..::::::..

Syarah Hadits Kelima Arbain Nawawiyah

Hadits - 5

الحَدِيْثُ الخَامِسُ
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللهِ  : مَنْ أَحْدَثَ فيِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ. وَفيِ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ :  مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ 
5. Dari Ummul Mu’minin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah berkata : Rasulullah  telah bersabda: “Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami, maka hal itu ditolak” Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dan dalam riwayat Imam Muslim : “Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan tersebut tertolak”.

Keutamaan Hadits
Hadits ini membahas kaidah tentang. Karena itu para ulama memasukkannya ke dalam hadits-hadits yang pokok dalam agama kita. syarat diterimanya suatu amalan Diantaranya adalah Imam Ahmad رحمه الله mengatakan bahwa hadits ini termasuk 3 hal yang pokok yakni :
(1) Mizan amalan batin (Niat)  H1 Arbain An-Nawawiah
(2) Mizan amalan zhohir (Amalan)  H5 Arbain An-Nawawiah
(3) Halal, haram dan syubhat H6 Arbain An-Nawawiah

Hadits ke-5 ini termasuk dari salah satu hadits pokok karena merupakan mizan bagi diterima tidaknya amalan zhohir. Diterima atau tidaknya suatu amalan dari segi lahir ditentukan oleh hadits ke-5 ini. Sedangkan untuk melihat batinnya suatu amalan berdasarkan niat sebagaimana yang telah dijelaskan pada H1 Arbain An-Nawawiah
Imam An-Nawawi رحمه الله mengatakan bahwa hadits ini sangat pantas untuk dihafal dan digunakan untuk membatilkan segala bentuk kemungkaran dan perlu disebarkan untuk menjelaskan kemungkaran/kebathilan dan apa saja yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah  .

BIOGRAFI SAHABAT PEROWI HADITS
Imam Nawawi رحمه الله berkata :
… عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ …
 “Dari Ummul Mukminin ...”

Maksud Ummul mukminin adalah ibu-ibu kaum mukminin yang merupakan laqab (gelar) untuk setiap istri-istri nabi, berdasarkan Qs 33: 6

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka..”

Ini kemudian menjadi dalil untuk mengutamakan seluruh istri nabi sebagai ibu-ibu kaum mukminin dan sekaligus merupakan dalil bagi para ulama untuk menggelari istri Nabi dengan sebutan Ummul Mukminin. Bahkan telah diharamkan untuk menikahi mereka setelah wafat Rasulullah  walaupun di antara mereka masih mempunyai usia yang masih pantas untuk menikah. Ini menunjukkan pengagungan Allah  kepada Rasulullah . Sebagaimana yang ditegaskan Allah  dalam Qs 33: 53

وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا
"Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat".
Adapun untuk Rasulullah  maka kita katakan sebagai Abul Mukminin, karena beliau diibaratkan seorang ayah yang sangat sayang kepada orang mukmin sebagaimana dalam Qs 9 : 128
﴿ لقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ ﴾
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu dan sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)bagimu.Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Namun terdapat syubhat bagi sebagian orang dengan firman Allah  dalam Qs 33: 40.
﴿ مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا﴾
Muhammad itu bukanlah sekali-kali bapak seorang di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi dan adalah Allah  Maha Mengetahui atas segala sesuatu.”
Maka dijawab oleh ulama kita bahwa maksud ayat ini bahwa Rasulullah  bukanlah bapak dari segi nasab sebab memang beliau tidak mempunyai anak laki-laki yang hidup sampai baligh.
Jadi kesimpulannya nabi kita Muhammad  digelari dengan Abul mu'minin adapun Nabi Adam  dikatakan Abul Basyar (Bapak dari seluruh manusia).
Laqab artinya gelar seperti halnya Amirul Mukminin, Ash-Shiddiq, Al-Faruq dan lain-lain.

… أُمِّ عَبْدِ اللهِ …
 “...Ummi Abdillah . . . “
Ummu Abdullah merupakan kunniyah beliau . Kebanyakan kuniyah disandarkan pada nama anak, seperti Rasulullah  disebut Abul Qosim yakni disandarkan pada nama anak beliau yang meninggal. Namun boleh juga kunniyah ini tidak disandarkan dari nama anak sebagaimana Abu Hurairah, dan Abu Bakr. Kunniyah merupakan salah satu sunnah Rasulullah  dan bukan merupakan kebiasaan orang Arab saja, seperti halnya yang banyak dicontohkan oleh para ulama kita Imam Al-Qurthubi, Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan ulama-ulama lainnya yang mempunyai kunniyah padahal mereka bukanlah orang Arab. Dalilnya dari sabda Rasulullah  yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik  :

سَمُّوا بِاسْمِي وَلَا تَكَنَّوْا بِكُنْيَتِي
“Bernamalah dengan namaku tapi jangan berkunniyah dengan kunniyahku”(HR. Bukhari dan Muslim))
Maksud hadits ini bahwa Rasulullah  menyuruh untuk memilih berkuniyah dengan nama beliau (Abul Qosim) atau bernama dengan nama beliau tetapi tidak boleh digabungkan kedua-duanya yaitu bernama dengan nama beliau lalu berkuniyah dengan kuniyah beliau pula. Jadi hendaknya seseorang memilih salah satunya saja.Wallohu A'lam
Kunniyah ini disyariatkan dan tidak perlu seseorang menunggu sampai menikah apalagi sampai mempunyai anak. Sebab Aisyah رضي الله عنها sendiri tetap memiliki kunniyah walaupun tidak mempunyai anak sampai meninggalnya Rasulullah .
Kunniyah beliau diminta sendiri oleh Aisyah رضي الله عنهاkepada Rasulullah  sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ كُلُّ صَوَاحِبِي لَهُنَّ كُنًى قَالَ فَاكْتَنِي بِابْنِكِ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْن اخْتُهَا قَالَ مُسَدَّدٌ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ فَكَانَتْ تُكَنَّى بِأُمِّ عَبْدِ اللَّهِ (رواه أبو داود و أحمد)
Dari Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا beliau berkata : Wahai Rasulullah semua rekanku ( istri-istrimu) berkunniyah, maka Rasulullah  bersabda : “Berkunniyahlah dengan nama anakmu Abdullah (maksudnya anak saudaramu)". Musaddad (salah seorang perowi mengatakan) : yaitu Abdullah bin Zubair, maka sejak itu beliau berkuniyah dengan Ummu Abdillah”
Abdullah adalah keponakan beliau yakni anak dari saudara kandungnya sendiri Asma binti Abu Bakar yang bersuamikan sahabat yang mulia Zubair bin Awwam, dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam adalah sahabat yang pertama kali lahir di Madinah dari kalangan Muhajirin .
Dapat kita lihat contoh ulama salaf yang berkunniyah meski mereka tidak mempunyai anak di antaranya :
1. Yahya bin Syaraf An-Nawawi yang berkunniah dengan Abu Zakariya padahal beliau tidak mempunyai anak, bahkan belum beristri hingga meninggalnya pada usia 46 tahun karena kesibukan beliau dalam menuntut ilmu.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkunniyah dengan Abul Abbas padahal beliau juga belum menikah hingga wafatnya.
3. Imamul Mufassirin (Imamnya para ahli tafsir) Ibnu Jarir Ath-Thobari, yang berkuniyah Abu Ja’far beliau juga belum menikah hingga wafatnya
Bahkan seorang anak kecil pun, dibolehkan berkunniyah. Dalam sebuah riwayat, adik Anas bin Malik  ketika masih kecil sangat suka bermain dengan burungnya yang bernama Nughair. Rasulullah  pernah melihatnya bermain, lalu kata beliau :
يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ
“Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh Nughair?”(HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan telah menjadi kebiasaan dari orang Arab kemudian untuk memberi kunniyah pada anaknya sejak kecil.

 … عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا …
 “...Aisyah رضي الله عنها..”
Aisyah رضي الله عنهاmerupakan wanita mulia, dari segi ilmu maka tak ada khilaf di antara ulama bahwa beliau adalah wanita yang paling faqih, sedang dari segi keutamaan maka terjadi ikhtilaf dengan istri Rasulullah  yang pertama Khadijah binti Khuwailid رضي الله عنها.
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah رحمه الله menyebutkan ada 3 pendapat tentang siapa yang lebih utama di antara 2 wanita ini :
1. Sebagian mengutamakan Khadijah.
Pada beberapa riwayat ada isyarat bahwasanya Khadijah lebih afdhal daripada Aisyah, diantaranya riwayat berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ  مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيجَةَ وَمَا رَأَيْتُهَا وَلَكِنْ كَانَ النَّبِيُّ  يُكْثِرُ ذِكْرَهَا وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يُقَطِّعُهَا أَعْضَاءً ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيجَةَ فَرُبَّمَا قُلْتُ لَهُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلَّا خَدِيجَةُ فَيَقُولُ إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
Dari Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا berkata : "Saya tidak pernah cemburu kepada seorang pun diantara istri-istri Nabi  sebagaimana kecemburuanku kepada Khadijah padahal saya belum pernah melihatnya, akan tetapi Nabi  sering menyebutnya dan kadang jika beliau menyembelih kambing lalu memotong-motongnya kemudian beliau mengirimkan kepada teman-teman Khadijah. Kadang aku katakan kepada beliau : "Seakan-akan tidak ada seorang pun wanita di dunia ini kecuali Khadijah" Maka beliau berkata : "Khadijah (dulu) telah melakukan ini dan itu dan aku mempunyai anak darinya"(HR. Bukhari dan Muslim)
Ini merupakan isyarat bahwa Khadijah adalah wanita yang paling afdhol.
2. Sebagian lagi mengutamakan Aisyah, sebagaimana hadits Rasulullah  dari shahabat Anas bin Malik :
فَضْلُ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
"Keutamaan Aisyah dibandingkan seluruh wanita adalah sama dengan keutamaan tsarid dibandingkan seluruh jenis makanan . (Muttafaqqun alaihi)
Tsarid merupakan sejenis roti yang dimakan dengan daging yang sangat digemari di Arab.
Aisyah رضي الله عنها juga banyak disebutkan fadhilahnya bahkan oleh Allah  sendiri dalam Qs 24 : 11-26 ketika Aisyah dituduh telah berzina dengan salah seorang sahabat maka Allah  menurunkan ayat-ayat tersebut untuk membersihkan Aisyah dari tuduhan keji tersebut.
3. Ibnu Taimiyah memilih untuk tawaqquf (tidak mentarjih) .
Kata Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah bahwasanya : saya bertanya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah siapa yang lebih afdhal antara Aisyah dan Khadijah beliau mengatakan bahwa Khadijah sangat berjasa pada Islam dan Rasulullah  pada awal perjalanan dakwah sedangkan Aisyah mempunyai jasa yang sangat besar pada akhir perjalanan dakwah dan dalam menyebarkan hukum dari islam. Dan beliau diam setelah itu seakan-akan beliau menyatakan bahwa keduanya mempunyai keutamaan dan sulit ditarjih siapa yang lebih afdhol.

Diantara keutamaan Aisyah yang lain :
- Beliau juga adalah seorang faqihah dan banyak meriwayatkan hadits. Beliau adalah satu-satunya wanita yang paling banyak meriwayatkan hadits dan berada pada peringkat keempat setelah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan Anas bin Malik . Bahkan tidak hanya meriwayatkan hadits namun beliau juga faqihah/memahaminya sehingga setelah wafat Rasulullah  maka para sahabat banyak yang datang untuk belajar kepada Aisyah Ummul mukminin.
- Aisyah banyak mengutip beberapa hal di rumah beliau yang tidak mungkin diketahui oleh sahabat lain.



SYARAH HADITS
 من …
 “... Barangsiapa....”
merupakan lafazh umum ( siapa saja )
 …أحد ث …
 “ ...mengada-adakan sesuatu...”
berarti sesuatu yang baru maksudnya membuat perkara baru
Perkara yang dimaksud adalah sesuatu yang ukhrawi maupun duniawi ( di sini masih bersifat umum lalu dikhususkan pada masalah Ad-Dien pada lafazh berikutnya)
 …فى أمر نا…
 “...dalam urusan kami...”
Urusan yang dimaksud adalah urusan agama / syariat kami (Islam) sebab urusan yang paling penting adalah agama. Sebagaimana dikatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim رحمه الله :
 اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي ..ٍّ
“Perbaikilah Ad-Dienku ini karena Ad-Dienku ini adalah pokok dari urusanku”
dan dari hadits Muadz  (H 29 Arbain An-Nawawi) :
 رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ 
“Pokok dari urusan adalah Islam”(HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah)
 …ما ليس منه …
 “ ... yang bukan darinya...”
Bukan bagian dari agama maksudnya: belum pernah dicontohkan dan tidak disebutkan oleh Allah  maka semua itu bukan bagian dari Ad-Dien ini.
Sehingga makna dari : “Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam agama ini” adalah bahwa segala sesuatu yang tidak pernah dicontohkan dan tidak pernah disebutkan oleh Allah  maka semua itu bukan bagian dari agama ini. Maka apa saja yang hendak dimasukkan dalam agama ini maka hal itu tertolak.
Sebagaimana yang telah ditegaskan Allah  dalam Qs 5 : 3

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الْإِسْلَامَ دِينًا ﴾ ﴿…
"...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah kuridhoi Islam itu sebagai agama bagimu".
Ayat ini didahului dengan menyebutkan hal-hal yang diharamkan, kemudian dilanjutkan dengan perkataan “Pada hari ini” yaitu saat turunnya ayat ini (9 Dzulhijjah 10 H yaitu pada saat Rasulullah  melaksanakan Haji Wada’ di Padang Arafah. Ayat ini digolongkan ke dalam surat Madaniyah sebab turun setelah periode Hijrah. Sedangkan jika ayat Makkiyah artinya turun sebelum periode hijrah. Jadi pengelompokannya berdasarkan waktu turunnya dan bukan tempat turunnya. Insya Allah pendapat ini adalah pendapat yang rajih.
Ayat ini dikatakan oleh para ulama sebagai ayat yang paling terakhir turun berkaitan dengan syariat/hukum-hukum. Karena Allah  sendiri telah menyatakan “...Telah Kusempurnakan ...” artinya tidak ada lagi hukum-hukum yang turun setelah hari itu. Ayat ini sekaligus menunjukkan nikmat yang sangat besar bagi pemeluk agama ini. Dan hal ini pun diakui oleh seorang Yahudi yang berkata kepada Umar  :
“Ada satu ayat dalam Al-Qur’an kalian yang sekiranya turun kepada kami maka kami akan merayakan saat tersebut” Ayat yang mereka maksud adalah Qs 5: 3 tadi.
Adapun ayat yang terakhir turun secara umum/mutlak maka Insya Allah yang benar adalah Qs 2 : 281.
﴿ وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ ﴾
" Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)".
Imam Malik رحمه الله berkata mengenai ayat ini (QS.Al Maaidah:3):
“ Karenanya apa-apa yang pada hari itu tidak termasuk bagian dari Ad-Dien, tidak mungkin pada hari ini menjadi bagian dari ad-dien “
Maksudnya apa-apa yang tidak disyariatkan pada ketika turunnya ayat ini (9 Dzulhijjah 10 H) tidak mungkin bisa dikatakan sesuatu yang baik pada hari ini dan bukan bagian dari Ad-Dien ini dan inilah dikenal dengan nama bid’ah. Perkataan tersebut diucapkan pada zaman beliau (beliaui wafat tahun 179 H). Dari sinilah maka dikatakan hadits ini adalah timbangan /mizan zhohirnya amalan untuk diterima atau ditolak.
 …فهو رد.
 “.. maka itu tertolak.”
رد Berarti مردود artinya sesuatu yang tertolak
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Namun muncul syubhat pada sebagian orang yang mengira bahwa hadits ini hanya mengancam orang yang pertama kali membuat bid’ah dan tidak ditujukan pada orang yang hanya mengikuti perbuatan bid’ah tersebut dengan alasan kata ahdatsa bermakna yang pertama kali membuatnya. Tetapi ini merupakan hujjah yang lemah. Karena dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim lebih menjelaskan makna dari apa yang dikatakan oleh Rasulullah , yakni :
 …من عمل عملا لبس عليه أمرنا فهو رد…
“ Barangsiapa melakukan sesuatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka hal itu tertolak

Maka barangsiapa yang melakukan amalan apakah dia mengada-adakannya atau sekedar mengikutinya maka amalan itu tertolak. Hadits ini yang paling jelas menunjukkan bahwa semua bid’ah itu tertolak dan sesat. Namun kembali muncul syubhat yang dikemukakan oleh orang-orang yang mencoba menghiasi amalan mereka dengan amalan bid’ah seakan-akan amalan itu tidak mengapa dilakukan bahkan disyariatkan.
Kelompok ini membagi Bid’ah ini menjadi 2 bagian :
1. Bid’ah Sayyiah
2. Bid’ah Hasanah
Untuk menjawab syubhat ini akan dibahas dengan kitab Allum'ah fir raddi ‘ala muhassinil bida’ .
 … من عمل عملا…
 “…Barangsiapa yang beramal...”

Amalan dapat dibagi 2 :
A. Al Ibadat
B. Al Muamalat
Dan keduanya masuk dalam hadits ini.

A. IBADAT
Kaidah :"ا لأ صْلُ في العِبا دَةِ المنع \ الحظر " maknanya hukum asal ibadah-ibadah adalah tidak boleh/ dilarang sampai ada dalil yang memerintahkanya dan menunjukkan bahwa hal itu disyariatkan.
Hal inilah yang harus diperhatikan bahwa ibadah yang dikerjakan yang tidak disyariatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maka tertolak. Bahkan pelakunya terutama orang yang pertama kali mengadakannya dianggap seakan-akan mengangkat dirinya sebagai Ilah-Ilah selain Allah  Dan itu disamakan dengan thogut yang membuat ajaran/agama baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Allah  dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah  dalam Qs Asy-Syura :21

﴿ أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴾
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.”

Mereka yang membuat syariat baru dianggap menjadi sekutu-sekutu bagi Allah  dan ini sangat berbahaya karena mereka berusaha menandingi Allah  dalam masalah uluhiyyah karena ibadah itu merupakan kekhususan bagi Allah 

Contohnya :
1. Orang –orang yang bertaqarrub ilallah dengan hal-hal yang tidak disyariatkan dalam agama ini dengan menambah-nambah ibadah.
Seperti bertaqarrub dengan mendengarkan musik dan tari-tarian seperti yang dilakukan oleh sebagian orang/kelompok yang mau saja bertaqarrub dengan hal-hal yang diharamkan tersebut. Kelompok ini seperti Ahlu shufiyah (orang-orang tasawwuf) yang menjadikan musik-musik/ tari-tarian sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah .
Mereka menyatakan bahwa tujuan beribadah kepada Allah  adalah bagaimana berkonsentrasi penuh dengan Allah  dan mereka mengatakan kadang mendengarkan musik lebih mendatangkan kenikmatan dan kekhusyukan kepada Allah . Hal ini dikatakan sendiri oleh salah seorang tokoh mereka yakni Imam Al-Ghazali رحمه الله dalam kitabnya Ihya Ulumuddin bahwa mendengarkan musik itu kadang lebih mendatangkan kekhusyukan dibandingkan mendengarkan Al-Qur’an. Dan perkataan ini merupakan kemungkaran yang besar !!Wallohul Musta'an
Dalam masalah ibadah terbagi atas 2 masalah:
(1) Amalan tersebut merupakan suatu ibadah yang diperintahkan pada jenis ibadah tertentu tetapi tidak pada jenis ibadah yang lain. Seperti :
- tidak memakai tutup kepala disyariatkan bagi laki-laki dalam ihram.
- berdiri pada saat adzan dan iqamat pada saat sholat.
Dan kedua hal ini tidak dapat diqiyaskan pada ibadah jenis lain,sehingga:
- tidak boleh seseorang mengatakan lebih afdhal kita tidak pernah memakai tutup kepala sama sekali dalam ibadah sholat misalnya dengan menjadikan ibadah umrah dan haji sebagai dalilnya.
- tidak boleh seseorang selalu mau berdiri dengan mengatakan bahwa ia sedang beribadah, misalnya dalam pengajian ia berdiri terus dan mengatakan hal ini lebih afdhol karena berdalilkan bahwa hal ini dilakukan di dalam sholat dan adzan/iqomah.
Jadi intinya tidak ada qiyas dalam model ibadah seperti ini.
Hal ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah  sebagaimana yang diceritakan dalam hadits Ibnu Abbas :
بَيْنَا النَّبِيُّ  يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوا أَبُو إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلَا يَقْعُدَ وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ فَقَالَ النَّبِيُّ  مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
“Ketika Rasulullah  sedang berkhutbah(dalam beberapa riwayat dikatakan sebagai khutbah Jum’at). Ada seseorang yang berdiri( jauh dan ia tidak bernaung dan ia berada di bawah terik matahari dan tidak mau duduk). . Lalu Rasulullah  bertanya tentang orang itu. Lalu para sahabat memberi tahu bahwa orang itu adalah Abu Israil dan ia sudah bernazar tidak mau duduk,tidak berbicara,tidak bernaung dan ia melakukan puasa. Lalu Rasulullah  bersabda : “Suruh ia berbicara, bernaung ,duduk dan menyempurnakan shaumnya.” (HR Bukhari dan Abu Dawud)

Menurut sebagian ulama kadang tidak bernaung memang afdhol tetapi pada saat ibadah umrah/haji. Berdiri juga afdhol tetapi dalam ibadah sholat dan wukuf di Arafah. Ketika berdoa sementara wukuf Rasulullah  senantiasa berdiri. Ini disunnahkan tetapi tidak diqiyaskan ke ibadah-ibadah yang lain. Maka jika ada seseorang yang tidak mau duduk sama sekali, tidak mau bernaung dan berbicara dengan berdasarkan hadits-hadits tentang umrah/haji/sholat maka itu sudah jatuh ke dalam bid’ah.

(2) Ada juga amalan yang diperintahkan namun seseorang mau menambah dari apa yang disyariatkan dalam ibadah tersebut. Ini dinamakan bid’ah idhafiyah (bid’ah tambahan dari sebuah ibadah yang disyariatkan). Artinya asal hukumnya sudah disyariatkan lalu ia mau menambah-nambah modelnya dan kaifiatnya (tata caranya). Maka hal ini termasuk bid’ah dan tidak diterima sama sekali dan tidak boleh dikatakan makin banyak makin baik.
Contoh :
- seseorang yang melaksanakan sholat Maghrib 4 rakaat maka sholatnya tersebut batal. Padahal hukum asal sholat Maghrib itu disyaratkan dengan 3 rakaat, tetapi ketika menambah atau mengubah modelnya maka jatuhlah pada yang dinamakan bid'ah.
- Berdo’a dengan model-model tertentu maka juga termasuk bid’ah.

Dalam masalah ini kadang ada yang membatalkan amalan tersebut dan kadang ada yang berpendapat hanya mengurangi pahalanya.
Contoh yang membatalkan amalan : menambah rakaat. Tetapi kadang ada juga yang berpendapat diterima amalannya walaupun menambah sebagaimana tambahan wudhu menurut pendapat Ibnu Rajab. Beliau mengatakan wudhunya tetap shah meskipun tidak disyariatkan. Zhohirnya semua tambahan itu tertolak namun -wallahu a’lam- mengapa dibedakan antara ibadah sholat dengan wudhu.

(3) Bid’ah lain dengan taqarrub ilallah dengan suatu ibadah yang dilarang; melakukannya secara khusus di waktu dan tempat yang terlarang misalnya :
- berpuasa di waktu yang terlarang (pada hari raya ‘Id atau pun pada hari tasyriq)
- sholat di waktu terlarang ( antara sholat subuh dengan terbitnya matahari, setelah akhir waktu sholat ashar, dan pada saat matahari tepat berada di atas kepala)
- berkurban di tempat yang diharamkan seperti tempat yang pernah digunakan oleh orang-orang musyrik untuk beribadah

Adapun beberapa ibadah yang diikhtilafkan sah tidaknya adalah :
- sholat di tempat persengketaan/ tanah rampasan. Sebagian menganggap bahwa tidak sah dengan dalih bahwa setiap larangan pasti ada konsekuensinya (batal). Pendapat ini dipegang oleh Imam Ahmad. Adapun jumhur (mayoritas) ulama mereka berpendapat bahwa sholatnya tetap sah tetapi ia berdosa karena telah merampas hak milik orang lain.
- sholat dengan pakaian yang diperoleh dari uang haram misalnya barang curian.
- sholat dengan pakaian yang isbal pada laki-laki.

2. Pengurangan yang dilakukan dalam Ibadah (Al Ikhlal fil ‘ibadah).
Yakni suatu ibadah yang sudah disyariatkan sebelumnya tetapi dilakukan pengurangan atas syarat dan rukunnya. Maka hal ini juga tertolak. Contohnya :
- Shalat tanpa wudhu terlebih dahulu atau batal wudhunya
- Meninggalkan salah satu rukun shalat. Adapun jika yang ditinggalkan salah satu dari gerakawn wajib sholat maka dapat dibayar dengan sujud sahwi.

Berkaitan dengan ibadah puasa dibedakan antara syarat, rukun dan kewajiban.
• Syarat, contohnya berniat, jika tidak dilakukan maka tidak sah amalannya.
• Rukun, yaitu menahan lapar dan haus sejak terbitnya matahari hingga terbenamnya Jika dilanggar maka batallah puasanya
• Kewajiban, yaitu meninggalkan hal-hal yang dilarang misalnya berkata dusta. Jika dilakukan maka pahala puasanya berkurang tetapi tetap sah, maksudnya telah gugur kewajibannya
Sabda Rasulullah  :
 رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَا مِه الْجُوْعُ وَ الْعَطَشُ …
“Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan haus”
(HR Ibnu Khuzaimah dan Hakim)
Jumhur ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah dia tidak mendapat pahala namun puasanya diterima, maka hilang kewajibannya. Berbeda jika ia meninggalkan syarat dan rukunnya, maka ia dianggap/dikatakan masih belum melakukan kewajiban tersebut

B. MUAMALAH

الأصْلُ فِي الأشْيَاءِ اْلإبَاحَةُ 
Hukum asal segala sesuatu yang berkaitan dengan muamalah adalah boleh sampai datangnya dalil yang melarang.
Adapun masalah-masalah muamalah yang dilarang dan dianggap batal antara lain :
1. Jika seseorang telah mengganti hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah, misalnya :
hukum-hukum berkaitan masalah zina, pencurian dan pembunuhan.
Siapa saja yang ingin merubah syariat ini walaupun sifatnya muamalah maka perbuatannya itu tertolak.
2. Segala macam bentuk uqud/perjanjian yang dilarang syariat ini seperti :
a. Seseorang yang tidak pantas dibuat perjanjian dengannya misalnya nikah dengan mahram, menikah dengan wanita yang dalam masa iddahnya, dan menikahnya wanita tanpa wali.
b. Beraqad dengan seseorang terhadap hal-hal yang diharamkan, misalnya :
- berjual beli khamr, bangkai dan lain-lain.
- mengontrakkan rumah untuk dijadikan tempat-tempat maksiat.
c. Terzhaliminya salah seorang yang melakukan aqad, misalnya seorang gadis yang dinikahkan tanpa idzinnya, maka aqadnya juga batal




 Beberapa Dalil yang Menunjukkan Bahwa Bid’ah Seluruhnya Sayyi’ah 

1. Firman Allah  dalam Qs 5: 3 :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya : ... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu”

 Hal ini menunjukkan bahwa :
 Dien ini sudah sempurna dan tidak memerlukan penambahan sejak hari tanggal 9 Dzulhijjah 10 Hijriyah
 Allah  sudah meridhoi Islam sehingga Islam merupakan agama yang sempurna

Kata Imam Malik رحمه الله :
“ Siapa yang membuat bid’ah dalm agam ini dan memandang bahwa itu adalah sesuatu yang baik,maka sesungguhnya ia menyangka bahwa Nabi Muhammad itu telah mengkhianati risalah ini , karena Allah  telah berfirman QS 5:67”
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ(67).
Astinya:Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir
Lalu beliau menegaskan bahwa apa saja yang dahulu bukan bagian Ad-Dien maka tidak mungkin ia bisa jadi bagian Ad-Dien pada hari ini.
Kalau mereka menyangkal dan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan bukan ibadah maka kita katakan:“Jika amalan tersebut bukan ibadah maka tidak ada gunanya untuk menyibukkan diri dengan itu”. Itu adalah hujjah yang sangat kuat dan dalil yang agung utnuk berhadapan dengan ahlul Ra’yi yang tidak mungkin menolak.
Kata Imam Asy-Syaukani رحمه الله :
“ Jika Allah  telah menyempurnakan agamanya sebelum wafatnya nabi maka pendapat-pendapat yang datang setelah itu tidak akan diterima setelah kesempurnaan agama itu. Kalau saja mereka menganggap pendapat mereka itu bagian dari Ad-Dien maka mereka menyangka Allah  belum menyempurnakan agama ini dan berarti ia menentang Al-Qur’an”

2. Hadits Rasulullah 

عَنْ جَابِرٍ عَبْدِ الله رَضِيَ الله عَنْهُمَا أَ نَّ رَ سُوْ لَ الله صَل الله عَليْهِ وَ سَلَّمَ كَا نَ يَقُوْل َُ : ((بُ الله , وَخَيْرَ الْهَدْ يِ هَدْي مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأ مُوْرِ مُحْدَ ثَا تُهَا , وَ كُلا بِدْعَةٍ ضَلا لَة )) روا ه مسلم

"Dari Jabir bin Abdillah  bahwasanya Rasulullah  senantiasa menyebutkan di dalam khutbahnya : “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad dan sesungguhnya seburuk-buruk urusan adalah semua perkara-perkara yang baru dan seseungguhnya setiap bid’ah itu sesat” (HR.Muslim)

كان yang diikuti fiil mudhori’ menunjukkan dawam(senantiasa). Bahwa Rasulullah  sangat memperhatikan masalah bid’ah di mana beliau mentahdzir /memperingatkan umat tentang masalah bid’ah pada saat semua orang berkumpul yakni khutbah sholat Jum’at dan bukan pada saat sholat-sholat biasa.
Kata كل menunjukkan semua tanpa kecuali.
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa semua dan setiap bid’ah adalah sesat dan hadits ini sebenarnya cukup jelas apalagi dalil Qs 5 : 3 tadi untuk meniadakan bid’ah hasanah.

3. Hadits Rasulullah 
عَن الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ مَرْفُوْعًا : ((… فَإِ نَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَ ى اخْتِلا فًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّا شِدِ يْنَ الْمَهْدِ يِّيْنَ مِنْ بَعْدِ, عَضُّوْا عَلَيْهَا بِا النَّوَا جِذِ وَإِ يَّا كُمْ وَمُحْدَ ثَا تِ الأ مُوْرِ, فَإِ نَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلا لَةٌ )) رواه أحمد وأ بو دا ود و التر مذي وقا ل حسن صحيح,وابن ما جه
“ Dari ‘Irbadh bin Sariyah  secara marfu’ : (( ... Maka barangsiapa di antara kalian yang hidup maka dia akan melihat ikhtilaf yang banyak dan hendaklah kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku, dan hendaklah kalian mengigit sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin dengan gigi geraham kalian dan berhati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat. ))
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzy dan berkata hadits hasan shohih dan Ibnu Majah )

Ikhtilaf yang banyak maksudnya ahlul bid’ah yaitu ahlul ikhtilaf dan iftiraq.Memegang sunnah adalah merupakan sebab persatuan sedangkan jauh dari sunnah berarti memecah belah agama (iftiraq). Barangsiapa yang memecah agamanya dan mau berkelompok maka mereka menyimpang dari agama dan sunnah Rasulullah . Maka nabi memberikan jalan keluar “hendaklah berpegang kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-Rasyidin”
Yang rajih Insya Allah bahwa khulafaur-Rasyidin yang dimaksud adalah 4 Khalifah setelah wafatnya Rasulullah  Maka apa saja yang keluar dari sunah Rasulullah  dan sunnah 4 khulafaur-Rasyidin maka itu adalah bid’ah.
Sebenarnya ada pembicaraan tentang hadits ini baik segi sanad dan dzatnya tetapi karena banyak syawahidnya maka berkata At-Tirmidzy bahwa hadits ini hasan shohih.
Berikut komentar ulama mengenai sabda Nabi bahwa : “ كل بدعة ضلا لة "
• Ibnu Rajab al-Hambali رحمه الله berkata :
“Hadits ini termasuk Jawami’ Kalim( yaitu perkataan yang ringkas dan mengandung makna yang
jelas dan padat. Tidak ada yang dikecualikan dan merupakan hal yang pokok dari agama ini
bahwa keyakinan tidak ada bid’ah yang baik, semuanya sesat.”
• Imam Ibnu Hajar Al Asqalani رحمه الله berkata :
“ Ini merupakan qaidah syariat yang menyeluruh secara lafazh dan pemahaman yang jelas maka tidak boleh dipahami dengan pemahaman bertentangan dengan hadits tersebut.”

• Syaikh Al Utsaimin رحمه الله berkata ;
“Menunjukkan semuanya secara umum dan menyeluruh, karena orang yang meyakini ada bid’ah yang baik maka kita menjawab dengan sabda Rasulullah  ini karenanya tidak ada jalan bagi ahli bid’ah untuk memasukkan bid’ah sebagai bid’ah yang baik. Di sisi kita ada pedang yang sangat tajam yakni hadits ini yang dibuat oleh syariat yakni pabrik risalah dan nubuwah bukan pabrik duniawi dan Nabi menyebutkannya dan beliau adalah baligh yang senantiasa menyampaikan dengan jelas. Maka tidak mungkin lagi ahlul bid’ah bisa menghadapi seorang muslim yang membawa pedang ini.”

4. Hadits Rasulullah 
عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا قَا لَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ اَحْدَ ثَ فِى أَمْرِ نَا هَاذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البخرى ومسلم.
وفى روا يةلمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : Telah bersabda Rasulullah  : “Barangsiapa yang mengada-adakan seseuatu dalam urusan agama kami yang tidak kami perintahkan atasnya maka hal itu tertolak. (HR Bukhari dan Muslim)
dan dalam riwayat Muslim :”Barangsiapa beramal dengan amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka dia tertolak”

• Imam Asy-Syaukani رحمه الله berkata :
“Hadits ini termasuk kaidah ad-Dien karena masuk ke dalamnya seluruh hukum dan tidak ada dalil yang paling jelas dan tegas dari hadits ini untuk membatalkan hujjah yang disebut sebagian ulama yang membagi bid’ah dengan beberapa bagiannya. Maka dalil ini bisa dipakai untuk membantah mereka yang membagi bid’ah.”

5. Perkataan Umar bin Khattab 
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُكَيْم رضي الله عنه كَا نَ يَقُوْلُ : (( إِنَّ أَصْدَ قَ الْقِيْلَ قِيْلَ اللهِ, وإ ن أحسن الهدي هدي محمد صلى الله عليه و سلم , و إِ نَّ شَرَّ اْلأُ مُوْرِ مُحْدَثَا تُهَا أَلاَ وَإِ نَّ كُلَّ مُحْدَ ثَةٍ بِدْعَة وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَة وَ كُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّا رِ )) أخر جه ابن وضاح واللا لكا ئي
Dari Abdullah Ibnu 'Ukaim dari Umar  bahwa ia bekata : ((”Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalh firman Allah dan sebaik-baik ptunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruk urusan adalah semua perkara-perkara yang baru dan sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan di dalam neraka”)) dikeluarkan oleh Ibnu Wadhah dan Al-Laalakaai

Sebenarnya perkataan sahabat bukan hujjah tetapi merupakan i’tibar (pegangan) untuk menjelaskan firman Allah  dan sabda Rasulullah ”

6. Perkataan Abdullah bin Mas’ud 
قال عبد الله بن مسعود : (( اِ تَّبِعُوْا وَلا تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كَفِيْتُمْ وَ كُلَّ بِدْ عَةٍ ضَلاَ لَة)) أخرجه ابن بطه واللا لكا ئي

Berkata Abdullah bin Mas’ud  : ((“ Ikutilah sunnah dan jangan buat-buat bid’ah seseungguhnya telah dicukupkan bagimu dan setiap bid’ah adalah sesat”)) Dikeluarkan oleh Ibnu Baththoh dan Al-Laalakaai
Maka tugas kita adalah mengikuti Rasulullah  saja dan tidak perlu membuat kreasi-kreasi baru dalam urusan ibadah

7. Perkataan Abdullah Ibnu Umar 
قال عبد الله بن عمر رضي الله عنهما : (( كل بدعة ضلا لة وإ ن رآها النا س حسنة))
أخر جه ابن بطه واللا لكا ئي
Berkata Abdullah bin Umar رضي الله عنهما : -(( “ Setiap bid’ah adalah sesat walaupun manusia melihatnya sebagai sesuatu yang baik” ))- Dikeluarkan oleh Ibnu Baththoh dan Al-Laalakaai

Beberapa Syubhat Mereka yang Mengatakan Adanya Bid’ah Hasanah
dan Jawaban atas Syubhat Tersebut

Perlu kita ketahui bahwa ahlul Bid’ah ketika ingin membenarkan(melegitimasi) bid’ah-bidah mereka tidak terlepas dari 3 hal :
 Dalil shohih yang sifatnya umum dimasukkan ke ibadah khusus
 Jika mereka mengambil dalil dari Al-Qur’an maka mereka sering menafsirkan dengan hawa nafsunya saja. Mereka datang dengan dzikir-dzikir baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dengan mengemukakan dalil Al-Qur’an yang bersifat umum seperti Qs 33: 40
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا(41)
Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya."
Padahal jenis dzikir setelah sholat telah ditetapkan /dicontohkan oleh Rasulullah dan telah ada dalil-dalil khusus yang mengatur masalah tersebut.
 Atau mereka berdalilkan sunnah Nabi Muhammad yang shohih yang isinya bersifat umum lalu mereka mau menjadikannya sebagai dalil-dalil khusus untuk bid’ah-bid’ah mereka
 Dalil hadits-hadits lemah dan palsu atau atsar/perkataan sahabat/ ulama yang
kemudian dipertentangkan dengan hadits yang shohih
Mereka memperhadapkan hadits-hadits lemah dengan hadits-hadits yang shohih lalu mereka hanya ingin menerima hadits yang lemah itu dan ini yang paling sering terjadi.
 Mereka datang tanpa dalil melainkan hanya dengan logika-logika belaka
Kalau mereka tidak mendapatkan hadits yang lemah maka mereka akan mengatakan keutamaan-keutaman bid’ah-bid’ah mereka dengan logika-logika mereka semata
Sebagaimana yang pernah dikatakan Umar :
“Berhati-hatilah kamu dengan mereka itu, orang-orang yang senantiasa hanya menggunakan logika-logika mereka saja karena mereka itu adaalh musuh-musuh sunnah. Mereka sudah lemah tidak mampu menghafalkan sunnah maka mereka berbicara dengan logika-logika mereka,sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”

 Beberapa syubhat mereka :

I. Pemahaman mereka terhadap Hadits :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Artinya:"Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik di dalam Islam , maka baginya pahala dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa orang tersebut.” (HR. Muslim)
Hadits ini adalah hadits yang shohih dan dijadikan hujjah yang paling kuat bagi mereka bahwa Nabi telah membagi sunnah menjadi sunnah yang baik dan sunnah yang buruk.

Jawaban atas syubhat ini :
1) Makna سنةdalam hadits ini bukan berarti sunnah yang baru tetapi sunnah yang sudah dikenal. Dan sunnah dalam bahasa Arab berari jalan/thoriqah/kebiasaan. Maka sunnah yang dimaksud adalah melakukan amalan yang telah dikenal oleh syariat sebagai sunnah yang baik atau sunnah yang buruk.
 Sunnah yang baik
Hal ini lebih dijelaskan dalm sababul wurud hadits ini, sebagaimanan disebutkan
oleh Imam Muslim :
Ketika Rasulullah  mengajak para sahabat untuk bersedekah, namun banyak yang menunggu bagaiman cara bersedekah dan dengan apa saja. Akhirnya datang seorang sahabat membawa hartanya menemui Rasul dan mnyerahkannya dihadapan beliau maka orang yang melihatnya kemudian ikut-ikutan untuk melakukannya

Sedekah adalah suatu perbuatan yang sudah dikenal syariat sebagai sunnah yang baik tapi terkadang sunnah tersebut hilang/mati dalam masyarakat tertentu. Maka barangsiapa yang menghidupkannya kembali akan mendapat pahala dan pahala orang yang mencontohinya tanpa mengurangi pahala orang tersebut.

 Sunnah yang buruk
Sunnah sayyi’ah/buruk adalah kebiasaan yang dikenal syariat sebagi kebiasaan buruk/mungkar.
Misalnya :
- menurut syariat diharamkan kita untuk mebunuh jiwa seseorang. Namun maksiat tersebut telah dilakukan oleh salah seorang anak dari Nabi Adamsebagai pembunuhan pertama yang terjadi di muka bumi ini maka ia mendapat dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa orang-orang tersebut.
Rasulullah  bersabda:
لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ (متفق عليه)
- Di tengah masyarakat yang menganut nilai-nilai Islam;kaum wanitanya menutup aurat. Kemudian datang seseorang yang berani membuka aurat lalu masyarakat tersebut diam bahkan ikut-ikutan membuka aurat, maka orang tersebut berdosa dan mendapatkan dosa orang-orang yang mengikutinya.
Adapun ahlul bid’ah mereka datang dengan sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam syariat dengan alasan bid’ah hasanah namun pada hakekatnya belum pernah dicontohkan.

2) Nabi  yang menyebutkan sunnah yang baik dan sunnah yang buruk, beliau pula yang menyebutkan bahwa:
“ كل بدعة ضلا لة" Tidak mungkin perkataan Nabi saling bertentangan atau hadits yang satu mendustakan
hadits yang lain . Karenanya tidak boleh kita mengambil hadits ini untuk menolak hadits lain yang lebih jelas. Maka hadits ini kita bawa ke pemahaman : "Semua bid’ah adalah sesat”. Barangsiapa yang menolak hal ini berarti mereka mau mendustai Rasulullah  karena hanya mau mengambil sebagian saja.
3) Hadits ini mengatakan bahwa “Barangsiapa yang membuat satu sunnah” dan bukan berbunyi: “Barangsiapa yang membuat bid’ah “.Sunnah adalah bagian dari Islam sedangkan bid’ah bukan bagian dari Islam. Syaikh Al-Utsaimin berkata sangat jelas perbedaan antara sunnah dan bid’ah yakni sunnah adalah sesuatu yang diikuti
sedangkan bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak berdalil.
4) Tidak pernah dinukil dari salah seorang salaf yang menafsirkan sunnah hasanah dalam hadits ini dengan bid’ah yang dibuat-buat
5) Makna من سنartinya “barangsiapa menghidupkan sunnah yang pernah ada lalu hilang kemudian dihidupkan
kembali. Dan yang menunjukkan penafsiran ini adalah riwayat Ibnu Majah yang dishohihkan oleh Syaikh Al-
Albani :
“ Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnahku kemudian dilakukan pula oleh manusia maka baginya pahala sebagaimana pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala orang tersebu sedikitpun. Barangsiapa yang membuat satu bid’ah lalu diamalkan maka dia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dosa orang yang mengamalkannya sedikitpun .”
Riwayat Ibnu Majah ini bisa digunakan untuk menafsirkan riwayat Muslim. Dan ini menunjukkan pentingnya mengumpulkan berbagai riwayat yang ada dalam sebuah hadits.
6) Sabda Rasulullah  tersebut tidak mungkin dibawa kepada sesuatu yang tidak ada asalnya sama sekali. Karena baik tidaknya sesuatu tidak kita ketahui kecuali dengan syariat. Maka sabda ini bukan berarti sunnah yang baru tapi hasanah dan sayyiah sebagaimana yang telah ditetapkan syariat bukan logika-logika dan perasaan kita. Jika logika dan perasaan yang digunakan maka masing-masing orang punya versi sendiri-sendiri dan akan berikhtilaf.

II Pemahaman mereka terhadap perkataan Umar 
((نِعْمَتُ الْبِدْعَة هذه )) روا ه البخاري
“Sebaik-baik bid’ah adalah bid’ah yang ini”

Jawaban atas syubhat ini :
1) Jika maksud Umar  betul-betul bid’ah menurut syariat maka dalam hal ini tidak boleh perkataan seseorang dipertentangkan dengan perkataan Raslullah yang shohih. Baik dia ulama’, sahabat, bahkan Abu Bakar sekalipun.

Berikut komentar ulama seputar hal ini :
• Abdullah bin Abbas menceritakan :
Hampir saja Allah  menurunkan batu-batu dari langit (untuk mengadzab kalian)ketika saya mengatakan “Rasulullah  bersabda” lalu kalian berkata “telah berkata Abu Bakar” atau “berkata Umar”
Kalau saja perkataan Abu Bakar dan Umar tidak pantas dihadapkan dengan sabda Rasulullah  padahal keduanya adlah sahabat yang termulia maka apalagi selainnya. Karena begitu banyak orang yang fanatik pada suatu madzhab atau jama’ah tertentu sehingga ketika dibacakan firman Allah dan sunnah Rasulullah  maka mereka berkata bahwa “ulama/pemimpin kami mengatakan ....“ Wailallahi Al Musytakaa
• Umar bin Abdul Aziz pernah berkata :
“Tidak boleh seeorang berpendapat ketika sudah ada sunnah dari Rasulullah ”
• Imam Syafi’i berkata :
“Telah ijma’ kaum muslimin bahwasanya jika telah jelas sunnah Rasul ” maka tidak halal seseorang meninggalkan sunnah tersebut hanya berdasarkan perkataan seseorang manusia.”
• Ahmad bin Hambal berkata :
“Siapa yang menolak hadits-hadits Rasulullah  maka dia berada di tepi jurang kehancuran.”

2) Sebenarnya tidak demikian maksud dari atsar Umar tersebut . Perkataan ini keluar setelah beliau melihat kaum muslimin sholat tarawih berjamah. Hal ini (shalat tarawih secara berjamaah) bukan termasuk bid’ah menurut syariat sebab sebagaimana yang disampaikan Aisyah رضي الله عنها bahwa Rasulullah  pernah melakukannya namun beliau meninggalkannya karena khawatir hal ini akan diwajibkan. Setelah wafatnya Rasulullah  maka kekhawatiran tersebut hilang maka Umar  kembali menghidupkannya sebagai bid’ah yang baik menurut bahasa ,karena hal tersebut seakan-akan hilang atau sudah tidak pernah dilakukan sejak Rasulullah  menghentikannya karena kekhawatirannya sampai pada zaman khalifah Abu Bakar .

3) Jika sudah jelas hal ini bukan bid’ah maka berarti dia bukan bid’ah menurut syariat tetapi menurut bahasa yakni bid’ah yang berarti apa yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Tarawih berjamaah belum pernah dilakukan pada zaman Umar sebelum hari itu, begitu pula zaman Abu Bakar namun bila ditinjau dari segi tarikh hal itu telah dilakukan Rasulullah .
Beberapa komentar ulama tentang atsar ini :
• Imam Syafi’i رحمه الله :
“Apa yang dikatakan Umar adalah bid’ah menurut bahasa dan bukan menurut syariat”
• Ibnu Taimiyah رحمه الله :
“Perkataan Umar adalah bid’ah lughowiyah bukan bid’ah menurut syariat karen bid’ah menurut bahasa adalah seseuatu yang belum dicontohkan sebelumnya, adapun bid’ah menurut syariat adalah segala sesuatu yang tidak ada dalilnya. Adapun sholat Tarawih berjamaah telah ada dalilnya.”

• Imam Ibnu Katsir رحمه الله ketika menafsirkan Qs 2:117,beliau menjelaskan :
“Bid’ah ada 2 macam kadang ia datang dengan makna syariat dan semuanya itu sesat, kadang pula datang dengan makna bahasa seperti perkataan Amirul Mukminin Umar bin Khattab  ketika beliau mengumpulkan kaum muslimin dengan imam yang satu dalam sholat tarawih dan mengatakan “ sebaik-baik bid’ah adalah bid’ah yang satu ini.”
• Imam Ibnu Rajab Al-Hambali رحمه الله berkata :
“Apa saja yang dikatakan oleh ulama salaf tentang adanya bid’ah yang baik maka maksudnya bid’ah menurut bahasa bukan menurut syariat. Di antaranya perkataan Umar ini.

• Muhammad Rasyid Ridho membagi bid’ah menurut:
- bahasa yang berarti perkara umum
- menurut syariat yakni berdasarkan sabda Rasulullah 

Dengan penjlasan para Ulama kita tentang makna atsar Umar maka tidak pantas bagi mereka mengatakan bahwa ada bid’ah yang baik menurut syariat berdalihkan dari atsar tersebut.Wallohul Muwaffiq

III . Atsar yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
...ِ فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ ...  أخرجه أحمد
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka itu juga baik menurut Allah”

Jawaban atas syubhat ini :
1) Ada yang menyandarkan perkataan ini kepada Rasulullah  sebagai hadits tetapi sebenarnya perkataan ini
tidak shohih datang dari Rasul (bukan hadits marfu’) meski ada yang meriwayatkan secara marfu’ akan tetapi lemah. Maka yang shohih bahwa ini adalah perkataan Abdullah bin Mas’ud dan bukan perkataan rasul. Maka tidak pantas perkataan Abdullah bin Mas’ud  dihadapkan dengan perkataan Rasulullah .
2) Penggunaan alif lam pada perkataan (( المسلمون)) adalah alif lam lil ahd artinya yang berfungsi untuk menunjukkan seseuatu yang telah diketahui maksudnya atau tertentu. Al-Muslimin yang dimaksud pada perkataan Ibnu Mas’ud adalah kaum muslimin yang ada pada saat itu yakni para sahabat, dan sahabat tidak pernah mengatakan ada bid’ah yang baik. Yang menguatkan pendapat ini karena atsar ini adalah atsar yang panjang, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan :
3) إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
“ Allah memandang kepada hati-hati hambanya lalu Allah mendapatkan hati yang terbaik adalah hati Muhammad, lalu Allah mengangkatnya sebagai rasul kemudian diutus sebagai pemabawa risalah. Kemudian Allah kembali melihat hati hamba-hambaNya yang lain setelah hati Nabi lalu Allah mendapat hati sahabat adalah hati yang terbaik lalu Allah menjadikan mereka sebagai penolong Nabi-Nya..Mereka berperang di atas dasar Agama Islam. Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin(para sahabat) maka di sisi Allah juga baik. Dan apa yang dianggap buruk oleh kaum muslimin maka itupun buruk di sisi Allah"
3) Jika yang dimaksud adalah bukan sahabat, maka kaum muslimin yang dimaksud adalah kaum muslimin secara keseluruhan artinya ijma’. Dan bid’ah hanya baik menurut sebagian orang, bukan baik secara ijma’. Adapun Ijma’ pasti baik karena tidaklah ummat ini dikumpulkan dalam kesesatan.
عن أَنَس بْن مَالِكٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
Dari Anas bin Malik  berkata: Saya mendengar Rasulullah  bersabda: "Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul di atas kesesatan"(HR. Ibnu Majah)
4) Tidak mungkin Ibnu Mas’ud berkata seperti itu lalu yang dimaksud adalah bid’ah menurut syari’at
karena beliau termasuk orang yang sangat keras melawan bid’ah. Di antara perkataan beliau yang menunjukkan kerasnya terhadap bid’ah adalah
“Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah karena telah dicukupkan bagi kalian dan setiap bidah adalah
sesat. ‘Sederhana dalam melakukan sunnah lebih baik daripada bersusah payah dalam melakukan bid’ah
Ketika beliau mendapati orang yang berdzikir memakai batu-batuan dengan khusyu’ beliau mengatakan
كم من مريد للخير لن يصيبه
“ Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi ia tidak mendapat kebaikan itu “.

IV. Perkataan Imam Syafi’i- رحمه الله-
قو ل الشافعي رحمه الله : (( اْلبِدْعَة بِدْعَتَانِ : بِدْعةُ مَحْمُوْدَةِ وَبِدْ عَةُ مَذْ مُومة …))
و قوله رحمه الله : ((المحد ثا ت ضربان …))
“Bid’ah itu ada dua : bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela”

Jawaban atas syubhat ini adalah :
1) Bila perkataan ini adalah perkataan Imam Syafi’i maka tidaklah pantas perkataan tersebut dihadapkan dengan perkataan Rasulullah .
2) Bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah menurut syari’at. Dan penafsiran ini ditunjukkan oleh lanjutan dari perkataan ini yakni :”Bid’ah ada 2 macam yakni trcela atau terpuji. Apa yang sesuai dengan sunnah itulah bid'ah yang terpuji sedang apa yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela.”
3) Imam Syafi’i -رحمه الله- termasuk Imam yang paling keras menolak bid’ah, dan memegang sunnah. Di antara beberapa riwayat dari beliau yang menunjukkan hal tersebut adalah :
• Ketika ia ditanya suatu masalah lalu beliau berkata : “ Rasulullah  bersabda :...”
lalu ada yang bertanya “Apa kamu mengambil hadits tersebut wahai Abu Abdillah?” Beliau marah dan berkata “Di mana kaki saya mesti berpijak kalau saya menyebutkan sebuah sabda Rasulullah  dan tidak mengambilnya,? Sungguh saya akan mengambilnya dan akan menaatinya.”
• Setiap hadits Rasulullah itulah perkataanku meski kalian tidak pernah mendengarkan hal tersebut dariku
• Setiap masalah yang shohih berdasarkan hadits Rasulullah  dan bertentangan dengan perkataanku, sungguh
aku telah meralat perkataanku baik selama hidupku maupun sesudah wafatku
Hal ini menunjukkan meskipun tinggi keilmuan beliau tetapi ada saja dalil yang luput maka tidak pantas kita ta’asshub kepada beliau.

V. Perkataan Al-‘Iz bin Abdissalam –rahimahullah-mengenai bid’ah.
قول العز بن عبد السلام فى البدعة : ((هى منقسمة إلى بدعة واجبة و بدعة محرمة و بدعة مندوبة وبدعة مكروهة وبدعة مباحة…))
“Bahwa bid’ah terbagi atas 5 yakni bid’ah yang wajib’ bid’ah yang haram’ bidah yang sunnah bid’ah yang makruh’ dan bid’ah yang mubah ...”

Jalannya dengan melihat kaidah syar’i
Dan perkataan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh ahlul bid’ah.
Imam Al-‘Iz bin Abdissalam pernah menjadi Imam di Palestina dan digelari Sulthanul ‘Ulama (577-660 H)
Jawaban terhadap Syubhat ini :
1) Tidak pantas perkataan ulama dihadapkan dengan hadits Rasulullah .
2) Belum ada kesepakatan ulama mengenai pembagian ini, bahkan Imam Syatibi penulis Al-I’tishom berkata: ”Pembagian ini tidak ada contohnya dan tidak ada dalilnya...” (tidak disepakati ulama).
4) Maksud dari perkataan beliau ini adalah bid’ah menurut menurut bahasa bukan menurut syari’at, karena beliau membagi kelima bid’ah ini sekaligus menyebutkan contohnya. Kata beliau :
• Bid’ah wajib seperti sibuk mempelajari ilmu nahwu (Ilmu tata bahasa)
• Bid’ah Sunnah seperti sholat tarawih berjamaah, membangun sekolah (mashlahah mursalah) 
Ini bukan bid’ah
• Bid’ah mubah yakni melakukan perbuatan yang mubah seperti memakan makanan yang lezat-
lezat
• Bid’ah makruh yakni melakukan perbuatan yang makruh seperti makan terlalu kenyang
• Bid’ah haram yakni melakukan perbuatan yang haram
5) Imam Al-‘Izz juga adalah salah seorang ulama yang paling keras menentang bid’ah menurut syar’iat sebagaimana diceritakan oleh muridnya Abu Syamah yang berkata : “Beliau(Imam Al 'Izz) adalah orang yang paling pantas berkhutbah dan paling pantas menjadi Imam dan beliau selama menjadi Imam telah banyak menentang bid’ah yang telah ada di zamannya”, Diantaranya :
• Melarang memukul pedang di atas mimbar
• Menghilangkan sholat raghoib (shalat pertengahan) bulan Sya’ban
• Bahkan menentang Ibnu Sholah yang membolehkan sholat raghoib.
• Ketika ditanya tentang jabat tangan setelah sholat subuh dan ashar, beliau mengatakan ini
adalah bid’ah kecuali belum sempat berjabat tangan ketika bertemu saudaranya sebab salaman
bukanlah rangkaian sholat.
• Ketika ditanya tentang mengusap muka setelah berdo’a, beliau mengatakan tidak ada yang
melakukannya kecuali orang-orang jahil
• Beliau mengatakan tidak shohih bahwa ada mengucapkan shalawat pada qunut terutama
pada sholat subuh karena beliau adalah seorang ulama dari madzhab Syafi’i dan dalam madzhab Syafi’i
memandang disyariatkan qunut pada sholat shubuh

Dari sini Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Imam Al 'Izz ini tidak memudah-mudahkan dalam masalah bid’ah bahkan beliau sangat keras dan tegas dalam masalah bid’ah. Oleh karena itu tidak pantas perkataannya dijadikan hujjah untuk menunjukkan ada bid’ah yang baik padahal maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah menurut syari’at.

 Hal-Hal yang perlu Diperhatikan yang Menegaskan Bahwa
Semua Bid’ah adalah Sayyiah

1. Dalil yang mencegah bid’ah adalah dalil secara umum dan mutlak dan tidak ada pengecualian.
2. Rasulullah  senantiasa mengulangi dalam khutbah Jum’at beliau bahwa “Bid’ah itu sesat” bahkan sebagian ulama mengatakan termasuk khutbah hajah karena beliau senantiasa mengatakannya setiap membuka mejelis . Sesuatu yang selalu diulangi tanpa dibatasi menunjukkan sesuatu yang mutlak. Karena seandainya ada perkecualian tentu pernah beliau sebutkan walaupun hanya sekali saja.

3. Ini adalah ijma’ salafush sholih bahwa tidak ada bid’ah yang hasanah dan perkataan adanya bid’ah yang hasanah baru muncul belakangan (sesudah 3 kurun terbaik) dan apa yang datang belakangan tidak pantas dihadapkan dengan perkataan salafush shalih.

4. Bahwasanya orang yang melakukan bid’ah hanya berpegang pada dirinya sendiri dan yang mesti ia lawan adalah syariat, maka seakan-akan ia adalah penentang syariat (Al-Qur’an dan Sunnah).

5. Perkataan ada bid’ah hasanah membuka pintu lebar-lebar untuk memasukkan semua bid’ah dalam agama ini dan sulit bagi kita menyaring bid’ah tersebut karena setiap orang yang datang dengan bid’ahnya mengatakan bahwa bid’ah ini bagus dan tidak boleh kita cegah. Maka akhirrnya semua bid’ah datang dan diterima kemudian syariat menjadi hilang. Akhirnya semua orang menyibukkan diri dengan perbuatan bid’ah.

6. Tidak ada kaidah yang jelas untuk menunjukkan yang mana yang baik dan yang mana yang buruk, jadi tidak ada tolok ukurnya. Maka :
• Kalau kita mengatakan tolok ukurnya adalah syariat maka semua yang sesuai dengan syariat bukan bid’ah.
• Dan kalau kita mengatakan tolok ukurnya adalah akal dan perasaan, maka akal dan perasaan kita
berbeda-beda, sehingga tidak ada kesepakatan. Dan ini membuka jalan kemungkaran dalam Islam
7. Kalau kita boleh menambah sesuatu dalam agama atas nama bid’ah yang hasanah maka berarti boleh juga kita mengurangi sedikit dari agama ini atas nama bid’ah hasanah. Kalau mereka mengatakan boleh maka hilanglah syariat dan yang tinggal adalah sesuatu yang baru dan ini adalah sesuatu yang tidak mungkin.

8. Jika memang ada bid’ah yang hasanah maka kami juga ingin membuat bid’ah hasanah yaitu perkataan : “Tidak ada bid’ah yang hasanah”.Kalau kami punya dalil bahwa tidak ada bid’ah yang hasanah maka seharusnya kalian ikut kepada kami. Dan kalau kami tidak punya dalil maka kalian tidak dapat menolak pernyataan kami sebagaimana kalian tidak punya dalil ketika mengatakan bahwa ada bid’ah yang hasanah.

9. Perkataan ada bid’ah yang hasanah ini menghantarkan penyimpangan /kerusakan Ad-Dien ini. Karena setiap kaum yang datang dengan sebuah ibadah dan mengatakan bid’ah hasanah maka akan banyaklah bid’ah dan akan berubah wajah agama ini. Dan agama ini akan sama dengan agama terdahulu yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan ajaran nabi-nabi mereka sehingga nampak seperti sekarang ini. Mereka katakan : ”Tuhan kami Yesus” padahal Nabi Isa ‘alaihissalam sendiri mengingkari perkataan tersebut. Mereka (Yahudi) menghalakan riba padahal Nabi mereka melarang riba. Hal ini terjadi sejak terjadinya tahrif/perubahan atas nama bid’ah.


10. Barangsiapa yang mengetahui bahwa Rasulullah  adalah orang yang paling alim tentang kebenaran dan orang yang paling fasih dalam mengucapkan kebenaran dan beliau adalah orang yang paling bernasehat dan tidak pernah mengkhianati risalah maka tentu kita akan mengatakan “ Apa yang disampaikan itu sudah cukup dan tidak mungkin ada yang baik ditinggalkan padahal ssesungguhnya beliau adalah orang yang sering bernasehat.

Maka kesimpulannya bahwa perkataan bid’ah hasanah bertentangan dengan Al-Qur’an dan As Sunnah dan hendaknya menjadi prinsip bagi seorang Muslim bahwa apa yang telah didatangkan oleh Rasulullah  dan telah dijadikan syari’at oleh Allah  sejak turunnya Qs 5 :3, maka sudah cukup bagi kita. Kita tidak butuh penambahan dari mana saja. Sedangkan syariat masih banyak yang belum kita amalkan sehingga untuk apa kita sibuk dengan amalan bid’ah sementara masih banyak amalan sunnah yang ditinggalkan.Wallohul Musta'an


TAKHRIJ HADITS

Hadits ini selain dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim juga dikeluarkan oleh
1. Dari kalangan Kutub Sittah yakni Abu Dawud dan Ibnu Majah.
2. Imam Ahmad dalam Musnadnya
3. Ibnu Hibban dalam Shohihnya.

Wallohu A'lam



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP