HUBUNGAN ANTARA IBTIDA’ DENGAN IHDAATS
Oleh
Muhammad bin Husain Al-Jizani
Ibtida’ dan Ihdats dalam asal bahasa mempunyai kesamaan makna, yaitu mendatangkan sesuatu yang baru yang belum ada sebelumnya.
Adapun dalam makna syar’i, maka ke-empat hadits yang lalu telah menunjukkan bahwa bid’ah itu menurut syari’at mempunyai dua nama, yaitu “bid’ah dan muhdatsat”. Hanya saja kata bid’ah banyak dipergunakan dan diungkapkan pada urusan (sesuatu) yang diada-adakan dan tercela dalam agama saja. Adapun kata muhdatsat banyak diungkapkan pada sesuatu yang diada-adakan lagi tercela, baik dalam masalah agama ataupun yang lainnya.
Oleh sebab itu bisa diketahui, bahwa ihdats lebih umum dan lebih luas daripada ibtida’, karena kata ihdats mencakup segala sesuatu yang diada-adakan dan tercela, baik dalam urusan agama ataupun yang lainnya, maka semua perbuatan dosa dan maksiat masuk dalam pengertian ihdats, seperti apa yang ada dalam sabda Rasulullah.
“Artinya : Barangsiapa yang berbuat maksiat di dalamnya atau melindungi orang yang berbuat maksiat” [Hadits Riwayat Bukhari 3/81 no. 1870, Muslim 9/140]
Ibnu Hajar berkata : “Yaitu berbuat maksiat” [Lihat Fathul Bari 13/281]
Ini arti dari : Man Ahdatsa Fiiha Hadatsan [-pent]
Dengan uraian ini jelaslah bahwa lafazh muhdatsat -ditinjau dari segi ini- berada di tengah antara makna bid’ah menurut bahasa dan menurut syari’at. Itu lebih khusus dari makna bid’ah secara bahasa, tapi lebih umum (luas) dari maknanya menurut syari’at.
Maka terkumpullah di hadapan kita tiga makna, yaitu :
[1]. Sesuatu yang diada-adakan, baik secara tercela ataupun terpuji, baik dalam agama atau bukan.
[2]. Sesuatu yang diada-adakan dan tercela, baik dalam agama atau bukan.
[3]. Sesuatu yang diada-adakan dan tercela khusus dalam agama.
Makna yang pertama bersifat umum, yaitu makna lughawi (bahasa) untuk bid’ah dan muhdatsat. Makna yang kedua bersifat khusus, dan ini biasanya makna syar’i bagi muhdatsat, sedang yang ketiga lebih khusus, yaitu makna syar’i bagi bid’ah dan juga makna syar’i yang lain bagi muhdatsat.
[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]
Artikel Terkait:
- Apakah Menara Masjid Menyelesihi Sunnah
- Tidak Isbal pun Bisa Terlarang
- Hukum Mencium Tangan dan Membungkukkan Badan
- Hukum Mencium Tangan dan Membungkukkan Badan
- Kuliah Ikhtilath Penuh Dilema
- Hukum Memakai Toga untuk Wisuda
- Bolehkah Charge (Ngecas) HP di Masjid?
- Adakah Jihad di Zaman Ini?
- Hukum Menjual TV, Video dan PS
- Hukum Nonton Televisi di Zaman Ini
- Serial Aurat Buku Syaikh Idahram-2 (bag. 2)
- Serial Aurat Buku Syaikh Idahram-2 (bag. 1)
- Pembodohan dan Penipuan Terhadap Umat Islam
- Pluralisme Agama, Gagasan Orang Dungu
- Suburnya Aliran Sesat di Indonesia
- Kyai-Kyai NU, dari Hal Membayangkan Zinai Artis Sampai Situs Porno
- Permainan Logika Bung Karno dan Islam yang Tak Dapat Dibendung
- Contoh Nyata Taqlid Buta di Kalangan NU dan PKB
- Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” Mengusung Faham Rafidhah (Syi’ah Iran)
- Jawaban terhadap Prof. KH. Said Agil Siradj, M.A. (Ketua Umum PBNU)
- Menjebak dan Memerangkap Umat Islam
- Ketika Kecantikan dan Harta Menjadi Tujuan Utama
- Buta Islam, Bagaimana Mengobatinya?
- Karena Niat Begitu Berarti …
- Allah Maha Kuasa untuk Mengadzab
- Saya orang indonesia atau orang Islam?
- Berdialog Dengan Teroris (Belajar Dari Pengalaman Arab Saudi Dalam Menumpas Terorisme)
- Kenapa Film yang Dianggap Islami Tidak Mengarah ke Islam?
- Pengertian Dosa Besar
- Tabot, Tabuik dan Nikah Mut’ah
0 komentar:
Posting Komentar