..::::::..

Syarah Hadits Kesembilan Arbain Nawawiyah

بسم الله الرحمن الرحيم
HADITS KE - 9
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : (( مَا نَهَيْـتُكُمْ عَنْهُ فَاجْـتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْ تُكُمْ بِهِ فَأْتـُوْا مِنْهُ مَااسْـتَطَعْـتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْـتِلاَفُهُمْ عَلىَ أَنْبِـيَائِهِمْ )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr  berkata : Aku telah mendengar Rasulullah  bersabda : “Apa-apa yang telah aku larang untukmu, maka jauhilah dan apa-apa yang telah aku perintahkan kepadamu, maka kerjakanlah sedapat-dapatmu. Bahwasanya celakanya orang-orang sebelum kamu hanya karena banyak pertanyaan-pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

KEUTAMAAN HADITS
Sebagaimana hadits-hadits yang lain dalam Al-Arba’in An-Nawawiyyah, maka hadits ini juga termasuk hadits yang pokok yang pernah diucapkan oleh Rasulullah . Yang menunjukkan keutamaan hadits ini karena hadits ini hadits ini memuat salah satu kaidah yang penting dalam agama Islam, yaitu :
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ الـتَّـيْسِيْرَ
"Kesulitan menyebabkan/mengantarkan kepada kemudahan"
Dan ini termasuk salah satu dari lima kaidah yang besar dalam agama Islam. Dan kaidah itu salah satunya diambil dari hadits ini, karenanya Imam Nawawi رحمه الله mengatakan bahwa hadits ini mengandung salah satu kaidah yang penting dalam Islam.
Hadits ini juga menjelaskan tentang salah satu maqashid dari Ad Din (tujuan dari Ad Din), yaitu larangan tasyabbuh terhadap orang-orang terdahulu, terutama dari kalangan ahlul kitab. Oleh karena itu hadits ini termasuk hadits yang pokok, yang penting untuk dihafalkan, dipelajari, dan diamalkan isinya.

SAHABAT YANG MERIWAYATKAN HADITS
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ …
Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Abu Hurairah . Beliau adalah shahabat yang mulia yang diikhtilafkan nama aslinya. Imam Ibnul Jauzi رحمه الله mengatakan bahwa ada sekitar 18 nama yang dinisbahkan kepada Abu Hurairah . Yang paling terkenal (kata Ibnul Jauzi) adalah ‘AbdusySyams (artinya hambanya matahari), tapi ini sebelum beliau masuk Islam. Adapun sesudah beliau masuk Islam, namanya adalah ‘Abdullah. Jadi Ibnul Jauzi رحمه الله mentarjihkan bahwa namanya adalah Abdullah . Namun pendapat yang paling banyak dan ini yang dipilih oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani رحمه الله bahwa nama dari Abu Hurairah adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr Ad Dausy. Dan inilah yang rajih -Insya Allah-.
Abu Hurairah adalah kunniyah yang diberikan oleh Rasulullah , karena Rasulullah  pernah mendapati beliau  bersama kucing kecil (hurairah = kucing kecil). Bahkan kadang beliau berjalan lalu memasukkan kucing kecil itu ke kantong beliau. Sebagian ulama, diantaranya Imam Ath Thufi رحمه الله mengatakan bahwa beliau begitu menyukai kucing, karena beliau pernah meriwayatkan hadits mengenai seorang wanita yang masuk neraka karena kucing :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ لَمْ تُطْعِمْهَا وَلَمْ تَسْقِهَا وَلَمْ تَتْرُكْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ اْلأَرْضِ ( رواه مسلم )
“Dari Abu Hurairah  bahwasanya Rasulullah  bersabda : “Diadzab seorang wanita karena kucing, dia tidak memberinya makan, tidak memberinya minum dan tidak membiarkannya makan dari serangga (yang ada) di bumi”.(HR. Muslim)
Mungkin karena hal tersebut, beliau mengambil qiyas al aks (kebalikannya) bahwa jika orang yang menyiksa kucing masuk neraka, maka orang yang mencintai kucing akan masuk surga, sehingga beliau  terdorong untuk mencintai kucing.
Beliau adalah seorang shahabat yang terlambat masuk Islam, dalam artian tidak termasuk dalam assaabiquunal awwaluun. Beliau  belum masuk Islam ketika Rasulullah  masih di Makkah, bahkan ketika Rasulullah  telah berhijrah dan mengikuti beberapa perang seperti perang Badr, perang Uhud, dan banyak perang lainnya. Nantilah pada tahun terjadinya perang Khaibar Abu Hurairah  mendatangi kota Madinah untuk masuk Islam, namun ternyata beliau tidak mendapati Rasulullah  karena Rasulullah  waktu itu bersama sahabatnya berada di Khaibar untuk berjihad melawan orang-orang Yahudi di tahun ke 7 H. Di situlah pertama kali Abu Hurairah  bertemu dengan Rasulullah . Dari sini dapat diketahui bahwa Abu Hurairah  berada bersama Rasulullah  hanya kurang lebih tiga setengah tahun saja ( karena Rasulullah  wafat pada tahun ke 11 H). Dan inilah yang merupakan syubhat yang dimunculkan oleh musuh-musuh Islam, baik dari dalam maupun dari luar Islam. Dari luar Islam, orang-orang orientalis senantiasa meragukan riwayat-riwayat yang datang dari Abu Hurairah  dengan alasan bahwa tidak mungkin Abu Hurairah  yang hanya menemani Rasulullah  kurang lebih tiga setengah tahun bisa meriwayatkan begitu banyak hadits. Dan ini pula yang dikatakan oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah yang banyak meragukan dan menolak hadits-hadits yang datang dari Abu Hurairah  dengan alasan yang sama bahwa mengapa Abu Hurairah  yang hanya bersama Rasulullah  kurang lebih tiga setengah tahun bisa meriwayatkan hadits yang begitu banyak dari pada shahabat-shahabat lain yang masuk Islam pada awal-awal da’wah.
Sebenarnya Abu Hurairah  sudah pernah menjawab syubhat tersebut, dimana sebagian tabi’in pernah bertanya kepada Abu Hurairah , mengapa beliau bisa meriwayatkan hadits-hadits yang begitu banyak, yang tidak diriwayatkan oleh orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar ?. Beliau  mengatakan bahwa orang-orang Muhajirin waktu itu banyak yang disibukkan dengan perdagangannya dan orang-orang Anshar banyak disibukkan dengan tanahnya. Artinya orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak mengkonsentrasikan diri mereka untuk mengambil ilmu dari Rasulullah , walaupun mereka tentu saja hadir dalam majelis-majelis Rasulullah , namun frekuensi kehadiran mereka tidak sama dengan Abu Hurairah . Adapun beliau (Abu Hurairah ) mengatakan bahwa beliau  tidak pernah mempunyai kegiatan yang lain kecuali berada di masjid, beribadah dan menuntut ilmu dari Rasulullah . Karenanya sangat wajar kalau beliau  meriwayatkan hadits yang begitu banyak, yang tidak sempat diriwayatkan oleh shahabat-shahabat yang lebih dahulu masuk Islam, bahkan tidak diriwayatkan sebanyak itu oleh shahabat yang paling dekat dengan Rasulullah , yaitu Abu Bakar .
Dan para shahabat memang kadang ada yang tidak selalu hadir dalam majelis Rasulullah , seperti kisah ‘Umar  , yang termasuk shahabat paling dekat dengan Rasulullah  dimana beliau  kadang tidak hadir dalam majelis Rasulullah , dan beliau mempunyai tetangga yang mana keduanya (Umar dan tetangganya) bersepakat untuk bergantian hadir dalam majelis Rasulullah , sehingga kalau ‘Umar  yang hadir maka beliau mencatat atau mengingat baik-baik lalu menyampaikan kepada tetangganya, dan sebaliknya. Ini yang dikenal dalam istilah hadits “ التَّنَاوِبُ فِي الْعِلْمِ ” (saling bergantian dalam menuntut ilmu), dan ini pula yang diberikan bab oleh Imam Bukhari رحمه الله dalam kitab Al-‘Ilmu-nya. Jadi ini menunjukkan bahwa sampai shahabat-shahabat yang terdekat dengan Rasulullah  pun tidak mengikuti semua majelis Rasulullah .
Adapun Abu Hurairah  tidak disibukkan dengan perdagangan dan tanahnya, hanya mengkonsentrasikan dirinya dalam masjid, di shuffahnya (karena beliau termasuk ahlush shuffah, shahabat-shahabat yang tinggal di beranda masjid), dan menghadiri semua majelis Rasulullah  tanpa kecuali. Dan yang mendukung hal tersebut juga adalah karena beliau  sangat kuat hafalannya, sebagaimana yang beliau  katakan bahwa pada suatu hari Rasulullah  bersabda :
(( مَنْ يَبْسُطْ رِدَاءَ هُ حَتَّى أَقْضِيَ مَقَالَـتِي ثُمَّ يَقْبِضْهُ فَلَنْ يَنْسَى شَيْئًا سَمِعَهُ مِنِّي )) فَبَسَطْتُ بُرْدَةً كَانَتْ عَلَيَّ فَوَالَّذِي بَعَثَهُ بِالْحَقِّ مَا نَسِيتُ شَيْئًا سَمِعْـتُهُ مِنْهُ ( رواه البخاري و مسلم )
“Siapa yang (mau) membentangkan selendangnya hingga selesai pembicaraanku, kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan suatu apa pun dari apa yang telah didengarnya dariku”. Lalu aku (Abu Hurairah ) membentangkan selendangku, maka demi Allah yang telah mengutus Rasulullah  dengan haq, saya tidak pernah lupa sesuatu pun yang saya dengarkan dari beliau ”.(HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi wajar sekali kalau begitu banyak hadits yang beliau riwayatkan, karena selama tiga setengah tahun beliau tidak pernah absen dari majelis Rasulullah  dan semua yang beliau dengarkan dihafalkannya. Bahkan beliau  mengatakan : “Sebenarnya saya tidak mau meriwayatkan semuanya karena saya merasa berat untuk itu, namun kalau tidak ada 2 ayat dalam Al Quran tentang ancaman menyembunyikan ilmu maka tentu saya tidak meriwayatkan hadits walaupun satu”. Kedua ayat tersebut adalah firman Allah  :
 إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ . إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ  ( البقرة : 159 -160)
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Aku-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”(Al Baqarah : 159 – 160)
Jadi beliau adalah shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, lalu diikhtilafkan tentang berapa riwayatnya, namun Ibnul Jauzy رحمه الله pernah menyebutkan bahwa Abu Hurairah  meriwayatkan sebanyak 5374 hadits dari Rasulullah . Dan ini adalah jumlah yang sangat besar dibandingkan riwayat dari sahabat yang lain yang juga banyak meriwayatkan hadits. Dari tujuh shahabat yang banyak meriwayatkan hadits, yang paling dekat dengan beliau (urutan kedua) adalah Abdullah bin Umar yang hanya meriwayatkan sekitar 2630 hadits.
Abu Hurairah  memiliki banyak keutamaan. Sebagaimana layaknya para ahlush shuffah, beliau di samping berilmu, juga adalah orang yang zuhud dan banyak beribadah kepada Allah , hingga kadang beliau tidak makan dan minum dalam beberapa hari. Sehingga, sebagaimana diriwayatkan oleh beberapa tabi’in bahwa kadang beliau  di atas mimbar tiba-tiba pingsan seperti orang gila, lalu ketika ditanyakan, ternyata beliau pingsan karena kelaparan dan haus karena tidak makan beberapa hari. Ini menunjukkan kezuhudan beliau, namun demikian beliau  termasuk orang yang ta’affuf (senantiasa menjaga kehormatannya) sehingga beliau  memelihara diri dari meminta-minta. Hal ini sebagaimana firman Allah  :
 لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي اْلأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ  ( البقرة : 273 )
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”.(Al Baqarah : 273)
Beliau  malu meminta walaupun beliau sangat butuh. Sehingga kadang metode yang beliau lakukan untuk menunjukkan bahwa beliau lapar dan mau dibantu, maka setelah mengikatkan batu di perutnya untuk menahan laparnya, kemudian beliau  mendekati Abu Bakar  untuk sengaja bertanya tentang masalah-masalah tafsir dan ad-dien, padahal sebenarnya beliau  datang agar Abu Bakar  memperhatikannya dan kemudian tahu bahwa dia lapar. Namun kata Abu Hurairah , kadang Abu Bakar  cuma menjawab saja pertanyaannya namun tidak mengetahui bahwa dia lapar. Lalu beliau mendatangi ‘Umar  untuk sengaja bertanya. Namun ‘Umar  hanya sekedar menjawab dan tidak mengetahui bahwa sebenarnya beliau dalam keadaan lapar. Kemudian beliau  menemui Rasulullah , maka Rasulullah  bisa langsung menangkap apa yang diinginkan oleh Abu Hurairah . Lalu Rasulullah  memanggilnya ke rumah beliau , dan pada hari itu Rasulullah  mendapati sebotol susu, lalu Rasulullah  bertanya dari mana susu tersebut, maka dikatakan bahwa itu hadiah. Lalu Rasulullah  memberikannya kepada Abu Hurairah  dan memesankan supaya juga dibagi-bagikan kepada ahlush shuffah lainnya. Abu Hurairah  mengatakan (dalam hati) bahwa susu sedikit dan saya sangat haus dan lapar, lalu disuruh lagi membagi-bagikannya ke ahlush shuffah ?. Namun ketika beliau  datang kepada para ahlush shuffah kemudian membagi-bagi susu tersebut, ternyata susu itu tidak pernah habis. Dan ini merupakan salah satu mu’jizat Rasulullah . Kisah ini menunjukkan bagaimana zuhudnya Abu Hurairah  dan sekaligus menunjukkan keutamaan Rasulullah ; yang mana beliau  adalah seorang yang bisa menangkap dan mengetahui dengan baik keadaan para shahabatnya.
Salah satu keutamaan Abu Hurairah  yang perlu diangkat adalah beliau seorang yang dicintai oleh seluruh orang-orang mu’min. Dan hal ini beliau pernah katakan kepada seorang tabi’in, yaitu Abu Katsir رحمه الله , bahwa, “Tidaklah Allah menciptakan seorang mu’min kecuali dia pasti mencintaiku dan mencintai ibuku”. Lalu tabi’in itu mengatakan, “Dari mana anda tahu?”, maka beliau  mengatakan (menyebutkan kisahnya) : “Saya mempunyai seorang ibu yang musyrik dan saya mencintainya dan diapun sangat cinta kepada saya. Dan ketika saya masuk Islam, dia sangat marah dan mau mengusirku. Namun saya tetap bermuamalah dengan dia dengan mu’amalah yang sangat baik. Hingga pada suatu hari dia pernah mengatakan suatu perkataan yang tidak pantas tentang Rasulullah  (yakni celaan). Dengan perasaan yang sangat sedih, saya menangis di depan Rasulullah , dan berkata :“Ya Rasulullah, do’akan hidayah untuk ibu Abu Hurairah”. Lalu Rasulullah  langsung mendo’akan ibu Abu Hurairah untuk mendapatkan hidayah. Begitu mendengarkan do’a Rasulullah, saya sangat gembira dan segera pulang untuk menyampaikan kabar gembira itu. Belum sampai di rumah, saya sudah mendengarkan suara gemericik air, seperti ada orang berwudhu di dalam rumah. Maka saya sangat kaget dan bertanya-tanya siapa yang berwudhu di dalam rumah.. Dan ketika saya masuk, saya mendapati ibuku telah selesai berwudhu’ dan siap mengenakan khimarnya untuk shalat dan mengatakan, “Saya sudah bersyahadat”. Maka saya pun kembali menangis sebagaimana tangisan yang pertama dan mengatakan, “Saya sekarang menangis karena kegembiraan sebagaimana saya tadi menangis karena kesedihan saya”. Lalu saya kembali menemui Rasulullah  untuk menyampaikan hal tersebut, lalu saya meminta kepada Rasulullah , “Ya Rasulullah, do’akanlah supaya tidak ada seorang mu’min yang mendengarkan nama Abu Hurairah dan ibunya, kecuali pasti mencintainya”. Lalu Rasulullah  berdo’a : “Ya Allah, jadikanlah Abu Hurairah dan ibunya dicintai oleh hamba-hamba-Mu yang beriman". Abu Hurairah  berkata : “Maka tidaklah seorang mukmin yang diciptakan yang mendengarkanku dan melihatku kecuali mencintaiku”.(HR. Muslim)
Dari riwayat ini ada faidah yang sangat penting, bahwa siapa saja yang membenci Abu Hurairah  maka paling tidak keimanannya dipertanyakan/diragukan. Dan ini bantahan terhadap orang-orang Syi’ah yang membenci Abu Hurairah  dan bertaqarrub kepada Allah dengan membenci Abu Hurairah , bahkan meragukan hadits-hadits dari Abu Hurairah . Karena itu orang yang meragukan Abu Hurairah , maka minimal kita pun meragukan keimanannya. Orang-orang beriman begitu berterima kasih kepada Abu Hurairah  karena beliau adalah shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits kepada mereka dan begitu banyak ‘ilmu yang mereka dapatkan lewat riwayat dari beliau. Karenanya sangat wajar bila Ahlus Sunnah wal Jama’ah sangat mencintai shahabat yang mulia ini. Adapun Ahlul Bid’ah, termasuk Syi’ah Rafidhah, membenci Abu Hurairah  dan sekaligus mengumumkan bahwa diri-diri mereka adalah minimal munafiq, dan pantas diragukan keimanannya.
Abu Hurairah  juga pernah menjadi sebagai amir (pemimpin) di kota Madinah beberapa kali. Beliau meninggal di kota Madinah (sebagian ulama mengatakan di Aqieq) sekitar tahun 57 H (ada yang mengatakan tahun 59 H) pada akhir khilafah Mu’awiyah . Umur beliau waktu itu kurang lebih 78 tahun. Menjelang wafatnya, beliau  menangis. Lalu orang-orang di sekitarnya bertanya mengapa beliau sampai menangis, apakah karena takut mati. Maka beliau  berkata : “Tidak, sesungguhnya saya menangis karena saya tahu akan menghadapi perjalanan yang sangat jauh namun perbekalan saya sangat sedikit”.
Ini menunjukkan kezuhudan dan wara’ beliau . Jika saja Abu Hurairah  mengatakan seperti ini, maka tentu kita lebih pantas takut dan kuatir dengan diri kita, karena jarak yang begitu jauhnya untuk kita bertemu dengan Allah  namun begitu minimnya perbekalan kita. Kalau saja beliau  yang banyak berilmu (meriwayatkan hadits) yang mana satu hadits saja yang beliau sebutkan lalu didengar oleh satu orang dan orang itu mengamalkan, maka beliau sudah mendapatkan andil, yaitu pahala dari pengamalan orang tersebut. Bagaimana lagi kalau sudah banyak sekali orang yang mendengarkan hadits dari beliau  dan mengamalkannya, tentu banyak sekali pahala yang beliau dapatkan. Jadi sebenarnya bila dihitung-hitung perbekalan pahala beliau sudah banyak, namun begitulah para shahabat, mereka mempunyai rasa takut yang sangat besar kepada Allah .
Hadits ini adalah hadits yang pertama kali diriwayatkan oleh Abu Hurairah  dalam Arba’in An-Nawawiyah. Setelah hadits ini akan banyak hadits beliau yang dimuat dalam Al Arbain An-Nawawiyah. Dan hampir semua kitab-kitab hadits, siapapun yang menulis, asalkan dia dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka akan didapati riwayat yang paling banyak adalah riwayat dari Abu Hurairah .

SABABUL WURUD
Hadits ini mempunyai sababul wurud, yaitu ketika diwajibkannya haji, Rasulullah  menyampaikan kepada para shahabatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari riwayat Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah  berkata :
خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : (( أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا )) فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ )) ثُمَّ قَالَ : (( ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ )) رواه مسلم
“Rasulullah  berkhutbah kepada kami, lalu bersabda : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah”. Maka seorang laki-laki bertanya :“Apakah setiap tahun wahai Rasulullah ?”. Maka beliau diam, sampai laki-laki tadi bertanya 3 kali. Kemudian beliau  bersabda : “Kalau saya katakana: ya, maka wajib bagimu setiap tahun dan kalian tidak akan mampu”.
Di sini Rasulullah  sempat marah. Jadi sebelumnya Rasulullah  diam, dan diamnya Rasulullah  adalah untuk memberikan keringanan kepada shahabat. Lalu ada yang bertanya lagi apakah setiap tahun, maka ini adalah pertanyaan yang tidak bermanfaat, bahkan bisa menyulitkan diri sendiri. Lalu Rasulullah  mengucapkan hadits ini :
“Biarkanlah aku pada apa yang aku tinggalkan (diamkan), karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa disebabkan oleh banyaknya pertanyaan mereka dan penyimpangan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka. Karena itu apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah semampumu, dan apabila aku melarang sesuatu kepada kalian maka tinggalkan". (HR. Muslim)
Orang yang bertanya ini adalah seorang ‘Arab Badui sehingga dimaklumi. Dalam beberapa riwayat terutama riwayat Ibnu Majah menjelaskan bahwa yang bertanya ini adalah seorang ‘Arab Badui yang cukup terkenal, yaitu Al Aqra’ bin Habis . Salah satu kisahnya yang terkenal adalah ketika beliau melihat Rasulullah  mencium cucunya Al Hasan bin Ali , maka Al Aqra’ bin Habis berkata :
إِنَّ لِي عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ : (( مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ )) رواه البخاري و مسلم عن أبي هريرة
“Saya mempunyai 10 orang anak, namun tidak ada seorangpun yang pernah saya cium”. Maka Rasulullah  memandangnya kemudian bersabda :“Siapa yang tidak punya rahmat, tidak akan dirahmati”.(HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah )
Ini suatu hal yang aneh sebenarnya, karena fitrah manusia adalah menyenangi anak kecil, lalu shahabat ini tidak pernah mencium satupun anaknya. Shahabat Badui ini cukup banyak riwayat atau kisah-kisahnya, salah satunya adalah yang berkaitan dengan hadits ini, yang mana beliau bertanya kepada Rasulullah  tentang kewajiban haji apakah diwajibkan setiap tahun, dan merupakan salah satu bentuk pertanyaan yang tidak dibolehkan. Bahkan hadits ini juga merupakan sababul nuzul (sebab turunnya ayat) :
 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْءَانُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللهُ عَنْهَا وَاللهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ  ( المائدة : 101 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema`afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.(Al Maidah : 101)
Jadi apa-apa yang Allah  dan Rasul-Nya diamkan maka diamkanlah, karena apa Allah  dan Rasul-Nya diamkan bukanlah berarti bahwa Allah  dan Rasul-Nya lupa akan hal tersebut, tetapi karena hikmah dan rahmat dari Allah  kepada orang-orang beriman.
Dan perkataan Rasulullah  bahwa “Seandainya saya mengatakan ya, wajib bagi kalian tiap tahun dan kalian tidak akan mampu”, maka dari sini ulama ushul mengambil faidah bahwa Rasulullah  adalah mujtahid dan berhak menetapkan hukum sendiri.”.
Dari sababul wurud ini juga terdapat khilaf di antara ulama-ulama kita terutama ulama-ulama ushul bahwa apakah setiap perintah itu menunjukkan mestinya dilakukan secara berulang atau tidak. Seperti misalnya firman Allah  :
 يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُورِ  ( لقمان17)
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.(Luqman : 17)
Perintah “ أقم الصلاة ”(dirikanlah shalat) disini apakah merupakan perintah yang cukup dikerjakan satu kali saja atau mesti berulang-ulang ?. Demikian juga perintah “ وأمر بالمعروف وانه عن المنكر ”, apakah beramar ma’ruf nahi mungkar cukup satu kali saja atau mesti berulang-ulang. Atau misalnya firman Allah  :
 إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا  ( الأحزاب : 56)
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.(Al Ahzab : 56)
Perintah bershalawat di sini, apakah bershalawat cukup satu kali agar kita sudah terlepas dari dosa, ataukah mesti diulang berkali-kali ?. Ini adalah hal yang diikhtilafkan oleh ulama kita, dan kebanyakan ulama kita mengatakan bahwa “Satu kali perintah tidak berarti cuma satu kali dikerjakan”. Tapi dari riwayat ini juga bisa dipahami bahwa perintah yang satu kali juga menghendaki amalan yang satu kali saja, karena Rasulullah  ketika menyebutkan kewajiban haji kemudian beliau diam, dan ketika shahabat bertanya apakah setiap tahun maka Rasulullah  langsung marah. Artinya kalau satu kali saja Rasulullah  menyebutkan perintah tersebut maka berarti satu kali saja diperintahkan. Namun boleh dikatakan bahwa kebanyakan perintah yang satu kali itu dilakukan berkali-kali. Jadi, asalnya perintah itu dilakukan berkali-kali, kalaupun ada yang satu kali, maka ada penjelasan khusus tentang hal tersebut, sebagaimana dalam hadits haji ini, diperintahkan cuma satu kali saja.
Masalah lain yang berkaitan dengan masalah perintah ini adalah apakah setiap perintah itu mesti langsung dikerjakan begitu didengarkan atau yang penting dikerjakan walaupun terlambat. Contohnya haji, seorang yang sudah mampu untuk haji apakah dibolehkan menunda (misalnya tahun depan). Ini diikhtilafkan oleh para ulama, namun yang rajih -Insya Allah - adalah bahwa seseorang harus langsung melakukan suatu perintah begitu ia sanggup. Karena kalau dia menunda-nunda lalu dia nanti tidak bisa mengamalkannya, maka dia mendapatkan dosa. Allah berfirman  :
 ... فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ  ( المائدة : 48)
“... Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”(Al Maidah : 48)
"Bersegeralah dalam melakukan kebaikan", Artinya jangan ditunda-tunda. Dan Rasulullah  sendiri menyuruh kita untuk memanfaatkan kesempatan, sebagaimana dalam hadits :
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ شَبَابَكَ قَبلَ هَرَمِكَ وَصِحَّتَكَ قَبلَ سَقَمِكَ وَغِنَاكَ قَبلَ فَقرِكَ وَفَرَاغَكَ قَبلَ شُغُلِكَ وَحَيَاتِكَ قبل موتك
“Dari Ibnu Abbas  berkata : Rasulullah  bersabda kepada seorang laki-laki dan beliau bernasihat kepadanya :"Manfaatkanlah lima hal sebelum datangnya lima hal:masa mudamu sebelum datang masa tuamu, kesehatanmu sebelum datang sakitmu, kekayaanmu sebelum datang kemiskinanmu, waktu kosongmu sebelum datang kesibukanmu dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu"(HR Hakim & Baihaqy di Syu'abul Iman).

Dan Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما mengatakan :
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ … ( رواه البخاري )
“Jika engkau berada di waktu sore maka janganlah engkau menunggu pagi, dan jika engkau berada di waktu pagi maka janganlah menunggu sore”.(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)
Artinya apabila ada pekerjaan yang dapat dikerjakan sekarang maka kerjakanlah, jangan ditunda-tunda, karena boleh jadi kamu tidak dapat lagi mengerjakan apa yang ingin kamu lakukan saat itu.
Dengan sababul wurud dari hadits ini maka dapat dipahami makna hadits ini, sebagaimana sababun nuzul manfaatnya adalah agar kita dapat memahami ayat dengan baik. Dan bukan berarti bahwa hukum itu hanya berlaku kepada siapa dia diturunkan, karena qaidah menyebutkan :
الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Al Ibroh (pelajaran) terletak pada keumuman lafazh bukan pada kehususan sebab“
Contohnya : Allah  menurunkan celaan kepada orang Yahudi, maka itu juga berlaku kepada siapa saja yang berbuat sebagaimana perbuatan mereka (Yahudi), seperti firman Allah  :
 أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ  ( البقرة : 44 )
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”(Al Baqarah : 44 )
Kalau ada yang menasehati dengan ayat ini, maka jangan dikatakan bahwa ayat itu ditujukan hanya kepada orang Yahudi. Memang ayat ini pertama kali diturunkan kepada Yahudi, namun ia berlaku secara umum, sehingga siapa yang berlaku dengan kelakuan seperti itu berarti dia telah melakukan kesalahan, dan sebagaimana Allah  mencela orang Yahudi maka Allah juga mencela orang tersebut. Jadi sababul wurud dan sababun nuzul cuma membantu dalam memahami hadits dan ayat, dan bukan untuk menunjukkan bahwa hukum itu khusus berlaku kepada siapa ia diturunkan pertama kali saja.

SYARH HADITS
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ … 
Abu Hurairah  mengatakan :“Saya mendengar Rasulullah  bersabda ”. Telah disebutkan terdahulu bahwa bentuk periwayatan seperti ini (bentuk sama’/mendengar) merupakan salah satu bentuk periwayatan yang paling kuat.

مَا نَهَيْـتُكُمْ عَنْهُ فَاجْـتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْ تُكُمْ بِهِ فَأْتـُوْا مِنْهُ مَااسْـتَطَعْـتُمْ … 
“Apa-apa yang telah aku larang untukmu, maka jauhilah dan apa-apa yang telah aku perintahkan kepadamu, maka kerjakanlah sekemampuanmu". Hadits ini semakna dengan firman Allah  dalam surah Al Hasyr : 7,
 ... وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ...  ( الحشر : 7 )
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.(Al Hasyr : 7)
Walaupun ayat ini tidak mengatakan “Ambillah sekemampuanmu”, namun keumumannya dikhususkan dengan hadits ini, atau dapat dikatakan ia diikat oleh dalil Al Quran yang lain:
 فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ ...  ( التغابن : 16)
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu”.(At Taghabun : 16)
“ ما ” di sini menunjukkan sesuatu yang umum, artinya “Apa-apa saja yang aku larang maka tinggalkanlah, dan apa-apa saja yang aku perintahkan maka kerjakanlah sekemampuanmu”. Di sini ada dua lafazh yang berbeda, kalau dalam masalah larangan, Rasulullah  mengatakan bahwa apa yang dilarang tinggalkanlah (secara mutlak) dan tidak dikatakan “tinggalkanlah sekemampuanmu”. Adapun dalam masalah perintah dikatakan kerjakanlah sekemampuanmu.
Di sini terdapat khilaf para ulama, mana yang lebih berat perintah atau larangan. Namun yang shahih adalah lebih berat perintah. Karena untuk masalah perintah Rasulullah  mengatakan, “Kerjakanlah sekemampuanmu”, berarti ada perintah yang kita tidak mampu mengerjakannya. Sedangkan untuk masalah larangan semuanya ditinggalkan secara mutlak. Jadi secara dalil, bahwasanya perintah itu lebih berat dari larangan. Secara akal, perintah memang lebih berat, karena banyak yang perlu dikerjakan sebelum melaksanakannya, dan memerlukan tenaga atau dana. Adapun larangan tidak memerlukannya sama sekali. Misalnya tentang larangan berzina, maka kita tidak mesti mengorbankan sesuatu untuk meninggalkannya, kita bisa tinggal saja di rumah (menahan diri) maka kita sudah meninggalkan larangan tersebut. Adapun perintah shalat berjama’ah misalnya, maka kita harus meninggalkan rumah, berjalan, dan sebagainya, sehingga kita membutuhkan tenaga untuk mengerjakannya.
Bahkan orang yang melakukan larangan, sebenarnya melelahkan dirinya. Berapa banyak orang yang rela melelah-lelahkan dirinya untuk melakukan sebuah larangan, padahal seandainya ia meninggalkan larangan itu akan lebih mudah baginya. Namun demikianlah ketika syaithan sudah memperindah suatu amalan maksiat, maka sampai-sampai seseorang rela berkorban untuk melakukannya. Allah  berfirman :
 ... فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى الـنَّارِ  ( البقرة : 175 )
“Maka alangkah sabarnya mereka menentang api neraka!”. (Al Baqarah : 175)
Dan inilah sebabnya kenapa Allah  senantiasa mengatakan "ما ا ستطعتم" untuk masalah perintah. Adapun larangan, kita wajib meninggalkannya secara mutlak, kecuali darurat.

مَا نَهَيْـتُكُمْ عَنْهُ فَاجْـتَنِبُوْهُ … 
“Apa-apa yang telah aku larang untukmu, maka jauhilah”. Larangan yang ada dalam dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah ada dua macam, yaitu :
1. Larangan yang sifatnya haram, dan ini adalah asal dari larangan
(kaidah : "النهي يقتضي التحريم")
hukum asal dari larangan adalah haram sampai ada dalil yang menjelaskan bahwa ia tidak haram. Misalnya berzina, mencuri, riba, dan lain-lain.
Adapun defenisi haram menurut ulama ushul, adalah :
مَا يُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ وَ يُثَابُ علَى تَركُهُ ا مْتِثَالاً
“Apa-apa yang ketika dikerjakan mendapatkan dosa(hukuman) dan ketika ditinggalkan karena syari’at (Allah dan Rasul-Nya) mendapatkan pahala”
Jika ditinggalkan bukan karena alasan syari’at maka tidak mendapatkan pahala. Misalnya seorang yang tidak melakukan zina karena tidak ada kesempatan, maka tidak mendapatkan pahala. Tapi orang yang meninggalkan zina karena Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapat pahala. Sama halnya hadits mengenai orang yang berkelahi, yang membunuh dan dibunuh sama-sama masuk neraka; yang dibunuh juga masuk neraka karena sebenarnya ia telah punya niat untuk membunuh, hanya karena lebih dulu terbunuh maka ia tidak sempat lagi membunuh.
2. Larangan yang sifatnya makruh.. Ulama ushul yang belakangan mendefinisikan makruh sebagai :
مَا يُثَابُ عَلَىتَركِهِ امْتِثًالاً وَلاَ يُعَاقَبُ على فِعْـلِهِ
“Apa-apa yang ketika ditinggalkan karena Allah dan RasulNya maka mendapatkan pahala, dan ketika dikerjakan tidak mengapa (tidak dihukum)”
Namun sebenarnya kata-kata makruh dalam Al Quran maupun As Sunnah kadang digunakan dengan makna haram. Dan ulama-ulama salaf kadang bila mengatakan “itu makruh” maksudnya adalah haram.
Contoh penggunaan kata makruh dalam Al Quran sebagaimana firman Allah  :
 كُلُّ ذَلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا  ( الإسراء : 38 )
“Semua itu kejahatannya amat dibenci (makruh) di sisi Tuhanmu”.(Al Isra’ : 38)
Makruh di ayat ini berarti haram. Yang menunjukkan hal tersebut karena larangan-larangan yang ada pada ayat-ayat sebelumnya adalah larangan yang sifatnya haram. Seperti pada ayat 23 adalah larangan membentak kedua orang tua :
 وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا  ( الإسراء : 23 )
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.(Al Isra’ : 23)
Ini adalah larangan yang sifatnya haram. Lalu pada ayat 26 adalah larangan mubadzdzir, dan mubadzdzir adalah haram, bukan cuma makruh :
 وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا  ( الإسراء : 26 )
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.(Al Isra’ : 26)
Pada ayat 31 adalah larangan membunuh anak-anak karena takut miskin :
 وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا  ( الإسراء : 31 )
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.(Al Isra’ : 31)
Pada ayat 32 adalah larangan (mendekati) zina :
 وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً  ( الإسراء : 32 )
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.(Al Isra’ : 32)
Pada ayat 33 adalah larangan membunuh jiwa yang Allah haramkan membunuhnya :
 وَلاَ تَقْتُلُوا الـنَّفْسَ الَّـتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ...  (33)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar...”.(Al Isra’ : 33)
Larangan memakan harta anak yatim di ayat 34 :
 وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولاً  ( الإسراء : 34)
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfa`at) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.(Al Isra’ : 34)
Larangan berlaku curang dalam timbangan di ayat 35 :
 وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً  ( الإسراء : 35 )
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Al Isra’ :35)
Larangan taqlid di ayat 36 :
 وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً  ( الإسراء : 36 )
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.(Al Isra’ : 36)
Larangan sombong di ayat 37 :
 وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولاً  ( الإسراء : 37 )
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”.(Al Isra’ : 37)
Kemudian ditutup dengan firman Allah  :
 كُلُّ ذَلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا  ( الإسراء : 38 )
“Semua itu kejahatannya amat dibenci (makruh) di sisi Tuhanmu“.(Al Isra’ : 38)
Makna makruh di sini adalah haram. Jadi makruh dalam istilah Al Quran kadang datang dengan makna haram. Dalam sunnah juga demikian, terkadang Rasulullah  menyatakan makruh, namun maknanya haram. Sebagaimana sabda Rasulullah  :
وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ ( رواه البخاري و مسلم )
“…Dan dimakruhkan kepadamu Qiila wa Qaala dan banyak bertanya dan membuang-buang harta”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini semua adalah larangan-larangan yang sifatnya haram, namun Rasulullah  memakai kata-kata makruh.
Demikian juga ulama salaf, ketika menyebutkan istilah makruh kadang yang mereka maksudkan haram. Sehingga ulama ushul membuat jalan keluar dengan mengatakan bahwa makruh itu ada dua jenis :
1) Makruh littahriim, artinya lafazh yang mengatakan makruh namun maksudnya haram. Contohnya hadits di atas yakni memperbanyak perkataan dan membuang harta.
2) Makruh littanzih, artinya makruh yang bermakna sebaiknya ditinggalkan, dan kalau dikerjakan tidak mengapa. Contohnya sebagaimana yang dicontohkan ulama kita yaitu larangan Rasulullah  untuk tidur sebelum shalat ‘Isya dan untuk berbicara (ngobrol) sesudah shalat ‘Isya. Larangan ini jelas, namun para ulama mengatakan bahwa sifatnya makruh, dimana larangan untuk tidur sebelum shalat ‘Isya karena dikhawatirkan ia tertidur (terbangun setelah shubuh) dan belum sempat shalat ‘Isya. Demikian pula dilarang untuk bercakap-cakap sesudah shalat ’Isya(السّمر) agar tidak melambatkan bangun shalat shubuh.
Contoh yang lain adalah larangan makan bawang mentah sebelum masuk masjid. Inipun jelas larangannya, namun kata para ulama larangannya bersifat makruh dan tidak sampai haram.
Sehingga ketika kita membaca perkataan ulama-ulama kita yang mengatakan makruh, maka kita sebenarnya perlu meneliti maksudnya, apakah littahriim atau littanzih. Namun seorang muslim hendaknya menghindarkan diri dari hal-hal yang makruh sekemampuannya. Dan siapa yang memperbanyak mengerjakan yang makruh, maka dikhawatirkan akan terjatuh pada hal yang diharamkan, sebagaimana telah dibahas dalam hadits ke-6 dari Al Arba’in An Nawawiyah, Rasulullah  bersabda :
وَ مَنْ وَقَعَ فيِ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فيِ الْحَرَامِ … ( رواه البخاري و مسلم )
“Siapa yang terjatuh kepada perkara dalam syubhat maka ia akan terjatuh ke dalam perkara haram…”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dimana salah satu tafsiran syubhat adalah perkara makruh. Sehingga kalau yang makruh saja sudah dianggap biasa maka suatu waktu juga akan menyerempet kepada yang haram. Karenanya seorang muslim hendaknya menjauhi hal yang makruh sekemampuannya untuk menambah derajatnya di sisi Allah , sebagaimana seorang muslim mengerjakan perintah-perintah yang sunnah untuk mengangkat derajatnya di sisi Allah . Dan Rasulullah  tidak pernah melakukan yang haram maupun yang makruh. Demikian pula para shahabat , hampir dapat dikatakan bahwa kebanyakan shahabat hanya mengetahui hal-hal halal dan haram saja. Apabila ada suatu perintah maka langsung mereka kerjakan tanpa mempertanyakan apakah sunnah atau wajib, demikian pula suatu larangan langsung mereka tinggalkan tanpa banyak bertanya apakah haram atau makruh.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa suatu larangan mesti ditinggalkan secara mutlak, kecuali dalam keadaan darurat, sebagaimana kaidah :
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Hal yang darurat menjadikan hal yang dilarang itu menjadi boleh”
Namun jangan kaidah ini saja yang kita sebutkan, tapi hendaknya kita juga mengingat kaidah lain bahwa :
الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Darurat itu ada kadarnya/batasannya”.
Contohnya : Seorang yang sangat lapar dan kalau dia tidak makan dikhawatirkan dia bisa mati, maka pada saat itu kita memakai kaidah : الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ (darurat menjadikan hal yang dilarang menjadi boleh), sehingga para ulama membolehkan memakan babi dalam keadaan seperti itu. Tetapi hal yang darurat tersebut ada kadarnya, artinya batasannya hanya sekedar untuk menyelamatkan nyawanya, dan tidak boleh lebih dari itu. Namun dalam hal lain, misalnya larangan zina, tidak dikatakan sepotong saja ditinggalkan, tapi semuanya mesti ditinggalkan. Jadi untuk larangan tidak ada istilah sedikit saja dikerjakan, tapi kita mesti berhenti dari hal tersebut secara mutlak.

وَمَا أَمَرْ تُكُمْ بِهِ فَأْتـُوْا مِنْهُ مَااسْـتَطَعْـتُمْ … 
"Apa-apa yang telah aku perintahkan kepadamu maka kerjakanlah sekemampuanmu". Perintah ada dua macam :
1. Sifatnya wajib. Ulama ushul mendefinisikan wajib sebagai :
مَا يُثَابُ عَلَي فِعْلِهِ ا مْتِثَالاً وَ يُعَاقَبُ عَلَي تَرْكِهِ
“Apa-apa yang diberikan pahala ketika mengerjakannya dengan niat mengamalkan perintah Allah dan Rasul-Nya dan mendapatkan dosa ketika ditinggalkan”.
Jadi meskipun mengerjakan suatu hal yang wajib tetapi tidak dengan niat mengamalkan perintah Allah dan RasulNya maka tidak mendapatkan pahala. Sebagai contoh, seorang yang berjenggot bukan untuk niat mengamalkan perintah Rasulullah , tetapi sekedar mengikuti mode, maka tidak akan mendapatkan pahala.
2. Sifatnya sunnah. Ulama ushul mendefinisikan sunnah sebagai :
مَا يُثَابُ عَلَي فِعْلِهِ امْتِثَالاً وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَي تَرْكِهِ
“Apa-apa yang diberikan pahala ketika mengerjakannya dengan niat mengamalkan perintah Allah dan Rasul-Nya dan tidak mendapatkan dosa bagi yang meninggalkannya”
Hendaknya seorang muslim memperhatikan amalan-amalan sunnah, untuk lebih mengangkat derajatnya di sisi Allah . Apalagi fungsi sunnah adalah untuk menambah kekurangan yang ada pada yang amalan wajib, sementara kita senantiasa melakukan kekurangan-kekurangan dalam amalan wajib kita, karena itu kekurangan tersebut perlu disempurnakan dengan amalan-amalan sunnah.
Maksud dari ما ا ستطعتم"" adalah bolehnya kita mengerjakan sebagian dari rukun-rukun suatu amalan ibadah atau wajib dari suatu amalan ibadah. Misalnya, shalat adalah suatu ibadah yang terdiri dari rukun dan wajib. Berdiri adalah salah satu rukun dalam shalat, sehingga seorang yang mampu untuk berdiri maka wajib berdiri. Tetapi bila ia tidak mampu berdiri maka tidak dikatakan bahwa telah hilang baginya hukum shalat, namun tetap diperintahkan sekemampuannya. Misalnya juga shalat jama’ah adalah wajib, namun orang yang mempunyai udzur tidaklah hilang sama sekali hukum shalat baginya, namun dikerjakan sekemampuannya, kalau tidak dapat berjama’ah di masjid maka ia mengerjakannya di rumahnya. Contoh lain, berwudhu (sebelum shalat) adalah wajib, namun jika air yang tersedia sedikit (tidak mencukupi), maka ia berwudhu dengan air yang ada dan adapun sisa anggota tubuh yang belum terkena air bisa dengan tayammum. Demikian pula seseorang yang mau mengeluarkan zakat fithri, maka yang mesti dikeluarkan adalah sebesar satu sha’ bagi orang yang memiliki kelebihan makanan, namun bagi orang yang memiliki kelebihan makanan kurang dari satu sha’ maka ia mengeluarkan sekemampuannya. Hal ini sebagaimana kaidah :
مَا لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكُ كُلُّهُ
“Apa-apa yang tidak bisa diambil semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya”. Atau
مَا لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكُ جُلُّهُ
“Apa-apa yang tidak bisa diambil semuanya, maka tidak ditinggalkan sebagian besarnya”.
Hal tersebut di atas berbeda dengan larangan, yang mesti ditinggalkan sama sekali (secara mutlak). Misalnya, seorang yang tidak mampu meninggalkan musik secara keseluruhan, maka tidaklah dikatakan kepadanya untuk meninggalkan musik sebagian saja, atau seorang yang tidak dapat meninggalkan minum khamar sebotol maka tidaklah dikatakan kepadanya untuk minum segelas saja, tetapi mesti ditinggalkan semuanya.
Namun kaidah di atas pun tidak secara mutlak digunakan. Misalnya, seorang yang sakit yang tidak sanggup berpuasa sehari penuh, maka tidak dikatakan boleh berpuasa setengah hari. Namun bagi yang tidak sanggup, hilang baginya kewajiban puasa dan harus mengqadha di waktu yang lain. Jadi ada perintah yang dikerjakan sekemampuannya dan ada juga perintah yang ketika kita tidak sanggup maka hilanglah kewajiban darinya.
Mengapa kita mesti mengerjakan apa-apa yang diperintahkan sekemampuan kita dan meninggalkan (secara mutlak) apa-apa yang dilarang, karena jangan sampai kita melakukan sebagaimana yang pernah dilakukan ummat-ummat sebelum kita, yang mana bila datang suatu perintah atau larangan, maka mereka diskusikan terlebih dahulu atau mereka menunda-nunda suatu amalan, sehingga suatu saat ketika kewajiban sudah sampai kepadanya, maka mereka menunda-nundanya dan akhirnya meninggalkannya (tidak mengerjakan perintah atau tidak meninggalkan larangan tersebut).

فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْـتِلاَفُهُمْ عَلىَ أَنْبِـيَائِهِمْ … 
"Bahwasanya celakanya orang-orang sebelum kalian hanya karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka dan perselisihan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka””.
Secara umum, ummat Islam adalah ummat yang sempurna. Agama Islam adalah agama yang sempurna. Nabi Muhammad  adalah nabi yang terakhir dan untuk seluruh ummat, yang menyempurnakan apa yang kurang dari ajaran-ajaran terdahulu. Sehingga tidak dibutuhkan lagi ajaran-ajaran di luar Islam. Bila ada suatu kebaikan pada ummat terdahulu, maka itupun sudah ada dalam Islam. Maka tidak boleh dikatakan bahwa untuk masalah ini kita ambil dari Nashrani, masalah ini diambil dari Yahudi, dan selebihnya diambil dari Islam. Sama halnya jika kita mengatakan bahwa manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan sempurna, serta tidak butuh lagi dari yang lainnya. Makanya salah bagi seorang yang berprinsip : aqidahnya aqidah salaf, ibadahnya ibadah shufi, akhlaqnya akhlaq sunni, da’wahnya da’wah ini dan seterusnya, karena :
كُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّـبَاعِ مَنْ سَلَفَ وَ كُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفَ
“Setiap kebaikan ada dalam mengikuti salaf dan setiap keburukan adalah bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang sesudahnya”.
Islam telah sempurna, karena itulah Rasulullah  banyak melarang kita untuk mengikuti apa-apa yang ada pada ummat-ummat lainnya. Apabila Rasulullah  mengatakan “jangan mengikuti” maka berarti ummat-ummat terdahulu itu telah salah dalam mengamalkan ajaran mereka. Bukan berarti bahwa semua yang ada pada ummat terdahulu itu salah sehingga Rasulullah  melarang kita untuk tasyabbuh kepada mereka, namun apa yang baik sudah ada dalam Islam, sehingga ketika Rasulullah  melarang mengikuti ummat terdahulu maksudnya mengikuti yang tidak baik pada mereka yang dilarang pada ummat ini. Larangan tasyabbuh termasuk dalam maqaashid asy syari’ah (maksud dari turunnya syari’at), karena itu kita mesti menjauhinya, walaupun kita tidak meniatkan (untuk tasyabbuh), sebab itu telah jatuh kepada larangan. Misalnya, ada orang yang melakukan suatu amalan Yahudi, yangmana dia sebenarnya tidak meniatkan melakukan amalan tersebut (untuk tasyabbuh kepada Yahudi), namun dia telah terjatuh pada larangan. Atau misalnya model rambut yang menyerupai kaum kuffar dan adalah produk mereka, mka walaupun tidak berniat untuk mengikuti orang kuffar, namun orang yang melakukannya tetap telah terjatuh dalam tasyabbuh dan melanggar maqashid asy syari’ah.
Larangan tasyabbuh sangat banyak sekali disebutkan baik dalam Al Quran maupun As Sunnah. Allah  menyebutkan dalam Al Quran banyak sifat Yahudi dan Nashrani untuk kita tinggalkan. Bahkan surat pertama yang dibaca dalam mushhaf menjelaskan bagaimana kita diperintahkan untuk senantiasa berdo’a agar berbeda dengan Yahudi dan Nashrani. Firman Allah  :
 اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ  ( الفاتحة : 6-7 )
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.(Al Fatihah : 6 - 7)
“ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ ” adalah orang Yahudi, dan “ الضَّالِّيْنَ ” adalah orang Nashrani. Kita diperintahkan untuk membaca ayat ini minimal 17 kali sehari-semalam, dan ini menunjukkan pentingnya untuk kita tidak bertasyabbuh kepada mereka.
Dan larangan tasyabbuh dalam hadits lebih banyak lagi, baik secara global (mujmal) maupun secara rinci (mufashshal). Yang mujmal, misalnya sabda Rasulullah  dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang hasan :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ( رواه أبو داود و أحمد )
"Barangsiapa yang tasyabbuh (menyerupai) dengan suatu kaum, maka dia sama dengan kaum tersebut”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri , Rasulullah  bersabda :
لَـتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّـبَعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ : آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ : فَمَنْ ! (رواه البخاري و مسلم )
“Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti tatacara hidup orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai walaupun mereka masuk ke lubang biawak, kalian juga mengikuti mereka”. Lalu shahabat bertanya : “Apakah Yahudi dan Nashrani ya Rasulullah ?”. Rasulullah  menjawab : “Siapa lagi ?”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan larangan tasyabbuh secara khusus yakni misalnya sabda Rasulullah  :
خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلاَ خِفَافِهِمْ ( رواه أبو داود )
"Berbedalah dengan Yahudi karena sesungguhnya mereka itu tidak sholat dengan memakai sandal dan sepatu”. (HR. Abu Dawud)
Orang Yahudi tidak mau shalat memakai sandal, padahal itu disyari’atkan, tentu saja dalam kondisi yang memungkinkan, seperti shalat di padang atau di tanah. Demikian juga dalam masalah jenggot Rasulullah  bersabda :
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ ( مسلم )
“Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot berbedalah dengan orang Majusi”. (HR. Muslim)
Hadits ini juga adalah larangan tasyabbuh secara khusus. Untuk mengetahui secara rinci mengenai masalah tasyabbuh dapat dibaca buku yang ditulis oleh Syaikh Dr.Nashir bin Abdul Karim Al-Aql حفظه الله berjudul “Tasyabbuh”, dan yang menjadi rujukan utama dalam masalah tasyabbuh adalah buku “Iqtidha` Ash-Shirathil Mustaqiim Mukhaalafata Ashhaabil Jahiim” (Konsekuensi mengikuti Jalan yang Lurus adalah Menyelisihi Penghuni Neraka) karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله.
Dalam hadits ini Rasulullah  menyebutkan dua perkara (diantara perkara-perkara) yang menyebabkan binasanya ummat-ummat terdahulu. Kedua perkara tersebut adalah “ banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka” dan “perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka”.
 Banyak Bertanya ( كثرة مسائلهم )
Pada pembahasan hadits ke-2 Al Arba’in An Nawiyah dibahas tentang disyari’atkannya bertanya bagi thalabul ilmi dan perintah untuk bertanya dan ia adalah kunci dari ilmu. Namun pertanyaan yang dimaksud dalam hadits tersebut tidak sebagaimana yang dimaksud Rasulullah  pada hadits ini. Sababul wurud hadits ini dapat menjelaskan tentang jenis-jenis pertanyaan yang dilarang. Jenis-jenis pertanyaan yang dilarang adalah :
1. Bertanya terhadap hal-hal yang didiamkan oleh syari’at. Mungkin kita ingin mengetahui hikmahnya atau selainnya, namun jika didiamkan maka hendaknya kita juga mendiamkannya. Karena boleh jadi pertanyaan itu justru menyulitkan kita. Sebagaimana sababul wurud hadits ini, dan inilah makna firman Allah  :
 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْءَانُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللهُ عَنْهَا وَاللهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ  ( المائدة : 101)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema`afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.QS.5:101.
Diamnya syari’at baik dari Allah  maupun Rasul-Nya, bukanlah karena lupa, namun karena rahmat kepada kita. Sebagaimana sabda Rasulullah  :
…وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا ( رواه الدارقطني و غيره )
“Dan Allah telah mendiamkan beberapa perkara karena rahmat kepada kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian membahasnya”(HR. Ad Daaraquthni dan selainnya).
Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim Rasulullah  bersabda :
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ ( رواه البخاري و مسلم و للفظ لمسلم )
“Orang muslim yang paling berdosa kepada muslim yang lainnya adalah siapa yang bertanya tentang suatu masalah yang sebenarnya tidak/belum diharamkan kepada kaum muslimin, (setelah ia bertanya) maka diharamkan akibat pertanyaannya”.(HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi orang seperti ini berdosa kepada orang muslim yang lain karena ia adalah penyebab (hukum yang) menyulitkan orang muslim yang lain itu. Karena itu diamnya Allah dan Rasul-Nya terhadap suatu masalah bukanlah karena lupa, tapi karena hikmah dan rahmat-Nya kepada kita.
Namun bagaimana dengan keadaan kita saat sekarang ?. Misalnya, seseorang mengatakan, “Tidak usah kita bertanya bagaimana hukumnya ini dan itu, apa hukumnya musik, sebab jika nanti dikatakan haram, maka sulit bagi kita meninggalkannya”. Apakah hal ini juga termasuk dalam bertanya yang dilarang ?. Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Al Asqalani رحمهما الله mengatakan bahwa larangan bertanya yang seperti ini berlaku ketika wahyu masih turun. Karena wahyu belum sempurna, dan tidak boleh bertanya karena hukum masih dapat berubah pada saat itu, yang mungkin awalnya halal kemudian karena pertanyaan dapat saja berubah menjadi haram. Namun ketika wahyu telah sempurna, kata Imam Ibnu Hajar رحمه الله, maka wajib kita bertanya tentang hukum-hukum apabila kita ingin mengerjakan sesuatu. Misalnya apabila seseorang ingin menabung (di bank-bank riba), dia harus menanyakan dahulu apa hukumnya, tidak boleh dikatakan, “Tidak usah bertanya apa hukumnya menabung di bank, karena nanti dikatakan haram, sehingga kita tidak boleh menabung”, namun hal seperti ini mesti ditanyakan. Apa saja masalah-masalah yang belum kita ketahui hukumnya maka kita perlu menanyakannya.
Tetapi ada saja masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan halal dan haram sehingga tidak perlu ditanyakan. Seperti halnya dalam urusan dunia kita saat sekarang ini; misalnya salah seorang ustadz kita mengatakan, “Ada tugas, wajib kalian menghafal ini.” Pekan berikutnya ketika waktunya tiba untuk mengecek hafalan, beliau tidak mengeceknya. Mungkin ada yang tidak menghafal tugas, dan beliau sebenarnya telah mengetahuinya, karena itu beliau sengaja tidak mengecek hafalan. Lalu ada yang bertanya (dengan maksud mengingatkan ustadz), “Ada hafalan?”, maka ini pertanyaan yang menyulitkan bagi yang lainnya. Tapi itu ketika kita yakin bahwa beliau ingat dan ditinggalkan karena “rahmat bagi kita”. Tetapi jika kita yakin bahwa beliau benar-benar lupa akan adanya kewajiban itu, maka tidak apa-apa bertanya untuk mengingatkan. ‘Ala kulli haal, kadang hal ini masih bisa kita praktekkan juga dalam masalah kehidupan kita sehari-hari, jangan sampai kita bertanya hal-hal yang justru menyulitkan kita.
2. Bertanya terhadap hal-hal yang tidak ada manfaatnya.
Sebagaimana orang-orang Badui yangmana mereka kurang beradab dengan Rasulullah . Rasulullah  adalah nabi yang mulia yang Allah  turunkan untuk menjelaskan halal dan haram, tapi mereka datang kepada Rasulullah  dengan pertanyaan yang tidak bermanfaat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ  عَنْ أَشْيَاءَ كَرِهَهَا فَلَمَّا أُكْثِرَ عَلَيْهِ غَضِبَ ثُمَّ قَالَ لِلنَّاسِ : سَلُونِي عَمَّ شِئْتُمْ ، فَقَالَ رَجُلٌ : مَنْ أَبِي ؟ قَالَ : أَبُوكَ حُذَافَةُ ، فَقَامَ آخَرُ فَقَالَ : مَنْ أَبِي يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : أَبُوكَ سَالِمٌ مَوْلَى شَيْبَةَ ، فَلَمَّا رَأَى عُمَرُ مَا فِي وَجْهِ رَسُولِ اللهِ  مِنَ الْغَضَبِ قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَتُوبُ إِلَى اللهِ ( رواه مسلم )
“Dari Abu Musa Al Asy’ari  berkata : Nabi  ditanya tentang beberapa hal yang beliau tidak menyukainya, ketika telah banyak ditanyakan beliau marah kemudian berkata kepada manusia : “Bertanyalah kepadaku apa yang kalian inginkan”. Maka berkata seorang laki-laki : “Siapa bapakku ?”. Nabi  menjawab : “Bapakmu Hudzafah”. Kemudian berdiri yang lain dan berkata : “Siapa bapakku, ya Rasulullah ?”. Nabi  menjawab : “Bapakmu Saalim (maula Syaibah)”. Maka ketika ‘Umar  melihat (perubahan) di wajah Rasulullah  karena marah, beliau berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami bertaubat kepada Allah”. (HR. Muslim)
Bahkan dalam riwayat yang lain dari Anas bin Malik  disebutkan bahwa sampai-sampai ‘Umar  berlutut mendengarkan pertanyaan-pertanyaan mereka, kemudian berkata :
رَضِيْنَا بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا فَسَكَتَ ( رواه البخاري و مسلم )
“Kami ridha dengan Allah menjadi Rabb kami, Islam menjadi agama kami, dan Muhammad  menjadi nabi kami, kemudian beliau diam”.(HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sampai Rasulullah  juga berubah wajahnya (karena marah) ketika ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Di sini ada suatu pelajaran bahwa ketika ada seorang ‘alim bersama kita maka janganlah kita menanyakan masalah-masalah duniawi, karena ia juga tidak tahu secara baik masalah-masalah itu. Namun manfaatkanlah ilmunya mengenai ad-diin, dan tanyakanlah masalah-masalah ad-diin kepadanya. Karena kadang ada seseorang dimana sudah ada seorang ‘alim di dekatnya, namun hanya masalah-masalah dunia saja yang dibicarakannya, akhirnya hilanglah waktunya namun tidak ada manfaat ad-diin yang diambilnya. Jadi hendaknya kita bertanya dengan pertanyaan yang bermanfaat yang dibutuhkan untuk dunia dan akhirat.
Contoh pertanyaan yang tidak bermanfaat adalah pertanyaan yang tidak melahirkan amalan dan kalau kita jahil mengenai hal tersebut maka tidak mengapa. Misalnya pertanyaan : “Berapa jumlah bintang di langit ?”, atau “Nama-nama Ash-habul Kahfi atau nama anjingnya”, dan sebaginya. Hal-hal seperti ini meskipun orang tahu semuanya, tidak akan menambah aqidah dan amalan kita, dan memang kita tidak pernah diperintahkan untuk membahasnya. Dan pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang tidak bermanfaat dan membuang-buang waktu saja.
3. Pertanyaan sekedar untuk istihza’ (mengejek) atau sekedar untuk menyulitkan saja, atau untuk berbantahan/berdebat.
Pertanyaan seperti ini pun dilarang. Dan ulama kita mencontohkan dalam masalah ini sama dengan pertanyaan orang Badui di atas (point ke-2), karena mereka bertanya juga terkadang untuk istihza’ kepada Nabi , sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهما قَالَ : كَانَ قَوْمٌ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ  اسْتِهْزَاءً فَيَقُولُ الرَّجُلُ : مَنْ أَبِي ؟ وَيَقُولُ الرَّجُلُ تَضِلُّ نَاقَتُهُ : أَيْنَ نَاقَتِي ؟ فَأَنْزَلَ اللهُ فِيهِمْ هَذِهِ اْلآيَةَ :  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ  ( رواه البخاري )
“Dari Ibnu Abbas  berkata :Adalah suatu kaum bertanya kepada Rasulullah  untuk istihza’ (mengejek) kepada beliau , maka berkata seorang laki-laki : “Siapa bapakku ?”, dan berkata seorang laki-laki yang hilang untanya : “Dimana untaku?”. Maka Allah  menurunkan kepada mereka firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu (QS. 5 : 101)”. (HR. Bukhari)
Demikian juga termasuk pertanyaan yang dilarang adalah pertanyaan yang sekedar untuk mendebat saja, dimana kadang ia telah tahu jawabannya, tapi ia hanya ingin menampakkan dirinya lebih tahu daripada yang ditanya atau untuk sekedar berdiskusi saja. Diriwayatkan dari perkataan Ali bin Abi Thalib  bahwa akan ada fitnah di akhir zaman, lalu ketika ‘Umar  menanyakan kapan itu terjadi, maka beliau  berkata : “Apabila seseorang yang bertafaqquh (fii Ad Din) bukan untuk Ad Din, berilmu bukan untuk beramal, dan menuntut dunia bukan (menuntut) akhirat”
4. Pertanyaan tentang masalah-masalah yang belum terjadi dan mustahil/sangat kecil kemungkinan akan terjadi.
Banyak diantara para shahabat ketika ditanya tentang suatu masalah, mereka bertanya terlebih dahulu apakah masalah tersebut telah terjadi atau belum, kalau belum, maka mereka menyuruh untuk menunda pertanyaan tersebut sampai terjadinya. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar , beliau berkata : “Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi, karena sesungguhnya saya mendengar ‘Umar  melaknat penanya (yang bertanya) tentang sesuatu yang belum terjadi” Demikian pula Zaid bin Tsabit  ketika beliau ditanya tentang sesuatu, maka beliau  berkata : “Apakah ini sudah terjadi ?”, maka apabila dikatakan : belum terjadi, maka beliau  berkata : “Tinggalkanlah sampai terjadinya” . Hal yang serupa diriwayatkan pula dari sahabat yang lain seperti Ubay bin Ka’ab , ‘Ammar  dan yang lainnya.
Kadang kita mendengar ada orang yang datang dengan permasalahan yang ia buat-buat sendiri atau ia ingin membuat persoalan yang tidak bisa dijawab dan belum pernah terjadi, bahkan mungkin saja tidak akan terjadi. Maka orang yang demikian adalah ahlur-ra’yi, dan ini adalah hal yang dilarang.
Jadi hampir semua shahabat menunda jawaban ketika pertanyaan itu mengenai sesuatu yang belum terjadi, kecuali kalau pertanyaan mengenai sesuatu yang akan terjadi dan pasti terjadi. Sebagaimana para shahabat pernah bertanya kepada Rasulullah  mengenai hal yang belum terjadi tetapi akan(pasti) terjadi sebagaimana yang Rasulullah  khabarkan. Misalnya Rasulullah  pernah bersabda : “Akan datang kepadamu suatu zaman dimana pemerintah akan berbuat zhalim, mengambil hartamu, hanya menuntut hak-haknya saja dan tidak memberikan hak-hak kepadamu”. Maka para shahabat bertanya : “Bagaimana sikap kami terhadap pemerintah seperti itu ?”. Lalu Rasulullah  bersabda : “Jangan keluar dari pemerintahannya selama ia masih menegakkan shalat”. Jadi para shahabat dibolehkan menanyakan hal tersebut karena ia hal yang pasti terjadi, disebabkan Rasulullah  yang mengabarkannya. Jadi boleh bertanya mengenai apa yang Rasulullah  khabarkan, misalnya seperti khabar Rasulullah  mengenai tanda-tanda hari kiamat, akan datangnya Dajjal dan sebagainya.
5. Pertanyaan mengenai masalah yang telah jelas lalu kita tanyakan sehingga menyulitkan diri sendiri.
Orang yang bertanya dengan pertanyaan seperti ini adalah orang yang ghuluw dan tasyaddud. Sebagaimana kisah Bani Israil ketika diperintahkan menyembelih sapi betina. Allah  memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi betina, apa saja warnanya, umur berapa saja, dan tidak ada batasan-batasannya. Tapi mereka bertanya yang akhirnya menyulitkan diri mereka sendiri. Kisah mereka disebutkan dalam surah Al Baqarah : 67 – 71 :
 وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ . قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لاَ فَارِضٌ وَلاَ بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ . قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ . قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَمُهْتَدُونَ . قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لاَ ذَلُولٌ تُثِيرُ اْلأَرْضَ وَلاَ تَسْقِي الْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لاَ شِيَةَ فِيهَا قَالُوا اْلآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ  ( البقرة : 67-71 )
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." Mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu”.(Al Baqarah : 67 – 71)
Dalam ayat disebutkan bahwa hampir saja mereka tidak menyembelihnya, akibat mereka menyulitkan diri mereka sendiri, sehingga begitu sulitnya mereka mencari sapi betina yang disebutkan sifat-sifatnya oleh Allah , padahal tadinya begitu mudah. Karena itu ketika diperintahkan mengerjakan sesuatu maka kerjakanlah itu saja, itu berarti diberikan kemutlakan, dan tidak usah menanyakan untuk merinci hal-hal yang akan menyulitkan diri kita sendiri.
6. Pertanyaan akan hal-hal yang mutasyaabih dan terhadap hal-hal yang ghoib. Sebagaimana dalam firman Allah  :
 هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو اْلأَلْبَابِ  ( آل عمران : 7)
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.(Ali ‘Imran : 7)
Pertanyaan seperti inilah yang Allah  melarang kita untuk membahasnya. Dan termasuk pertanyaan yang dilarang adalah pertanyaan tentang kaifiyat hal-hal yang ghaib (yang hanya Allah  saja yang mengetahuinya), seperti pertanyaan tentang kaifiyat (tata cara) bagaimana Allah  beristiwa’, maka itu semua dilarang. Makanya ketika datang seorang laki-laki kepada Imam Malik رحمه الله dan bertanya : “Bagaimana Allah  beristiwa’?”, maka beliau menjawab :
الإِسْـتَوَاءُ مَعْـلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَ السُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَلاَ أَرَاكَ إِلاَّصَاحِبَ الْبِدْعَةِ
“(Makna) istiwa’ sudah jelas, dan pertanyaan tentang bagaimana (Allah beristiwa’) itu tidak dikenal (oleh orang-orang terdahulu) dan pertanyaan tentangnya adalah bid’ah, dan saya tidak melihat kamu melainkan seorang ahli bid’ah”.
Maka Imam Malik رحمه الله menyuruh murid-muridnya mengeluarkan orang tersebut dari majelis beliau. Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang dilarang, pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah-masalah yang syubhat yang begitu daqiq (rinci) dalam agama ini yang sebenarnya Allah  juga meninggalkannya.
Demikian juga dalam masalah sifat-sifat Allah , seperti tangan Allah , maka kita cukup mengatakan bahwa Allah  memiliki tangan, dan tidak usah kita memikirkan bagaimana model tangannya Allah , dan bertanya tentang kaifiyat itu adalah hal yang wajib untuk kita tinggalkan. Demikian juga dalam masalah perbuatan-perbuatan Allah , Allah  berfirman :
 لاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ  ( الأنبياء : 23 )
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai”.(Al-Anbiyaa : 23)
Maka tidak usah kita bertanya tentang bagaimana pekerjaan-pekerjaan Allah , seperti misalnya bagaimana caranya Allah  mengontrol semua pekerjaan manusia, tetapi kita serahkan sepenuhnya kepada Allah , sedangkan kitalah yang akan ditanya oleh Allah . Pertanyaan-pertanyaan seperti ini kadang datang dari ahlul bid’ah, yang ketika telah dijelaskan kepadanya Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah tersebut, maka terkadang mereka mau hal yang rinci sekali (seperti bagaimana kaifiyatnya), padahal yang seperti itu adalah pertanyaan yang dilarang.
Kalau kita melihat salafush sholeh, mereka adalah orang-orang yang menjauhkan diri mereka dari banyak bertanya, kecuali pertanyaan yang tidak boleh tidak harus ditanyakan. Sehingga Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما pernah mengatakan : “Saya tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih baik dari sahabat Rasulullah , tidaklah mereka bertanya kepada Rasulullah  kecuali dengan dua belas masalah, semuanya ada dalam Al Qur’an”. Ke dua belas pertanyaan yang disebutkan dalam Al Quran tersebut adalah :
•  يَسْأَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ  ( البقرة : 189 )
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit ...”.(Al Baqarah : 189)
•  يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ  ( البقرة : 215 )
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan ...”.(Al Baqarah : 215)
•  يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ  ( البقرة : 217 )
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang di bulan haram ...”.(Al Baqarah : 217)
•  يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ  ( البقرة : 219 )
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi ...”.(Al Baqarah : 219)
•  وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى  ( البقرة : 220 )
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim ...”.(Al Baqarah : 220)
•  وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ  ( البقرة : 222 )
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh ...”.(Al Baqarah : 222)
•  يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ  ( المائدة : 4)
“Mereka menanyakan kepadamu : “Apakah yang dihalalkan bagi mereka ?”.(Al Maidah : 4)
•  يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا  ( الأعراف : 187 )
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat : “Bilakah terjadinya ?”.(Al A’raf : 187)
•  يَسْأَلُونَكَ عَنِ اْلأَنْفَالِ  ( الأنفال : 1 )
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang ...”.(Al Anfal : 1)
•  وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ  ( الإسراء : 85 )
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh ...”.(Al Isra’ : 85)
•  وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ  ( الكهف : 83 )
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang Dzulqarnain ...”.(Al Kahfi : 83)
•  وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْجِبَالِ  ( طه : 105 )
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung ...”.(Thaahaa : 105)
Jadi kata Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما bahwa hanya ada sekitar dua belas saja pertanyaan sahabat kepada Rasulullah , dan ini karena adab mereka  kepada Rasulullah , padahal berapa banyak yang mereka ingin tanyakan kepada Rasulullah . Di samping itu juga karena mereka khawatir jangan sampai bertanya tidak pada tempatnya.
Dan terkadang para sahabat  (sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits) bertanya kepada Rasulullah  tentang hukum peristiwa-peristiwa sebelum peristiwa tersebut terjadi, tetapi untuk mereka amalkan di saat terjadinya, sebagaimana pertanyaan mereka : "Sesungguhnya besok kami akan bertemu musuh, padahal kami tidak membawa pisau, bolehkah kami menyembelih dengan bambu ?". Atau seperti pertanyaan sahabat kepada Rasulullah  tentang para penguasa yang datang sesudah beliau, tentang hukum mentaati dan memerangi penguasa-penguasa tersebut. Juga seperti pertanyaan Hudzaifah  yang bertanya tentang fitnah-fitnah dan apa yang harus dia perbuat di saat itu.
Imam Ibnu Rajab Al Hanbali berkata :" Dan tidaklah Nabi  memberikan keringanan dalam pertanyaan-pertanyaan kecuali untuk orang-orang Badui atau para utusan yang datang kepada beliau dan yang semisal dengan mereka, untuk menjinakkan hati mereka. Adapun orang-orang Muhajirin dan Anshar yang tinggal di Madinah yang keimanan di hati mereka telah kokoh dilarang untuk banyak bertanya” . Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an , beliau  berkata : “Aku telah tinggal bersama Rasulullah  di Madinah selama setahun. Tidak ada yang mencegahku untuk hijrah kecuali (dilarangnya) bertanya. Kebiasaan seseorang dari kami apabila dia telah hijrah, maka dia tidak akan bertanya kepada Rasulullah  “.
Anas bin Malik  mengatakan : “Kami sebenarnya sangat banyak ingin bertanya kepada Rasulullah , namun karena kewibawaan Rasulullah  dan karena adab kami kepada Rasulullah  maka kami tidak bertanya. Sehingga kami sangat senang ketika ada orang-orang Badui yang datang lalu bertanya kepada Rasulullah ”.
Jadi meskipun kadang orang Badui datang dengan pertanyaan yang tidak ada manfaatnya, namun kadang ada pertanyaan mereka yang mana para shahabat mengambil manfaat darinya. Para shahabat sendiri segan bertanya kepada Rasulullah , namun kalau ada orang Badui yang belum tahu adab dengan Rasulullah , macam-macam yang mereka tanyakan. Bahkan kadang orang Badui dimanfaatkan, mereka disuruh bertanya kepada Rasulullah . Karena segannya para shahabat kadang mereka menitip soal kepada orang Badui untuk ditanyakan kepada Rasulullah .
Imam Ibnu Rajab Al Hanbali رحمه الله berkata bahwa dalam masalah bertanya ini manusia terbagi tiga, yaitu :
(1) Ada ahlul hadits yang menutup sama sekali pintu pertanyaan, artinya tidak mau banyak bertanya bahkan boleh dikatakan meninggalkan sama sekali pertanyaan, karena kekhawatiran terjatuh dalam larangan ini. Namun orang seperti ini ilmunya tidak banyak manfaatnya, karena kadang ia hanya hamila fiqhi wa laisa bi faqiih (orang yang memikul (mendengarkan) fiqh namun dia tidak faqih/tidak memahaminya), sebagaimana sabda Rasulullah  :
رُبَّ حَـامِلُ فِقْهٍ غَيْرَ فَقِيْـهٍ ( رواه الترمذى و ابن حبان )
“Boleh jadi orang yang memikul (mendengarkan) fiqh namun dia tidak faqih (tidak memahaminya)”.(HSR. At Tirmidzy dan Ibnu Hibban)
Sehingga kadang seseorang tahu dalil, hafal Al Quran dan As Sunnah, namun ia tidak dapat mempraktekkannya (tidak tahu bagaimana pengamalan dalil-dalil tersebut) dalam kehidupan sehari-hari, dan orang yang seperti ini tercela.
(2) Ahlur Ra’yi (orang yang senantiasa mempergunakan akalnya). Apa saja ditanyakan meskipun yang tidak bermanfaat. Ini tentu saja juga hal yang tercela, bahkan ini lebih tercela daripada yang pertama. Karena orang seperti ini akan disibukkan dengan diskusi-diskusi tentang masalah-masalah yang tidak pernah disinggung dalam Al Quran dan As Sunnah, dan dia nantinya hanya mengetahui masalah-masalah yang sifatnya sekedar wawasan tanpa mengetahui Al Quran dan As Sunnah. Imam Malik رحمه الله dan para salaf lainnya sangat membenci yang seperti itu.
(3) Ahlul Hadits yang mengumpulkan antara ilmu dan amal. Dia bertanya dengan pertanyaan yang melahirkan amalan, bertanya untuk mengetahui bagaimana mengamalkan dalil-dalil yang telah dihafalkannya, dan inilah golongan yang terbaik.
Para salafush shalih sangat menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat. Mereka sedikit bertanya dan kadang juga tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepada mereka. Imam Malik رحمه الله ketika ditanya dengan sekian banyak pertanyaan, namun hanya sedikit yang dijawabnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa itu disebabkan karena banyak pertanyaan yang dilontarkan kepadanya tidak bermanfaat sehingga beliau memandang tidak perlu dijawab. Dan ketika ditanyakan mengapa beliau tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, beliau رحمه الله mengatakan : “Allah  sendiri berfirman :
 وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً  ( الإسراء : 85 )
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".(Al Isra’ : 85)
Artinya kalau kamu tidak butuh masalah itu maka tidak usah kamu tanyakan. Sehingga pernah para shahabat berkumpul, kemudian salah seorang diantara mereka ditanya tentang sesuatu, maka dilemparkan pertanyaan itu dari shahabat yang satu kepada shahabat lainnya sampai kembali kepada shahabat yang ditanya pertama kali. Itu karena mereka sangat menghindari menjawab hal-hal yang tidak bermanfaat. Namun selama pertanyaan itu bermanfaat maka wajib bagi kita menanyakannya dan hendaknya bagi yang mengetahuinya menjawabnya. Dan inilah ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang melahirkan amalan. Karena itu seorang muslim hendaknya mengkonsentrasikan diri menuntut ilmu yang bermanfaat, ilmu yang melahirkan amalan, yang jelas-jelas datang dari Al Quran dan As Sunnah. Dan inilah makna "وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ", (orang yang mendalam ilmunya), yaitu orang yang secara lahir mungkin sedikit ilmunya namun semua ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana firman Allah  :
 هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو اْلأَلْبَابِ  ( آل عمران : 7)
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.(Ali ‘Imran : 7)
Di sini Allah  membedakan antara orang yang suka bertanya dengan pertanyaan yang tidak bermanfaat dengan orang yang mendalam ilmunya. Allah  mengatakan bahwa “Orang yang ada kebengkokan dalam hatinya senantiasa membahas ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang tidak jelas)”, lalu tidak ada manfaatnya, Allah  diamkan, lalu mereka menyangka telah melakukan suatu kebaikan atau berilmu dengannya, padahal tidak. Allah  berfirman : “… Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."
Adapun orang-orang yang mendalam ilmunya, mereka mengatakan : “Kami cukup beriman saja kepada ayat-ayat mutasyabihat itu, kami tidak perlu membahasnya”. Lihatlah, orang yang Allah  katakan ilmunya mendalam adalah mereka yang tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang syubhat dan masalah-masalah yang memang didiamkan oleh Allah  dan tidak melahirkan amalan. Bukan orang-orang yang banyak diskusinya, banyak bicaranya, dan sebagainya. Orang yang mendalam ilmunya adalah orang yang tahu betul kapan ia mesti berbicara dan kapan ia mesti diam, yang berbicara dengan perkataan Allah  dan Rasul-Nya. Karenanya ulama kita mengatakan bahwa “Ar Raasikhuuna fil ‘ilmi” adalah :
الْمُتَوَاضِعُوْنَ للهِ وَ الْمُتَذَلِّلُوْنَ للهِ فيِ مَرْضَاتِهِ لاَ يَتَعَاطُوْنَ مَنْ فَوْقَهُمْ وَ لاَ يَحْقِرُوْنَ مَنْ دُوْنَهُمْ
“Orang-orang yang tawadhu’ kepada Allah, yang menghinakan dirinya di hadapan Allah dalam keridhoan-Nya, …..” ????
Itulah orang-orang yang dikatakan “Ar Raasikhuuna fil ‘ilmi”, dan itulah yang patut untuk kita teladani dan patut kita mengambil ilmu darinya. Diriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله ketika ditanya tentang orang yang bisa dijadikan mufti sesudah beliau, maka beliau رحمه الله berkata : “Abdul Wahhab bin Warraq”. Lalu dikatakan kepada beliau bahwa dia itu tidak luas ilmunya. Maka kata Imam Ahmad رحمه الله :
إِنَّـهُ رَجُلٌ صَالِحٌ مِثْـلُهُ يَوَفَّقُ لإِصَابَةِ الْحَقِّ
“Dia adalah lelaki yang shalih, orang yang seperti itu akan diberikan taufiq oleh Allah untuk senantiasa berada di dalam kebenaran".
Jadi walaupun dikatakan ilmunya tidak luas akan tetapi jika dia adalah orang yang shalih, maka patut kita mengambil darinya, karena Allah  akan memberikan taufiq kepadanya untuk menjalankan kebenaran.

 Ikhtilaf (perselisihan) mereka terhadap nabi-nabi mereka ( ختلافهم على أنبيائهم ا)
Yang dimaksudkan dengan ikhtilaf di sini adalah mukhaalafah, yaitu mereka menyelisihi ajaran nabi-nabi mereka. Dan inilah sebab kehancuran dan kebinasaan ummat-ummat terdahulu ketika mereka menyelisihi nabi-nabi mereka, dalam artian tidak menaati ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi Allah . Hal ini telah banyak diungkapkan oleh Allah  dalam Al Quran, tentang ummat-ummat terdahulu, terutama dari kalangan Bani Israil, kaum yang paling banyak diutus kepadanya para nabi. Bani Israil adalah kaum yang paling banyak diberikan nikmat oleh Allah , dan diantara nikmat terbesar yang Allah  berikan kepada mereka adalah diutusnya sekian banyak nabi kepada mereka. Sehingga Allah  menyebutkan minimal tiga kali dalam Al Quran tentang nikmat-nikmat yang seharusnya mereka syukuri. Allah  berfirman :
 يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ  ( البقرة :40 )
“Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk)”.(Al Baqarah : 40)
Juga dalam firman Allah 
 يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ  ( البقرة : 47 )
“Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat”.(Al Baqarah :47)
Demikian pula dalam firman Allah  :
 يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ  ( البقرة : 122 )
“Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Ku-anugerahkan kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu atas segala umat”.(Al Baqarah : 122)
Di sini Allah  mengingatkan kepada Bani Israil bahwa mereka telah diberikan ni’mat yang banyak dan diutamakan dari kaum-kaum yang ada pada zamannya, dan salah satu ni’mat yang terbesar adalah diutusnya banyak nabi kepada mereka. Pengutusan seorang nabi/rasul adalah ni’mat yang paling besar, karena dengannyalah kita dapat mengetahui hakikat kehidupan kita, bagaimana kita mengarungi kehidupan selama dunia ini, sehingga Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah رحمه الله mengatakan bahwa : “Hajat manusia kepada pengutusan rasul lebih besar daripada hajatnya kepada makan dan minum”. Jadi kalau diutus kepada Bani Israil rasul yang begitu banyak maka berarti Allah  telah memberikan nikmat yang banyak kepada mereka. Namun sangat disayangkan, kaum Bani Israil tidak menerima nikmat itu dengan sikap yang benar, tidak membalas nikmat itu dengan kesyukuran. Bahkan mereka mendurhakai nabi-nabi mereka, tidak mau menaati ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi mereka itu. Bahkan lebih dari itu, Allah  mengatakan bahwa Bani Israil adalah kaum yang membunuh nabi-nabi mereka. Mereka tidak mencukupkan dengan tidak mau mendengar, membangkang, bahkan lebih dari itu mereka sampai membunuh nabi-nabi mereka. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah  :
 وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ  ( البقرة : 61 )
“Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas”.(Al Baqarah : 61)
Juga dalam firman Allah  :
 إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ  ( آل عمران : 21 )
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih”. (Ali ‘Imran : 21)
Demikian pula dalam firman Allah  :
 ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلاَّ بِحَبْلٍ مِنَ اللهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللهِ وَيَقْتُلُونَ اْلأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ  ( آل عمران : 112 )
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”. (Ali ‘Imran : 112)
Dalam ayat-ayat di atas disebutkan bahwa sebab ditimpakannya kehinaan, kemurkaan dan adzab yang pedih kepada mereka, yaitu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah  dan membunuh nabi-nabi mereka.
Dan sebagaimana sabda Rasulullah  dalam hadits ini, maka yang dapat membinasakan ummat adalah ketika ummat tersebut mendurhakai rasul-rasul mereka. Dan jika kita telaah kisah-kisah ummat terdahulu, kita akan dapatkan kebenaran sabda Rasulullah  ini. Dimulai dari rasul yang pertama diutus ke muka bumi ini, yakni Nabi Nuh , kita akan dapati bahwa penyebab diadzabnya ummat beliau adalah ketika mereka mendurhakai ajaran yang dibawa oleh Nabi Nuh , sebagaimana yang Allah  sebutkan dalam surah Nuh. Surah ini mulai dari awal sampai akhir mengisahkan da’wah rasul yang pertama, Nabi Nuh , yang begitu sabar dalam menda’wahkan risalah ini kepada ummatnya, sampai-sampai Allah  mengatakan bahwa beliau diutus selama 950 tahun (QS. 29 : 14) kepada ummatnya. Dan beliau telah menempuh berbagai cara dalam da’wah, baik itu da’wah sirriyyah maupun jahriyyah, mendatangi kaumnya siang dan malam, namun mereka tetap membangkang. Akhirnya Allah  mengadzab mereka dengan air bah yang menghabiskan semua manusia yang ada kecuali orang-orang yang beriman. Allah  berfirman :
 مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُمْ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْصَارًا  ( نوح : 25 )
“Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah”. (Nuh : 25)
Maksud “disebabkan kesalahan-kesalahan mereka”, yaitu dosa-dosa mereka ketika mereka membangkang dari ajaran nabi Nuh . Sebagian ulama mengatakan bahwa maksud dari “mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka”, yaitu mereka dimasukkan ke dalam api yang ada di dalam lautan itu. Dan sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa mereka dimasukkan ke neraka. Ini menunjukan bahwa akibat pembangkangan suatu kaum terhadap dakwah seorang nabi adalah diadzabnya kaum tersebut.
Demikian pula mengenai kisah Nabi Shalih  dan kaumnya, sebagaimana yang disebutkan dalam surat Asy Syams : 11-15. Di ayat ini kaum Tsamud diuji dengan unta yang Allah  datangkan, lalu dikatakan kepada mereka bahwa unta ini datang dari Allah  maka hendaknya mereka menjaganya dengan baik dan menghormatinya, membiarkannya minum dan melakukan apa yang dia inginkan. Namun mereka mendustakannya, bukan hanya melarang unta itu minum, bahkan mereka menyembelih unta tersebut, karena kedustaan dan pembangkangan mereka terhadap nabi mereka, sehingga Allah  mengadzab mereka. Allah  berfirman :
 فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا  ( الشمس : 14 )
“Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah)”.(Asy Syams : 14)
Demikian pula di surat Hud dapat kita lihat kesudahan yang buruk bagi mereka yang membangkang kepada rasul-rasul mereka. Mulai di ayat 24 sampai ayat 100 dikisahkan tentang ummat-ummat terdahulu dan bagaimana akibat pembangkangan mereka kepada para nabi mereka, mulai nabi Nuh  sampai nabi Musa . Dan yang paling banyak membangkang adalah ummat Bani Israil dengan nabi mereka Musa . Dan hadits ini yang dimaksudkan lebih khusus kepada Bani Israil, yakni ummat Yahudi, yang mana nabi mereka Musa  adalah salah satu ulul azmi, namun mereka tidak menghormati rasul mereka yang mulia Musa , bahkan mereka mencelanya. Sebagaimana kisah ketika mereka melakukan kebiasaan yang buruk di antara mereka, yaitu mandi secara bersama-sama, namun Nabi Musa  tidak mau ikut bersama mereka. Lalu mereka menuduh bahwa Nabi Musa  berpenyakit kulit dan tidak mau dilihat aibnya tersebut. Karenanya Allah  berfirman :
 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ ءَاذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللهِ وَجِيهًا  ( الأحزاب : 69 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah”.(Al Ahzab : 69)
Ini adalah peringatan bagi kita untuk tidak menyerupai Bani Israil yang telah menyakiti Musa . Demikian pula ketika nabi Musa  mengajak Bani Israil untuk berperang, namun mereka justru mengatakan (sebagaimana dalam firman Allah  ) :
 قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلاَ إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ  ( المائدة : 24 )
“Mereka berkata: "Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja."(Al Maidah : 24)
Inilah pembangkangan mereka. Makanya ketika Nabi Muhammad  mengajak para shahabat untuk berperang, maka para shahabat bersegera mengatakan : “Ya Nabiyallah, kami tidak akan mengatakan sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada nabi mereka”.
Semua contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa pembangkangan terhadap nabi dan rasul adalah sebab kehancuran suatu ummat. Dan inilah yang Rasulullah  tahdzir (peringatkan) kepada kita agar tidak sampai jatuh kepada hal seperti itu. Dan hal ini tidak hanya berlaku kepada ummat yang terdahulu, akan tetapi ummat ini juga, ketika menyelisihi rasulnya maka akan tertimpa kehancuran sebagaimana yang ditimpakan oleh Allah  kepada ummat-ummat terdahulu. Allah  berfirman :
 ... فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ  ( النور : 63 )
“...Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”.(An Nuur : 63)
Sebagian ulama mengatakan bahwa “adzab yang pedih” di sini adalah adzab di dunia sebelum adzab di akhirat. Ayat ini menunjukkan bahwa bukan hanya ummat terdahulu saja yang dibinasakan akibat penentangan mereka terhadap ajaran nabi mereka, namun ummat ini juga ketika sudah meninggalkan sunnah Rasulullah  dan menyelisihi ajaran-ajaran beliau, maka akan dibinasakan oleh Allah . Kekufuran, kesyirikan, dan kenifaqan akan ditimpakan pada hati-hati kita, atau adzab yang pedih akan ditimpakan kepada kita di dunia ini. Dan contoh akibat yang buruk dari menyelisihi Rasulullah  telah Allah  perlihatkan pada perang Uhud, di zaman generasi yang terbaik. Allah  mencontohkan kepada kita sebagai pelajaran bagi kita yang datang sesudah mereka, bahwa kalau saja generasi terbaik akan merasakan akibat yang buruk dari penyelisihan mereka kepada sunnah atau perintah Rasulullah , maka kita juga akan terancam manakala menyelisihi perintah Rasulullah . Di perang Uhud Nabi  berpesan kepada pasukan pemanah yang ditugaskan menjaga bukit Uhud untuk tidak meninggalkan tempat mereka sebelum diizinkan oleh Rasulullah . Dan pada awal-awal peperangan, kaum muslimin mendapatkan kemenangan yang besar, bahkan bisa mengkocar-kacirkan pasukan kafir quraisy sehingga mereka lari dan meninggalkan harta mereka. Di saat itulah sebagian pasukan pemanah tergoda dengan harta tersebut, lalu mereka turun dari bukit dan lupa akan pesan Rasulullah . Walaupun mereka telah diingatkan oleh pemimpin pasukan pemanah, namun mereka tidak mengindahkannya dengan alasan bahwa orang kafir telah lari dan saatnya untuk mengambil apa yang ditinggalkan oleh mereka. Disitulah Allah  menunjukkan akibat buruk dari menyelisihi perintah Nabi , lalu Allah  dengan iradahnya yang kauni memperlihatkan pemandangan itu kepada Kholid bin Walid (waktu itu masih kafir), lalu dengan ketangkasannya dalam perang dia memamfaatkan kesempatan itu untuk menghancurkan pasukan kaum muslimin dari belakang. Disitulah kaum muslimin mendapatkan fitnah/cobaan yang begitu besar, sehingga banyak diantara mereka yang terbunuh, bahkan sampai timbul isu bahwa Nabi  telah terbunuh, namu isu tersebut tidak benar, tapi beliau  sampai terluka dan patah gigi seri beliau , dan disitulah beliau bersabda :
كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ ( رواه مسلم و الترمذي و أحمد عَنْ أَنَسٍ
“Bagaimana bisa beruntung suatu kaum yang melukai nabi mereka dan mematahkan ……”.(HR. Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad dari Anas )
Hadits ini menunjukkan bahwa menyelisihi rasul dan mendurhakainya adalah sebab kehancuran dan sebab tidak akan menangnya ummat ini. Dan sekaligus menunjukkan bahwa keberuntungan/kejayaan ummat ini sangat ditentukan oleh sejauh mana ketaatan kita kepada rasul kita. Dan kapan kita melakukan yang sebaliknya maka akan datang kepada kita kebinasaan sebagaimana kebinasaan yang telah ditimpakan kepada ummat-ummat terdahulu.
Allah  mengingatkan akan hal ini dalam banyak keterangan dan secara umum dalam setiap jihad Allah  mengingatkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada Allah  dan Rasulullah  agar kemenangan itu bisa tercapai, sebagaimana firman Allah  :
 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ . وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ وَاللهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ  ( الأنفال : 47 )
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan”.(Al Anfal : 45 – 47)
Jadi menaati Allah  dan Rasul-Nya adalah syarat mutlak untuk meraih kemenangan dan kejayaan ummat, dan sekaligus menunjukkan bahwa kapan kita tidak melakukan hal tersebut maka akan ditimpakan kepada kita kebinasaan sebagaimana ummat-ummat terdahulu.
Jadi hadits ini menyebutkan dua sebab binasanya ummat terdahulu, dan tentu saja ini bukan pembatasan (bukan hanya dua hal saja yang membinasakan ummat terdahulu), namun Rasulullah  menyebutkan di sini karena berhubungan dengan perkataan beliau sebelumnya. Jadi penyebab keruntuhan ummat terdahulu sebenarnya sangat banyak, akan tetapi Rasulullah  melarang kita tasyabbuh dengan dua masalah di hadits ini karena berkaitan dengan masalah yang beliau sebutkan pertama kali dalam hadits ini, atau karena berhubungan dengan sebab disebutkannya hadits ini, yaitu ketika Rasulullah  menyebutkan suatu masalah kemudian ada yang banyak bertanya, seakan-akan mau menggugat kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah . Rasulullah  mengatakan bahwa yang dapat mengakibatkan kebinasaan kita sebagaimana telah binasa ummat terdahulu adalah dua sebab, yaitu banyak bertanya (ketika telah ditetapkan suatu perintah lalu masih banyak pertanyaan yang seakan-akan menggugat kebijaksanaan tersebut) dan menyelisihi apa yang telah ditetapkan oleh nabi-nabi mereka. Apa yang telah ditetapkan tidak lagi perlu ditanyakan, tetapi sikap kita ketika telah ditetapkan suatu urusan hanyalah sami’naa wa atha’naa saja, tidak ada lagi kata-kata yang lain. Tidak perlu lagi bertanya sebagaimana pertanyaan orang-orang Yahudi, dan tidak perlu lagi menggugat kebijaksanaan Allah  dengan mengatakan “mengapa begini dan begitu”. Namun hendaknya langsung kita amalkan tanpa ada rasa keberatan sedikitpun. Sikap yang benar adalah sebagaimana yang Allah  firman-Nya :
 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا  ( الأحزاب : 36 )
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.(Al Ahzab : 36)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang mukmin apabila telah ditetapkan suatu urusan oleh Allah  dan Rasul-Nya, maka tidak ada lagi pilihan, dia langsung menerima tanpa banyak bertanya, apalagi sampai menyelisihi apa yang telah ditetapkan oleh Allah  dan Rasul-Nya. Dan ini lebih ditegaskan lagi oleh Allah  dalam firman-Nya :
 إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ  ( النور : 51 )
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.(An Nuur : 51)
إِنَّما (hanya saja) disini maknanya adalah pembatasan, yaitu bahwasanya perkataan orang-orang beriman hanyalah “Kami mendengar dan kami taat”. Dan ini sangat berbeda dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi, "سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا ", kami memang mendengar, tapi kami mau bermaksiat, dengan entengnya mereka mengatakan seperti itu. Karenanya Allah  berfirman dalam surah Al Anfaal :
 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ . وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ قَالُوا سَمِعْنَا وَهُمْ لاَ يَسْمَعُونَ  ( الأنفال : 20-21 )
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya), dan janganlah kamu menjadi sebagai orang-orang (munafik) yang berkata: "Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan”.(Al Anfal : 20 – 21)
“Mereka tidak mendengarkan”, artinya Allah  menafikan pendengaran hati mereka. Jadi mendengarkan dengan telinga saja tidak cukup dianggap mendengarkan. Karenanya Allah  mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang bisu dan tuli karena tidak mau mengambil manfaat dari apa yang telah dinasehatkan oleh Allah  dan Rasul-Nya.
Jadi dari hadits ini menunjukkan bagaimana sesungguhnya sifat seorang muslim. Ketika Allah  telah menetapkan perintah maka ia mengerjakan sekemampuannya, dan ketika datang larangan langsung ditinggalkan, tanpa banyak bertanya. Seakan-akan maksud Rasulullah , apa yang telah aku perintahkan maka kerjakanlah sekemampuanmu, dan apa yang telah aku larang maka tinggalkanlah, dan jangan kalian banyak bertanya dan jangan kalian menyelisihi, karena kapan kalian banyak bertanya dan menyelisihi maka kalian akan binasa sebagaimana telah binasa ummat-ummat terdahulu.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa imam hadits, yaitu :
1. Imam Bukhari dalam Shohihnya,
2. Imam Muslim dalam Shohihnya,
3. Imam An Nasaai dalam Sunannya,
4. Imam Ahmad dalam Musnadnya,
5. Imam Ibnu Hibban dalam Shohihnya - رحمهم الله أجمعين -
Adapun hadits dengan lafazh yang disebutkan diatas hanya dikeluarkan oleh Imam Muslim dari riwayat Az Zuhri dari Said bin Musayyib dan Abu Salamah yang keduanya meriwayatkan dari Abu Hurairah .



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP