sendiri itu.

Baru menghadapi bocah saja, orang yang berfaham pluralisme agama alias menyamakan semua agama ini sudah tidak mampu menjawab. Padahal masih di dunia. Apalagi di akherat kelak.

Di dunia ini sudah ada tuntunannya, bahwa agama yang diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah Islam. Yang lain tidak diridhoi. Maka jelas tidak sama antara yang diridhoi dan yang tidak. Yang bilang sama, itu hanya orang-orang yang tak menggunakan akalnya.


Islam Membantah Pluralisme Agama

Islam sebagai agama satu-satunya yang diridhoi-Nya, bukan pendapat manusia, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang mengatakannya.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلاَمُ

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali ‘Imran: 19).

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ(85)

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali ‘Imran: 85).

Nabi Muhammad saw menjelaskan secara gambling:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi saw annahu qoola: “Walladzii nafsi Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun min haadzihil Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min billadzii ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari.” (Muslim).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa shallallahu ‘alaihi wassalam ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita shallallahu ‘alaihi wassalam bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Dalam penerapan agama itu maka tidak ada pilihan lain lagi, apabila Allah dan rasul-Nya telah menentukan sesuatu.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzaab/33: 36).

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (51 النور)

Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (An-Nuur/ 24: 51)

Gagasan pluralisme agama ini terutama disosialisasikan oleh tokoh-tokoh pengajar dari UIN (Universitas Islam Negeri), IAIN (Institut Agama Islam Negeri), STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), STAIS (Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta), bahkan orang liberal di berbagai lembaga. Seharusnya mereka dilarang mengajar apalagi sampai menjabat Rektor di UIN maupun IAIN, karena UIN dan IAIN adalah lembaga pendidikan tinggi agama Islam.

Seharusnya, mereka kalau memang gentle bikinlah UAAIN (Universitas Anti Agama Islam Negeri) dan IAAIN (Institut Anti Agama Islam Negeri). Tetapi ungkapan ini jangan dianggap sebagai suruhan, namun maksudnya adalah suatu peringatan keras, agar jangan sampai merusak Islam, apalagi lewat perguruan tinggi Islam.

Kenyataannya, ketika dirasa pembusukan aqidah lewat perguruan tinggi Islam dan sebagian oraganisasi Islam sudah dapat mereka lakukan, mereka kemudian membuat lembaga pendidikan tinggi dan pesantren yang mereka anggap akan lebih intensip dalam memusyrikkan lagi. Maka bertandanglah mereka, kerjasama antara UIN Jogjakata, UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta, dan sebuah universitas Nasrani. Dibuatlah pendidikan tinggi antaragama di Jogjakarta. Sedangkan Gus Dur tak mau ketinggalan, maka dia membuat pula pesantren multiagama di Semarang bersama rekannya yang dulu memimpin gerombolan apa yang disebut pasukan berani mati.

Cuplikan beritanya sebagai berikut:

Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat Beragama (Forkhagama) mendirikan pesantren multiagama Bhinneka Tunggal Ika. Bertempat di Pondok Pesantren Soko Tunggal Jl Sendangguwo Raya, Sabtu petang kemarin, pemancangan Prasasti Deklarasi Soko Tunggal ditandatangani Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tokoh-tokoh agama yang turut menandatangani prasasti berasal dari agama Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Khonghucu. Menurut Ketua Forkhagama KH Nuril Arifin atau yang biasa disebut Gus Nuril, pesantren didirikan dengan tujuan menciptakan persatuan di Indonesia. Pesantren multiagama itu akan dibangun di atas tanah seluas 9.000 m2 di Kelurahan Purwosari, Mijen yang merupakan tanah wakaf Gus Nuril. (Suara Merdeka, Semarang, Senin, 19 Desember 2005).
Pluralisme Agama Beda dengan Pluralitas

Pluralisme agama itu beda dengan pluralitas. Pluralitas hanyalah mengakui adanya agama-agama, tidak mengakui sama ataupun benarnya. (Kalau pluralitas dalam satu agama, kami maksudkan dalam tulisan ini adalah kebalikan dari eksklusivitas. Misalnya orang Al-Irsyad, Persis dan lainnya boleh-boleh saja shalat di masjid orang Muhammadiyah; itu pluralitas. Sedang orang LDII hanya ada di masjid mereka dan masjid mereka hanya untuk mereka, itu eksklusif). Sedang pluralisme agama itu mengakui semua agama sama. Jadi pluralisme agama itu faham kemusyrikan, menyamakan semua agama, maka penyembah berhala disamakan dengan penyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pengertian yang mudah difahami umat Islam adalah istilah musyrik. Ketika diganti dengan istilah baru, pluralisme agama, maka umat ini tidak faham. Padahal sebenarnya adalah kemusyrikan, dan termasuk upaya-upaya orang musyrik dalam meneguhkan kemusyrikannya.

Dalam riwayatnya, orang musyrikin Quraisy di Makkah pun meminta Nabi Muhammad saw untuk menyembah berhala selama satu tahun, dan mereka akan menyembah Allah selama satu tahun juga. Kemudian Allah menurunkan surat Al-Kafirun, dan di dalamnya Dia memerintahkan Rasul-Nya untuk melepaskan diri dari agama mereka secara keseluruhan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Kafirun ayat 1).

Kalau model kemusyrikan sekarang yang namanya pluralisme agama, bukan masalah penyembahannya yang dipentingkan, namun pemahamannya, dari aqidah tauhid ditarik-tarik ke kemusyrikan yang diganti nama dengan pluralisme agama.

Dari sini jelaslah bahwa pluralisme agama itu faham kemusyrikan, dan merupakan upaya-upaya orang musyrikin dalam propaganda kemusyrikannya. Itu semua telah dibantah oleh Allah swt dalam surat Al-Kafirun.

Sebenarnya masalah pluralitas (mengakui adanya perbedaan, bukan mengakui semua agama sama seperti pluralisme) secara intern di kalangan Islam tidak masalah. Jamaah NU tidak ada hambatan apapun shalat di masjid orang-orang Muhammadiyah dan sebagainya. Begitu juga sebaliknya.

Kalau toh ada eksklusivitas, itu biasanya terjadi di kalangan aliran sesat seperti LDII (Islam Jama’ah), Ahmadiyah Qadian dan Lahore dan sejenisnya. Mesjid mereka tertutup bagi kalangan di luar mereka. Pernikahan pun hanya terjadi di antara sesama mereka.

Yang juga eksklusif adalah agama Kristen. Orang Katholik tidak mau disamakan dengan orang Kristen Protestan, mereka beribadah di gereja masing-masing. Bahkan orang Katholik menyebut dirinya “Katholik” saja tanpa embel-embel Kristen, berbeda dengan “Kristen Protestan” yang masih menempelkan Kristen sebelum sekte Protestannya.

Orang Katholik tidak dibenarkan menikah dengan Kristen Protestan meski sama-sama bertuhankan Yesus. Apalagi dengan agama lain.

Di dalam Kristen terdapat ratusan bahkan ribuan sekte yang masing-masing punya gereja sendiri. Jemaat gereja Bethel tidak beribadah di gereja Nehemia, begitu seterusnya. Bahkan pernikahan pun demikian, sebisa mungkin terjadi di antara jemaat satu gereja.

Berbeda dengan Kristen yang eksklusif, agama-agama kebudayaan seperti Hindu, Budha, Kong Hucu, meski terkesan longgar namun tetap saja berpendirian tidak semua agama sama. Mereka memang tidak keberatan ritual keagamaannya dijadikan objek wisata. Bahkan penganut agama lain pun, bila ingin menikah dengan tatacara (ritual) agama mereka, boleh-boleh saja. Pernah terjadi, Mick Jagger dedengkot The Rolling Stone menikah di salah satu negara Asia dengan menggunakan tatara cara (ritual) agama mayoritas di negeri tersebut. Padahal kedua mempelai bukanlah penganut agama tersebut.

Masih ingat ketika Megawati bersembahyang di Pura? Padahal ia bukan penganut Hindu. Pendeta dan masyarakat Hindu di Bali tidak marah, malahan mereka senang sekali. Sampai-sampai, ketika AM Saefuddin meledek Megawati, orang-orang Hindu bukannya marah kepada Megawati tetapi justru kepada AM Saefuddin. Padahal, seharusnya mereka berterimakasih bukannya malah marah kepada AM Saefuddin.

Tahun 2006, penerbit Media Hindu pernah meluncurkan buku berjudul “Semua Agama Tidak Sama” yang berisi kumpulan tulisan sejumlah tokoh dan cendekiawan Hindu. Intinya, mereka mengkritisi Pluralisme Agama.

Ngakan Made Madrasuta, editor buku tersebut, dalam kata pengantarnya menyanggah paham pluralisme agama yang sering dijajakan kaum Hindu pluralis. Mereka, kaum Hindu pluralis itu, selama ini telah memelintir makna yang tersurat dari Bagawad Gita, yang antara lain berbunyi: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”

Menurut Madrasuta, itu tidak bisa dijadikan dasar pembenaran atas pluralisme agama (Hindu). Karena, yang disebut “Jalan” adalah empat yoga: Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Kesemuanya itu hanya ada dalam agama Hindu. Tidak ada dalam agama lain.

Begitulah faktanya.

Anehnya, kaum liberal justru memaksakan gagasan pluralisme agama ini untuk diterapkan umat Islam, seolah-olah umat Islam begitu eksklusif dan tidak mengenal toleransi serta mengabaikan pluralitas. Padahal, Islam adalah perekat bangsa. Tanpa Islam, masyarakat di kawasan Nusantara ini, terkotak-kotak berdasarkan suku. Artinya, gagasan pluralisme agama yang diusung kaum sepilis bukan saja aneh tapi gagasan orang dungu.
Meniru Orang Kafir dan Tak Percaya Diri

Gagasan pluralisme agama sebagaimana diusung kalangan sepilis, sesungguhnya bukan hal baru. Gagasan sejenis sudah sejak lama diusung oleh pemeluk agama Baha’i –merupakan sempalan paham sesat Syi’ah Imamiah, yang pertama kali diperkenalkan oleh Mirza Ali Muhammad.

Berbeda dengan kaum sepilis yang berpendidikan dan berpenampilan intelek, penganut agama Baha’i ini umumnya berpenampilan ndeso sehingga tidak mampu meyakinkan masyarakat luas termasuk media massa seperti Kompas dan Jawapos untuk mengakomodasi kesesatannya.

Peganut agama Baha’i ini meski mengakui keberadaan Nabi Muhammad, namun bukan sebagai rasul terakhir. Karena Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam sudah meninggal, maka nabi mereka adalah Bahaullah. Di titik ini ada kemiripan dengan paham sesat Ahmadiyah.

Menurut mereka, semua agama itu benar dan sama, tidak ada agama yang salah, karena yang salah cuma orangnya. Meski mengaku bertuhankan Allah, namun penganut agama Baha’i ini memiliki kitab suci sendiri yaitu Al-Aqdas.

Menurut Al-Aqdas, shalat bagi penganut agama Baha’i ini dibagi tiga: ringan, sedang, dan berat. Ibadah ringan hanya sebatas ingat shalat. Ibadah sedang, dengan berdiri beberapa saat. Ibadah berat, bisa berupa shalat sehari semalam. Pelaksanaan ibadah itu hanya satu kali sehari, menghadap kiblat Aka.

Meski ndeso, penganut agama Baha’i ini jauh lebih gentle karena dengan tegas mengatakan Baha’i adalah agama tersendiri, bukan Islam. Ungkapan ini bukan mengurangi nilai sesatnya, tetapi dari segi keterus terangannya bahwa mereka bukan Islam itu satu kenyataan. Bandingkan dengan Ulil, Musdah Mulia, Gus Dur, Syafii Maarif, Syafii Anwar, Abdul Munir Mulkhan dan kawan-kawannya, atau Ahmadiyah, Syi’ah dan LDII yang selain tidak gentle juga tidak percaya diri dengan keyakinan sesatnya, sehingga masih terus menempelkan Islam di depan agama sesatnya itu. (haji/tede)

dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP