..::::::..

Syarah Hadits Kesepuluh Arbain Nawawiyah

بسم الله الرحمن الرحيم
Hadits ke-10

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : ﴿ إِنَّ اللهَ تَعَالىَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّـبًا وَ إِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ تَعَالىَ :  يَآ أَ يُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّـيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا  ، وَقَالَ :  يَآ أَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَـيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ  . ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلىَ السَّمَاءِ يَا رَبُّ يَا رَبُّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْـبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنىَّ يُسْـتَجَابُ لَـهُ ﴾ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah  telah berkata : Bersabda Rasulullah  : “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada Rasul-Rasul, maka Allah telah berfirman : “Hai Rasul-Rasul, makanlah kamu dari semua yang baik-baik dan beramallah kamu dengan amalan yang shalih”(QS. 23:51). Dan telah berfirman : “Hai orang-orang beriman, makanlah kamu dari apa-apa yang baik yang telah Kami rezkikan kepadamu”(QS. 2 : 172).

Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang telah jauh perjalanannya, dia berambut kusut penuh dengan debu, dia menadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata : Wahai Tuhan, Wahai Tuhan, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan dengan barang yang haram, maka bagaimana ia akan diterima permintaannya ?”. Diriwayatkan Imam Muslim.

Keutamaan Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang penting karena memuat beberapa kaidah dalam Islam dan beberapa kaidah dalam hukum. Diantaranya menjelaskan tentang syarat diterimanya amalan seorang hamba dan pentingnya membersihkan semua amalan kita dari noda yang bisa merusaknya sehingga tidak diterima di sisi Allah .
Hadits ini juga menjelaskan tentang pentingnya memperhatikan masalah makanan, minuman dan pakaian dari yang halal dan baik, dan menjauhkannya dari yang haram dan buruk karena itu merupakan salah satu sebab dari tidak diterimanya do’a seseorang. Di samping itu juga menjelaskan tentang salah suatu ibadah yang paling tinggi nilainya di sisi Allah  yaitu do’a, sebagaimana sabda Rasulullah  :
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ( رواه أبو داود و الترمذي عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ )
“Do’a itu adalah ibadah”.(HSR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari An Nu’man bin Basyir )
Artinya ibadah yang paling utama adalah do'a. Hadits ini juga menjelaskan beberapa adab dalam berdo'a sekaligus menjelaskan kepada kita tentang beberapa hal yang dapat menyebabkan ditolaknya do’a. Karena itu hadits ini perlu kita pelajari dan kita pahami untuk diterimanya amalan-amalan kita.

Syarh Hadits
إِنَّ اللهَ تَعَالىَ طَيِّبٌ … 
“Sesungguhnya Allah itu Thoyyib (Baik)”. Kata Thoyyib dalam dalam Al-Qur'an mempunyai beberapa makna, diantaranya :
1. Sesuatu yang lezat, yang kita sukai atau senangi, sebagaimana firman Allah  :
 وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ …  ( النسآء : 3 )
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat ...”.(An Nisaa : 3)
Kata مَا طَابَ berarti sesuatu yang disukai atau disenangi.
2. Sesuatu yang halal, sebagaimana firman Allah  :
 قُلْ لاَ يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّـيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  ( المآئدة :100)
“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan".(Al Maidah : 100)
Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa : "Katakanlah tidak sama antara yang Al-Khabits (haram) dan yang thoyyib (halal)." Sesuatu yang halal dapat berupa hal yang disukai dan boleh jadi merupakan sesuatu hal yang tidak kita senangi, berbeda dengan makna pertama sehingga disebutkan oleh Allah  : "Bahkan kadang yang haram itu lebih mernarik bagimu".
Makna ini juga disebutkan oleh Allah  ketika menjelaskan tugas dari Nabi Muhammad , sebagaimana firman Allah  :
 الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ ءَامَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ  ( الأعراف : 157)
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”.(Al A’raf : 157)
3. Sesuatu yang suci dan bersih dari segala macam kekurangan dan segala aib, sebagaimana firman Allah  :
 الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّـيِّبَاتُ لِلطَّـيِّبِينَ وَالطَّـيِّبُونَ لِلطَّـيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيْمٌ  ( النور : 26 )
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)”.(An Nuur : 26)
Maksud dari “ الطيّب ” disini adalah yang bersih dan suci dari aib yakni segala macam bentuk kemaksiatan, dengan kata lain bukan ahli/pelaku maksiat baik dari laki-laki maupun perempuan.
Inilah 3 makna yang disebutkan oleh Allah  dalam Al Quran tentang makna “ الطيّب ”. Adapun makna “إن الله تعالى طيّب ” dalam hadits ini masuk pada makna yang ketiga yakni: “ مُقَدَّسٌ مُنَزَّهٌ عَنِ النَّـقَائِصِ وَ الْعُيُوْبِ كُلِّهَا ”(Sesungguhnya Allah  Maha Suci dan Maha Bersih dari segala macam bentuk kekurangan dan aib). Dan demikianlah Allah , yang Maha Suci, Maha Mulia dan jauh dari segala macam bentuk kekurangan. Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, yang tidak membutuhkan pasangan hidup, dan Dia  tidak mengantuk dan tidak tidur, dan tidak memiliki segala macam bentuk kekurangan.

لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّـبًا … 
“Allah tidak menerima kecuali yang thoyyib”. Sebagian ulama mengatakan bahwa makna thoyyib di sini khusus pada masalah sedekah/infaq, yaitu bahwa Allah  tidak menerima sedekah yang buruk yakni sedekah dari harta yang haram, kecuali infaq yang datang dari harta yang halal dengan cara yang halal.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa ini maknanya umum, yaitu apa saja amalan atau perkatan, itu barulah diterima oleh Allah  ketika perkatan atau amalan tersebut baik, dan baik di sini maknanya halal. Karena Allah  sudah menjelaskan bahwa amalan-amalan itu tidak diterima kalau dicampuri dengan kesyirikan, riya', ujub, kesombongan dan lainnya, yang mana itu merupakan suatu noda dari sebuah amalan.
Jadi makna thoyyib di sini adalah secara umum, bukan hanya khusus pada masalah sedekah saja, bahkan dalam seluruh amalan maka Allah  tidak akan menerimanya kecuali dia merupakan amalan-amalan yang bersih dari segala macam hal yang bisa merusak/mengotorinya.
Dan penggunaan thoyyib dalam makna ini juga sangat banyak. Karenanya seorang muslim hendaknya memperhatikan seluruh perkataannya, amalannya dan aqidahnya, hendaknya semuanya dalam keadaan bersih dan tidak dikotori oleh suatu apa pun. Ketika ia berkata hendaknya perkataan yang baik-baik. Allah  menggunakan kata-kata thoyyib dalam hal perkataan sebagaimana dalam firman Allah  :
 أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ  ( إبراهيم : 24 )
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”. (Ibrahim : 24)
Maka termasuk hal yang perlu kita perhatikan adalah perkatan, dimana yang diterima oleh Allah  hanya perkataan yang baik. Dan penggunaan thayyib dalam hal perkataan juga disebutkan dalam firman Allah  :
 إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ  ( فاطر : 10 )
“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”. (Fathir : 10)
Dan secara umum orang-orang mukmin itu disifatkan dengan thoyyib dalam semua perkatan, perbuatan dan aqidahnya, dan orang seperti itulah yang Allah  terima dan Allah  masukkan ke syurga-Nya, sebagaiman firman Allah  :
 وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ  ( الزمر : 73 )
“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya".(Az Zumar : 37)
“ طِبْتُمْ ” berarti kamu adalah orang yang baik dalam perkataan, perbuatan dan aqidah. Hal ini juga disebutkan dalam firman Allah  :
 الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ  ( النحل : 32 )
“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun`alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan".(An Nahl : 32)
Jadi untuk diterimanya amalan, perkataan dan aqidah kita maka hendaknya semua itu bersih dari segala macam noda-noda yang bisa menghalangi untuk diterimanya.

Selanjutnya perkataan “ لا يقبل ”(tidak diterima) disini apakah berarti amalan tersebut tidak sah ?. Kalau diperhatikan dalil-dalil dari hadits Rasulullah  yang menyatakan tidak diterima, maka tidak semuanya bermakna bahwa amalan tersebut batal dan tidak mencukupi dari kewajiban. Karena itu perkataan “ لا يقبل ” mempunyai beberapa makna :
1). Tidak diberikan pahala tapi sudah hilang kewajibannya, seperti yang disebutkan dalam sabda Rasulullah  :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَـهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَـهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَـيْلَةً ( رواه مسلم )
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu perkara maka tidak diterima sholatnya selama 40 malam” (HR. Muslim)
Makna tidak diterima di sini adalah tidak mendapatkan pahala, namun kewajiban shalatnya sudah terpenuhi. Dan meskipun ia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya tersebut, tetapi ia tetap harus mengerjakan sholat untuk menggugurkan kewajibannya.
Makna yang seperti ini juga disebutkan dalam sabda Rasulullah  :
إِذَا أَبَقَ الْعَبْدُ لَمْ تُقْبَلْ لَـهُ صَلاَةٌ ( رواه مسلم )
“Jika lari seorang hamba sahaya, maka tidak diterima shalatnya”. (HR. Muslim)
Demikian juga dalam sabda Rasulullah  :
أَيُّمَا امْرَأَةٍ تَطَـيَّبَتْ ثُمَّ خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ لِيُوجَدَ رِيحُهَا لَمْ يُقْبَلْ مِنْهَا صَلاَةٌ حَتَّى تَغْتَسِلَ اغْتِسَالَهَا مِنَ الْجَنَابَةِ ( رواه أحمد )
“Perempuan manapun yang memakai parfum kemudian keluar ke masjid (dengan tujuan) agar wanginya tercium orang lain, maka shalatnya tidak diterima sehingga dia mandi sebagaimana mandi janabat”.(HR. Ahmad)
2). Tidak berhak mendapat pujian atau tidak berhak mendapat do'a dari malaikat dan tidak dibanggakan oleh Allah  di hadapan malaikat-Nya. Karena seseorang yang melakukan kebaikan berhak mendapat pujian dari Allah  dan do’a dari malaikat, namun kadang ada orang yang beramal namun Allah  tidak menerima amalannya dalam artian Allah  tidak memberikan pujian kepadanya dan malaikatpun tidak mendo’akannya.
3). Tidak sah amalannya, seakan-akan dia belum beramal dan masih ada padanya kewajiban untuk melaksanakan amalan tersebut. Artinya dia tetap berdosa karena belum melaksakan kewajiban. Dan hal ini disepakati oleh ulama dalam masalah sedekah dari harta yang haram. Adapun untuk masalah hukum haji dengan harta yang haram atau hukum sholat dengan pakaian yang haram, maka terdapat khilaf dari ulama :
a). Sebagian ulama mengatakan bahwa amalannya tidak diterima dan dia berdosa, karena dianggap belum melakukan kewajiban dan berdosa karena melakukan perbuatan yang haram.
b). Sebagian ulama mengatakan bahwa amalannya tetap diterima namun tidak mendapatkan pahala dan dia berdosa karena telah melakukan perbuatan yang haram yaitu untuk mendapatkan harta yang haram tersebut.
Adapun dalam masalah sedekah, ulama kita sepakat bahwa sedekah yang datang dari barang yang haram maka tidak diterima sama sekali di sisi Allah , dan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Umar , Rasulullah  bersabda :
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ ( رواه مسلم )
“Allah tidak menerima sholat tanpa bersuci (wudhu) dan tidak menerima sedekah dari ghulul (harta rampasan perang yang diambil sebelum dibagi oleh Imam)”.(HR. Muslim)
Jadi sedekah dari barang yang haram bukan hanya tidak mendapatkan pahala di sisi Allah , tapi juga tidak sah sama sekali.
Namun ada sebagian ulama yang membedakan dalam masalah sedekah dari barang yang haram. Ibnu Rajab Al Hanbali رحمه الله mengatakan bahwa bersedekah dari barang yang haram ada dua macam :
1). Seorang yang bersedekah atas nama dirinya sendiri (misalnya seorang yang telah mencuri lalu dia bersedekah dengannya), maka dia berdosa karena mencuri dan tidak diterima sedekahnya sebab “إن الله تعالى طيب لا يقبل إلا طيبا ”.
2). Bersedekah dengan barang curian tetapi mengatasnamakan pemiliknya. Misalnya seorang yang telah mencuri kemudian bertobat, namun dia tidak tahu cara mengembalikan barang yang telah diambilnya tersebut karena pemiliknya sudah pergi jauh dan tidak ada sanak keluarganya. Maka untuk masalah ini terdapat khilaf :
• Sebagian ulama diantaranya Imam Syafi’i رحمه الله mengatakan bahwa dia harus menjaga terus harta tersebut dan jangan diinfakkan sampai datang pemiliknya.
• Menurut Imam Ahmad, Imam Malik dan jumhur ulama رحمهم الله bahwa boleh disedekahkan atas nama pemiliknya, maka pemiliknya mendapatkan pahala dan hal itu merupakan tobat bagi orang yang mencuri tersebut dan dia tidak berdosa lagi karena hal tersebut – Insya Allah -.
• Fudhail bin Iyadh رحمه الله mengatakan bahwa : Harta yang tidak diketahui pemiliknya, maka tidak boleh disedekahkan dan kalau khawatir tidak bisa menemui pemiliknya lagi maka sebaiknya dimusnahkan saja harta tersebut. Namun pendapat ini pendapat yang lemah karena memusnahkan suatu barang dilarang dalam Islam, dan masih lebih baik pendapat Imam Syafi’i dan yang lebih baik lagi pendapat jumhur. Wallahu A'lam
Masalah lain yang juga berkaitan adalah bersedekah dengan uang yang diperoleh dari bunga bank, yang mana bunga bank ini merupakan sesuatu yang buruk (riba). Menurut pendapat Syaikh Shaleh Al ‘Utsaimin رحمه الله bahwa bunga bank tersebut tidak boleh diinfakkan kecuali untuk hal-hal yang umum seperti untuk pembuatan jalan umum, pembuatan WC umum, dan tidak boleh diinfakkan untuk jalan-jalan fisabilillah seperti pembangunan masjid, sekolah (ma’had) dan sebagainya. Dan ini pun kalau diniatkan seperti pembangunan sarana umum, maka infak tersebut tetap tidak diterima di sisi Allah  karena dia dari barang yang buruk (haram) maka penggunaannya tadi sekedar pemanfaatan saja. Sebagian ulama menganggap bahwa sebaiknya dimusnahkan saja, namun sebenarnya dapat digunakan untuk pembangunan sarana umum sebagaimana telah disebutkan. Wallahu A'lam

إِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ … 
“Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada Rasul-Rasul”.
Ini menunjukkan bahwa hukum asal apa-apa yang diperintahkan/disyariatkan kepada Nabi , maka itu juga disyariatkan kepada kita, dan demikian pula apa-apa yang disyariatkan kepada istri-istri nabi  maka hal itu juga disyariatkan kepada kaum wanita secara kesuluruhan, selama tidak ada dalil yang menjelaskan bahwa itu adalah kekhususan bagi Nabi . Hukum asal itu berlaku untuk semua mu’min karena Nabi  didatangkan untuk menjadi uswah bagi manusia, sehingga seluruh perbuatannya dan perkataannya adalah berlaku juga kepada seluruh kaum mu’minin kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa itu merupakan kekhususan, seperti :
• Nikah beliau  dengan lebih dari 4 wanita (beliau memiliki 9 atau 11 istri) yang merupakan kekhususan bagi beliau. Dan beliau  telah menyuruh seorang yang baru masuk Islam dan memiliki 9 orang istri untuk mentalaq 5 istrinya dan tetap dengan 4 orang istrinya. Ini menunjukkan bahwa maksimal seorang laki-laki hanya boleh menikahi 4 wanita.
• Beliau berpuasa wishal (puasa terus-menerus tanpa berbuka), padahal Rasulullah  telah melarang orang untuk melakukannya, maka kita katakan bahwa ini khususiyah bagi Rasulullah .
Namun apa-apa yang beliau  diamkan atau beliau  tidak melarangnya, maka itu berlaku secara umum kepada kaum mukminin. Sama halnya dengan istri-istri nabi , dimana kadang ada orang yang mengatakan bahwa ayat hijab khusus bagi istri-istri nabi, padahal ini merupakan pendapat yang tidak benar sama sekali, karena hijab itu berlaku untuk seluruh kaum mukminat. Adapun dalil :
 يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْـتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ الـنِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ  ( الأحزاب : 32 )
"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa". (Al Ahzab : 32)
Maka maksud “tidak seperti wanita yang lain” dalam ayat ini adalah dari segi pahala dan bukan dari segi syariat, adapun dari segi syariat sama saja. Sebagaimana istri-istri nabi dilarang bertemu kecuali di balik hijab maka ini berlaku pula bagi kaum mukminat, karena Allah  mengatakan :
 وَإِذَا سَأَلْـتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ  ( الأحزاب : 53 )
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”.(Al Ahzab : 53)
Dan masalah “kesucian hati” itu berlaku bukan hanya kepada istri-istri nabi, tapi juga kepada seluruh kaum mukminin. Bahkan sebaliknya kita katakan bahwa sedangkan istri-istri nabi  saja diperintahkan yang demikian itu, maka lebih pantas lagi bagi wanita mu’minat untuk menjaga auratnya dan berbicara di balik hijab. Jadi syariat ini berlaku untuk umum kepada nabi  dan kaum mukminin kecuali ada dalil yang mengkhususkan untuk nabi .
Hadits ini juga menunjukkan bahwa syariat terdahulu juga merupakan syariat bagi kita. Dan masalah makanan yang halal ini juga berlaku pada nabi-nabi sebelum Rasulullah , sebab “مرسلين ” maknanya jamak, bukan hanya berlaku kepada Rasulullah .

فَقَالَ تَعَالىَ :  يَآ أَ يُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّـيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا  … 
“Maka Allah telah berfirman : “Hai Rasul-Rasul, makanlah kamu dari semua yang baik-baik dan beramallah kamu dengan amalan yang shalih”(QS. 23:51)
Maksud dari diperintahkannya untuk memakan dari yang thayyib (baik) karena Allah  tidak menerima kecuali yang baik. Artinya orang yang makan dari barang yang haram maka tidak diterima amalan-amalannya di sisi Allah .
Makanan merupakan suatu hal yang perlu kita perhatikan sebab Rasulullah  bersabda :
إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ الـنَّارُ أَوْلَى بِهِ ( رواه الترمذي )
“Sesungguhnya Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas baginya”

وَقَالَ :  يَآ أَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَـيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ …  
“Dan Allah telah berfirman : “Hai orang-orang beriman, makanlah kamu dari apa-apa yang baik yang telah Kami rezkikan kepadamu …”(QS. 2 : 172). Dalam lanjutan potongan ayat tersebut, Allah  berfirman :
 … وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ  ( البقرة : 172 )
“… Dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” (Al Baqarah : 172)
Dalam hadits ini Nabi  berkata bahwa : “Sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang mukmin sebagaimana memerintahkan kepada rasul-rasul”. Lalu dalam QS. 23 : 51, Allah  memerintahkan kepada rasul-rasul untuk makan dari yang baik-baik dan beramal yang sholih. Kemudian dalam QS. 2 : 172, Allah  memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk makan dari yang baik-baik yang telah direzkikan kepada mereka dan bersyukur kepada Allah . Di sini terdapat tafsiran ayat dengan ayat, yakni makna bersyukur ditafsirkan dengan amal sholih. Jadi hakikat syukur yang sesungguhnya adalah dengan mengerjakan amalan sholeh dan bukan hanya sekedar di lisan atau di hati saja. Dan amalan sholeh inilah bentuk kesyukuran yang setinggi-tingginya kepada Allah , Sebagaimana firman-Nya :
 … اعْمَلُوا ءَالَ دَاوُدَ شُكْرًا …  ( سبأ : 13 )
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah)”.(Saba’ : 13)
Di sini menunjukkan pentingnya memperhatikan masalah makanan yang halal. Dan Allah  telah memerintahkan kepada rasul-rasul-Nya untuk memakan makanan yang halal sebagaimana Allah  memerintahkan kepada kaum mukminin untuk makan makanan yang halal, karena hal tersebut dapat mempengaruhi diterimanya amalan seseorang.
Seorang ulama salaf, Abu Abdillah An-Nibaaji رحمه الله mengatakan bahwa ada 5 hal yang perlu diperhatikan untuk sempurnanya amalan seseorang diterima di sisi Allah , yaitu :
1. Mengenal Allah ( معرفة الله )
2. Mengenali kebenaran ( معرفة الحقّ )
3. Mengikhlaskan amalan untuk Allah ( إخلاص العمل لله )
4. Beramal di atas (mengikuti) sunnah ( العمل على السنة )
5. Makan yang halal ( أكل الحلال )
Jadi meskipun seseorang itu mengenal Allah , mengenal kebenaran, ikhlas dalam amalannya dan amalannya sesuai dengan sunnah, namun jika dia memakan dari makanan yang haram maka tidak diterima amalannya. Seperti orang yang ikhlas dalam shalatnya dan cara shalatnya mengikuti sunnah Rasulullah , namun jika makanannya dari yang haram maka tidak diterima shalatnya di sisi Allah , apakah itu maknanya tidak sah ataukah paling minimal tidak mendapat pahala di sisi Allah . Karena itulah jangan sampai kita hanya memperhatikan kaifiyat/tata cara suatu amalan saja tetapi hendaknya kita juga memperhatikan sumber makanan kita, karena makanan yang halal sangat mempengaruhi diterimanya amalan seseorang dan Allah  Thoyyib dan tidak menerima kecuali yang thayyib (baik).
Masalah makanan ini juga mempengaruhi diterima-tidaknya do’a seseorang di sisi Allah , dan inilah yang akan dijelaskan selanjutnya dalam hadits ini di mana ada seseorang yang berdo’a kepada Allah  dan dia telah melaksanakan adab-adab berdo’a, namun tidak memenuhi kriteria makanan yang halal sehingga amalannya ditolak di sisi Allah .

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلىَ السَّمَاءِ يَا رَبُّ يَا رَبُّ … 
“Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang telah jauh perjalanannya, dia berambut kusut penuh dengan debu, dia menadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata : Wahai Tuhan, Wahai Tuhan”.
Potongan hadits ini menjelaskan tentang sebab-sebab diterimanya do’a dan sebab-sebab ditolaknya do’a. Adapun adab-adab berdo’a dan sebab-sebab diterimanya do’a seseorang yang disebutkan dalam hadits ini :
1. Mengadakan perjalanan yang jauh/lama ( يطيل السفر ). Ini adalah salah satu penyebab diterimanya do’a, bahkan sekedar melakukan perjalanan saja walaupun tidak jauh. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ )) رواه ابن ماجه و الترمذي و أبو داود
Dari Abu Hurairah  berkata : Rasulullah  bersabda : "Ada 3 doa yang pasti diterima dan tidak diragukan lagi pasti diterima yaitu doa orang yang dizhalimi, doa orang yang mengadakan perjalanan, doa seorang tua kepada anaknya”. (HR. Ibnu Majah, At Tirmidzi dan Abu Dawud)
Dalam riwayat Imam At Tirmidzi disebutkan salah satu lafazh :
… وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
“… Dan do'a orang tua atas anaknya (artinya do'a kejelekan kepada anaknya)”
Dari hadits ini diketahui bahwa sekedar mengadakan perjalanan saja maka itu dapat menjadi penyebab diterima do’a, apalagi perjalanan yang sangat jauh dan dalam waktu yang sangat lama maka tentu saja sebab diterimanya do’a itu lebih besar lagi.
2. Penampilan yang lusuh dan berdebu ( أشعث أغبر ) dan menunjukkan kefakirannya dan kebutuhannya yang sangat besar kepada Allah . Sesungguhnya Allah  menyukai hamba-hamba-Nya yang menampakkan hajatnya dan kefakirannya di hadapan Allah , dan ini adalah salah satu sebab diterimanya do’a seseorang. Karena itulah salah satu sunnah dalam sholat istisqo’ adalah kaum muslimin yang mau meminta hujan keluar dengan berpakaian yang sangat sederhana untuk menunjukkan kefakirannya dan kebutuhannya kepada Allah  dan butuh ijabah dari Allah .
Dalam hadits tentang Arafah dimana Allah  membangga-banggakan hamba-hamba-Nya yang ada di padang Arafah, dan do’a Arafah adalah do’a yang pasti dikabulkan, disebutkan :
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (( إِنَّ اللهَ يُبَاهِي بِأَهْلِ عَرَفَاتٍ مَلاَ ئِكَةَ السَّمَاءِ فَيَقُوْلُ : انْظُرُوْا إِلَى عِبَادِيْ جَاءُوْنِي شُعْـثًا غُبْرًا )) رواه ابن حبان
“Dari Abu Hurairah  dari Rasulullah  bersabda :”Sesungguhnya Allah membanggakan orang-orang yang berada di Arafah di hadapan malaikat langit, Allah berfirman : Lihatlah kepada hamba-hamba-Ku mereka mendatangi-Ku dalam keadaan rambut yang kocar-kacir dan berdebu”.(HSR.. Ibnu Hibban)
Keadaan seperti ini (rambut yang kocar-kacir dan berdebu) adalah keadaan yang dicintai oleh Allah  karena menunjukkan kebutuhan yang sangat besar kepada Allah .
Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Ashabussunan, Rasulullah  bersabda :
رُبَّ أَشْعَثَ أَغْبَرَ ذِي طِمْرَيْنِ مَدْ فُوْعٌ بِالأَبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لأ بَرَّهُ
“Boleh saja ada seorang laki-laki yang rambutnya kocar-kacir dan pakaiannya berdebu,dia memakai 2 pakaian yang lusuh, dia ditolak dipintu-pintu (orang akan mengusirnya karena memandang dia orang jelata miskin yang tidak pantas memasuki rumah orang-oprang kaya), namun kalau dia bersumpah atas nama Allah maka Allah akan memenuhi sumpahnya”.
Maka boleh jadi ada orang yang tidak dihiraukan / dipandang enteng oleh manusia, namun ia adalah orang yang dekat di sisi Allah , sehingga ketika ia berdo’a kepada Allah  maka Allah  akan mengabulkannya. Jadi hadits-hadits seperti ini menunjukkan bahwa salah satu sebab diterimanya do’a seseorang adalah ketika dia menunjukkan kefakirannya dan kebutuhannya yang sangat besar kepada Allah .
3. Mengangkat kedua tangannya ke atas langit ( يمد يديه إلى السماء ). Ini merupakan salah satu adab dalam berdo’a. Hadits-hadits tentang disyariatkan mengangkat tangan ketika berdo'a sangat banyak. Bahkan ulama kita mengatakan hadits-hadits tentang mengangkat tangat ketika berdoa derajatnya mutawatir maknawi, sehingga tidak diragukan lagi keshohihannya. Hadits mutawatir ada 2 macam, yaitu mutawatir lafzhi (hadits mutawatir yang diriwayatkan dengan lafazh yang sama), misalnya :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ الـنَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas nama-ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka”.
Ada juga yang mutawatir maknawi (maknanya saja yang mutawatir) setelah dikumpulkan dari berbagai riwayat maka diambil kesimpulan bahwa maknanya sama. Seperti disyariatkanya mengangkat tangan ketika berdo’a sangat banyak hadits yang menunjukkan hal tersebut, tetapi dalam keadaan yang berbeda-beda, misalnya pernah Rasulullah  berdo’a dengan mengangkat tangannya ketika sholat istisqo, ketika perang badar, pada saat haji, dan ketika mendo’akan kebinasaan kepada orang musyrik. Jadi diriwayatkan dalam keadaan yang berbeda-beda dan cara mengangkat tangan yang berbeda, tetapi disimpulkan dari riwayat-riwayat tersebut bahwa disyariatkan mengankat tangan ketika berdo’a. Maka tidak perlu diragukan bahwa mengangkat tangan adalah salah satu adab berdo’a, dan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Salman Al Farisi , Rasulullah  bersabda :
إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ ( الترمذي و أبو داود و ابن ماجه و أحمد )
“Sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Pemalu dan Maha Pemurah , Allah malu jika seorang laki-laki menganakat kedua tangannya kepada-Nya lalu Allah menolak tangannya dalam keadaan kosong dan sia-sia”.(HR. At Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Artinya Allah  akan memberikan kepada orang yang berdo’a dengan mengangkat tangannya. Hadits ini merupakan dalil bahwa mengankat tangan adalah salah satu sebab diterimanya do’a seseorang.
Namun perlu diketahui bahwa cara/model Rasulullah  mengangkat tangan ketika berdo’a tersebut berbeda-beda, yaitu :
• Mengangkat satu jari saja (isyarat dengan telunjuknya) seperti dalam khutbah Jum'at. Sebagaimana hadits yang disebutkan oleh sahabat Umarah  ketika beliau melihat seorang khalifah - Bisyr bin Marwan – berdoa’a dengan mengangkat tangannya di atas mimbar ketika khutbah Jum'at, lalu beliau  berkata :
قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيُدَيَّتَيْنِ الْقُصَيَّرَتَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ هَكَذَا ( الترمذي و أبو داود )
“Semoga Allah merusakkan kedua tangan ini, sungguh saya melihat Rasulullah  tidak menambah dari melakukan seperti ini dengan tangannya (dan beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuknya)”.(HR. At Tirmidzi dan Abu Dawud)
• Dalam sholat Istisqo' Rasulullah  mengangkat kedua tangannya dengan tinggi sekali sampai dikatakan kelihatan putih kedua ketiak beliau . Sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي اْلاِسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ ( رواه البخاري و مسلم
“Dari Anas bin Malik  berkata : Adalah Rasulullah  tidak pernah mengangkat kedua tangannya pada sesuatu dalam do’anya kecuali pada istisqo’, dan sesungguhnya beliau mengangkat tangannya sampai kelihatan putih ketiaknya” (HR. Bukhari dan Muslim)
• Dalam do’a-do’a masalah (meminta hajat dan kebutuhan) sebagaimana disebutkan dari atsar Abdullah bin Abbas  bahwa mengangkat tangan dalam do'a permintaan sejajar dengan pundak seseorang, dan inilah yang paling banyak dilakukan selain pada sholat istisqo'.
Adapun dalam do'a-do'a yang sifatnya dzikir, maka tidak diriwayatkan bahwasanya dengan mengangkat kedua tangan. Karena do’a itu ada 2 macam, ada do’a masalah yakni do’a ketika kita meminta suatu hajat atau kebutuhan, maka disyariatkan padanya mengangkat tangan. Dan ada do’a ibadah yakni do’a-do’a yang sifatnya dzikir yang pada zhohirnya tidak mengangkat tangan. Misalnya do’a setelah wudhu yang merupakan do’a sekaligus dzikir.
Demikian pula dalam sholat banyak mengandung do'a, tapi dia adalah do’a yang sifatnya dzikir (do’a ibadah), karenanya tidak disyariatkan dalam shalat kita mengangkat tangan ketika berdo’a. Walaupun telah disebutkan bahwa dalil-dalil tentang mengangkat tangan ketika berdo’a sampai pada derajat mutawatir ma’nawi, namun ulama kita sudah mentanbih (mengingatkan) bahwa ada beberapa tempat yang tidak disyariatkan padanya untuk mengangkat kedua tangan ketika berdo'a di antaranya ketika khutbah Jum’at (kecuali dengan isyarat satu jari telunjuk saja) atau ketika setelah shalat fardhu, sebab tidak ada seorangpun sahabat yang menukilnya padahal shalat fardhu adalah perbuatan yang senantiasa dilakukan oleh para sahabat (5 kali sehari), dan para sahabat senantiasa menukil apa yang dilakukan oleh Rasulullah  di masjid sejak Rasulullah  masuk sampai keluarnya, dan mereka sangat bersemangat dalam menukil apa saja yang pernah dilakukan oleh Rasulullah  walaupun cuma sekali saja beliau  melakukannya, apalagi kalau yang senantiasa dilakukan berulang. Oleh karena itu kalau tidak pernah dinukil walaupun sekali, maka kita bisa mengetahui bahwa Rasulullah  tidak pernah melakukannya. Karena itulah kita katakan bahwa tidak disyariatkan mengangkat tangan ketika berdo’a setelah shalat fardhu, bahkan Imam Ibnu Qoyyim رحمه الله memandang bahwa tidak disyariatkan berdo’a setelah sholat fardhu.
4. Mengatakan “Wahai Rabb, Wahai Rabb” ( يا ربّ ، يا ربّ ), maksudnya dengan menyebutkan nama-nama Allah  dan puji-pujian kepada Allah . Dan merupakan salah satu adab berdo’a dengan memuji Allah  dengan nama-nama-Nya yang paling tinggi. Dan termasuk orang yang terburu-buru dalam berdo’a ketika langsung meminta dalam berdo’a tanpa mendahuluinya dengan puji-pujian kepada Allah . Karenanya merupakan adab berdo’a adalah memuji Allah  terlebih dahulu, lalu bersholawat kepada Rasulullah  dan berdo’a.
Dalam Al-Quran, hampir semua do’a dimulai dengan kata Rabb, dan ini menunjukkan sunnahnya memulai do'a dengan kata Rabb. Dan Imam Malik رحمه اللهsangat menyukai orang yang memulai berdoa dengan kata Rabb, karena kata beliau bahwa itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Al Qur’an.
Contoh beberapa do’a yang tercantum dalam Al Qur’an yang dimulai dengan kata-kata Rabb :
• رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ الـنَّارِ ( البقرة : 201 )
• رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ( البقرة : 286 )
• رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ ( آل عمران : 8 )
• رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ( آل عمران : 193 )
5. Adanya ilhah ( الإلحاح بالدعاء ), artinya senantiasa mengulang-ulangi permintaannya kepada Allah . Makna ilhah juga adalah kita meminta pada kesempatan ini, dan pada kesempatan esok kita terus mengulangi permintaan tersebut.
Abdullah bin Mas’ud  mengatakan bahwa Rasulullah  menyukai mengulangi sampai 3 kali baik ketika berdo’a maupun ketika memberi salam. Dan Allah  sangat menyukai orang-orang yang suka mengulang-ulangi (ilhah) dalam permintaannya. Karenanya merupakan suatu sunnah yaitu ilhah dalam berdo’a.
Selanjutnya dalam hadits ini disebutkan bahwa laki-laki tersebut telah mengumpulkan semua adab-adab dalam berdo’a tersebut, namun karena adanya sebab-sebab yang lain sehingga do’anya tidak diterima. Dan apabila penyebab untuk tidak diterimanya do’a tersebut lebih kuat, maka do’a tersebut tidak diterima meskipun telah terkumpul padanya adab-adab tersebut. Adapun sebab-sebab tidak diterimanya do’a tersebut sebagaimana disebutkan dalam lanjutan hadits :

وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْـبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنىَّ يُسْـتَجَابُ لَـهُ 
"Dan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan dengan barang yang haram, maka bagaimana ia akan diterima permintaannya ?”
Dalam hadits ini disebutkan empat penyebab tidak diterimanya do’a orang tersebut, yaitu : (1) Makannya datang dari yang haram, (2) Minumannya datang dari yang haram, (3) Pakaiannya datang dari yang haram, dan (4) Makanannya dari makanan-makanan yang diharamkan.
Kemudian hadits ini diakhiri dengan istifham ingkari “ فأنى يستجاب له “ (Maka bagaimana ia akan diterima permintaannya ?). Jadi walaupun telah terkumpul pada kita semua adab-adab berdo’a, namun apabila makanan kita dari yang haram, demikian pula minuman dan pakaian kita, maka itu bisa menghalangi diterimanya do’a kita, dan inilah makna “إن الله تعالى طيب لا يقبل إلا طيبا “. Disini Rasulullah  menyebutkan bahwa inilah kuncinya, dimana Allah  tidak akan menerima kecuali yang thoyyib (baik/halal) yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa merusak amalan tersebut.
Dan pada hadits ini Allah  memerintahkan kepada para rasul untuk makan makanan yang baik/halal demikian pula kepada orang-orang mu’min, dimana ini menunjukkan diperintahkannya makan makanan yang baik/halal karena makanan yang baik/halal tersebut bisa menjadi penyebab diterimanya do’a. Dan akibat dari tidak memperhatikan makanan yang halal adalah tidak diterimanya do’a kita, dan kalau do’a kita sudah tidak diterima maka apa lagi yang bisa kita harapkan dari Allah . Karena do’a adalah senjata kita dan dia adalah wasilah untuk mendapatkan yang kita inginkan dari Allah , sebagaimana yang disebutkan dalam suatu hadits bahwa :
الدُّعَاءُ سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ
“Do'a adalah senjatanya orang mukmin”
namun hadits ini dhoif (lemah), tetapi ulama kita mengatakan bahwa do’a memang senjata orang mukmin. Kalau sudah tidak ada do’a, maka bagaimana caranya orang mukmin bisa melawan musuh-musuhnya. Dan Rasulullah  setiap melakukan peperangan melakukan do’a terlebih dahulu, karena dia merupakan senjata yang bisa digunakan untuk melawan musuh.
Dalam beberapa hadits disebutkan hal-hal lain yang juga bisa menyebabkan tidak diterimanya do’a seseorang, yaitu terbiasa melakukan perbuatan maksiat, bahkan tidak menegur seseorang yang melakukan kemungkaran itu bisa menyebabkan tidak diterimanya do’a seseorang sebagaimana sabda Rasulullah  :
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَـتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَـتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَـيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ ( رواه الترمذي عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ )
“Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, hendaklah kalian beramar ma'ruf dan bernahi mungkar atau sudah dekat Allah akan menurunkan adzab-Nya kepada kalian kemudian kalian berdo'a kepada-Nya lalu Allah tidak menerima lagi doa kalian”.(HR Tirmidzi dari Hudzaifah bin Yaman )
Jadi Allah  tidak menerima do’a seseorang ketika dia meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar walaupun dia tidak mengerjakan perbuatan yang mungkar dan tetap melakukan perbuatan yang ma’ruf, namun itu semua hanya untuk dirinya sendiri lalu dia mengabaikan orang yang lainnya, maka hal tersebut bisa menyebabkan do’anya tidak diterima. Sebagaimana disebutkan dalam hadits
عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ رَضِي اللَّهُ عَنْها أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا فَزِعًا يَقُولُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدِ اقْتَرَبَ فُتِحَ الْيَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مِثْلُ هَذِهِ وَحَلَّقَ بِإِصْبَعِهِ اْلإِبْهَامِ وَالَّتِي تَلِيهَا قَالَتْ زَيْنَبُ بِنْتُ جَحْشٍ فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ ؟ قَالَ : نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ ( متفق عليه )
“Dari Zainab binti Jahsyi رضي الله عنها bahwasanya pada suatu hari Rasulullah  masuk ke rumahnya bagaikan orang ketakutan dan berkata : “ لا إله إلا الله , awaslah bangsa Arab dari bahaya yang telah hampir tiba, kini telah terbuka tirai bendungan Ya’juj dan Ma’juj sebesar lobang ini sambil melengkungkan jari telunjuk ke ibu jarinya”. Saya bertanya : “Wahai Rasulullah, Apakah kami akan dibisanakan padahal masih ada di antara kami orang-orang yang shalih ?”. Kata beliau  : Ya, ketika keburukan itu sudah meraja lela”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama kita mengatakan bahwa disini dikatakan “di antara kami ada orang shalihun” dan tidak dikatakan “di antara kami ada orang yang mushlihun (orang yang melakukan perbaikan)”, dan beda antara shalihun dan mushlihun yaitu bahwa orang yang shalihun maka keshalihannya untuk dirinya saja (hubungannya dengan Allah saja) dan tidak memperhatikan orang-orang yang lain, serta membiarkan masyarakat dalam kemungkarannya, sehingga mereka pun juga akan ikut dibinasakan oleh Allah sebagai adzab baginya meskipun di akhirat dia akan dibangkitkan dan diperhitungkan amalannya. Orang-orang yang seperti inilah (sebagaimana dalam hadits Hudzaifah  di atas) yang dikuatirkan ketika dia berdo’a maka tidak diterima lagi do’anya. Adapun orang yang mushlihun, yang beramar ma’ruf nahi mungkar, maka merekalah yang bisa diselamatkan dari adzab Allah . Dan ini juga makna dari firman Allah  :
 وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِـيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ  ( هود : 117 )
“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan”.(Huud : 117)
Wahab bin Munabbih رحمه الله (Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam 1 : 276) berkata :
مَثَلُ الَّذِيْ يَدْعُو بِغَيْرِ عَمَلٍ كَمَثَلِ الَّذِيْ يَرْمِي بَغَيْرِ وَتَرٍ
“Perumpamaan seseorang yang berdo’a tanpa beramal bagaikan seseorang yang melempar (panah) tanpa busur”
Artinya tidak akan sampai ke tujuannya. Dan beliau رحمه الله juga berkata bahwa : “Amal shalih menyampaikan do’a”. kemudian beliau membaca firman Allah  :
 إِلَـيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّـيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ  ( فاطر : 10 )
“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”.(Faathir : 10)
Jadi salah satu sebab yang bisa menyebabkan diterimanya do’a seseorang adalah dengan amalan shalih, artinya dengan kedekatannya kepada Allah . Sebaliknya kalau seseorang yang hanya kadang-kadang berdo’a atau hanya ketika ia butuh kepada Allah  lalu berdo’a, maka suatu saat tidak akan diperhatikan lagi do’anya, karena orang yang seperti ini ketika mereka berdo’a maka para malaikat akan mengatakan : “Ini suara yang tidak dikenal”. Adapun seorang yang sering berdo’a dan beribadah kepada Allah , maka ketika mereka berdo’a para malaikat akan mengatakan : “Ini adalah suara yang dikenal sebelumnya”, sehingga permintaanya langsung diberikan. Sama halnya dengan orang yang sering bertemu dengan kita (yang kita kenal), suatu saat ketika ia meminta tolong kepada kita maka begitu mudahnya kita memberikan pertolongan kepadanya, tetapi kalau ada orang yang tidak kita kenal apalagi kalau dia musuh kita, lalu dia butuh kepada kita maka sangat sulit/berat untuk kita memenuhi permintaannya. Dan bagi Allah  perumpamaan yang paling tinggi. Hal ini disebutkan oleh ulama kita dalam perumpamaan masalah do’a, dan dikatakan bahwa Ibnu Rajab رحمه الله menyebutkan atsar terhadap hal ini bahwa malaikat senantiasa mendengarkan terlebih dahulu ketika ada orang yang berdo’a, apakah suara itu dari orang yang sering beribadah kepada Allah  atau dari orang yang hanya meminta kalau ia butuh tapi tidak pernah beribadah kepada Allah .
Jadi salah satu yang bisa menyebabkan ditolaknya sebuah do’a adalah ketika do’a itu datang dari seorang yang tidak beribadah kepada Allah  dan dia bergelimang dengan kemaksiatan, atau orang yang tidak memperhatikan masalah makanan dan minumannya, dan dia makan dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah .
Inilah yang disebutkan oleh Rasulullah  tentang adab-adab berdo’a yang dikandung oleh hadits ini. Dan ini juga menunjukkan bahwa untuk diterimanya do’a kita maka hendaknya kita membersihkan diri kita dari hal-hal yang bisa merusakkan do’a tersebut. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pernah Rasulullah  mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash  sebagai sahabat yang terkenal dikabulkan do’anya : "Bersihkanlah makananmu dan do’amu akan diterima”. Namun sebenarnya hadits ini dhoif, tetapi maknanya benar bahwasanya seorang yang mau diterima do’anya maka hendaknya membersihkan makannnya dan minumannya serta semua yang melekat pada dirinya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah .

Takhrij Hadits
Hadits ini adalah hadits yang shohih yang diriwayatkan oleh beberapa Imam hadits :
1. Imam Muslim dalam Shohihnya,
2. Imam At Tirmidzi dalam Sunannya,
3. Imam Ahmad dalam Musnadnya,
4. Imam Ad Darimi dalam Sunannya.




Artikel Terkait:

2 komentar:

Unknown 17 Juli 2017 pukul 04.30  

masyaallah,,jazakumullahu khoiran...

Unknown 17 Juli 2017 pukul 07.58  

masyaallah,,jazakumullahu khoiran...

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP