..::::::..

Syarah Hadits Kedua Arbain Nawawiyah

Hadits -2 Arbain An-Nawawi

الحَدِيْثُ الثَّانِيْ
عَنْ عُمَرَ  أَيْضًا قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ  ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثَّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلى النَّبِيِّ  فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَ قَالَ : ياَ مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْـلاَمِ ، فَقَالَ رَسُـولُ اللهِ  :  الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً  قَالَ : صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ :  أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرَّهِ  قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ ، قَالَ :  أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ  قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ ، قَالَ :  مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ  قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهاَ ، قَالَ :  أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَ أَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فيِ الْبُنْيَانِ  ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا.ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرُ أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِلُ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُولُـهُ أَعْلَمُ ، قَالَ :  فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ .
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
2. Dari ‘Umar  juga, telah berkata : Ketika kami duduk dekat Rasulullah  pada suatu hari maka dengan tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang memakai pakaian yang sangat putih berambut sangat hitam, tidak tampak padanya tanda-tanda perjalanan dan tak ada seorang pun diantara kami yang mengenalnya, hingga dia duduk dihadapan Nabi , lalu merapatkan lututnya ke lutut beliau dan meletakkan kedua tapak tangannya di atas paha (Nabi ), seraya bertanya : Wahai Muhammad, beritahukanlah padaku tentang Islam! Maka Rasulullah menjawab :

Islam adalah keharusan bagi engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan Muhammad itu utusan-Nya, engkau mendirikan shalat, engkau mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan haji ke Baitullah bila engkau mampu”. Dia berkata : Engkau benar. Maka kami heran, dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Lalu dia bertanya lagi : Beritahukanlah padaku tentang Iman! Jawab Nabi  : “Hendaknya engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada Hari Kiamat, dan hendaklah engkau beriman kepada Qadar yang baik dan yang buruk ”. Orang itu berkata : Engkau benar.
Dia bertanya lagi : Beritahukanlah kepadaku tentang Ihsan! Jawab Nabi  : “Hendaknya engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Dia bertanya lagi : Beritahukanlah aku tentang (kapan) Hari Kiamat! Jawab Nabi  : “Orang yang ditanya tentang itu tidak lebih tahu dari sipenanya itu sendiri”.
Dia bertanya lagi : Beritahukanlah aku tentang tanda-tanda-nya! Jawab Nabi  : “(Diantaranya) jika seorang hamba (sahaya) telah melahirkan tuannya (majikannya), dan jika engkau melihat orang yang tak beralas kaki, tidak berpakaian, miskin dan penggembala kambing saling berlomba untuk membangun gedung yang tinggi”.
Kemudian orang tadi pergi, lalu saya diam dalam waktu yang lama. Kemudian Nabi  bersabda : “Wahai ‘Umar, tahukah engkau siapa penanya tadi ?”. Jawabku : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui, Sabda Nabi  : “Sesungguhnya dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

KEDUDUKAN DAN KEUTAMAAN HADITS INI
• Hadits ini merupakan dalil yang pokok bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam menetapkan bahwa rukun Iman ada enam
• Hadits ini mempunyai banyak faidah bahkan merupakan pokok dari seluruh hadits sehingga seorang ulama kita yaitu Imam Ibnu Daqiq Al ‘Ied (wafat 702 H) menyebut hadits ini dengan ummul (induk) hadits, beliau mengatakan : "Hadits ini sangat agung dan mengandung seluruh tugas amalan-amalan yang zhohir dan batin. Seluruh ilmu syari'at kembali kepada hadits ini dan bercabang darinya karena hadits ini mengumpulkan ilmu sunnah , maka hadits ini seperti umm(induk) bagi sunnah sebagaimana Al Fatihah dinamakan dengan ummul Quran karena mengandung seluruh makna yang terdapat dalam Al Quran"
• Bahkan Rasulullah  sendiri telah menyebutkan bahwa hadits ini telah menjelaskan seluruh bagian Ad-dien :
 ... فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ … 
…“Sesungguhnya dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama/dien kalian”.
• Al Qadhi Iyadh رحمه الله berkata : "Hadits ini telah mencakup penjelasan seluruh tugas-tugas ibadah yang lahir dan batin berupa iman, amalan-amalan anggota tubuh, mengikhlaskan amalan yang tidak nampak dan menjaga dari penyakit-penyakit amalan hingga seluruh ilmu syariat kembali kepada hadits ini dan bercabang darinya"
• Imam Nawawi رحمه الله setelah menjelaskan hadits ini beliau menyimpulkan : "Ketahuilah bahwa hadits ini mengumpulkan berbagai jenis ilmu, pengetahuan, adab dan hal-hal yang kecil lainnya bahkan hadits ini adalah pokok dari Islam"
• Imam Ibnu Rajab Al Hambali رحمه الله mengatakan bahwa hadits ini mempunyai kedudukan yang sangat agung , karena hadits ini mencakup penjelasan tentang ad dien secara keseluruhan. Dan beliau juga mengatakan: "Barangsiapa yang memperhatikan apa yang telah kami isyaratkan yang menunjukkan keagungan hadits ini dia akan tahu bahwa seluruh ilmu dan ma'rifah akan kembali kepada hadits ini dan masuk di dalamnya . Dan seluruh ulama dari berbagai spesialis ilmu yang ada pada ummat ini ketika berbicara sesuai bidangnya/spesialismenya masing-masing akan berbicara sesuai dengan apa yang dikandung hadits ini baik secara global maupun secara rinci. Karena sesungguhnya Fuqaha (Ulama Fiqih) berbicara tentang masalah ibadah dan ini merupakan bagian dari Arkanul Islam...dan Ulama yang berbicara tentang ushuluddien/Aqidah akan berbicara lewat pembahasan syahadatain dan dengan Arkanul Iman, dan ulama yang berbicara tentang ilmu ma'arifat dan masalah bermuamalat(dengan Allah ) akan berbicara tentang kedudukan Al Ihsan dan tentang amalan-amalan batin yang masuk juga dalam permasalahan iman...Maka seluruh ilmu syariat yang disebutkan oleh kelompok muslimin terangkum dan akan kembali pada hadits ini, sehingga hadits ini saja sudah cukup (dalam membahas seluruh ad dien) Walillahilhamd wal minnah"


BIOGRAFI SAHABAT PEROWI HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khaththab  dan telah kami sebutkan biografi singkat beliau pada hadits sebelumnya , namun walaupun hadits ini dari sahabat Umar  tapi pertama kali diperkenalkan oleh anaknya Abdullah bin Umar رضي الله عنهما .

KISAH BERKAITAN DENGAN HADITS INI
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya hingga ke tabi'i Yahya bin Ya'mar beliau berkata: "Orang yang pertama kali berbicara tentang penolakan takdir di Bashrah adalah Ma'bad Al Juhani. Maka aku (Yahya) dan Humaid bin Abdurrahman Al Himyari berangkat haji atau umroh, dan kami berkata: Jika kita bertemu salah seorang sahabat Rasulullah  maka kita bertanya tentang apa yang dikatakan oleh mereka (Ma'bad Al Juhani dan pengikutnya) tentang takdir. Maka Allah memberi taufiq kepada kami untuk bertemu dengan Abdullah bin Umar radhiyallohu 'anhuma yang sedang masuk ke masjid, maka aku dan temanku mendekatinya ; salah seorang dari kami di sebelah kanannya yang lain di sebelah kiri beliau. Maka saya menduga bahwa teman saya akan menyerahkan kepada saya untuk berbicara, maka saya berkata: Wahai Abu Abdirrahman , sesungguhnya telah muncul di tempat kami orang-orang yang juga membaca Al Quran dan mengumpulkan ilmu –lalu beliau menyebutkan beberapa ciri-ciri yang lain- mereka itu menganggap tidak ada takdir yang ditetapkan sebelumnya dan semua urusan itu baru terjadi (tanpa takdir sebelumnya). Maka beliau  berkata : “Jika engkau bertemu mereka (orang-orang yang mengingkari takdir) maka sampaikan kepada mereka bahwa aku (Abdullah bin Umar) berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dari saya, demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah atas nama-Nya, walaupun mereka menginfakkan emas sebesar bukit Uhud, Allah tidak akan menerima infak mereka sampai mereka mau beriman kepada qadar. Kemudian beliau (Ibnu Umar radhiyallohu 'anhuma) mengatakan bapak saya Umar bin Khaththab  menceritakan kepada kami.....(kemudian beliau membaca hadits ini)

Dari kisah ini kita bisa mengambil beberapa pelajaran dan kesimpulan, diantaranya:
a. Bid'ah Qadariyah sudah muncul pada masa tabi'in dan ketika itu sebagian sahabat Rasulullah  masih hidup
b. Awal kali munculnya bid'ah ini di kota Bashrah yang dipelopori oleh Ma'bad Al Juhani
c. Perlunya meruju' kepada Ulama Besar saat munculnya syubhat dan pemikiran-pemikiran baru yang dilemparkan oleh Ahlul Bida'
d. Pentingnya tanzhim (pengaturan) hingga permasalahan yang kecil seperti bertanya pada seorang alim; sebagaimana yang ditunjukkan oleh kedua tabi'i ini yang telah mengatur sedemikian rupa siapa yang menjadi juru bicara dan seterusnya
e. Para ahlul bida' juga membaca Al Quran dan mengumpulkan ilmu namun metodologi mereka dalam mempelajari dan memahaminya menyelisihi manhaj salaf
f. Dipahami dari kisah ini bahwa Ibnu Umar radhiyallohu 'anhuma mengkafirkan orang yang tidak beriman kepada takdir karena seorang muslim hanyalah berlepas diri dari orang kafir dan orang kafirlah yang tidak diterima sedekahnya, sebagaimana disebutkan dalam QS. 9 :54
﴿ وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ ﴾
Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.
g. Hadits ini diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab  namun diperkenalkan oleh anak beliau Abdullah bin Umar radhiyallohu 'anhuma
h. Para sahabat berhujjah dengan hadits walaupun terhadap masalah-masalah yang belum disebutkan secara sharih (jelas) dalam Al Quran

SYARAH HADITS
Umar  telah berkata :
 بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ 
“Ketika kami sedang duduk dengan Rasulullah ”
Perkataan Umar  ini memberikan beberapa faidah :
• Disunnahkan untuk senantiasa duduk di majelis Ilmu, sebab majelisnya Rasulullah  adalah majelis ilmu; Rasulullah  adalah sumber Ilmu, perkataan beliau adalah ilmu, perbuatan beliau adalah ilmu bahkan diamnya Rasulullah  adalah ilmu sehingga dengan bermajelis bersama beliau kita akan tahu kapan seseorang harus berbicara, diam dan bagaimana kita harus beramal. Sehingga ulama kita mengambil faidah dari perkataan Umar  ini sunnahnya duduk dalam majelis-majelis ilmu.
Diantara hal yang menunjukkan urgensinya majelis ilmu :
a. Tidak akan merugi orang yang duduk di majelis ilmu, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi tentang seseorang yang duduk di majelis ilmu tanpa dia niatkan sebelumnya, Allah  berfirman :
﴿.....هُمْ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ ﴾
Mereka adalah kaum yang tidak celaka/merugi orang-orang yang duduk bersama mereka (HR.Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah )
b. Dalam sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Said Al Khudry رضي الله عنهما disebutkan tentang rahmat Allah, pengampunan Allah dan ketenangan yang dilimpahkan kepada tholabul 'ilmi (penuntut ilmu) .
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فيِ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَ يَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَ غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَ ذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
Dan tidaklah berkumpul suatu kaum di rumah dari rumah-rumah Allah ; mereka membaca Al Quran dan saling mempelajarinya diantara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi rahmat, dikelilingi oleh para malaikat dan Allah menyebut nama-nama mereka di sisi para malaikat (HR.Muslim)
• “ نَحْنُ " (kami) Menunjukkan keutamaan para sahabat yang pernah bermajelis dengan Rasulullah  , dan mereka adalah orang yang paling semangat di dalamnya karena pengetahuan mereka yang sangat mendalam tentang keutamaan majelis ilmu dan semangat ini diteruskan oleh para As Salaf Ash Sholih sesudah mereka.
Berikut ini contohnya :
► seorang Amirul Mu'minin dalam hadits Syu’bah bin Hajjaj رحمه الله jatuh sakit karena tidak sempat mudzakaroh (mengulangi pelajaran/hafalan) hadits.
► Beliau (Syu’bah bin al-Hajjaj (رحمه الله juga pernah mengatakan: “ Setiap aku melihat orang yang berlari-lari, pasti aku katakan dia orang gila atau penuntut ilmu hadits.”
Maksudnya penuntut ilmu hadits berlari karena mereka begitu semangatnya untuk mencari hadits yang merupakan harta warisan dari Rasulullah  sebagaimana dalam hadits Rasulullah  dari Abu Darda’  bahwa  bersabda:
ِإنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِر... 
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham mereka hanya mewariskan ilmu dien, maka siapa yang telah mendapatkannya berarti ia telah mengambil bagian yang besar ( HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)
► Juga dikisahkan , bahwa kematian Husyaim adalah akibat berdesak-desakannya para pelajar atau penuntut ilmu hadits untuk mendatanginya: “Para penuntut ilmu hadits berdesak-desakan mendatanginya sehingga mejatuhkan beliau (tanpa sengaja) dari atas keledainya, dan itu menjadi penyebab kematiannya.”
• Perkataan Umar  tadi juga menunjukkan keutamaan duduk bersama orang-orang sholeh.
Dimana Nabi  bersabda :
 إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً 
“Perumpamaan teman duduk yang sholeh dan teman duduk yang buruk ibarat penjual parfum dan peniup api/tukang besi. Adapun penjual minyak wangi maka; boleh jadi kamu akan diberi hadiah, kamu membeli minyak wangi tersebut atau kamu mencium darinya bau yang wangi. Adapun peniup besi/pandai besi; kalau dia tidak membakar pakaianmu maka kau akan mendapat bau yang tidak sedap darinya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Seseorang akan menyesal akibat berteman dengan orang jahat di dunia, sebagaimana yang Allah  firmankan :
﴿وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَالَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًايَاوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًالَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا﴾
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul." Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur'an ketika Al Qur'an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.(QS. Al Furqan:27-29)

ذَاتَ يَوْمٍ 
“ ...pada suatu hari...”
Maksudnya ada kejadian yang luar biasa atau menakjubkan pada hari itu
إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ …  …
“...ketika tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki...”
” إِذ “  digunakan untuk hal-hal yang tiba-tiba
Perkataan ini memberikan pelajaran :
• Disyariatkannya mendatangi majelis ilmu
Imam Malik رحمه الله menegaskan :
الْعِلْمُ يُؤْتَى وَلاَ يَأْتِيْ
Ilmu didatangi bukan mendatangi.
Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما menceritakan : "Ketika wafat Rasulullah  saya berkata kepada seorang dari kalangan Anshar : 'Ayo kita pergi ke para sahabat Rasulullah  karena hari ini jumlah mereka masih banyak' Laki-laki Anshar itu berkata : "Sungguh menakjubkan engkau wahai Ibnu Abbas apakah engkau menyangka orang akan membutuhkanmu padahal di tengah manusia masih banyak sahabat-sahabat (yang besar)?! . Orang Anshar itu tidak memenuhi ajakannya maka aku pergi untuk bertanya kepada sahabat Rosulullah  tentang hadits; (suatu hari) saya mendengar ada seorang diantara mereka memiliki hadits maka saya mendatangi pintu rumahnya sementara dia sedang tidur siang maka aku bersandar pada pintunya beralaskan selendangku, hingga angin berhembus meniupkan tanah padaku. Pada saat sahabat itu telah terbangun dan keluar dari rumahnya lau berkata : 'Wahai sepupu Rasulullah apa yang membuatmu datang ke sini, mengapa engkau tidak mengutus seseorang agar aku yang mendatangimu!" Ibnu Abbas berkata : "Sayalah yang harus mendatangimu", lalu beliau bertanya tentang hadits..."
Hal ini disebabkan oleh mulianya pahala orang yang mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu sebagaimana dalam suatu hadits :
 وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ 
Dan barangsiapa yang menjalani sebuah jalan untu mencari ilmu maka Allah memudahkan baginya jalan menuju ke surga (HR. Muslim)
Kita dapat melihat rihlahnya Nabi Musa  untuk menuntut ilmu yang diceritakan dalam surat Al Kahfi (ayat 60-82), demikian pula para as salaf ash-shalih .
• Dan ini juga menunjukkan pentingnya mempelajari ilmu langsung dari seorang guru dan tidak boleh mencukupkan dengan sekedar banyak membaca buku, Imam Auza'i mengatakan : "Dulunya ilmu ini mulia dimana orang-orang mengambilnya dari para guru namun ketika sudah masuk dalam buku-buku maka masuk juga dalam ilmu ini yang bukan ahlinya" Karenanya salah satu syarat seseorang dikatakan hafizh (ahli hadits) adalah mengambil ilmu/hadits langsung dari mulut para masyayikh(guru) bukan hanya lewat buku-buku sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله
• ”َرجُلٌ“  Merupakan dalil bahwa Jibril  bisa berubah wujud menjadi manusia, dan biasanya beliau datang dalam bentuk seperti seorang sahabat yang mulia Dihyah al-Kalbi , sebagaimana yang disebutkan oleh sahabat pada suatu kesempatan :
مَرَّ بِنَا دِحْيَةُ الْكَلْبِيُّ وَكَانَ دِحْيَةُ الْكَلْبِيُّ تُشْبِهُ لِحْيَتُهُ وَسِنُّهُ وَوَجْهُهُ جِبْرِيلَ  (رواه أحمد)
"Dihyah Al Kalbi lewat di depan kami dan beliau itu jenggot, gigi dan wajahnya mirip Jibril " (HR. Ahmad)
Dalam riwayat Nasaai tentang hadits ini disebutkan :
 وَإِنَّهُ لَجِبْرِيلُ  نَزَلَ فِي صُورَةِ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ 
"Dan orang itu adalah Jibril  yang turun dalam bentuk rupa Dihyah Al Kalbi" (HR. Nasaai)
Hadits ini juga sekaligus menunjukkan keutamaan sahabat yang telah melihat Jibril walaupun hanya dalam bentuk seorang manusia
.
شَدِيْدُ بَيَاضِ الثَّيَابِ
"… berbaju sangat putih …"
Perkataan ini memberikan beberapa faidah:
• Seorang yang duduk di majelis ilmu hendaknya memperbaiki penampilannya dan dalam keadaan terbaik, demikian pula dengan kondisi dirinya.
• Anjuran untuk menghormati majelis ilmu (berhias) baik seorang pengajar ataupun penuntut ilmu. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Jibril  dengan pakaiannya yang sangat putih. Karena majelis ilmu adalah salah satu dari bagian syi'ar Allah dan didatangi oleh malaikat
• Dianjurkannya mengenakan pakaian putih karena dia yang paling afdhol, dan ini ditunjukkan dalam sabda Rasulullah  yang lain:
 الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم 
“Pakailah pakaian yang putih, karena ia adalah pakaian terbaik bagimu dan kafanilah orang yang meninggal diantara kalian dengannya". (HR. Tirmidzi)
• Keutamaan pakaian yang rapi dan bersih dalam segala hal, terutama jika hendak masuk ke masjid, hendak menuntut ilmu atau bertemu dengan seorang alim ; sebagaimana ulama salaf ketika akan menghadiri majelis ilmu maka mereka menghadirinya dengan keadaan yang terbaik .
Allah  berfirman:
﴿ يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ﴾
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(QS. Al A'raaf:31)
Ayat ini menunjukkan kesalahan yang sering terjadi pada kita; terkadang kita tidak mengagungkan Allah  sebagaimana mestinya, kadang kita lebih memperbaiki penampilan kita ketika berhadapan dengan manusia dibandingkan ketika kita berhadapan dengan Allah  pada saat sholat. Padahal justru di hadapan Allah sepantasnya untuk kita mengagungkanNya dengan penampilan terbaik kita. Rasulullah  bersabda :
...فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ أَنْ يُتَزَيَّنَ لَهُ
"…karena sesungguhnya Allah yang paling berhak untuk kita berhias kepada-Nya"
Contoh para ulama salaf dalam menyikapi masalah ini:
 Imam Malik رحمه الله: Beliau jika didatangi seseorang maka beliau bertanya dulu apakah ia datang untuk hanya berziarah atau untuk menuntut ilmu hadits, jika sekadar berziarah maka beliau hadapi dengan seadanya, namun jika untuk menuntut ilmu hadits maka beliau masuk ke dalam rumah untuk mandi, dan berpakaian indah dan memakai sorban, lalu berkata : "Saya ingin mengagungkan hadits Rasulullah  dan saya tidak mau membacakan hadits Rasulullah  dalam keadaan tidak suci/kotor” .
Abu Hurairah  : Beliau pernah bertemu dengan Rasulullah  dalam keadaan junub lalu beliau menghindar dengan alasan sedang junub dan tidak ingin bertemu dengan seorang alim dalam keadaan junub
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ  : أَنَّهُ لَقِيَهُ النَّبِيُّ  فِي طَرِيقٍ مِنْ طُرُقِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ جُنُبٌ فَانْسَلَّ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ فَتَفَقَّدَهُ النَّبِيُّ  فَلَمَّا جَاءَهُ قَالَ : أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ؟ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقِيتَنِي وَأَنَا جُنُبٌ فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ حَتَّى أَغْتَسِلَ فَقَالَ رَسُولُ الله  :
 سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ 
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah  katanya: Beliau bertemu dengan Nabi di salah satu jalan di Madinah, sedangkan beliau dalam keadaan berjunub. Maka dia menyelinap/mengelakkan diri dari bertemu Rasulullah  dan pergi untuk mandi sehingga Rasulullah  mencari-carinya. Ketika beliau datang kembali, Rasulullah  pun bertanya: Kemana kamu pergi wahai Abu Hurairah? Beliau menjawab: Wahai Rasulullah! engkau berjumpa denganku sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Aku merasa tidak enak duduk bersamamu sebelum aku mandi. Lalu Rasulullah  bersabda: Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis
• Disyariatkannya mengagungkan Allah  dan syiar-syiar-Nya seperti ilmu dan ulama dengan zhohir dan batin. Allah  mencela orang yang beribadah kepada-Nya namun tidak mengagungkan-Nya :
﴿ مَا لَكُمْ لاَ تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا ﴾
Mengapa kamu tidak menghargai akan kebesaran Allah (QS. Nuh :13)
Dan juga dalam ayat Allah yang lain Qs 39:67
﴾ وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِه… ﴿
Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya.
Maksudnya mereka mengetahui Allah menciptakan mereka namun mereka tidak mengagungkan Allah , ini adalah pengakuan dusta. Ayat ini berkaitan dengan seorang alim Yahudi yang datang kepada Rasulullah  dan menyampaikan kepada beliau apa yang dia baca bahwa Allah menjadikan seluruh langit di jari-Nya, bumi di jari-Nya, pohon di jari-Nya, air dan tanah jari-Nya dan seluruh makhluk jari-Nya seraya Dia berfirman : Aku adalah Raja, maka Nabi  hanya tersenyum hingga nampak geraham beliau karena membenarkan perkataan dari Yahudi tadi kemudian beliau  membaca ayat (yang artinya) : "Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan". (HR.Bukhari dan Muslim)
Ibrahim al Harbi rahimahullahu seorang ulama. yang dihormati orang-orang sezamannya sebagaimana mereka menghormati para umara (pemerintah)

شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعَرِ … 
“.... dan rambut sangat hitam…..”
• Dengan rambut yang sangat hitam. Ini menunjukkan kelebihan rambut hitam.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ :  مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ 
Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah  bersabda:“Barangsiapa yang memiliki rambut hendaknya dia memuliakannya “ (HR Abu Dawud)
Nabi  menyuruh para sahabatnya untuk meyemir rambutnya jika beruban agar menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara. Namun menyemir ini dilarang dengan warna hitam sebagaimana dalam hadits Rasulullah  yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah , ketika Nabi  pada saat Fathu Makkah melihat uban di rambut dan jenggot dari Abu Quhafah,maka beliau  bersabda:
 غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ 
“Gantilah warna uban ini dengan sesuatu akan tetapi hindarilah warna hitam” (HR. Muslim)
. Dan merupakan fitrah manusia senang dengan rambut hitam sehingga terkadang banyak orang yang telah beruban berlomba-lomba untuk kembali menghitamkan rambutnya dengan cat/semir rambut . Maka hal ini merupakan imtihan(ujian) bagi mereka untuk bertaqwa kepada Allah  dengan menghindari semir rambut hitam.
Dari hadits Jibril  tersebut, rambut yang sangat hitam maksudnya rambut tanpa debu.
• Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah  tentang hadits Jibril  ini dari Imam Nasai disebutkan bahwa Jibril  datang dengan bau yang sangat harum. Dan Nabi kita menyukai dan menggunakan parfum serta menganjurkan muslim laki-laki untuk itu. Padahal nabi Muhammad  tidak membutuhkan parfum.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ دَخَلَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ  فَقَالَ عِنْدَنَا فَعَرِقَ وَجَاءَتْ أُمِّي بِقَارُورَةٍ فَجَعَلَتْ تَسْلِتُ الْعَرَقَ فِيهَا فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ  فَقَالَ :  يَا أُمَّ سُلَيْمٍ مَا هَذَا الَّذِي تَصْنَعِينَ ؟  قَالَتْ : هَذَا عَرَقُكَ نَجْعَلُهُ فِي طِيبِنَا وَهُوَ مِنْ أَطْيَبِ الطِّيبِ
Dari Anas bin Malik  berkata: Nabi  masuk ke rumah kami lalu tidur siang hingga beliau berkeringat dan ibuku (Ummu Sulaim رضي الله عنها ) datang membawa botol untuk menadah keringat beliau pada botol tersebut, lalu Nabi  terjaga dan berkata kepada Ummu Sulaim:"Wahai Ummu Sulaim apa yang kamu lakukan ?" Beliau berkata:"Ini adalah keringatmu yang kami jadikan pada parfum kami dan dia adalah parfum yang terharum"
Maka ketika Rasulullah  memakai parfum sebenarnya merupakan ajakan dan penekanan kepada ummat ini (khususnya kaum lelaki) tentang pentingnya hal ini karena beliau yang sebenarnya tidak membutuhkannya namun senantiasa memakainya maka apatah lagi selainnya. Sebagaimana masalah istighfar, Rasulullah  beristighfar 100 kali sehari padahal beliau telah diampuni oleh Allah atas segala dosa beliau yang telah lampau dan yang akan datang. Maka hal ini tidak lain sebagai ajakan untuk ummat ini agar memperbanyak istighfar dan taubat kepada Allah  .
Salah satu sebab diperintahkannya mandi sebelum sholat Jumat karena dahulu diantara sahabat ada yang datang untuk sholat Jumat dari tempat kerja mereka, lalu menebar bau yang tidak enak.
Masalah parfum ini juga menunjukkan penekanan untuk menjauhkan diri dari hal yang berbau tidak enak. Dalam sebuah hadits dikatakan Rasulullah  melarang orang yang baru memakan bawang merah dan putih yang mentah untuk mendatangi masjid karena di dalam masjid ada malaikat Allah yang merasa tersakiti sebagaimana tersakitinya anak cucu Adam baik berasal dari sesuatu yang nampak atau tidak seperti bau yang tidak sedap . Sehingga parfum juga termasuk pengagungan terhadap majelis ilmu
Majelis ilmu yang diagungkan dan ajaran sunnah generasi terdahulu dari kalangan sahabat, tabi’in dan para ulama salaf seperti Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal dll. Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa para sahabat kalau menghadiri majelis Rasulullah  seakan-akan diatas kepala mereka ada burung-burung. Menurut ulama maknanya bahwa mereka tunduk khusyuk dan tidak bergerak sehingga burung tersebut tidak terbang.
Sahabat telah mengagungkan Rasulullah  dengan sebenarnya sampai di antara mereka ada yang sering bermajelis dengan Rasulullah  namun dia tidak bisa melukiskan dengan kata-kata bagaimana wajah Rasulullah  karena sangat segannya untuk menatap wajah beliau. Diantaranya adalah Amr bin Ash -seorang sahabat yang mulia- sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ketika beliau akan meninggal dunia ia menangis dan mnemalingkan wajahnya ke tembok maka anaknya bertanya: “Wahai bapakku (mengapa engkau menangis) bukankah Rasulullah  sudah memberi kabar gembira kepadamu dengan ini dan itu? Maka beliau menoleh sambil berkata : "Sesungguhnya hal yang afdhal yang kami siapkan adalah Syahadatain, saya telah menjalani kehidupan ini dalam 3 periode.( Pertama ketika saya musyrik) maka orang yang paling saya benci dan jengkel adalah Nabi Muhammad  tidak ada orang yang paling saya ingin sakiti dan saya bunuh melainkan beliau  .Seandainya saya mati saat itu maka tidak ada tempat saya kecuali neraka.(Periode kedua) ketika Allah  memberikan hidayah kepadaku dalam Islam ... maka tidak ada orang yang paling saya cintai dan yang saya sangat memuliakan melebihi Nabi Muhammad  hingga saya tidak kuasa memandang wajah Rasulullah  berlama-lama sehingga seandainya waktu itu saya diperintahkan untuk melukiskan atau mensifatkan wajah Rasulullah  maka saya tidak akan mampu, seandainya saya wafat pada saat itu maka saya berharap termasuk penghuni surga , kemudian datang kepada kami beberapa hal (pertode ketiga) saya tidak mengetahui bagaimana keadaan saya padanya...

Ulama kita selalu mengajarkan tentang adab dalam majelis ilmu; Imam Abdurrahman bin Mahdi رحمه الله ; tidak memperbolehkan seorangpun berbicara dalam majelisnya bahkan tersenyum atau mengkorok-korok pinsilnya kalau beliau mendengarkan atau mengetahui hal itu maka beliau langsung meninggalkan majelis ilmunya. Sehingga majelis-majelis terdahulu khusyu' dan dirahmati Allah . Maka kosongnya hati kita sekarang ini dari hidayah Allah meski sering mengikuti pengajian karena berkah ilmu tidak datang. Dan salah satu cara mengundangnya adalah dengan mengamalkan sunnah dan adab Rasulullah  dalam majelis ilmu.

“لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ … ”
"… Kami tidak melihat tanda-tanda perjalanan pada dirinya…"
Para sahabat yakin bahwa orang tersebut adalah orang asing yang datang dari tempat yang jauh, sebab para sahabat tidak ada yang mengenalinya padahal ukhuwah diantara mereka sangat erat. Namun yang membuat mereka heran karena para sahabat tidak melihat tanda-tanda perjalanan padanya sebagaimana lazimnya orang yang mengadakan perjalanan/safar (tidak kusut, tidak berkeringat dan pakaiannya bersih)
.
…  وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلى النَّبِيّ ِ 
“…tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya sampai ia duduk di hadapan Rasulullah . . .”
Sahabat bertambah kaget ketika orang tersebut langsung mendatangi Rasulullah  padahal Rasulullah  tidaklahlah dikenali dengan mahkotanya atau pakaian dan singgasananya. Beliau  adalah pemimpin yang sangat tawadhu dan bersahaja. Bahkan Umar pernah menangis karena melihat Rasulullah  sebagai sosok pemimpin ummat tidur di atas tikar kasar yang membekas pada tubuh beliau sedangkan Kaisar Romawi begitu mewahnya kehidupannya padahal ia hanya memimpin satu negara.
Karena tidak jelas yang mana Rasulullah  terkadang seseorang harus bertanya yang mana Rasulullah  dalam sebuah majelis yang dihadiri Rasulullah. Tetapi dalam hadits ini orang tersebut tidak bertanya melainkan langsung duduk di hadapan Rasulullah berbeda dengan orang asing lainnya seperti Badui yang harus bertanya terlebih dahulu .
فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ 
lalu Jibril merapatkankan lututnya ke lutut Rasulullah  dan (Jibril) meletakkan telapak tangannya di atas pahanya…”
• عَلَى فَخِذَيْهِ  diiktilafkan karena lafazh Muslim tersebut bersifat muhtamal .
1. Sebagian mengatakan bahwa Jibril  meletakkan tangannya di atas pahanya sendiri.
Dan ini pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi رحمه الله dan Syaikh Utsaimin رحمه الله dengan alasan cara duduk seperti ini menunjukkan adab seorang murid kepada gurunya
2. Ibnu Daqiq Al 'Ied رحمه الله dan Ibnu Hajar Al-Asqalani رحمه الله berpendapat bahwa Jibril  meletakkan tangannya di atas paha Rasulullah .
Dan pendapat yang rajih-Insya Allah-adalah yang kedua. Kita merajihkan hal ini karena disebutkan dalam riwayat An-Nasa’i (4991) yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah  dan Abu Dzar , ;
  ... حَتَّى وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رُكْبَتَيْ رَسُولِ اللَّه ِ .
"… hingga Jibril meletakkan tangannya di atas kedua lutut Rasulullah 
Beberapa pelajaran yang kita ambil dari potongan hadits ini:
• Keutamaan mencari langsung ilmu kepada ulama yang dipercayai dengan memperhatikan adab seorang penuntut ilmu terhadap gurunya sebagaimana Jibril  mencari ilmu langsung kehadapan Rasulullah  dengan melekatkan lututnya pada Rasulullah  .
• Sekali lagi ini menunjukkan bagaimana seharusnya adab seorang penuntut ilmu bila berada dalam majelis ilmu terutama kalau ingin bertanya atau meminta fatwa.
• Isyarat untuk bermajelis dekat dengan seorang guru, dan hal ini juga ditunjukkan dalam hadits yang lain :
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ وَالنَّاسُ مَعَهُ إِذْ أَقْبَلَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ  وَذَهَبَ وَاحِدٌ قَالَ فَوَقَفَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ  فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلْقَةِ فَجَلَسَ فِيهَا وَأَمَّا الْآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللَّهِ  قَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ النَّفَرِ الثَّلَاثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ (متفق عليه )
Dari Abu Waqid Al Laytsi  bahwa ketika Rasulullah  sementara duduk di mesjid bersama para sahabat lalu ada tiga orang berjalan menuju mereka; dua orang diantara mereka menuju Rasulullah  orang yang ketiga lewat begitu saja. Maka dua orang tadi berhenti di majelis Rasulullah  salah seorang diantara keduanya melihat ada tempat lowong di halaqah maka ia duduk di tempat tersebut sedang orang yang kedua duduk di belakang mereka (agak menjauh dari majelis) adapun orang yang ketiga pergi berlalu begitu saja. Ketika Rasulullah  selesai dari majelisnya, beliau bersabda : "Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang tiga orang tersebut? Adapun orang yang pertama maka ia berlindung kepada Allah maka Allah melindunginya, adapun orang yang kedua; dia malu maka Allah pun malu kepadanya dan orang yang ketiga berpaling dari majelis maka Allah pun berpaling darinya" (HR. Bukhari dan Muslim)


ياَ مُحَمَّدُ 
“ . . . . . dan berkata : Ya, Muhammad,…”
Perkataan ini memberikan faidah:
• Ini menunjukkan bahwa orang tadi tidak beradab sehingga bertambah keyakinan para sahabat bahwa orang ini datang dari jauh dan bukan sahabat, sebab jika ia seorang sahabat maka tentu akan mengatakan “Ya, Nabiyallah” atau “Ya, Rasulallah" sebagai pelaksanaan dari perintah Allah dalam QS. 24 :63
﴿لاَ تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا﴾ النور :63
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)
Dalam Tafsir Jalalain, Imam Suyuthi رحمه الله ketika menafsirkan ayat ini mengatakan: hendaknya kamu memanggil dengan Ya Nabiyallah atau Ya Rasulallah dan tidak boleh dengan namanya.
Dan ini adalah salah satu bentuk pengagungan kita kepada Nabi Muhammad . Dan hal ini telah dicontohkan langsung oleh Allah . Dalam Al-Qur’an tidak satu kali pun Allah  memanggil Rasulullah  dengan “Ya, Muhammad”. Bahkan Allah  mengatakan dalam QS At-Tahrim ,ketika menegur Rasulullah  dengan panggilan wahai nabi:
﴿ يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
. Padahal ketika Allah  memanggil nabi sebelum Rasulullah  mulai dari bapak manusia yaitu, Adam  hingga para Ulul Azmi , Allah  memanggil mereka dengan nama-namanya.
﴿قَالَ يَاآدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ﴾
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (QS. Al Baqarah :33)
﴿قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ ﴾
Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (QS. Hud:46)
﴿ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ ﴾
Dan Kami panggillah dia : "Hai Ibrahim, (QS. Ash Shaffat : 104)

﴿قَالَ يَامُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي فَخُذْ مَا ءَاتَيْتُكَ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ﴾
Allah berfirman: "Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur". (QS. Al A'raaf :104)
﴿قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَجَاعِلُ الَّذِينَ اتَّبَعُوكَ فَوْقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأَحْكُمُ بَيْنَكُمْ فِيمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ﴾
(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai `Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya". (QS. Ali Imran :55)
tapi panggilan“Ya (Wahai) Muhammad” tidak ada dalam Al Quran. Ini menunjukkan keutaman nabi kita. Kalau Allah  saja tidak menyebutkan “Ya, Muhammad” maka tentu kita lebih tidak pantas untuk mengatakan “Ya, Muhammad”. Demikian pula para sahabat dan istri-istri beliau tidak pernah memanggil beliau dengan namanya.
Walaupun kata Muhammad disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 4 kali namun berbentuk kabar bukan panggilan
1. QS. Ali Imron :144
﴿وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ َ...﴾
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, ...
2.QS. Al Ahzab :40
﴿مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا﴾
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
3. QS. Muhammad:2
﴿وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَءَامَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ .....﴾
Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, ....
4. QS. Al Fath :29
﴿مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ .....﴾
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, .....
• Perkataan Jibril dengan “Ya, Muhammad” mengandung dua kemungkinan:
1. karena ingin menyamarkan dirinya dengan berlaku seperti orang Badui
2. larangan dalam ayat tersebut tidak berlaku bagi para malaikat atau hal ini terjadi sebelum turunnya ayat tadi .
• Ini penghormatan penuntut ilmu kepada syaikhnya. Syaikh Bakar bin Abdullah dalam “Hilyatu Tholibil Ilmi” menganalogikan hal ini dengan para ulama kita sehingga menurut beliau tidak pantas bagi kita langsung memanggil nama-nama mereka namun hendaknya dengan panggilan : “Wahai syaikhku ,wahai syaikh kami atau wahai ustadz/guru kamim...”.

أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْـلاَم… 
“. . . . Beritahukan aku tentang Islam !. . . . .”
Beberapa pelajaran dari perkataan ini :
• Anjuran bertanya untuk mendapatkan ilmu sekaligus menunjukkan bahwa seorang alim tidak boleh menyembunyikan ilmunya atau kikir walaupun ditanya oleh orang yang tidak beradab kepadanya.
Inilah yang dikatakan ulama bahwa :
-- " bertanya adalah kunci ilmu” (السؤال مفتاح العلم ), menurut Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziah رحمه الله ilmu itu ada beberapa tingkatan yang paling pertama adalah pertanyaan yang baik/tepat, beliau mengatakan bahwa diantara manusia ada yang tidak memiliki ilmu disebabkan hal ini; entah karena memang dia tidak bertanya atau dia bertanya dengan pertanyaan yang tidak terlalu penting seperti orang yang bertanya tentang sebuah permasalahan yang sebenarnya walaupun tidak diketahui tidak akan membahayakan lalu dia meninggalkan hal yang dibutuhkannya dan ini banyak terjadi kepada para penuntut ilmu yang jahil (akan hakikat ilmu yang bermanfaat)
--Dan Allah menyebutkan dua kali dalam Al-Quran :
﴿ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴾
"maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui." ( Qs. 16:43 dan Qs. 21 :7 )
► Dan dalam sebuah hadits ditunjukkan bahaya tidak bertanya atau bertanya tetapi bukan kepada ahlinya
عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ  أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ ...(رواه أبو داود)
Dari Jabir beliau berkata:Kami mengadakan safar, maka ada seseorang diantara kami yang tertimpa batu yang menyebabkan luka pada bagian kepalanya, kemudian ketika malam hari dia mimpi basah, maka dia bertanya kepada teman-temannya:"Apakah kalian memandang bahwa saya memiliki rukhshah(keringanan) untuk bertayammum?" Mereka menjawab:"Kami tidak mendapatkan rukhshah bagimu selama anda masih mampu mempergunakan air" Akhirnya dia mandi yang menyebabkan dia meninggal dunia. Maka ketika kami pulang dari safar dan mendatangi Rasulullah  lalu disampaikan kepada beliau, maka beliau bersabda:"Mereka telah membunuhnya semoga Allah membunuh mereka!kenapa mereka tidak bertanya dulu jika mereka tidak mengetahui?karena sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya....." (HR.Abu Dawud)
► Sahabat Ibnu Abbas رضي الله عنهما ketika ditanya “Bagaimana engkau bisa mendapatkan ilmu yang begitu luas ini? Beliau menjawab:
 بِلِسَانٍ سَؤُوْلٍ وَ قَلْبٍ عَقُوْلٍ 
"dengan lisan yang sering bertanya dan hati yang memahami."
► Kata Imam Mujahid (seorang ahli tafsir tabiin dan murid terkemuka shahabat Ibnu Abbas)
 لَا يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٌ 
“tidak akan menuntut ilmu seorang yang pemalu dan sombong”.
Orang yang malu dan sombong tidak mau bertanya sehingga tidak memperoleh ilmu.
• Kunci ilmu adalah bertanya dengan memperhatikan adab-adabnya. Bertanya untuk suatu masalah atau tujuan mengajarkan, adapun untuk berdebat atau berbangga–bangga maka hal itu dilarang
• Pertanyaan yang didahulukan adalah yang terpenting dan mendasar sebagamana Jibril  bertanya pertama kali tentang Islam, kemudian Iman lalu yang paling tinggi masalah Ihsan dan hari Kiamat
• Jika ada seseorang bertanya dengan pertanyaan yang kurang tepat atau tidak penting maka boleh seorang alim menjawab yang tidak sesuai dengan pertanyaan, jika tidak dibutuhkan Contoh ketika para sahabat bertanya tentang apa-apa yang boleh dipakai ketika Ihram maka Rasulullah  menjawab tentang apa-apa yang tidak boleh

قَالَ : صَدَقْتَ 
“. . . Jibril mengatakan “Kamu benar”.
Pelajaran dari perkataan ini :
• Ini menunjukkan boleh bertanya dengan beberapa pertanyaan dalam satu majelis.
• Keharusan seorang mukmin membenarkan dan mengambil sebuah kebenaran .
 الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا 
" Kalimat hikmah (kebenaran) itu adalah barang muslim/mukmin yang hilang maka dimana saja ia temukan ia mengambilnya ." .
Contoh sebuah hadits ketika Abu Hurairah yang mengambil ilmu dari syaitan
Adapun sifat orang-orang mukmin dalam Qs39 :33
﴿وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ﴾ الزمر: 33
Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya,mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Tidak boleh seorang mukmin menolak suatu kebenaran meski dari orang di bawahnya atau lebih muda darinya. Imam Waki' berkata: "Seseorang tidak bisa menjadi alim hingga dia mengambil hadits dari orang di atasnya , orang yang setingkat ( sama) dengannya dan orang yang di bawahnya”, dan Imam Bukhari mengatakan bahwa: “Seseorang tidak bisa menjadi ahli hadits yang sempurna sampai ia menulis (mengambil hadits) dari orang di atasnya , orang yang setingkat ( sama) dengannya dan orang yang di bawahnya”
Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tidak akan masuk surga orang yang punya kesombongan walaupun sebesar biji dzarrah. Dan dijelaskan bahwa salah satu ciri sombong adalah menolak kebenaran
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ ... الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
"Tidak masuk surga orang yang memiliki kesombongan dalam hatinya walaupun sebesar biji dzarrah,...kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia" (HR. Muslim dari sahabat Abdullah bin Mas'ud )
• Dari perkataan Jibril  :"Kamu Benar" kita mengambil pelajaran bahwa sepantasnya seorang guru memuji muridnya yang ketika ditanya lalu menjawab dengan benar, dan ini dinamakan dalam dunia pendidikan sebagai ta'ziz
• Seorang murid hendaknya melihat kondisi gurunya sebelum bertanya agar tidak mengganggunya (Lihat : QS.33:53)

فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ … 
"'Kami heran dia yang bertanya dia pula yang membenarkan"
• Mereka heran karena ilmu yang dibawa oleh nabi tidak diketahui kecuali darinya (nabi sendiri), padahal orang ini tidak pernah diketahui bertemu dengan Nabi atau mendengar darinya , tetapi ternyata orang tersebut bertanya dengan pertanyaan seorang yang alim, muhaqqiq (peneliti) dan mushaddiq (yang membenarkan) , sehingga merekapun heran.
 أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْـلاَمِ ...فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيْمَانِ، .... قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ ، ...
“ . . .Beritahukan aku tentang Islam !……. Beritahukan aku tentang Iman ! …. Beritahukan aku tentang Ihsan ! …”
Islam, Iman dan Ihsan adalah tingkatan-tingkatan dalam Ad-Dien ini. Dan tingkatan yang paling awal adalah Islam.
Islam
Tentang Islam akan dibahas secara lebih terperinci pada hadits ketiga. Namun kaidah yang terkenal bahwa ketika iman dan Islam disebutkan secara bersamaan maka masing-masing membawa maknanya sendiri. Sedangkan jika iman dan islam disebutkan secara terpisah atau disebutkan secara bersendirian maka makna iman dan islam menjadi sama. Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah  telah mendefinisikan Islam dengan Arkanul (penegak/tiang) Islam.
Iman
Defenisi iman maka ada beberapa versi :
 Kaum Murjiah : iman adalah pembenaran oleh hati dan diucapkan dengan lisan (tidak memasukkan amal dalam penamaan iman)
 Ada yang menganggap keberadaan iman konstan, tidak naik dan tidak pula turun.
 Ahlussunnah wal Jama’ah :
Diucapkan dengan lisan( القول باللسان)
Dibenarkan oleh hati التصديق بالقلب/ الجنان) )
Diamalkan dengan anggota badan ( والعمل بالأركان )
Bertambah dengan ketaatan kepada Ar-Rahman ( يزيد بطاعة الرحمن )
Berkurang dengan bermaksiat kepada Ar-Rahman وينقص بمعصية الرحمن) )
3 unsur ini ; perkataan, pembenaran hati dan pelaksanaan oleh badan adalah satu kesatuan yang dituntut oleh pengakuan keimanan seseorang, jika hilang salah satunya maka tidak sempurna keimanannya. Contoh : jika perkataan tanpa pembenaran hati maka sebagaimana orang-orang munafik
Dalil : Keimanan orang munafiq :
﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِين َ﴾
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(QS. Al Baqarah : 8)
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ﴾ ﴿
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (QS. Al Munafiqun :1)
dan jika membenarkan tanpa mengucapkan maka itu juga tidak menolong seseorang sebagaimana Abu Thalib dan Heraklius
--Tentang bertambahnya keimanan seseorang dengan bertaqwa mempunyai landasan dalil baik dalam Al-Quran maupun dalam hadits (tentang cabang iman),diantaranya :
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal,( Qs. Al Anfaal:2)
﴿وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ﴾
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. (Qs At Taubah :124 )
﴿هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا﴾
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, ( QS. Al Fath:4)
--Adapun berkurangnya keimanan tidak didapatkan secara nash namun secara logika sesuatu yang bisa bertambah tentu dapat pula berkurang.
Kelezatan dzikir dihalangi oleh kemaksiatan, meninggalkan kebaikan dan hilangnya kebiasaan yang bersifat dzikrullah juga mengurangi keimanan; sebagaimana kaum wanita yang dalam hadits disifatkan bahwa mereka kurang akal dan ad-diennya disebabkan ketika berhalangan /haid maka wanita tidak melakukan sholat dan puasa, meskipun ini adalah hal yang disyariatkan namun tetap menyebabkan berkurangnya keimanan. Adapan dikatakan kurang akal mereka karena mereka terlalu ikut kepada perasaan sehingga kerap melupakan kebaikan orang lain kepadanya.
Dari Hadits Jibril ini Rasulullah  mendefinisikan Iman dengan Arkanul Iman. Yakni
”…. engkau mengimani Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan beriman kepada takdir baik dan takdir buruk…..”


أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ 
(1) Iman kepada Allah 
Menurut Syaikh Al-Utsaimin رحمه الله Iman kepada Allah mengandung empat perkara :
1. Beriman kepada wujudnya Allah .
Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indra.
a. Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu penyimpangan.
b. Bukti akal tentang wujud Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula terjadi secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada. Adanya makhluk dengan aturan aturan yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur. Kalau makhluk tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam. Allah  menyebutkan dalail aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath thur :
﴿ أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ ﴾ [ سورة الطور (35) ]
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? ( QS. At-Thur : 35).
Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah  yang tengah membaca surat Ath-thur dan sampai kepada ayat-ayat ini : Ia-yang tatkala itu masih musyrik- berkata : “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al-Bukhari).
c. Bukti syara’ tentang wujud Allah  bahwa seluruh kitab samawi(yang diturunkan dari langit ) berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Robb Yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Robb Yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.
d. Bukti inderawi tentang wujud Allah  dapat dibagi menjadi dua:
1. kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya do’a orang-orang yang berdo’a serta penolong-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Alah .
2. Tanda-tanda para Nabi yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud yang mengutus para Nabi tesebut, yaitu Allah , karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai penguat dan penolong bagi para Rasul. Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujudNya.
Dengan dalil-dalil ini maka jelaslah bahwa mengimani keberadaan Allah adalah sesuatu yang tidak mungkin dingkari jika masih ada yang menolaknya maka sesungguhnya secara fitrah mereka tetap mengimaninya.
﴿ وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِين َ﴾
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. (QS. An Naml :14)

2. Beriman kepada Rububiah Allah .
Beriman kepada Rububiyah Allah maksudnya : beriman sepenuhnya bahwa Dialah Robb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagiNya. Robb adalah yang berhak menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah dari-Nya. Allah  telah berfirman:
… أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِين
“…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Maha suci Allah, Robb semesta alam.” (QS. Al-A’raf : 54).
Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah , kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir’aun ketika berkata kepada kaumnya :
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي
“Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” ( QS. Al-Qashash : 38)
 قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَؤُلاء إِلاَّ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ بَصَآئِرَ وَإِنِّي لأَظُنُّكَ يَا فِرْعَونُ مَثْبُورًا 
(Nabi Musa berkata kepada Fir’aun) : “Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Robb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai fir’aun, seorang yang akan binasa.” (QS. Al-Isra’ : 102).
Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan).
 ولئن سألتهم من خلق السماوات والأرض ليقولن خلقهن العزيز العليم 
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab, “Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” ( QS. Az-Zukhruf : 9).

 ولئن سألتهم من خلقهم ليقولن الله فأنى يؤفكون 
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : “siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab : “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf : 87).

3. Beriman kepada Uluhiyah Allah .
Artinya : Mentauhidkan Allah dengan meyakini Nya sebagai satu-satunya Ilah yang haq, tidak ada sekutu bagi-Nya dan hanya kepada-Nyalah kita berkewajiban untuk beribadah sesuai ketetapan syariat. Inilah yang kemudian menjadi pembeda antara muslim dan kafirnya seseorang. Al Ilah artinya “al ma’luh”, yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan. Setiap sesuatu yang disembah selain Allah, Uluhiyahnya adalah batil.
Allah  berfirman:
﴿ ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ ﴾
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Hajj : 62).
Oleh karena itu para Rasul ‘Alaihimussalam berkata kepada kaum-kaumnya :
﴿..... أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ ﴾
“Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripadanya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepadaNya)?” ( QS. Al-Mu’minun : 32).
﴿ وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ ﴾
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. Al Anbiya :25)
Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah  adalah satu-satunya Robb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), sebagaimana mereka mengEsakan Rububiyah (ketuhanan) Allah.
Allah  berfirman :
﴿ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشاً وَالسَّمَاء بِنَاء وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاء مَاء فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقاً لَّكُمْ فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ﴾ سورة البقرة
“Hai manusia, sembahlah Robbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orag yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahiu.” ( QS. Al-Baqarah : 21-22).

4. Beriman kepada Asma’ (nama-nama) dan sifat Allah .
Yaitu menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah  yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya sesuai dengan yang ditunjukkan dalam Al-Qur’an atau sunnah Rasul-Nya dengan cara yang sesungguhnya dan sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif ,ta’thil , takyif dan tamtsil
﴿وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴾
Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS.Al A'raaf : 180)
﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Asy Syuro : 11)
Di ayat ini terdapat penafian/peniadaan secara global (An Nafyu Al Mujmal) dan penetapan secara rinci (Al Itsbat Al Mufashshal) sesuai yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ,sebab yang mengetahui nama-nama dan sifat-sifat Allah tentu hanya Allah  dan Rasulullah . Contoh : Allah  menyebut dalam Al Quran bahwa Dia mempunyai tangan maka kita meyakini bahwa Allah memang mempunyai tangan sebagaimana Allah mempunyai mata dan mempunyai sifat Maha Melihat namun tidak ada yang dapat menyamai-Nya dan tidak pula diketahui kaifiyatnya.
Diantara orang-orang yang menisbatkan dirinya sebagai umat Islam terpecah menjadi 3 kelompok dalam Asma wa Shifat yaitu mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah  secara keseluruhan sebagaimana yang dijelaskan di atas dan inilah kelompok yang selamat yaitu Ahlussunnah wal Jamaah dan ada dua golongan yang tersesat, :
1. Golongan Mu’aththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah.. Kelompok ini dipelopori oleh Al-Jahmiyah yang dikafirkan oleh sebagian ulama atau mengingkari sebagiannya saja dan menetapkan sebagian sifat saja, ini dipelopori oleh Al Asya‘irah yang menyebar pula di Indonesia.. Mereka hanya menetapkan hanya 7 sifat Allah yaitu Al-Ilmu, Al-Hayyu, Al-Qudrah, Al-Iradah, Al-Bashar, As-Sama’, Al-Kalam. Yang lain seperti wahdaniyah, wujud, mukhalafatu lil hawadits dan lainnya berkembang dari yang ketujuh tadi. Kemudian mereka menafikan sifat Allah yang lain seperti mempunyai tangan, mempunyai mata, al mahabbah dan sifat –sifat lain.
Menurut sangkaan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah  dengan makhluk-Nya. Mereka berkata seperti ini karena berpandangan bahwa jika kita menetapkan sifat Allah maka kita menyamakan-Nya dengan makhluk
Pendapat ini jelas keliru karena :
a. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah  telah menetapkan untuk diriNya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyalahi sebagian yang lain.
b. Kecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengarannya, penglihatannya, dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama. Apabila antara mkhluk-makhluk yang serupa dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara khaliq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
2. Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah  dengan makhluknya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat difahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain :
a. Menyerupakan Allah  dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al-Qur’an dan sunnah Rasul menunjukkan pengertian yang bathil.
b. Allah  berbicara dengan hamba-hambaNya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan dzat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja.
Apabila Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak maklum, karena hakekat pendengaran jelas berbeda, walau pada makluk-makhluk sekalipun. Jadi perbedaan hakikat itu antara pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda.
Apabila Allah  memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas Arsy-Nya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakekat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui.

وَمَلاَئِكَتِهِ 
(2) Iman kepada Malaikat,
Malaikat adalah alam ghaib, makhluk, dan hamba Allah . Allah menciptakannya dari cahaya serta memberikan kekuatan yang sempurna serta kekuatan untuk melaksanakan ketaatan namun Malaikat sama sekali tidak memiliki keistimewaan rububiyah dan uluhiyah
Allah menjadikan mereka sebagai utusan sebagaimana firman- Nya dalam Qs 35 : 1 :
﴿ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴾ فاطر:1
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Malaikat berjumlah banyak, dan tidak ada yang dapat menghitungnya, kecuali Allah.
Allah  berfirman :
وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ
Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. (QS. Al Muddatstsir :31)
Dalam hadits Bukhari dan Muslim terdapat hadits dari Anas  tentang kisah mi’raj bahwa Allah telah memperlihatkan Al-Baitul Ma’mur yang ada di langit kepada Nabi . Di dalamnya terdapat 70.000 Malaikat yang setiap hari melakukan shalat. Siapapun yang keluar dari tempat itu, tidak kembali lagi.
Kita juga tidak boleh memusuhi malaikat, sebagaimana firman Allah :
﴿ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ ﴾
Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. ( Qs Al Baqarah : 98 )
Ayat ini menjelaskan tentang kafirnya orang yang memusuhi malaikat.
Iman kepada malaikat dengan dua cara :
1) Iman secara mujmal (global) bahwa ada malaikat yang diciptakan tanpa mengetahui tugas dan nama mereka secara terperinci dan jumlahnya tidak diketahui secara pasti.
2) Iman secara mufashshal (rinci) bahwa ada beberapa malaikat yang dikenali tugas, sifat dan nama-namanya karena disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah .
Iman kepada Malaikat mengandung empat perkara :
1. Mengimani wujud keberadaan mereka.
2. Mengimani mereka yang kita kenali nama-namanya; seperti Jibril, Mikail, Israfil dan juga terhadap nama-nama Malaikat yang tidak kita kenal.
3. Mengimani sifat-sifat mereka yang kita kenali, antara lain :
a. mempunyai sayap
﴿ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴾
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Fathir:1)
Dalam suatu riwayat disebutkan malaikat Jibril  pernah dilihat Nabi  dalam wujud asli mempunyai 600 sayap yang menutup ufuk.
b. Mereka bisa berubah-ubah bentuk dan kadang menjelma seorang lelaki; seperti yang pernah terjadi pada Malaikat Jibril  tatkala Allah  mengutusnya kepada Maryam beliau menjelma jadi seorang yang sempurna, juga sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits yang kita bahas ini dan kadang Jibril berwujud seperti sahabat Dihyah Al Kalbi. Demikian halnya dengan para Malaikat yang diutus kepada Nabi Ibrahim dan Luth, mereka menjelma bentuk mejadi lelaki.
c. Mereka tidak pernah menyimpang dari perintah Allah sejak mereka diciptakan, Sebagaimana mereka tidak pernah bermaksiat kepada Allah
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim :6)
d. Mereka senantiasa bertasbih kepada Allah siang dan malam dan tidak pernah futur
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ(19)يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ
Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.(Qs Al-Anbiya :19-20)
e. Malaikat juga merasa tersakiti sebagaimana anak cucu Adam. Maka hendaknya kita memuliakan majelis yang dihadiri oleh para malaikat.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : قال رَسُولُ اللَّهِ  : من أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ
Dari Jabir berkata : Rasulullah  bersabda : "Barang siapa yang memakan dari pohon yang berbeu busuk ini maka jangan sekali-kali dia mendekati masjid kami karena sesungguhnya malaikat tersakiti dengan apa yang menyakiti manusia" (HR. Muslim)
4. Mengimani tugas-tugas yang diperintahkan Allah kepada mereka yang sudah kita ketahui, seperti membaca tasbih, dan menyembah Allah  siang dan malam.
Diantara mereka ada yang mempunyai tugas-tugas tertentu, misalnya :
a. Malaikat Jibril yang dipercayakan menyampaikan wahyu kepada para Nabi dan Rasul.
b. Malaikat Mikail yang diserahi tugas menurunkan hujan dan tumbuh-tumbhan.
Allah  berfirman :
﴿مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ﴾
Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (Qs 2:98)
c. Malaikat Israfil yang diserahi tugas meniup sangkakala di hari kiamat dan kebangkitan makhluk, namanya juga disebutkan dalam hadits berikut:
عن أَبُي سَلَمَةَ بْن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ  يَفْتَتِحُ صَلَاتَهُ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ؟ قَالَتْ :كَانَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ افْتَتَحَ صَلَاتَهُ : اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dari Abu Salamah bin Abdirrahman bin Auf berkata: Saya bertanya kepada Aisyah Ummul Mu'minin : "Bacaan apa yang pertamakali dibaca oleh Nabi  ketika memulai qiyamullail? Beliau menjawab:Adalah beliau  jika bangun pada waktu malam untuk shalat , beliau memulai shalatnya dengan membaca:"Ya Allah Rabb Jibril,Mikail dan Israfil.Pencipta langit dan bumi Yang Maha Mengetahui gaib dan yang nampak , Engkau yang memutuskan diantara hamba-Mu terhadap apa yang mereka perselisihkan, Tunjukilah aku kepada kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau menunjuki siapa yang Engkau inginkan kepada jalan yang lurus" (HR.Muslim)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah رحمه الله mengatakan dalam kitabnya Zaadul Ma'ad bahwa tiga malaikat tersebut adalah malaikat yang terpilih; telah dikhususkan penyebutan dalam hadits tersebut diantara sekian banyak malaikat yang ada di langit namun hanya mereka yang disebutkan karena kekhususan mereka serta kedekatan mereka kepada Allah; Asy Syaikh Al Utsaimin mengatakan ketiga malaikat ini disebutkan secara khusus karena ketiganya yang membawa kehidupan; Jibril pembawa wahyu yang merupakan sebab kehidupan hati dan roh, Mikail pembawa hujan yang merupakan sebab kehidupan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan dan Israfil pemilik terompet yang jika dia meniupnya maka dengan izin Allah akan menghidupkan manusia dari kuburan mereka.
d. Malaikat maut yang diserahi tugas mencabut nyawa orang. Allah  berfirman :
﴿قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ﴾
Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan. (Qs 32 :11)
adapun penamaan Malaikat maut dengan Izrail maka tidak ada dalil shohih yang menunjukkannya, nama tersebut hanya terdapat pada kabar- kabar Israiliyat atau dalam hadits dhoif.
e. Malaikat yang diserahi tugas menjaga neraka, yaitu : Malik
﴿وَنَادَوْا يَامَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ﴾
Mereka (Penhuni neraka) berseru: "Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja". Dia menjawab: "Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)". (QS. Az Zukhruf : 77)
f. Para Malaikat yang diserahi tugas yang berkaitan dengan janin dalam rahim, ketika sudah mencapai empat bulan di dalam kandungan, Allah  mengutus Malaikat untuk meniupkan ruh dan menyuruh untuk menulis rezkinya, ajal, amal, derita dan bahagianya.
g. Para Malaikat yang diserahi tugas menjaga dan menulis semua perbuatan manusia. Setiap orang dijaga oleh dua Malaikat, yang satu pada sisi dari kanan dan yang satunya lagi pada sisi dari kiri. Adapun Rakib dan Atid maka bukan nama tapi sifat malaikat yang menyertai manusia . Allah  berfirman :
﴿ماَ يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ﴾
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.(QS. Qaaf: 18)
h. Para Malaikat yang diserahi tugas menanyai mayit. Bila mayit sudah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka akan datanglah dua makaikat yang bertanya kepadanya tentang Robbnya, agama dan Nabinya. Namanya Munkar dan Nakir ; ini disebutkan dalam hadits tentang pertanyaan dalam kubur :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  : إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ يُقَالُ لِأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَالْآخَرُ النَّكِيرُ ...(رواه الترمذي)
Dari Abu Hurairah  berkata : Rasulullah  bersabda : "Jika mayyit telah dikuburkan atau salah seorang diantara kalian telah dikuburkan maka dia didatangi oleh dua malaikat yang keduanya hitam dan biru; salah satunya dinamakan Munkar dan yang lainnya Nakir…"(HR. Tirmidzi)
i. Malaikat yang diserahi tugas menjaga surga, Allah berfirman :
وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya". (QS. Az Zumar : 73)
Adapun menamakan mereka dengan Ridwan maka hal ini belum kita dapatkan dalil shohih yang menyebutkannya, walaupun ada beberapa riwayat menurut Ibnu Katsir dalam Kitabnya Al Bidayah wan-Nihayah namun hal itu belum diketahui derajat shohihnya.
Faidah :
Para ulama berikhtilaf tentang yang mana yang lebih afdhol malaikat atau nabi/orang-orang yang sholeh namun yang rajih -Insya Allah- bahwa adapun di dunia maka yang afdhol adalah para malaikat namun di akhirat kelak maka orang beriman yang masuk syurga lebih mulia dari para malaikat. Hal ini sebagaimana ditarjihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله

وَكُتُبِهِ 
(3) Iman kepada Kitab-Kitab-Nya
Al kutub jamak dari kata “kitab” yang berarti “sesuatu yang ditulis”. Namun yang dimaksud disini adalah kitab-kitab yang diturunkan Allah  kepada para RasulNya sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Iman kepada kitab mengandung empat perkara :
1. Mengimani bahwa kitab kitab tersebut benar-benar diturunkan dari Allah .
2. Mengimani kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya seperti Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad , Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa , Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa , dan Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud .
Allah  berfirman :
﴿ وَءَاتَيْنَا دَاوُدَ زَبُورًا ﴾
"…dan kami berikan Zabur (kepada) Daud.( Qs 17: 55)
ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَى ءَاثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَءَاتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ
Kemudian Kami iringkan di belakang mereka rasul-rasul Kami dan Kami iringkan (pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil (QS. Al Hadid: 27)
صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى
(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa. (Qs Al-A’la :19)
Adapun kitab-kitab yang tidak kita ketahui namanya, kita mengimaninya secara global.
3. Membenarkan apa apa yang diberitakan, seperti berita-berita yang ada di dalam Al Qur’an, dan berita-berita kitab-kitab terdahulu yang belum diganti atau belum diselewengkan.
Namun wajib kita yakini seyakin-yakinnya bahwa yang masih murni hanyalah Al-Quran yang berfungsi sebagai muhaimain (pengawas/yang menyeleksi syariat) bagi kitab lain; kalau ada pertentangan antara Al Quran dan salah satu kitab maka kitab tersebut tidaklah murni atau syariat tersebut telah mansukh/terhapus. Sehingga kita merasa cukup hanya dengan Al-Qur’an tanpa perlu mempelajari kitab suci yang lain, kecuali untuk membantah syubhat mereka maka hal ini dibolehkan bagi orang-orang tertentu.
Nabi Muhammad pernah mendapati Umar sedang membaca Taurat, lalu beliau  bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى  كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي
“ Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa  masih hidup, tidak ada jalan lain baginya kecuali ia mengikuti saya”. (HR.Ahmad dan Darimi)
Dari sinilah maka kita tidak perlu mengambil manfaat dari kitab tersebut kita cukup mengimani. Sebab dalam satu hadits Rasulullah  bersabda :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
" Bukan dari golongan kami seorang yang tidak merasa cukup dengan Al-Quran " (HR. Bukhari no. 7527)
Maka cukuplah kita beriman secara umum kepada kitab Allah selain Al-Quran. Sedangkan kita beriman secara khusus kepada Al-Qur’an yakni kita membacanya, menelaahnya, mempelajari tafsirnya, mengamalkannya dan menjadikannya sebagai obat bagi berbagai penyakit hati seperti: stress, gundah gulana, dengki dan lain-lain Bahkan Al-Qur’an secara umum dapat menjadi obat baik amradh qalbiyah (penyakit-penyakit hati) maupun jasmani.
4. Mengerjakan seluruh hukum yang belum dinasakh (dihapus) serta rela dan tunduk pada hukum itu, baik kita memahami hikmahnya maupun tidak. Seluruh kitab terdahulu telah dinasakh oleh Al Qur’anul Azhim, seperti firman-Nya,:
﴿ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ...﴾
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumya), dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS. Al Maidah : 48).
Oleh karena itu tidak dibenarkan mengerjakan hukum apapun dari kitab-kitab terdahulu, kecuali yang benar dan ditetapkan Al Qur’an.


وَرُسُلِهِ 
(4) Iman kepada Rasul-Rasul
“Arrusul” bentuk jamak dari kata “Rasul”, yang berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun yang dimaksud “Rasul” disini adalah orang yang diberi wahyu syara’ untuk disampaikan kepada umat.
• Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh , dan yang terakhir adalah Nabi Muhammad , sedang nabi yang pertama adalah Nabi Adam ; pernyataan bahwa Nabi Nuh  adalah rasul yang pertama diutus telah disebutkan secara tersirat pada firman Allah  :
﴿ إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ ﴾
Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang berikutnya (QS. An Nisa’ : 163).
Anas bin Malik  dalam hadits tentang syafaat menceritakan bahwa Nabi  mengatakan, nanti orang-orang akan datang kepada Nabi Adam untuk meminta syafaat, tetapi Nabi Adam meminta maaf kepada mereka seraya berkata : “Datangilah Nuh, Rasul pertama yang diutus Allah… ( HR. Bukhori ).
Dulu ummat manusia adalah satu; semuanya mentauhidkan Allah sampai turunnya Nabi Nuh barulah terjadi khilaf dan muncullah syirik.
 Nabi dan rasul yang terakhir adalah Rasulullah 
﴿ مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا ﴾
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS. Al Ahzab:40)
• Setiap umat tidak pernah sunyi dari Nabi yang diutus Allah  yang membawa syari’at khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syari’at sebelumnya yang diperbaharui. Allah  berfirman :
وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ
Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” (QS. Fathir : 24).
• Para Rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikitpun keistimewan rububiyah dan uluhiyah. Allah  berfirman tentang Nabi Muhammad  sebagai pimpinan para Rasul dan yang paling tinggi pangkatnya di sisi Allah :
 قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ 
“Katakanlah : “aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al A’raf : 188).
Nabi Muhammad  bersabda :
 إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي 
“Aku tidak lain hanyalah manusia seperti kalian. Aku juga lupa seperti kalian. Karenanya, jika aku lupa, ingatkanlah aku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iman kepada para Rasul mengandung empat perkara :
1. Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah .
Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka menurut pendapat seluruh ulama dia dikatakan kafir.
Allah  berfirman, yang artinya :
“Kaum Nuh telah mendustakan para Rasul.” (QS. Asy Syu’ara’ : 105).
Allah  menjadikan mereka mendustakan semua Rasul, padahal hanya seorang Rasul saja yang ada ketika mereka mendustakannya. Oleh karena itu umat Nasrani yang mendustakan dan tidak mau mengikuti Nabi Muhammad , berarti mereka juga telah mendustakan dan tidak mengikuti Nabi Isa Al Masih bin Maryam, karena Nabi Isa sendiri pernah manyampaikan kabar gembira dengan akan datangnya Nabi Muhammad  ke alam semesta ini sebagai rahmat bagi semesta alam. Kata “memberi kabar gambira” ini mengandung makna bahwa Muhammad adalah seorang Rasul mereka yang menyebabkan Allah menyelamatkan mereka dari kesesatan dan memberi petunjuk kepada mereka jalan yang lurus.
2. Mengimani orang-orang yang sudah kita kenali nama-namanya,
Misalnya : Nuh, Idris, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Musa, Isa, Muhammad . Terhadap para Rasul yang tidak dikenal nama-namanya, juga wajib kita imani secara global. Ulama kita mengatakan tidak disebutkannya nabi di situ karena setiap rasul adalah nabi namun tidak semua nabi adalah rasul. Para rasul berjumlah 315. Sebagian dari rasul telah disampaikan kepada kita namanya namun ada pula yang belum disampaikan. Allah  berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. (QS. Al Mu’min : 78).
3. Membenarkan apa yang diberitakannya.
4. Mengamalkan syari’at dari mereka (para Rasul) yang diutus kepada kita. Dia adalah Nabi terakhir Muhammad  yang diutus Allah kepada seluruh manusia. Allah berfirman, yang artinya :
“Maka demi Robbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’ : 65).
• Perbedaan Rasul dan Nabi :
Para ulama kita berbeda pendapat dalam menetapkan perbedaan antara seorang nabi dan rasul, diantara pendapat yang dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Rasul adalah orang yang diberikan wahyu dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada ummat, adapun nabi tidak diperintahkan untuk menyampaikannya ; namun pendapat ini lemah dan tidak masuk akal sebab setiap orang yang berilmu diwajibkan kepadanya untuk menyampaikan ilmunya apalagi seorang yang mendapat wahyu dari Allah  .
2. Rasul adalah pembawa syariat baru tetapi nabi tidak, melainkan hanya melanjutkan risalah yang ada ; namun pendapat ini pun kurang tepat sebab kenyataannya tidak semua rasul membawa risalah baru
3. Pendapat Imam Ibnu Taimiyah bahwasanya Rasul datang pada kaum yang tidak menerima dakwahnya sedangkan nabi diutus pada kaum yang menerima .
• Nabi hanyalah diutus dari seorang laki-laki.
Hal ini merupakan sesuatu yang sangat jelas, namun ada syubhat dari sebagian orang akan kenabian Maryam, dengan dalih bahwa beliau pernah diwahyukan oleh Allah  lewat perantaraan Jibril . Maka kita bantah dengan mengatakan wahyu yang disampaikan kepada Maryam bukanlah risalah sebagaimana wahyu kepada seorang nabi. Karena jika itu hujjah mereka maka tentulah ibu Musa juga masuk kategori nabi, karena Allah  telah berfirman:
﴿ وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى .....﴾
Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa; …..(QS. Al Qashash:7)
Dan semestinya dengan hujjah yang sama maka tentu juga lebah masuk kategori nabi sebagaimana disebutkan dalam QS. An Nahl: 68.
﴿وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ ﴾
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia".
• Para nabi dan rasul tidak memiliki tingkatan dan derajat yang sama ; diantara para nabi ada yang diutamakan atau lebih afdhol dari yang lainnya sebagaimana firman Allah:
﴿ تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ وَءَاتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ ....﴾
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada `Isa putera Maryam beberapa mu`jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus… (Qs . Al Baqarah : 253)
Yang paling afdhol adalah para ulul azmi, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah :
﴿ فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ ﴾
Maka bersabarlah kamu seperti kesabaran ulul azmi dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka......(QS.Al Ahqaaf:35)
Ulul Azmi ada lima yaitu : Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad; kelimanya disebutkan secara khusus dalam dua ayat di Al Quran:
﴿ وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا ﴾
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh (QS. Al Ahzab :7)
﴿ شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ﴾
Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. ...(QS. Asy Syuro :13)
Diantara Ulul Azmi pun bertingkat-tingkat; yang paling utama Nabi Muhammad  kemudian Nabi Ibrahim  , adapun urutan selanjutnya diikhtilafkan.
• Dan termasuk keyakinan kita bahwa semua Rasul ma’shum; yakni mereka manusia biasa yang dijaga oleh Allah  dari dosa-dosa, jika bersalah langsung ditegur oleh Allah  dan langsung diterima taubatnya.

وَاليَوْمِ الآخِرِ 
(5) Iman kepada Hari Akhir
Hari Akhir adalah hari kiamat, dimana seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu untuk dihisab dan dibalas. Hari itu disebut hari akhir, karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari itulah penghuni surga dan penghuni neraka masing-masing menetap di tempatnya.
Iman kepada hari Akhir mengandung tiga perkara :
1. Beriman kepada ba’ts (kebangkitan), yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. Pada waktu itu semua manusia bangkit untuk menghadap Robb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.
Kebangkitan adalah kebenaran yang pasti ada, bukti keberadaannya diperkuat oleh Al Kitab, sunnah dan ijma’ umat Islam. Allah  berfirman:
ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبْعَثُونَ
“Kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” (QS. Al Mu’minun : 16).
Nabi Muhamad  juga bersabda :
 يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا ...
“ Di hari kiamat seluruh manusia akan dihimpun dengan keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak disunat.” (HR. Bukari & Muslim).
Umat Islam sepakat akan adanya hari kebangkitan Karena hal itu sesuai dengan hikmah Allah yang mengembalikan ciptaannya untuk diberi balasan terhadap segala yang telah diperintahkan-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Beriman kepada hisab (perhitungan) dan jaza’ (pembalasan); dengan meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al Qur’an, sunnah dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam.
Allah  berfirman, yang artinya :
“Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.” (QS. Al Ghasyiah : 25-26).
Dari Ibnu Umar  diriwayatkan bahwa Nabi  bersabda :
 إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ وَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُونَ فَيَقُولُ الْأَشْهَادُ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ 
“Allah nanti akan mendekatkan orang mukmin, lalu meletakkan tutup dan menutupnya. Allah bertanya : “Apakah kamu tahu dosamu ini?” “apakah kamu tahu dosamu itu?” Ia menjawab, “Ya Robbku.” Ketika ia sudah mengakui dosa-dosanya dan melihat dirinya telah binasa, Allah  berfirman : “Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia dan sekarang Aku mengampuninya.” Kemudian diberikan kepada orang mukmin itu buku amal baiknya. Adapun orang-orang kafir dan orang-orang munafik, Allah  memanggilnya di hadapan orang banyak. Mereka orang-orang yang mendustakan Robbnya. Ketahuilah, laknat Allah itu untuk orang-orang yang zhalim.” (HR. Bukhari Muslim).
Umat Islam telah sepakat tentang adanya hisab dan pembalasan amal, karena hal itu sesuai dengan kebijaksanaan Allah. Sebagaimana kita ketahui, Allah  telah menurunkan Kitab-kitab, mengutus para Rasul serta mewajibkan kepada manusia untuk menerima ajaran yang dibawa oleh Rasul-Rasul Allah itu dan mengerjakan segala yang diwajibkannya. Dan Allah telah mewajibkan agar berperang melawan orang-orang yang menentangnya serta menghalalkan darah, keturunan, isteri dan harta benda mereka. Kalau tidak ada hisab dan balasan tentu hal ini hanya sia-sia belaka, dan Robb yang Maha bijaksana, Mahasuci darinya.
3. Mengimani sorga dan neraka sebagai tempat manusia yang abadi.
Sorga adalah tempat keni’matan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang bertaqwa, yang mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan RasulNya, dan kepada orang-orang yang ikhlas. Di dalam sorga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia.
﴿ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴾
“Tidak seorang pun yang mengetahui apa yang disembnyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam ni’mat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. As Sajadah : 17)
Neraka adalah tempat azab yang disediakan Allah untuk orang-orang kafir, yang berbuat zalim serta bagi yang mengingkari Allah dan RasulNya. Di dalam neraka terdapat berbagai azab dan sesuatu yang menakutkan, yang tidak pernah terlintas dalam hati.
 وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ 
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS. Al Imran : 131).
Iman kepada hari akhir adalah termasuk mengimani peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sesudah mati, misalnya :
a. fitnah kubur, yaitu pertanyaan yang diajukan kepada mayat ketika sudah dikubur, tentang Robbnya, agama dan Nabinya. Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang mantap. Ia akan menjawab pertanyaaan itu dengan tegas dan penuh keyakinan, Allah Robbku, Islam agamaku, dan Muhammad  Nabiku. Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan kafir. Mereka akan menjawab pertanyaan dengan terbengong-bengong karena pertanyaan itu terasa asing baginya. Mereka akan menjawab, “Aku… aku tidak tahu.” Sedangkan orang-orang munafik akan menjawab pertanyaan itu dengan kebingungan, aku tidak tahu. Dulu aku pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku mengatakannya.”
b. Siksa dan ni’mat kubur. Siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang zhalim, yakni orang-orang munafik dan orang-orang kafir, seperti dalam firman-Nya:
﴿ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ ءَايَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ ﴾
“…alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “keluarkanlah nyawamu.” Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al An’am : 93).
Allah  berfirman tentang keluarga fir’aun :
 النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا ءَالَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada Malaikat) : “Masukkan fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (QS. Al Mu’min : 46).
Dari Zaid bin Tsabit  diriwayatkan bahwa Nabi  bersabda yang artinya:
“kalau tidak karena kalian saling mengubur (orang yang mati), pasti aku memohon kepada Allah agar mamperdengarkan siksa kubur kepada kalian yang saya mendengarnya.” Kemudian Nabi  menghadapkan wajahnya seraya berkata : “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa neraka.” Para sahabat berkata : “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari siksa neraka.” Nabi  kemudian berkata lagi : “Mohonlah perlindungan Allah dari siksa kubur.” Para sahabat berkata : “Kami memohon perlindungan Allah dari siksa kubur.” Lalu beliau berkata lagi ; “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.” Para sahabat lalu barkata : “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.” Nabi  berkata lagi : “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari fitnah dajjal.” Para sahabat berkata : “Kami mohon perlindungan kepada Allah dari fitnah dajjal.” (HR. Muslim).
Adapun ni’mat kubur diperuntukkan bagi orang-orang mukmin yang jujur keimanannya. Hal ini telah dijelaskan Allah  dalam firman-Nya,:
﴿ إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُون ﴾َ
“sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : “Robb Kami ialah Allah”, kemudian mereka istiqomah (konsistent), para malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) : “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat : 30).
Dari Al Bara’ bin Azib  dikatakan bahwa Nabi  bersabda tentang orang mukmin jika menjawab pertanyaan Malaikat di dalam kuburnya. Sabdanya :
... فَيُنَادِي مُنَادٍ مِنْ السَّمَاءِ أَنْ قَدْ صَدَقَ عَبْدِي فَأَفْرِشُوهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ وَأَلْبِسُوهُ مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ فَيَأْتِيهِ مِنْ رَوْحِهَا وَطِيبِهَا قَالَ وَيُفْتَحُ لَهُ فِيهَا مَدَّ بَصَرِهِ ...
“ada suara dari langit : “hamba-Ku memang benar. Oleh karenanya berilah dia alas dari surga, berilah pakaian dari surga, dan bukakanlah baginya pintu surga.” Lalu datanglah keni’matan dan keharuman dari surga, dan kuburnya dilapangkan sejauh pandangan mata…” (HR. Ahmad, Abu Daud, dalam hadits yang panjang).

وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرَّهِ 
(6) Iman kepada takdir baik dan takdir buruk.
Hadits ini menunjukkan bahwa iman kepada takdir termasuk dalam rukun iman.
Al qadar adalah takdir Allah  untuk seluruh makhluk yang ada sesuai dengan ilmu dan hikmahNya.
Iman kepada takdir mangandung empat perkara :
1. Al 'Ilmu ; yaitu mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara global maupun terperinci, azali dan abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya.
2. Al Kitabah ; yaitu mengimani bahwa Allah telah menulis hal itu di “Lauh Mahfuzh”.
Tentang kedua hal tersebut Allah berfirman, yang artinya :
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudzh)? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj : 70).
Abdullah bin Umar  berkata : “Aku pernah mendengar Rasululah  bersabda :
 كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ 
“Allah telah menulis (menentukan) takdir seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun.” (HR. Muslim).
3. Al Masyii-ah yaitu mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan ada, kecuali dengan kehendak Allah . Baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun yang berkaitan dengan perbuatan makhluk-makhlukNya.
Allah  berfirman:
﴿ هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴾
“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendakiNya. Tak ada Tuhan melainkan Dia. Yang Maha perkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al Imran : 6).
Allah juga berfirman tentang sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan makhluk-makhluk-Nya, yang artinya :
“… Dan kalau Allah menghendaki, maka mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al An’am : 137).
4. Al Khalqu yaitu mengimani bahwa seluruh yang ada, dzatnya, sifat dan geraknya diciptakan oleh Allah .
Firman Allah :
﴿ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ ﴾
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” ( QS. Az Zumar : 62).
﴿ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا ﴾
“… dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukuranNya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al Furqan :2 ).
Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya:
﴿ وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ﴾
“Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. As Shaffat : 96).
Keempat perkara ini kadang diistilahkan sebagai marotibul iman bil qadar (tingkatan/urutan beriman kepada takdir)
Peringatan penting :
Iman kepada takdir sebagaimana telah diterangkan di atas tidak menafikan bahwa manusia mempunyai kehendak dan kemampuan dalam berbagai perbuatan yang sifatnya ikhtiari. Syara’ dan kenyataan (realita) menunjukkan ketetapan itu.
a. Secara syara’, Allah berfirman tentang kehendak manusia, yang artinya :
﴿ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ ﴾
“…maka datangilah tempat kamu bercocok tanam (isterimu) itu bagaimana saja kamu kehendaki…” (QS. Al Baqarah : 223).
Allah juga berfirman tentang kemampuan manusia :
﴿ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا ﴾
“maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah dan taatlah…” (QS. At Taghabun : 16).
b. Secara kenyataan, manusia mengetahui bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan yang menyebabkannya mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Dia juga dapat membedakan antara kemauannya (seperti berjalan), dan yang bukan kehendaknya (seperti gemetar). Kehendak serta kemampuan seseorang itu akan terjadi dengan masyi’ah (kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allah , seperti dalam sebuah firman-Nya, yang artinya :
﴿ لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ(28)وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ﴾
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Robb semesta alam.” (QS. At Takwir : 28-29).
Karena alam semesta ini seluruhnya milik Allah, maka tidak ada pada miliknya barang sedikitpun yang tidak diketahui serta tidak dikehendakiNya.
Iman kepada takdir ini tidak berarti memberi alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat. Kalau itu dibuat alasan, maka alasan itu jelas salah ditinjau dari beberapa segi :
1. Firman Allah, :
﴿ سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُواْ لَوْ شَاء اللّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلاَ آبَاؤُنَا وَلاَ حَرَّمْنَا مِن شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم حَتَّى ذَاقُواْ بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِندَكُم مِّنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِن تَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ أَنتُمْ إَلاَّ تَخْرُصُونَ ﴾
“orang-orang yang menyekutukan Tuhan mengatakan : “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun. Demikian juga orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah : “adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya pada Kami? Kamu tidak mengetahui kecuali prasangka belaka dan kamu tidak lain hanya menyangka.” (QS. Al An’am : 148)
kalau alasan mereka dengan takdir itu dibenarkan, Allah  tentu tidak akan menjatuhkan siksaNya.
2. Firman-Nya:
﴿رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا ﴾
“(mereka Kami utus) sebagai Rasul-Rasul pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. An Nisa” : 165).
Kalau takdir dapat dibuat alasan bagi orang-orang yang salah, Allah  tidak menafikanya dengan diutusnya para Rasul, karena menyalahi sesuatu setelah terutusnya para Rasul jatuh pada takdir Allah  juga.
3. Hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib  bahwa Nabi  bersabda :
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَمَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ فَقَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ ثُمَّ قَرَأَ فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى إِلَى قَوْلِهِ لِلْعُسْرَى
“Setiap diri kalian telah ditulis (ditetapkan) temmpatnya di sorga atau di neraka. Ada seorang sahabat bertanya : “Mengapa kita tidak tawaakal (pasrah) saja, wahai Rasulullah?” beliau mejawab : “tidak, berbuatlah karena masing-masing akan dimudahkan.” Lalu beliau membaca surat Al lail ayat 4-7 :
jadi, Nabi  memerintahkan untuk berbuat serta melarang menyerah pada takdir.
4. Allah  memerintah serta melarang hamba-hambaNya, namun tidak menuntutnya kecuali yang mampu dikerjakan.
Allah  berfirman:
﴿ لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا ﴾
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al Baqarah : 286).
Kalau manusia dipaksakan untuk berbuat sesuatu, artinya disuruh mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan, maka ini merupakan suatu kesalahan. Oleh karena itu, bila maksiat dilakukan karena kebodohan atau karena lupa, atau karena dipaksa, maka pelakunya tidak berdosa. Mereka dimaafkan Allah.
5. Takdir Allah adalah rahasia yang tersembunyi, tidak dapat diketahui sebelum terjadinya takdir serta kehendak seseorang untuk mengerjakannya terlebih dahulu daripada perbuatannya. Jadi, kehendak seseorang untuk mengerjakan sesuatu itu tidak berdasarkan pada pengetahuannya akan takdir Allah. Pada waktu itu habislah alasannya dengan takdir karena tidak ada alasan bagi seseorang terhadap apa yang tidak diketahuinya.
6. Kita melihat orang yang ingin mendapatkan urusan dunia secara layak, tidak ingin pindah kepada yang tidak layak. Apakah ia beralasan pindahnya dengan takdir? Mengapa ia berpindah dari yang kurang menguntungkan kepada yang menguntungkan dengan alasan takdir? Bukankah keadaan dua hal itu satu?
Cobalah perhatikan contoh dibawah ini :
Kalau di depan seseorang ada dua jalan. Pertama menuju ke sebuah negeri yang semuanya serba kacau, pembunuhan, perampokan, pembantaian kehormatan, ketakutan, dan kelaparan. Yang kedua menuju ke sebuah negeri yang semuanya serba teratur, keamanan yang terkendali, kesejahteraan yang melimpah ruah, jiwa, kehormatan, dan harta benda dihormati, jalan mana yang akan ia tempuh?
Ia pasti akan menempuh jalan yang kedua yang menuju ke sebuah negeri yang teratur serta aman. Tidak mungkin orang yang berakal menempuh jalan yang menuju ke sebuah negeri yang kacau serta menakutkan dengan alasan takdir. Mengapa dalam urusan akhirat ia menempuh jalan yang menuju ke neraka bukan jalan yang menuju surga dengan beralasan takdir?
7. Orang yang meninggalkan kewajiban serta melanggar kemaksiatan dengan alasan takdir itu seandainya dianiaya oleh seseorang, dirampas hartanya dan dirusak kehormatannya dengan beralasan pada takdir dan mengatakan : Anda jangan menyalahkan saya, karena kelaliman saya ini adalah takdir Allah, alasannya itu tidak akan diterima. Bagaimana seseorang tidak mau menerima alasan orang lain dengan takdir dalam penganiayaannya terhadap orang lain, lalu ia sendiri beralasan dengan takdir terhadap kelalimannya pada hak Allah ?
Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khattab  menerima seorang pencuri yang berhak dipotong tangannya. Beliau memerintahkan agar dipotong tangannya. Pencuri berkata : tunggu dulu, Amirul Mukminin, aku mencuri ini hanya karena takdir Allah. Umar pun tidak kalah menjawab : demikian kami potong tanganmu hanya karena takdir Allah .
Syubhat para pengingkar takdir :
Dengan pemaparan di atas maka jelaslah kewajiban beriman kepada takdir, namun terdapat syubhat yang ditiupkan oleh kaum Mu’tazilah tentang takdir ini yang dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhany di kota Bashrah bahwa urusan ini adalah urusan baru tidak pernah ditakdirkan oleh Allah dan tidak diketahui Allah kecuali telah terjadi, namun sebelumnya tidak diketahui. Pemikiran ini mungkin muncul karena pada banyak ayat dalam Al-Qur’an tidak disebutkan Iman kepada takdir dalam rukun–rukun Iman :
 Syubhat I : Qs 4 :136
﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا ﴾
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.
Pada akhir ayat menyebutkan 5 rukun Iman
 Syubhat II Qs.2 :177
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi
Kembali Allah menyebutkan hanya 5 rukun Iman.
Maka Jawaban kita :
1. Ahlussunnah wal Jamah mengatakan bahwa kita diperintahkan untuk beriman kepada Al- Quran secara kesuluruhan tanpa membagi-baginya, dalam QS Al Baqarah :85 Allah  mengancam orang-orang yang hanya mengimani sebagian dan mengkafiri sebagian
﴿ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴾
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.
Pada akhir ayat ini disebutkan bahwa orang yang mengkafiri sebagian ayat dari Al Quran pada hakekatnya ia mengkafiri seluruh Al-Quran.
Penjelasan bahwa semua yang terjadi atas takdir Allah di mana Allah berfirman dalam QS 54:49 :
 إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ  القمر:49
Sesungguhnya Kami menciptakan tiap-tiap sesuatu menurut takdir (yang telah ditentukan).Qs 57 :22
 مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ  الحديد : 22
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
2. Walaupun Allah tidak menyebutkan Iman kepada takdir bersama-sama dengan rukun iman yang lain namun dalam banyak hadits shohih menyebutkan iman kepada takdir sebagai salah satu rukun iman dan inilah hadits pokok yang menerangkan hal itu.. Dan Allah menyuruh kita untuk mengikuti Rasulullah  (Lihat : QS. 59:7 dan 3:31)
Hal ini menunjukkan bahwa As-sunnah itu adalah penjelas dari Al-Quran bahkan kadang melengkapi atau menyebutkan apa yang belum disebutkan oleh Al-Quran.
Jika kaum Mu’tazilah menolak hadits yang jelas ini dengan dalih hadits ini hadits ahad, maka pada dasarnya penolakan tersebut tidak beralasan karena kenyataannya hadits ini mutawatir karena telah diriwayatkan oleh minimal delapan orang sahabat yaitu Abu Hurairah, Umar, Abu Dzar, Anas, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Amir Al Asy'ari dan Jarir Al Bajali 

قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ ، قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ 
Ihsan
Hadits ini menunjukkan keutamaan ihsan dan menjelaskan bahwa kadang seseorang telah sampai pada tingkat mu’min tetapi belum sampai ke tingkat muhsin. Orang muhsin adalah orang yang benar-benar dekat kepada Allah , penuh muroqabah dan khusyuk dan hal ini tidak didapatkan oleh setiap mukmin, sebagaimana tingkat mukmin tidak semua dicapai setiap muslim. Seorang yang ingin mencapai derajat muhsin harus memantapkan ibadah, menjaga hak-hak Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya, mengingat keagungan dan kemuliaan Allah ketika ibadah.
Jadi seorang dalam Ad Dien ini mengalami 3 fase, yakni seorang muslim kemudian mukmin lalu tertinggi adalah muhsin.
Kata ihsan telah disebutkan di beberapa tempat dalam Al Quran ; kadang beriring dengan kata iman, kadang dengan islam dan kadang dengan takwa atau amal.
Contoh penggunaan ihsan yang beriringan dengan iman :
﴿ إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا ﴾
Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya) dengan ihsan. (QS. Al Kahfi : 30)
Ihsan yang beriringan dengan Islam :
﴿ بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴾
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat ihsan (kebajikan), maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al Baqarah : 112)
Kata ihsan yang beriringan dengan kata taqwa :
﴿ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُون ﴾
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan (kebaikan.) (QS. An Nahl :128)
Kadang kata ihsan disebutkan bersendiri , sebagaimana dalam firman-Nya :
﴿ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ ﴾
Bagi orang-orang yang berbuat ihsan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. ) QS. Yunus:32)
Dalam shohih Muslim disebutkan tafsiran kata ((وَزِيَادَةٌ "dan tambahannya." Yaitu melihat wajah Allah  di dalam surga. Hal tersebut sangat sesuai dijadikan balasan bagi pelaku ihsan karena seorang yang ihsan beribadah kepada Rabbnya di dunia ini dengan menghadirkan dan memunculkan perasaan diawasi , seakan-akan dia melihat-Nya dengan hatinya dan melihat-Nya pada saat sedang beribadah karena itu maka balasan atas perbuatan tersebut dan kesabarannya dia benar-benar dapat melihat Allah  di akhirat dengan mata kepala mereka
Dalam hadits ini Rasulullah  menafsirkan ihsan sebagai :“Hendaknya engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”, dalam hadits ini beliau mengisyaratkan bahwa seorang hamba yang beribadah kepada Allah dengan cara ihsan senantiasa merasakan kedekatan –Nya, bahwa dia dihadapannya seakan-akan dia melihatNya dan hal ini akan memunculkan rasa khusyu', takut, segan dan mengagungkanNya serta mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.

َقَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ ، قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ 
“ . . .Wahai Muhammad, Beritahukan aku tentang Hari Kiamat (As-Sa’ah) .Beliau menjawab: Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya. . .”
Makna As-sa’ah
►Secara bahasa (As-sa’ah) memiliki beberapa pengertian :
- waktu secara umum
- durasi waktu selama 60 menit.
- Alat yang menunjukkan waktu
► Secara istilah adalah hari kiamat.
Ketika Rasulullah  ditanya tentang hari kiamat maka beliau  menjawab dengan perkataan Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya. . .” Maksud perkataan ini adalah bahwa beliau  tidak tahu sebagaimana penanya juga tidak tahu.
Beberapa faidah dari potongan hadits ini :
• Hari kiamat adalah salah satu masalah yang ghaib yang tidak ada yang tahu kecuali Allah .
Hari kiamat termasuk kunci ghaib yang disebutkan oleh Allah  dalam firman-Nya:
﴿ وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ ﴾ الأنعام : 59
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) (QS. Al An'am:59)
Dalam surah lain ditegaskan lagi mengenai kunci ghaib yakni sebagaimana dalam QS. 31:34

﴿ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴾ لقمان :34
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Maka kunci ghaib ada 5 yaitu:
1) Hari kiamat
2) Janin yang ada dalam rahim
3) Yang dilakukan besok
4) Kapan turun hujan
5) Di mana seseorang akan mati
Jika ada atsar yang menyebutkan secara persis waktu hari kiamat maka atsar itu tertolak dan barangsiapa yang mengaku mengetahui kapan kiamat maka orang itu pendusta
• Menunjukkan hendaknya seorang alim ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahui jawabannya maka hendaknya menegaskan bahwa ia tidak tahu. Apa yang dikatakan Rasulullah bahwa beliau sendiri juga tidak tahu tentang sesuatu yang memang tidak diketahui (ghoib) juga dikatakan oleh hamba-hamba Allah yang sholih yakni malaikat
﴿ وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(31)قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ ﴾
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS.Al Baqarah:31-32)
Demikian pula para sahabat dan diwarisi pula oleh para as salaf ash-sholih :
Al Bara bin ‘Azib  menceritakan:
“Saya sudah melihat 300 ahlul Badar tidaklah salah seorang diantara mereka ditanya melainkan mengharap cukuplah saudara mereka yang berfatwa”.
Abdurrahman bin Abi Laila –seorang tabi'in yang mulia- menuturkan:
“Sungguh saya telah bertemu 120 sahabat Anshar di mesjid ini (mesjid Nabawi), tidaklah seorang di antara mereka ketika menyebutkan sebuah hadits melainkan dia berharap cukup saudaranya saja yang menyebutkannya dan tidaklah seorang di antara mereka dimintai fatwa (ditanya sesuatu) melainkan dia berharap cukup saudaranya saja yang berfatwa(menjawab)" Dalam sebagian riwayat disebutkan : "...salah seorang diantara mereka ditanya suatu masalah lalu dia melemparkan pertanyaan tersebut kepada saudaranya dan demikian seterusnya hingga kembali kepada orang yang pertama kali ditanya
Sufyan Ats-Tsauri رحمه الله menyatakan:
« من أحب أن يسأل فليس بأهل أن يسأل »
“Barangsiapa yang suka ditanya maka sebenarnya ia tidak pantas untuk ditanya”.
Abdullah bin Mas’ud  menyatakan :
“Sesungguhnya orang yang berfatwa kepada manusia dalam semua masalah yang ditanyakan maka dia seorang yang majnun(gila)”.
Amirul mu’minin dalam hadits yakni Imam Malik رحمه الله pernah didatangi utusan yang datang dari jauh lalu berkata kepada beliau : "Wahai Abu Abdillah, aku datang dari sebuah tempat yang jaraknya 6 bulan perjalanan, saya diutus oleh penduduk negeriku untuk bertanya kepadamu suatu masalah" Beliau berkata: "Silakan bertanya" Maka orang itu bertanya suatu masalah namun dijawab oleh Imam Malik dengan: “Saya tidak (mengetahuinya) dengan baik”. Penanya tersebut terdiam, karena seakan-akan dia telah duduk di hadapan seorang yang mengetahui segala masalah, lalu dia berkata: "Apa yang harus saya katakan kepada penduduk negeriku jika saya pulang menemui mereka?" Imam Malik berkata : "Kamu katakan kepada mereka bahwa Malik menjawab: “Saya tidak menguasai masalah itu dengan baik”. Bahkan salah seorang rekan dan murid beliau yaitu Ibnu Wahab mengatakan : "Seandainya kami menulis dari Malik perkataan beliau "saya tidak tahu" tentu kami akan memenuhi buku-buku kami (dengan perkataan tersebut)"
• Jangan berfatwa tanpa ilmu dan bukanlah suatu kelemahan dan penghinaan bagi seseorang jika ia tidak menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya ketika ia tidak mengetahui jawabannya bahkan menunjukkan kemuliaan dan keutamaan dirinya yang mengetahui kadar kemampuannya serta mengetahui hakekat dirinya.
Perkataan tanpa ilmu merupakan salah satu dosa bahkan dosa yang besar bahkan dapat menjadikan diri kita sebagai tandingan bagi Allah .
﴿ قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ﴾
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS. Al A'raaf :33)
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah رحمه الله berkata tentang ayat ini : "Allah mengurutkan hal-hal yang diharamkan menjadi empat tingkatan dimulai dengan yang teringan yaitu al fawahisy (perbuatan yang keji), kemudian kedua yang lebih keras pengharamannya yaitu al itsm dan azh zhulm (perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar), kemudian ketiga yang lebih keras pengharamannya dari keduanya yaitu syirik kepada Allah  kemudian keempat dosa yang terbesar dari semua yang telah disebutkan tadi yaitu berkata atas nama Allah tanpa ilmu pengetahuan"
Syetanlah yang banyak menjatuhkan manusia sehingga berani untuk berbicara tanpa ilmu pengetahuan , Allah  berfirman :
﴿ إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴾
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. Al Baqarah :169)
Imam Thahawiرحمه الله berkata: “Kami -Ahlussunnah wal Jamaah- berkata ”Allahu a’lam” terhadap hal-hal yang masih kabur ilmunya terhadap kami”
Imam Sya’bii (Tabiin Kabiir) berkata: “Perkataan 'Laa Adrii (saya tidak tahu) adalah sebagian dari ilmu”.
Sebenarnya dalam hal ilmu maka seseorang tidak terlepas dari salah satu dari hal berikut
1) Orang yang tahu dan dirinya tahu bahwa ia tahu, orang ini adalah alim
2) Orang yang tahu tapi tidak tahu bahwa dirinya tahu. Orang ini adalah orang lalai dan perlu diingatkan
3) Orang yang tidak tahu dan dia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang ini bodoh maka ajarilah dia.
4) Orang yang tidak tahu dan ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang ini jahil murokkab (berlipat ganda) maka ini yang berbahaya, jauhilah dia.
Maka jawaban kita ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak kita ketahui adalah :
-- Saya tidak tahu ( لا أدري ), atau sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi  kepada Jibril  : "Tidaklah yang ditanya lebih tahu dari yang bertanya" (ما المسؤول عنها بأعلم من السائل)
--Wallahu a’lam الله أعلم ) و)

أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهاَ ، قَالَ 
"…Berkata : Beritahukanlah aku tentang tanda-tandanya! Rasulullah bersabda :seorang budak melahirkan tuannya,
Tanda-tanda hari kiamat yang ditanyakan kepada beliau , maka dijawab:
“ . . .Budak melahirkan majikannya. . .”
Ada beberapa pengertiannya menurut para ulama :
- nanti kaum muslimin bisa mengalahkan orang kafir sehingga banyak budak, akhirnya terjadilah anak budak Sekembali terjadinya perbudakan dimana ibu melahirkan wanita merdeka karena mengambil status ayahnya yang merdeka.
- Atau seorang budak (ibu) dijual lalu dibeli oleh anaknya sendiri
- Budak yang melahirkan anak-anak raja
- Orang Ajam melahirkan orang Arab
- Banyak maksiat terutama durhaka kepada kedua orang tua, anak berlaku seperti majikan dihadapan ibunya sendiri; memerintah, membentak bahkan memukul. Hal ini sekarang telah terjadi dan inilah pembenaran dari apa yang pernah dikatakan Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallohu anhuma:
ِ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا عَلَى شِرَارِ الْخَلْقِ (رواه مسلم)
"Tidak terjadi hari kiamat kecuali pada makhluk yang terjelek"(Riwayat Muslim)

 وَ أَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فيِ الْبُنْيَانِ
“ . . .Kamu melihat orang yang tidak beralas kaki, tidak berpakaian, miskin dan para penggembala domba berlomba-lomba untuk meninggikan bangunan. . . .”
Disini disebutkan empat sifat orang-orang tersebut :
الحفاة = telanjang kaki
العراة = tidak berpakaian
العا لة = orang-orang miskin
رعا ءا الشاء = penggembala kambing
pengkhususan penyebutan penggembala kambing karena mereka adalah orang yang miskin berbeda dengan pemilik onta diantara mereka ada yang bukan orang miskin/fakir (sehingga mereka masih mungkin untuk meninggikan bangunan)
Faidah dan maksud hadits ini:
• Manusia pada akhir zaman berlomba-lomba dalam masalah dunia, hingga orang miskin pun sangat rakus dengan dunia . Dan inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah  jika melanda ummatnya, sebagaimana dalam hadits :
 مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ 
“Bukan kemiskinan yang kukhawatirkan atas kalian tetapi yang aku khawatirkan jika dibentangkan kepada kalian dunia ini sebagaimana orang sebelum kalian sehingga kalian berlomba-lomba terhadap dunia sebagaimana mereka (ummat sebelum kalian) sehingga kalian dibinasakan oleh dunia sebagaimana telah membinasakan ummat sebelum kalian”(Muttafaqun alaihi)
• Hadits ini mengandung kinayah (kiasan) bukan makna sebenarnya tetapi maksudnya orang yang tidak ahli dalam suatu urusan lalu diamanahkan untuk mengurusnya. Dan inilah yang yang rajih- insya Allah- sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat Abu Hurairah  bahwa Rasulullah  bersabda :
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
"Jika urusan sudah disandarkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat"
• Tercelanya orang meninggikan bangunan secara mewah tanpa hajat. Rasulullah sendiri tidak menyukai bangunan yang ditinggikan tanpa hajat, karena hal tersebut termasuk إضاعة المال (menyianyiakan harta) sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ash-Shon’ani dalam kitabnya Subulussalam.
Kedua tanda kiamat yang disebut oleh Rasulullah  dalam hadits ini tidaklah bermakna pembatasan, tetapi inilah 2 tanda yang dirasa perlu oleh Rasulullah  untuk dijelaskan pada ummatnya sesuai situasi dan kondisi yang ada. Sedangkan tanda-tanda hari kiamat itu sendiri sangat banyak disebutkan dalam hadits-hadits yang lain.
Tanda-tanda hari kiamat ada 2 jenis:
1) Tanda-tanda kiamat kecil (Asyrathus Sa'ah Ash Shughro); yakni telah tampak namun jarak kiamat masih jauh antara lain: diutusnya Nabi Muhammad  sebagaimana dalam hadits beliau  bahwa jarak antara diutusnya beliau dengan hari kiamat seperti jarak 2 jari yakni jari tengah dan telunjuknya, banyaknya wanita daripada laki-laki, ilmu dituntut dari anak kecil (menurut Abdullah bin Mubarak yang dimaksud anak kecil adalah ahlul bid’ah), banyak perzinahan dll
2) Tanda kiamat besar (Asyrathus Sa'ah Al Kubro), yang jika telah nampak maka jarak hari kiamat telah sangat dekat, antara lain: diutusnya binatang melata, matahari terbit dari sebelah barat.


…ثم انطلق …

“...kemudian ia pergi..”
Ketika Jibril  telah bertanya kepada Rasulullah  dengan berbagai pertanyaan maka beliau  pergi.
Pelajaran dari hadits ini:
• Ini menunjukkan secara umum bahwa hendaknya seseorang setelah selesai hajatnya hendaknya segera pulang dan mencari pekerjaan yang lain. Inilah makna firman Allah  pada QS. 94:7
﴿ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ ﴾
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”.
Dan ini dalam semua masalah, termasuk bagi orang yang menghadiri walimah, firman Allah QS. 33:53
﴿ فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ﴾
... dan bila kamu selesai makan,keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan”.
Bahkan dalam masalah ibadah demikian pula Allah mengingatkan, dalam surah Al Jumu’ah ayat:10
 فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
Demikian pula dalam hadits, Rasulullah  bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar itu adalah bagian dari adzab (siksaan),karena safar itu menghalangi seseorang (dari kebiasaan) makan, minum dan tidurnya. Karena itu kalau salah seorang dari kalian telah selesai dari urusannya hendaknya segera pulang ke keluarganya”.(HR.Bukhari dan Muslim)
• Inilah hikmah bahwa setiap muslim hendaknya memanfaatkan waktunya dengan baik tidak menghabiskan waktunya untuk hal yang tidak penting dan tidak ditutup dengan hal yang tidak bermanfaat.

فلبثت مليا
"Maka saya terdiam dalam waktu yang lama"
Pelajaran dari hadits ini:
• Adab dari tholibil ‘ilmi untuk bersabar dan tidak mendahului gurunya
Ini menunjukkan adab seorang penuntut ilmu ketika ingin bertanya, yakni Umar  yang sebenarnya ingin bertanya kepada Rasulullah  tentang hal yang barusan mereka alami dimana datang seorang tamu yang tak dikenal yang mengajukan berbagai pertanyaan berikut sikap-sikapnya yang dianggap aneh oleh para sahabat, peristiwa yang sangat menakjubkan itu ingin sekali ditanyakan kepada Rasulullah  namun mereka tidak bertanya karena adab kepada Rasulullah  .
Dikatakan dalam sebuah riwayat “saya menunggu hingga 3 hari”, mereka diam sampai Rasulullah  sendiri menjelaskan
Inilah makna firman Allah  QS. 49:1.
﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾
Wahai orang-orang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertaqwalah kepada Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah jangan kamu membuat suatu hukum yang tidak disebutkan dalam Al Quran dan Assunnah dan sebagian mengatakan jangan membuat sesuatu sebelum diizinkan oleh Rasulullah . Sehingga para sahabat kadang mengetahui sesuatu dan mau menyebutkan kepada Rasulullah  namun karena adab kepada Rasulullah  dia tidak mau menyampaikannya sebagaimana hadits tentang haji wada’ dari Rasulullah  dan para sahabatnya. Pada saat Rasulullah  bertanya : “Hari apa ini?, negeri apa ini?”.
Semua pertanyaan ini telah jelas jawabannya bahwa saat itu hari Jumat tanggal 9 Dzulhijjah 11 H dan mereka berada di Arafah dan hal ini telah diketahui oleh para sahabat namun mereka tidak mau mendahului Rasulullah  . Mereka khawatir jika mereka menyebutkan sesuatu yang ternyata akan diganti oleh Rasulullah  sampai mereka berkata “kami khawatir jangan-jangan Rasulullah  ingin mengganti nama hari ini, tanggal dan nama kota Mekkah ini”. Mereka tidak ingin mendahului Rasulullah  dalam membuat keputusan dan hanya mengatakan “Wallahu wa Rasulullah a’lam.
Dan inilah adab para sahabat dan sekaligus para penuntut ilmu kepada gurunya dan tidak mendahului guru dalam arti tidak berbicara yang belum dikatakan oleh gurunya.
• Tidak bertanya sesuatu yang dikhawatirkan meyusahkan atau tidak disenangi oleh Syaikh/guru kita. Sebagaimana Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما ketika bersama Umar  dalam sebuah perjalanan pada suatu kali sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang ingin disampaikannya tetapi karena adab kepada gurunya maka beliau sangat berhati-hati dan dipendam karena khawatir menyampaikannya pada moment yang kurang tepat.
• Ini menunjukkan kesabaran dalam menuntut ilmu sangat dituntut. Mungkin dengan kesabaran, ilmu kita menjadi banyak. Kadang tanpa kesabaran ilmu yang bisa diperoleh tidak didapatkan, sebagaimana Nabi Musa  ketika menemani Nabi Khidr . Disebabkan beliau tidak bersabar sehingga beliau hanya mendapatkan 3 ilmu, seandainya bersabar menurut ulama kita mungkin mendapat ilmu yang lebih banyak.


…ثم قال:يا عمر أتدري من ا لسائل؟…
“ . . .Wahai Umar tahukah kamu siapakah tadi yang bertanya?. . . “
Ini memberikan pelajaran bahwa:
• Pentingnya berwasiat kepada penuntut ilmu meski tidak diminta terutama yang sangat dibutuhkan. Seperti kisah Rasulullah  ketika berdua dengan Muadz di atas keledai yang bernama 'Ufair, beliau  bertanya kepada Muadz  untuk mengajarkan hal tersebut kepadanya tanpa diminta oleh Muadz  :

 يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ 
“Wahai Muadz, apakah kamu tahu hak Allah kepada hamba-Nya dan hak hamba kepada Allah?” (HR.Bukhari dan Muslim)
Juga kisah beliau  dengan Muadz ketika beliau  bersabda:
“Sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu,wahai Muadz. Muadz pun berkata kepada Rasulullah "Aku pun sangat mencintaimu wahai Rasulullah lalu Rasulullah bersabda kepadanya, "Wahai Muadz , janganlah kamu tinggalkan pada (sebelum mengakhiri) sholatmu untuk berdo'a :
رَبَّ أَعِني عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَ تِكَ
"Ya Robbku bantulah aku untuk berdzikir kepadaMu, mensyukuri (nikmat)Mu dan memperbaiki ibadahku kepadaMu

… قلت: الله ورسوله أعلم…
“. . .Aku berkata Allahu wa Rasulullah a’lam. . .”
Mengenai jawaban ini ada beberapa masalah :
1) Sebagian ulama kita berpendapat bahwa jawaban ini kita berikan bila pertanyaan mengenai masalah-masalah syariat. Jika masalah duniawi dan ghoib maka cukup kita berkata Allahu a’lam .
2) Ada juga yang mengatakan Allahu wa rasuuluhu a’lam dikatakan pada zaman Rasulullah dan setelah wafat Rasulullah  maka dikatakan Allahu a’lam
3) Ada juga yang mengatakan kalau Rasulullah  yang bertanya maka dikatakan : Allahu wa Rasuluhu a'lam
. Wallahu a’lam bish shawab.

… وقال فإنه جبريل أتاكم يعلمكم د ينكم…
“ . . . Dan dia adalah Jibril dia datang untuk mengajarkanmu agamamu.. . .”
Ada beberapa pelajaran yakni :
• Salah satu cara untuk mengajari ilmu adalah metode tanya jawab
• Bolehnya bertanya sesuatu yang telah diketahui jawabannya untuk mengajarkan kepada orang lain.
• Pelajaran lain yang berharga dari akhir hadits ini bahwa hendaknya kita menyeleksi syaikh/guru yang akan kita ambil manfaatnya tidak berprinsip semua majelis ilmu kita hadiri dan setiap faedah akan diambil. Hal ini benar kalau kita mampu menyeleksi dan membedakan antara haq dan bathil namun jika tidak, maka kita kembali kepada hukum asal bahwa kita mengambil ilmu dari orang yang kita yakini kemurnian aqidahnya, dan sekaligus dapat kita ambil manfaatnya dari segala hal.
Seseorang yang ingin mencari ilmu memperhatikan syaikhnya/gurunya dan menyeleksi syaikh yang akan dia tempati untuk menuntuit ilmu. Tidak boleh kita bertanya masalah ad-dien ini kepada setiap orang namun hendaknya kepada ahlinya. Sebagaimana perkataan Muhammad bin Sirin rahimahullahu :
إِنَّ هَذَ الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
Sesungguhnya Ilmu adalah bagian dari Ad-dien, maka hendaklah kalian melihat kepada siapa kalian menuntut ilmu.
لَمْ يَكُوْنُوْا يَسْأَلُوْنَ عَنِ الْإِسْناَدِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قاَلُوْا سَمُّوْا لَناَ رِجَالَكُمْ
“Dulu orang tidak bertanya tentang sanad (orang-orang yang meriwayatkan hadits) tetapi setelah terjadi fitnah maka (mereka) berkata : sebutkanlah nama rijal (perowi hadits) kamu”.
Maka terutama jangan menuntut ilmu kepada ahlul bid’ah. Sebagaimana perkataan beliau bahwa dulu para sahabat dan tabi’in ketika menuntut ilmu tidak pernah bertanya masalah sanad, karena semua orang masih berada pada garis ahlissunnah wal jama’ah, namun ketika telah tersebar fitnah dan bid’ah merekapun berhati-hati dan sebelum berilmu mereka bertanya dari manakah kamu mengambil ilmu untuk kemudian meninggalkannya jika orang tersebut dari ahlul bid’ah.
Imam Malik رحمه الله juga pernah berkata:
“Sesungguhnya Ilmu adalah bagian dari Ad-dien, maka hendaklah kalian melihat kepada siapa kalian mengambil dien kalian, Sesungguhnya saya telah menemui 70 orang di tiang-tiang mesjid ini (beliau menunjuk mesjid nabawi) yang mengatakan berkata fulan : Rasulullah  bersabda namun saya tidak mengambil sedikitpun hadits dari mereka , padahal sesungguhnya jika seseorang diantara mereka diamanahkan menyimpan sesuatu harta maka niscaya dia amanah namun mereka bukan ahli ilmu"
• Menunjukkan hendaknya kita mencari ilmu adalah kepada orang yang lebih afdhol,sebagaimana Jibril (malaikat termulia) yang mengajarkan ilmu kepada shahabat Dalam Al Quran Allah telah mengisyaratkan kepada siapa kita menuntut ilmu dan kepada siapa kita tidak pantas menuntut ilmu.
﴿وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ﴾
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaanNya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalikan dari mengingat kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. ( QS. 18:28)
Ibnu Qayyim al Jauziyah رحمه الله menjelaskan dari ayat ini tentang yang pantas diambil ilmunya dan yang tidak boleh diikuti. Beliau berkata : "Maka jika seorang hamba mau bberqudwah kepada seseorang maka hendaknya dia melihat ; apakah orang tersebut adalah orang yang senantiasa berdzikir atau termasuk orang-orang yang lalai ? Dan apakah yang mengendalikan dirinya hawa nafsu atau wahyu ? Jika hawa nafsu dan dia termasuk orang-orang yang lalai serta urusannya melampaui batas maka dia tidak berqudwah kepadanya dan tidak mengikutinya karena orang tersebut akan menggiringnya kepada kehancuran...maka sepantasnya bagi seseorang memperhatikan kepada gurunya, qudwah(panutan) dan orang yang diikutinya, jika dia mendapatkan orang tersebut demikian maka hendaknya dia menjauhkannya dari dirinya , dan jika dia mendapatkannya termasuk orang yang banyak berdzikir kepada Allah dan senantiasa mengikuti sunnah ...maka hendaknya dia berpegangteguh dengan ikatannya" .
Jadi hendaknya kita betul-betul menyeleksi syekh (guru) yang akan kita ambil ilmunya. Jika kita mendapati seseorang yang berbicara mengikuti hawa nafsunya menghalalkan apa yang diharamkan Allah , meski ilmunya banyak maka tidak pantas kita ambil ilmunya. Inilah yang dipraktekkan oleh para sahabat dan tabi’in. Kalau menuntut ilmu mereka perhatikan dulu ibadah, akhlak dan adabnya. Maka kita menuntut ilmu kepada seseorang yang betul-betul melaksanakan ilmunya, bukan orang yang sekedar pandai berbicara, menukil atau memindahkan maklumat yang ia miliki melainkan kepada orang yang bisa kita teladani ilmu dan amaliahnya, adab dan ibadahnya serta orang yang betul-betul bersih masalah aqidahnya.
Dan kini banyak yang terjadi orang yang menuntut ilmu kepada ahlul bid’ah dan meninggalkan ahlusunnah wal jama’ah dan inilah tanda dekatnya hari kiamat sebagaimana hadits yang disebutkan oleh Imam Al Laalikaai dalam syarah Ushulu i'tiqad ahlusunnah wal Jama’ah, dan disebutkan oleh Imam Abdullah bin Mubarak رحمه الله dalam kitabnya “Az-Zuhud” bahwa diantara tanda hari kiamat ilmu sudah dituntut dari anak kecil
Sebagian ulama kita mengatakan yang dimaksud adalah menuntut kepada anak muda yang hanya berbekal semangat lalu juga mau mengajarkan ilmu namun ini makna yang tidak tepat , tapi maksud anak kecil dalam hadits ini menurut Abdullah bin Mubarak رحمه الله adalah ahlul bid’ah.
• Pentingnya talaqqi (mengambil ilmu lewat guru) karena dengan cara ini selain seseorang akan mendapat ilmu maka dia juga memperoleh adab guru. Ulama kita yang terdahulu bukan sekedar mencari ilmu saja tetapi juga adabnya. Bahkan diantara 5000 orang yang menghadiri majelis Imam Ahmad hanya 500 orang yang menulis (untuk mengambil ilmu beliau) selebihnya hanya mau mengambil adab dan akhlak beliau saja masalah ilmu adalah masalah berikutnya.
Inilah fungsi talaqqi menuntut ilmu lewat majelis bukan hanya lewat kitab, sebab dengan buku yang hanya kita ambil hanya segi ilmu saja dan menukil maklumat yang termuat dalam kitab tersebut. Dan ini kurang jika dibandingkan dari fadhilah menuntut ilmu lewat majelis karena kita juga mendapat manfaat adab dan akhlak dari yang memberikan ilmu. Maka hendaknya kita melaksanakan ilmu, sehingga ilmu yang kita ambil adalah ilmu yang hidup yang dapat mengubah adab dan akhlak kita. Sebagaimana kata Rasulullah tentang wali-wali Allah:
“Ketika dilihat kita mengingat Allah ”. (HR. At-Tirmidzy)
Maksudnya bahwa jika kita memperhatikannya maka kita akan termotivasi unutuk banyak mengingat Allah  dan beribadah kepada-Nya. Sehingga ada yang mengatakan melihat wajah Imam Ahmad lebih afdhal dari beribadah 1000 tahun meski perkataan ini ada kesan terlalu berlebihan (ghuluw) namun sebagian mengatakan bahwa maknanya dengan mengambil manfaat dari adab dan akhlak Imam Ahmad seorang termotivasi untuk banyak beribadah kepada Allah



TAKHRIJ HADITS
Hadits ini hadits shohih dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab 
Imam-imam yang lain meriwayatkan hadits ini diantaranya:
1. Imam An-Nasaai dalam As-Sunan
2. Imam Ibnu Majah dalam As-Sunan nomor 4034
3. Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad
4. Abu Dawud di As-Sunan
5. At Tirmidzi di As-Sunan
6. Al Ajurri di kitabnya Asy Syari’ah
7. Ibnu Hibban di kitabnya Ash Shohih,
Dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sanad sahabat Abu Hurairah dengan redaksi yang sedikit berbeda.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP