..::::::..

Intelektual Tapi Dusta dan Mencaci

Oleh Hartono Ahmad Jaiz

Tabligh Akbar di Masjid Al-Furqan Dewan Dakwah Jakarta, Jum’at 17 Oktober 2008M/ 17 Syawal 1429H, membahas tentang dusta Faraq Fouda (orang sekuler Mesir yang dibunuh tukang ikan, 8 Juni 1992). Sudah berdusta, masih mencaci sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi.

Asep Sobari, Lc. Peneliti bidang sejarah di Institute for the Study of

Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) menulis:

MEMUJA FOUDA, MENFITNAH SAHABAT

Belum lama ini, Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama

dengan penerbit Dian Rakyat menerbitkan edisi

Indonesia sebuah buku berjudul “Kebenaran yang

Hilang : Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam

Sejarah Kaum Muslimin”, karya Farag Fouda (Judul

aslinya: al-Haqiqah al-Ghaybah). Selanjutnya judul

buku ini disingkat KYH.

Dari judulnya, bisa ditebak, buku ini mengangkat apa

yang oleh penulisnya disebut sebagai sisi kelam dari

sejarah Islam. Jika kaum Muslim menyebut zaman

Khulafaurrasyidin sebagai masa yang ideal, maka Fouda

meggambarkan sebaliknya. Menurut Fouda, zaman itu

bukanlah masa ideal, tapi “zaman biasa”. “Tidak

banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, ada banyak

jejak memalukan.” (hal.xv).

Mungkin karena itulah, kaum liberal di Indonesia

sangat bergairah dengan terbitnya buku ini. Pada

sampul depan ditulis pujian Prof. Dr. Azyumardi Azra

yang dikenalkan sebagai Guru Besar Sejarah dan

Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Terhadap buku ini, Prof. Azra berkomentar:

“Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani

mengungkapkan realitas sejarah pahit pada masa Islam

klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak

terkatakan di kalangan kaum Muslim, tapi bahkan

dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik.

Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat

sejarah lebih objektif, guna mengambil pelajaran bagi

hari ini dan masa depan”.

Pada sampul belakang, dimuat komentar Prof. Dr.

Syafi‘i Maarif yang dikenalkan sebagai Guru Besar

Filsafat Sejarah, Universitas Nasional Yogyakarta

(UNY). Lebih bergairah dari Profesor Azra, Profesor

Syafi’i Maarif terkesan begitu terpesona oleh karya

Faouda ini, sehingga dia berkomentar:

“Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal yang pasti: Fouda menawarkan “kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam “kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif” .

Pada bagian lain, Asep berkomentar:

Fouda menulis bahwa Usman dimakamkan di areal

pekuburan Yahudi (KYH, hal. 26). Keterangan tersebut

tidak tercantum dalam redaksi riwayat al-Waqidi yang

dikutip Fouda. Bahkan juga tidak terdapat dalam

riwayat-riwayat lain yang disebut al-Thabari.

Penjelasan semacam itu tentu sangat fatal, sebab siapa

pun akan membayangkan, Usman radhiyallahu ‘anhu dimakamkan bukan di

pemakaman Islam, tetapi di pemakaman Yahudi. Inilah

salah satu fitnah dan kejahatan besar yang dilakukan

Fouda dalam melecehkan menantu Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam dan

salah satu sahabat Nabi terkemuka. Maka, aneh sekali,

jika manusia seperti Fouda ini justru didukung dan

dibanggakan oleh dua sejarawan terkemuka di Indonesia

seperti Azyumardi Azra dan Syafii Maarif. (insistnet@yahoogrou ps.com, Subject: [INSISTS] MEMUJA FOUDA, MENFITNAH SAHABAT, Wednesday, October 15, 2008 11:26 AM)

Gerombolan tidak jujur memuji pemfitnah

Sejatinya yang terjadi adalah gerombolan orang-orang tidak jujur beramai-ramai mengusung fitnah dari orang yang tidak jujur pula sambil mencaci sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Menghadapi yang semacam ini perlu mengetahui watak mereka. Di antaranya adalah menyembunyikan sesuatu dan membuat dusta atau pengelabuhan. Contoh kecil yang bergaya obyektif pun telah terimbas sikap menyembunyikan sesuatu, di antaranya ada dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, AM, kuliah di Australia. Dia wawancara ke beberapa orang di Jakarta termasuk saya beberapa waktu lalu untuk karya ilmiyahnya. Materinya tentang perdebatan antara pemahaman dari Dewan Dakwah terutama Majalah Media Dakwah berhadapan dengan Paramadina. Ternyata setelah saya baca hasil postingannya di Paramadina, hanyalah memfokuskan umpatan yang dilontarkan dalam perdebatan yang berlangsung selama ini. Lafal-lafal semacam pemurtadan dan semacamnya itu disebut sebagai umpatan. Kemudian disimpulkan, bahwa lantaran perdebatan itu disertai dengan umpatan, maka hasilnya tidak maksimal. (kurang lebihnya seperti itu).

Lhah?

Kalau toh dia menyimpulkan seperti itu ya terserah. Tetapi justru yang disorot sebagai melontarkan umpatan itu hanya dari Media Dakwah (Dewan Dakwah). AM telah menyembunyikan umpatan yang jelas-jelas umpatan lagi berdusta yang dilontarkan Nurcholish Madjid (dan dimuat di Media Dakwah pula, tentu termasuk dia teliti), baik terhadap saya yang oleh Nurcholish Madjid disebut sebagai wartawan tengik, maupun kepada Ridwan Saidi yang disebut tainya sendiri tega untuk disuapkan ke orang lain. (dimuat di Majalah Editor pimpinan Su’bah Asa, ungkapan Nurckholish Madjid hasil wawancara wartawan Rahmat Hadibae). Itu semua disembunyikan oleh peneliti dari IAIN Sunan Ampel Surabaya itu. Padahal yang dia bicarakan tentang umpatan. Lha kok umpatan dari Nurcholish yang sangat jelas itu tidak dia kemukakan?

Jadi yang tampat obyektif pun menyembunyikan sesuatu, padahal justru yang penting. Sehingga dikesankan, Nurcholish Madjid itu seolah adalah lembut, sopan dan sebagainya, sedang lawannya itu kasar, vulgar, garang dan sebagainya. Semua itu adalah … ya begitulah.

Peristiwa-peristiwa pun biasanya dapat mereka plintir ataupun gugat. Misalnya, kenapa ini tidak menghadirkan pihak Nurcholish Madjid? Kenapa hanya satu sisi saja?

Ungkapan itu tak tahu diri. Ketika mereka menyebarkan cacian terhadap Sahabat Nabi saw, mereka tidak konfirmasi dulu kepada ahlinya yang jujur. Ketika mereka menyebarkan pujian kepada penghujat sahabat Nabi saw pun tidak berdampingan untuk dapat dijawab oleh ahlinya yang jujur. Langsung disebarkan saja tanpa disertakan bantahannya sama sekali.

Bagaimanapun, kedustaan secara melek mata pun dilakukan. Bahkan itu saya alami sendiri. Ketika saya bedah buku yang saya tulis, Ada Pemurtadan di IAIN, di UIN Jakarta, 16 April 2005, berhadapan dengan Ulil Abshar Abdala dari JIL (Jaringan Islam Liberal), dan Abd Mouqsith Ghazali dari UIN Jakarta; ternyata saya difitnah langsung secara dusta. Mouqsith mempertanyakan apakah saya masih ada imannya, dan di mana akhlaqnya. Dia kemukakan bahwa saya nulis lafal si jompo untuk isterinya Gus Dur di buku itu. padahal sama sekali tidak ada si jompo dalam buku yang dia pegang di samping saya itu. Maka tentu saja saya bantah. Bagaimana ini. Siapa yang dusta? Saya tidak menulis si jompo, dituduh menulis. Sedang yang mengajak dzikir dengan lafal anjing hu Akbar justru Mouqsith bela. Ini bagaimana?

Itulah akhlaq mereka.

Ketika kita ada di sampingnya, dan bukunya pun ada saja mereka dapat membuat-buat dusta untuk memfitnah. Apalagi kondisi yang lainnya.

Sebagai salah satu bukti bahwa mereka itu gerombolan dusta dan suka memfitnah, berikut ini saya ulang kembali contohnya yang menyangkut diri saya.

Dalam buku Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia dimuat tentang bukti nyata ketidak jujuran pendiri Paramadina, Nurcholish Madjid, sebagai berikut:

TOKOH INI TIDAK JUJUR



Kalimah Thoyyibah Laa ilaaha illallaah diterjemahkan secara resmi dalam makalah Dr. Nurcholish Madjid menjadi: Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). Terjemahan ini diprotes oleh seorang peserta seminar dengan menyebut terjemahan itu hukumnya haram. Seminar itu diselenggarakan Harian Pelita di Jakarta, 1 April 1985.

Kemudian Hartono Ahmad Jaiz (HAJ) mempersoalkan terjemahan yang ditulis Nurcholish Madjid (NM): “Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar)” itu di Harian Pelita, Jakarta, 3 April 1985. Namun belakangan, setelah NM “diadili” di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta oleh Daud Rasyid MA. (alumni Universitas Kairo) dan Drs. H. Ridwan Saidi (teman NM di HMI) dalam pengajian 13 Desember 1992, kemudian selama setahun lebih terjadi polemik. Hingga Prof. Dawam Rahardjo tampak membela mati-matian terhadap NM. Kabarnya, Dawam sampai mengatakan bahwa semua itu gara-gara HAJ, yang membuat fitnah terhadap pemikiran Nurcholish.

Dalam suatu pertemuan syukuran atas suksesnya Azyumardi Azra meraih gelar doktor dari Universitas Columbia Amerika Setikat, Dawam Rahardjo selaku pembicara, mengisahkan bahwa tidak ada tulisan NM tentang “Tiada tuhan selain Tuhan” itu. Jadi itu hanya interpretasi HAJ saja, dan kemudian diberitakan. Kata Dawam, masalah ini telah ia tanyakan kepada Pak EBA (Endang Basri Ananda) di LP3ES.

Dalam pertemuan itu, menurut seorang wartawan Panji Masyarakat, terjadi dialog, dan ada seorang wartawan Tempo/Gatra mengharapkan untuk mencek dulu. Belum tentu si wartawan (HAJ) berbuat begitu.

Kabar itu pun HAJ sampaikan kepada Pak EBA. Kagetlah pak EBA dengan mengucapkan, “Itu namanya kudung lulang macan”. (Itu namanya berkerudung kulit macan). Maksudnya, mencatut nama orang lain sebagai tameng. Pak EBA menjelaskan, “Saya tidak mengatakan begitu. Yang saya katakan, di perpustakaan LP3ES tidak ada makalah NM itu. Jadi bukan berarti saya menjelaskan bahwa NM tidak menulis seperti itu.”

Beberapa minggu kemudian, Dawam Rahardjo menelepon HAJ, menanyakan apakah ada makalah NM yang menulis “Tidak ada tuhan selain Tuhan” itu. HAJ menjawab, “ada”. Lalu Dawam minta dicopikan, kemudian diambil oleh utusannya.

Itulah mutu pembela Nurcholish Madjid, yang diperankan oleh Prof. Dawam Rahardjo. Namun, masih agak sopan sedikit dibanding Nurcholish Madjid sendiri. Karena Dawam Rahardjo tidak sampai mengumpat.

Lain dengan Prof. Dr. Nurcholish Madjid. Justru lebih galak lagi, pakai mengumpat, berbohong, dan diucapkan kepada orang-orang yang kenal dengan obyek yang dicaci maki. Sedang Nurcholish bertindak sebagai pembela Gus Dur alias Abdurrahman Wahid, menjelang jadi Presiden.

Kisahnya, di Departemen Agama ada acara penandatanganan kerjasama penelitian antara Pascasarjana Paramadina Mulia dan Departemen Agama (Balitbang). Upacara resmi itu dihadiri para pejabat Depag dan pimpinan Paramadina Mulia serta sejumlah wartawan elektronik dan cetak. Di situ Nurcholish menyampaikan kata sambutan, selaku pimpinan Paramadina. Ketika pembicaraan sampai kepada tentang Gus Dur, –yang saat itu partai-partai baru setelah reformasi sedang gencar bersiap-siap untuk kampanye– lalu menyangkut masalah “assalamu’alaikum” yang oleh Gus Dur mau diganti dengan selamat pagi. Kata Nurcholish, itu semua gara-gara wartawan tengik (tidak langsung menyebut namanya, tetapi menanyakan kepada hadirin, lalu ada wartawan yang menyebut nama –Hartono?–) Yaa… kata Nurcholish. Ya wartawan tengik itu yang membikin-bikin….

Lalu Nurchlish membuat cerita bohong. Kata NM, Gus Dur ditanya oleh Pak Siswono Yudohusodo (salah seorang menteri Orde Baru) bahwa dirinya tidak fasih mengucapkan assalamu’alaikum, kalau mau berpidato. Lalu dijawab Gus Dur, ya cukup dengan selamat pagi saja. Tahu-tahu diberitakan oleh wartawan tengik itu bahwa Gus Dur akan mengganti assalamu’alaikum dengan selamat pagi.

Cerita bohong dan umpatan Nurcholish Madjid itu dalam tempo kira-kira seperempat jam setelah itu ternyata sampai di kuping Hartono Ahmad Jaiz (HAJ) lewat beberapa wartawan diantaranya dari SCTV dan Pelita. Dan HAJ menjelaskan kepada penyampai berita itu, bahwa NM itu bohong besar. Karena, HAJ mendengar itu dari rekaman wawancara Edy Yurnedi wartawan Majalah Amanah yang mewawancarai Gus Dur, dan juga membaca Majalah Amanah No. 22 tahun 1987 hlm. 39. Isi wawancara itu di antaranya sebagai berikut:

Amanah: Beberapa waktu yang lalu Anda pernah mempopulerkan istilah “mempribumikan Islam,” apa maksudnya?

Abdurrahman Wahid: Yah, selama ini kan Islam di Indonesia terlalu melihat kepada Timur Tengah. Sebagai contoh kalau dulu kita membangun masjid harus memakai kubah. Padahal bangsa kita sudah memiliki bentuk arsitektur yang lebih sesuai dengan budayanya sendiri dan mengandung makna yang mendalam. Lalu tentang ucapan assalamu’alaikum, kenapa kita merasa bersalah kalau tidak mengucapkan assalamu’alaikum. Bukankah ucapan itu bisa saja kita ganti saja dengan selamat pagi atau apa kabar, misalnya…

Lalu Amanah masih bertanya:

Amanah: Bukankah itu (assalamu’alaikum) juga untuk menunjukkan identitas keislaman kita?

Abdurrahman Wahid: Justru di sini saya nggak setuju. Untuk menunjukkan identitas Islam saja kok harus begitu. Menurut saya, selamat pagi, selamat sore atau apa kabar itu sama saja Islamnya dengan assalamu ‘alaikum. ….. (Amanah, No. 22, 1987, hlm. 39).

Edy Yurnedi sendiri menjelaskan hal-hal yang ada dalam rekaman wawancara dan yang ia tulis itu kepada HAJ, di kantor MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Masjid Istiqlal Jakarta.

Jadi, akhlaq Nurcholish Madjid seperti itu. Untuk mendukung seseorang, sampai berani berbohong, memfitnah, dan bahkan mengumpat orang lain. Di acara resmi lagi ilmiah. Di acara penandatanganan kerjasama lembaga-lembaga ilmiah.

Kalau menurut ilmu Rijalul Hadits (tokoh-tokoh/periwayat hadits Nabi), periwayat yang berani dusta (apalagi terang-terangan berbohong di depan umum, memfitnah, dan bahkan mengumpat) seperti itu, maka seluruh hadits yang diriwayatkan si bohong itu jadi batal. Tidak dipakai. Sedang orangnya pun disebut sebagai pembohong alias tidak jujur.

Hal semacam itu tampaknya sudah menjadi sikap. Contohnya, ketika NM menjadi pembicara di PBNU tentang kitab Al-Ibanah karangan Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, NM mengkritik tajam terhadap Asy’ari. Dalam bulan itu pula kemudian NM jadi pembicara di kalangan Majelis Taklim pimpinan Tutty Alawiyah di YTKI Jakarta, tentang Asy’ariyah, NM memuji-muji Asy’ari. Lantas ditanya oleh peserta, kenapa NM di PBNU mengkritik Asy’ari, tetapi di sini memujinya? Lalu NM berkilah, likulli maqam maqal. Itulah sikap mencla-menclenya tokoh ini. (red). (Majalah Media Dakwah, Mei 2001). (Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, halaman 189).

Demikianlah ketidak jujuran mereka. Maka pas dan klop: Nurcholish Madjid pendiri Paramadina itu jelas intelektual tapi dusta dan mencaci, kini paramadina-nya menerbitkan buku Faraq Fouda yang isinya juga dusta dan mencaci, sedang yang dicaci sahabat Nabi Muhammad saw lagi. Ditambah lagi dengan pemujinya yakni Proffesor Doktor Azyumardi Azra dan Proffesor Doktor Ahmad Syafii Maarif, memuji pendusta dan pencaci sahabat Nabi saw. Itulah gerombolan dusta dan mencaci.



Kemungkinan tabligh akbar di Masjid Dewan Dakwah Jakarta ini akan menakutkan orang-orang yang merasa dirinya segerombolan dengan Faraq Fouda. Bahkan ketakutan itu pernah dilontarkan pula oleh Dawam Rahardjo dalam kasus Ulil Abshar Abdalla menulis di Kompas, 18 November 2002M berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Kemudian Ulil Abshar Abdalla (35 tahun saat itu) kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) di Jakarta diadukan ke polisi oleh FUUI (Forum Ulama Umat Islam) dari Bandung pimpinan KH Athian Ali Muhammad Da’i, Desember 2002/ Syawal 1423H, karena dinilai telah menghina Islam lewat tulisannya itu, di antaranya karena menegaskan bahwa tidak ada hukum Tuhan.

Dalam buku Menangkal Bahaya JIL dan FLA (Hartono Ahmad Jaiz) dikemukakan kekhawatiran Dawam terhadap Ulil, jangan-jangan nasib Ulil akan seperti Faraq Fouda, di antaranya dengan ‘menasehati’ Ulama:

Pembelaan Dawam Rahardjo terhadap Ulil Abshar Abdalla agak lain lagi. Ketika di televisi Metro TV, Senin malam (23/12 2002), Dawam Raharjo yang telah dikecam oleh para ulama Indonesia dan luar negeri karena menghadirkan penerus nabi palsu Ahmadiyah, Tahir Ahmad, dari London ke Jakarta tahun 2000 masa pemerintahan Gus Dur ini sok “menasihati” para ulama, agar berhati-hati kalau berfatwa. Karena seperti kasus di Mesir, kata Dawam, di antaranya Faraq Fouda (tokoh sekuler tahun 1990-an, model JIL atau kelompok liberal, pen) dibunuh (oleh tukang ikan di Mesir, 8 Juni 1992) itu di antaranya karena fatwa ulama, menurut Dawam Rahardjo. Pembelaan Dawam itu diucapkan di samping Ulil Abshar Abdalla yang berbicara langsung di Metro TV. Sementara itu Dawam Rahardjo sendiri tidak bisa/ tidak menjawab semprotan KH Athi’an dari Bandung (lewat telepon) yang mempersoalkan kenapa Dawam Rahardjo menyebut Al-Qur’an itu filsafat.

Terlepas dari itu semua, Allah Ta’ala telah mengingatkan:

وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالًا مَعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ(13)

Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri, dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan. (QS Al-‘Ankabut: 13).
sumber: nahimunkar.com
dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP