..::::::..

Syarah Hadits Keenam Arbain Nawawiyah

بسم الله الرحمن الرحيم
الحَدِيْثُ السَّادِسُ
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : (( إَنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَ إِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَ بَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْـتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّـبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَـبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ وَ مَنْ وَقَعَ فيِ الشُّـبُهَاتِ وَقَعَ فيِ الحَرَامِ كَالرَّاعِيْ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَ وَ إِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَ إِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَ إِنَّ فيِ الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَ إِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ ))
رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ
6. Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata : Aku telah mendengar Rasulullah  bersabda : “Sesungguhnya sesuatu yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada persoalan yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahui. Maka barang siapa menjaga dirinya dari persoalan yang syubhat itu maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang jatuh dalam perkara yang syubhat itu, maka ia telah jatuh dalam perkara yang haram seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanah larangan, lambat laun ia akan masuk ke dalamnya Ingatlah bahwa tiap-tiap raja ada daerah batasannya. Ingatlah bahwa batasan Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya.

Ingatlah bahwa dalam tubuh terdapat sepotong daging, apabila ia baik maka baiklah badan itu seluruhnya, dan apabila ia rusak, maka rusaklah badan itu seluruhnya, ingatlah itu adalah hati”.
( Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim )

KEUTAMAAN HADITS
Hadits ini berkaitan dengan masalah halal dan haram serta masalah-masalah yang mutasyabihat/ syubhat. Menurut Imam Ahmad رحمه الله , hadits ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam ad-din ini. Beliau memasukkannya sebagai salah satu diantara 3 ushulul hadits (hadits pokok) dalam agama kita, dan hadits yang lainnya adalah hadits pertama dan hadits kelima dari kumpulan hadits Arbain An Nawawiyah.
Menurut Imam Ishaq bin Rahuyah /Rahuwaih رحمه الله (seorang guru utama dari Imam Bukhari رحمه الله ) ketika melihat hadits-hadits, mengatakan 4 hadits yang pokok dalam ad-din ini, yaitu sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad رحمه الله dengan menambahkan hadits keempat dari Al Arbain An Nawawiyah. Imam Abu Dawud رحمه الله , seorang murid dari Imam Ahmad رحمه الله dan penulis Sunan Abi Dawud( beliau yang paling banyak menyebutkan tentang keutamaan hadits ini) Beliau memasukkan hadits ini ke dalam 3 ushulul hadits, bahkan beliau mengatakan ada 5 hadits yang beredar padanya fiqih dalam ad-din dan beliau memasukkan hadits ini juga (yaitu hadits 1, 6, 7, 9 dan 32), beliau رحمه الله juga mengatakan bahwa ada 4 hadits yang pokok dalam Sunan Abi Dawud dan telah cukup bagi seseorang yang mau memahami ke empat hadits tersebut, dan beliau juga memasukkan hadits ini.
Imam Ibnu Daqieq Al Ied رحمه الله , penulis syarh Al Arbain An Nawawiyah yang juga ulama besar dalam masalah fiqh mengatakan dalam syarh Arbain An Nawawiyah bahwa hadits ini adalah “ أصل عظيم من أصول الشريعة “ (termasuk hadits pokok yang agung dalam pokok-pokok syariat). Dan beliau berkata (mengutip dari Imam Abu Dawud رحمه الله ) : “telah ijma’ ulama tentang pentingnya dan tentang banyaknya faedah yang dikandung hadits ini”. Pendapat ini disetujui oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Imam Nawawi رحمهما الله . Dengan ini menunjukkan bahwa ulama memperhatikan tentang hadits ini.
Ulama lainnya adalah Imam Al Qurthubi رحمه الله penulis tafsir Al Qurthubi dan sebelumnya Imam Ibnul Arabi رحمه الله yang memiliki tafsir tentang ayat-ayat ahkam dan juga bermadzhab Maliki, keduanya berkata bahwa seluruh masalah-masalah hukum bisa dikembalikan pada hadits ini, karena hadits ini telah menjelaskan masalah halal dan haram secara rinci dan juga menyinggung suatu masalah yang berada di antara keduanya (masalah syubhat). Dengan demikian sangat penting bagi kita untuk memperhatikan hadits ini, menghafalkan, memahaminya dan menyebarkan hukum-hukumnya. Demikian pula semua yang terdapat dalam Al Arbain An Nawawiyah yang sebagaimana diketahui mengandung hadits-hadits yang pokok.

SHAHABAT YANG MERIWAYATKAN HADITS
عن أبي عبد الله النعمان بن بشير رضى الله عنهما …
Perawinya adalah Abu Abdillah Nu’man bin Basyir Al Madani  adalah seorang shahabat dari kalangan Anshar. Kuniyah beliau Abu Abdillah. Bapak beliau adalah seorang shahabat yang mulia bernama Basyir bin Sa’ad bin Tsa’labah bin Julas bin Za’id Al Anshori Al Khazraji , dari kalangan suku khazraj, salah satu suku terkenal di Madinah.
Bapaknyalah yang memperkenalkannya kepada Rasulullah . Ketika kelahirannya, Nu’man bin Basyir  dibawa kepada Rasulullah  untuk didoakan. Lalu Rasulullah  dan mengkhabarkan bahwa anak itu (Nu’man bin Basyir ) akan seperti bapaknya menjadi shahabat yang mulia dan akhir hidupnya juga akan sama, yaitu meninggal karena dibunuh. Pada akhirnya Nu’man bin Basyir  memang meninggal karena dibunuh oleh seorang munafik dari Hims (Damaskus). Khabar ini adalah khabar gaib dari Allah  dan apa yang dikhabarkan beliau  akan terbukti.
Jadi merupakan suatu sunnah untuk membawa seorang bayi yang baru lahir kepada orang yang shaleh untuk didoakan dan ditahnik atau kalau bisa juga untuk diberi nama. Hal ini bukan hanya khususiyah bagi Rasulullah  saja, karena sesudah wafatnya Rasulullah  para shahabat juga mendatangi Abu Bakar  untuk meminta beliau mendoakan anaknya dan ini berlanjut terus sampai tabiin.
Ibu dari Nu’man bin Basyir  adalah seorang shahabiyah yang bernama ‘Amrah bintu Rawahah رضى الله عنها , saudara perempuan dari shahabat yang mulia Abdullah bin Rawahah  (salah seorang penyair Rasulullah  dan pemimpin perang Mu’tah). Nu’man bin Basyir  adalah keponakan dari Abdullah bin Rawahah  dari sisi ibunya. Jadi beliau hidup dan belajar dari kalangan para shahabat sehingga beliau menjadi seorang yang shaleh dan shahabat yang mulia.
Diikhtilafkan oleh para Ulama tentang Nu’man bin Basyir  , apakah beliau pernah mendengar langsung dari Rasulullah  atau hadits-haditsnya hanya murshal shahabi saja (menukil dari shahabat-shahabat yang lain) ?, karena ada juga shahabat yang tidak mendengarkan langsung hadits dari Rasulullah  tetapi hanya menukil dari shahabat yang lain yang mendengarkan sabda Rasulullah . Ahlul Madinah (ulama-ulama dari kalangan Madinah) banyak yang mengatakan bahwa Nu’man bin Basyir  tidak pernah mendengarkan langsung dari Rasulullah  , namun Ahlul Kufah mengatakan bahwa Nu’man bin Basyir  pernah mendengarkan langsung, dan hadits yang pernah didengarkan beliau langsung dari Rasulullah  adalah hadits ini. Karena beliau mengatakan “ سمعت “ (saya mendengarkan), dan kalau seorang shahabat mengatakan “ سمعت “ berarti dia mendengarkan langsung. Kalau dia mengatakan “ عن “ (dari), berarti ada kemungkinan lewat perantara, tapi kalau sudah mengatakan “ سمعت “ itu menunjukkan bahwa dia mendengarkan langsung. Jadi pendapat yang benar adalah pendapat Ahli Kufah. Dalam riwayat Imam Muslim رحمه الله , beliau menegaskan bahkan mengisyaratkan بأصبعيه إلى أذنيه (beliau mengisyaratkan dengan telunjuknya menunjuk kepada kedua telinganya) ketika beliau berkata سمعت (maknanya saya mendengarkan langsung dan tidak lewat perantara).
Di sini ada sebuah hukum dalam masalah Ilmu Hadits, bahwa orang yang mendengarkan hadits dalam usia yang muda itu diterima haditsnya walaupun dia belum baligh tapi dengan syarat dia menyampaikan hadits tersebut ketika dia sudah baligh. Karena ketika Rasulullah  wafat, umur beliau (Nu’man ) baru 8 tahun (belum baligh). Berarti ketika mendengar hadits ini, beliau juga belum baligh tapi haditsnya dapat diterima selama dia mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk dan antara yang benar dan yang salah) tapi dengan syarat dia sampaikan ketika dia sudah baligh. Sama dengan masalah, tidak mengapa menerima hadits dari seorang yang waktu mendengarkan hadits masih dalam keadaan kafir dengan syarat dia menyampaikan hadits itu ketika dia sudah masuk islam. Sebaliknya jika ada yang mendengarkan hadits ketika ia masih seorang muslim, tapi dia menyampaikan hadits itu ketika dia sudah kafir (murtad), maka haditsnya itu tidak diterima/ditolak. Ini salah satu masalah dalam Ilmu Mustholah bahwa “ تَحَمُّل “, menerima hadits orang yang masih muda dengan syarat dia menyampaikan ( أد ا ء ) ketika sudah baligh, seperti Nu’man bin Basyir  .
Diantara keutamaan dari Nu’man bin Basyir  adalah : pada masa Muawiyah , beliau dipilih menjadi Amir di Kufah dan setelah kurang lebih 9 bulan di Kufah beliau dipindahkan ke Hims (Damaskus) sebagai Qadhi di Hims. Ada sedikit ikhtilaf dikalangan ulama, apakah hadits ini pertama kali beliau sebutkan ketika beliau berada di Kufah atau setelah beliau berada di Hims. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa beliau berkhutbah dengan hadits ini ketika menjabat Amir di Kufah, tapi dalam riwayat lain dikatakan bahwa beliau berkhutbah dengan hadits ini ketika di Hims. Kata Ibnu Hajar Asqalani رحمه الله : “tidak ada masalah, boleh saja beliau berkhutbah dua kali dengan hadits ini yaitu beliau sudah pernah berkhutbah dengan hadits ini ketika beliau masih Amir di Kufah dan juga berkhutbah dengan hadits ini ketika telah menjadi Qadhi di Hims”. Beliau juga terkenal sebagai khotib yang bari’, ahli khutbah yang mempunyai balaghoh (keindahan bahasa dalam berkhutbah dan ahli retorika). Beliau adalah shahabat yang pertama kali lahir dikalangan Anshar setelah hijrah Nabi (sekitar 14 bulan setelah hijrah). Adapun shahabat dari kalangan Muhajirin yang pertama kali lahir setelah hijrah adalah Abdullah bin Zubair  . Abdullah bin Zubair  mengatakan bahwa Nu’man bin Basyir  lebih tua 6 bulan darinya.
Nu’man bin Basyir  wafat pada tahun 60 H. Pendapat lain mengatakan tahun 62 H dan ada juga tahun 64 H, setelah menghindari fitnah Yazid bin Muawiyah tentang masalah Abdullah bin Zubair. Beliau menghindari fitnah tersebut tetapi dibuntuti oleh seorang munafik yaitu Khalid bin Khaly Al Khulai dari Dimasyq dan dialah yang membunuh shahabat yang mulia Nu’man bin Basyir  (sebagaimana yang pernah dikhabarkan oleh Rasulullah  .

SYARH HADITS
 سمعت رسول الله صلى الله عليه وساـم يقول …
(Saya telah mendengarkan Rasulullah  , beliau bersabda …)
“سمعت “ merupakan salah satu bentuk periwayatan yang paling kuat dalam ilmu hadits, sama dengan bentuk “ حدثـنا “.
 إن الحلال بيّن و إن الحرام بيّن …
(Sesunguhnya sesuatu yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas…)
Maksudnya urusan-urusan yang halal dan yang haram itu sudah jelas. Artinya ada urusan-urusan yang memang sudah dijelaskan bahwa dia adalah halal atau haram. seperti memakan makanan dan meminum minuman yang baik hukumnya halal, nikah itu halal, dan sebagainya. Dan kehalalan ini jelas dari Al Qur’an dan As Sunnah, yang jelas hukum-hukumnya dari dalil-dalil yang sifatnya nash (tidak ada makna lain dari hal tersebut). Karena ada dalil yang sifatnya nash (siapa saja yang membacanya bisa langsung memahaminya) dan ada dalil yang tidak nash dan inilah yang bisa dita’wil (mempunyai ihtimal/ banyak kemungkinan). Selain jelas dengan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah, masalah itu juga jelas berdasarkan kaidah-kaidah yang umum seperti bahwa “semua masalah-masalah selama tidak ada larangan dan dalam masalah dunia maka hukumnya halal”.
Dan penjelasan ini, bahwa Allah  telah menurunkan Al Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu (hukum Allah) bagi manusia dan Rasulullah  juga diutus untuk menjelaskan apa yang ada dalam Al Qur’an. Jadi Al Qur’an sebenarnya adalah penjelas tentang hukum-hukum, dan untuk memperjelas lagi apa yang ada dalam Al Qur’an maka Allah  mengutus Rasul-Nya. Dan hal ini ditunjukkan minimal 2 ayat dalam Al Qur’an. Sebagaimana firman Allah  dalam surat An Nahl (16) : 89 ,
 ويوم نبعث في كل أمة شهيدا عليهم من أنفسهم وجئنا بك شهيدا على هؤلاء ونزلنا عليك الكتاب تبياناً لكل شئ وّهدى و رحمة وّبشرى للمسلمين  ( النحل : 89 )
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari diri mereka sendiri, dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”(AnNahl : 89).
Ayat ini (QS An Nahl : 89) jelas menyebutkan bahwa Al Qur’an ini diturunkan untuk menjelaskan hukum-hukum. Dan dalam surat An Nahl : 44, Allah  berfirman :
 بالبيّنات والزبر وأنزلنا إليك الذكر لتبيّن للناس ما نزّل إليهم ولعلهم يتفكرون  ( النحل : 44)
“Dengan membawa keterangan-keterangan (Mu’jizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (An Nahl : 44).
Dengan demikian jelaslah bahwa Rasulullah  diturunkan untuk menjelaskan hukum-hukum Allah yang terdapat dalam Al Qur’an lewat sunnahnya. Jadi Al Qur’an dan Sunnah kedua berfungsi untuk menjelaskan hukum-hukum itu. Dengan kedua hal itu (Al Qur’an dan As Sunnah) cukuplah untuk menjelaskan segala yang halal dan yang haram.


Dalam riwayat Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah رحمهما الله, Rasulullah  bersabda:
تَرَكْتُكُم عَلى المِثْلِ البَيْضاءِ ليلُها كنهارِها لا يَزِيغُ عنها إلا هالِكُ
“Saya telah meninggalkan kalian wahai umatku seperti baidho’/ yang sangat putih (sangat jelas/ terang sekali), malamnya seperti siangnya, tidak ada yang berpaling dari syariatku kecuali ia akan binasa”
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah  telah menjelaskan segala sesuatu yang halal dan yang haram, dan ini pula telah disaksikan oleh para shahabat. Kata Abu Darda  dan juga Abu Dzar  bahwa :
تركنا رسول الله  ولا طائر يطير بجناحيه في الـهواء إلا ذكرنا منه علماً
“Rasulullah  telah meninggalkan kami dan tidaklah ada seekor burung yang membolak-balikkan sayapnya di angkasa kecuali beliau telah menjelaskan hal tersebut kepada kami” (Hadits Shahih Riwayat Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir).
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah  telah menjelaskan segala sesuatu sehingga mereka (shahabat) faham antara yang halal dan yang haram. Karenanya hal-hal yang sudah dijelaskan dengan nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah tidaklah pantas seorang untuk jahil terhadap masalah-masalah tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama kita, ada masalah-masalah yang “ معلوم من الدين بالضرورة “(sudah jelas hukumnya dan tidak ada udzur untuk tidak mengetahuinya). Seperti kewajiban menyembah kepada Allah  telah sangat jelas dalam Qur’an dan Sunnah, sehingga tidak boleh seseorang berkata “saya mengira kita bisa menyembah kepada selain Allah”. Demikian juga tentang keharaman memakan babi dan anjing. Bagi seorang muslim yang hidup di tengah kaum muslimin yang sudah mendengarkan Qur’an dan Sunnah, di negeri kaum muslimin, maka tidak ada udzur baginya untuk jahil tentang masalah-masalah itu, karena dia hidup di kalangan kaum muslimin dan dikalangan kaum muslimin pengetahuan akan hal itu sudah menyebar.
… وبينهما أمور مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس …
Musytabihat/ syubhat berasal dari kata “ شبه - يشبه “ artinya mirip/ sama. Suatu perkara dikatakan syubhat karena perkara itu mirip/ sama, karenanya orang sulit membedakan apakah hal itu halal atau haram, apakah sunnah atau bid’ah, apakah boleh atau tidak boleh.
“لا يعلمهن كثير من الناس “ (tidak banyak manusia yang mengetahuinya), artinya ada manusia yang mengetahuinya. Jadi sebenarnya urusan ini masuk pada salah satunya, halal atau haram, hanya tidak banyak manusia yang mengetahuinya. Yang memiliki pengetahuan atasnya adalah ulama, dan ini menunjukkan keutamaan ulama. Namun demikian tidak semua ulama juga mengetahui hal tersebut, mereka bertingkat-tingkat dalam masalah seperti ini.
Urusan-urusan yang syubhat/ ikhtilaf terjadi (padahal Rasulullah  telah menjelaskan segala sesuatunya) disebabkan beberapa hal :
1. Dalil-dalilnya tidak sampai kepada semua ulama. Contoh, sebenarnya sudah ada hukum yang mengatur tentang suatu masalah, tetapi dalil/ haditsnya tidak menyebar kepada seluruh ulama, ada yang sudah sampai padanya dan ada yang belum. Maka bagi ulama yang telah sampai padanya dalilnya maka hal itu tidak samar lagi baginya, namun yang belum sampai kepadanya dia menganggapnya sesuatu yang syubhat.
2. Ada masalah-masalah yang kadang disebutkan halal dan kadang disebutkan haram dan ulama kita tidak mengetahui yang mana yang nasikh dan yang mansukh, karena ada kelihatan sesuatu yang bertentangan, ada yang halal dan ada yang haram. salah satu untuk mentarjihkannya adalah dengan melihat yang mana yang lebih dulu turun. Kaidahnya yang lebih dulu turun itulah yang mansukh dan kita mengambil dalil yang belakangan. Tapi kadang ulama juga tidak mengetahui yang mana yang lebih dulu turun sehingga menimbulkan syubhat tentang hukumnya.
3. Ada hukum-hukum yang tidak ada dalilnya yang jelas. Dia datang ketika ulama-ulama kita mau memutuskannya hanyalah menggunakan kaidah-kaidah syariat, apakah kaidah umum atau berupa qias atau yang lainnya yang digunakan fuqaha untuk memutuskan hukumnya. Dan masalah-masalah seperti inilah yang disebut masalah ijtihadiyah, ketika tidak adanya dalil yang jelas maka ulama kita berijtihad. Disinilah terjadi ikhtilaf mengenai hukumnya, kadang ada yang mengatakan halal dan kadang ada yang mengatakan haram.
4. Adanya dalil yang mengatakan dia adalah suatu perintah dan ada yang mengatakan dia larangan pada perkara yang sama. Untuk hal yang seperti ini kadang dipakai beberapa kaidah seperti “حمل المطلق على المقيد و العام على الخاص “ (membawa dalil-dalil yang mutlak pada yang muqayyad atau membawa dalil-dalil yang umum ke yang khusus), atau kadang ada yang menyimpulkan bahwa karena ada perintah dan larangan maka hukumnya berarti makruh, atau ada juga yang berkata hukumnya mubah. Contohnya : minum berdiri dikatakan dalam suatu hadits hal itu dilarang, tetapi dalam hadits yang lain dikatakan boleh. Maka sebagian ulama mengatakan bahwa di sini ada larangan dan ada perintah maka larangan di bawa kepada yang makruh, ada juga yang mengatakan karena adanya larangan dan adanya perintah, maka perintah disini (untuk tidak minum berdiri) hukumnya sunnah saja, dan ada juga yang mengatakan hukumnya mubah. Keragaman pendapat inilah yang menimbulkan syubhat.
Namun hal syubhat ini sebagian ulama mengetahuinya, dan merupakan keutamaan ulama untuk bisa menjelaskan mengenai hal-hal itu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله pernah mengatakan : “Yang faqih bukanlah orang yang bisa menjelaskan yang mana yang halal dan yang haram (dalam masalah-masalah yang sudah jelas hukumnya), tetapi seorang yang faqih adalah seorang yang bisa memutuskan antara dua hal yang samar-samar”.
Mengenai keutamaan ulama ini, sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah  dalam hadits ini “ لا يعلمهن كثير من الناس “ (kebanyakan manusia tidak mengetahuinya). Dan ini juga sudah diisyaratkan oleh Allah  dalam Al Qur’an surat Ali ‘Imran (3) : 7,
 هو الذى أنزل عليك الكتاب منه ءآيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات. فأما الذين فى قلوبـهم زيغ فيتبعون ماتشابه منه ابتغآء الفتنة وابتغآء تأويله . وما يعلم تأويله إلا الله. والراسخون فى العلم يقولون ءامنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلآ أولوا الألباب  ( ال عمران : 7 )
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata :”kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (Ali ‘Imran : 7)
Sebagian qiraah mengatakan : “ … وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون فى العلم ، …” ( tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya ), artinya orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui hal tersebut. Meskipun qiraah seperti ini adalah qiraah yang lemah. Ada yang mengambil dari ayat ini bahwa memang Allah  telah memberikan ilmunya kepada sebagian manusia yaitu para ulama kita yang mendalam ilmunya ( Wallahu ta’ala a’lam).
Dari sebab-sebab khilaf tadi, ulama kita berikhtilaf tentang makna “ أمور مشتبهات “ apakah sebenarnya hukumnya ? apakah halal, haram, atau ada hukum-hukum tertentu yang tidak masuk pada salah satunya, sehingga ketika menafsirkan masalah yang mutasyabihat ini ada beberapa pendapat :
1. Ada yang mengatakan mutasyabihat adalah hal-hal yang diikhtilafkan oleh ulama sebagaimana yang telah disebutkan.
2. Ada yang mengatakan mutasyabihat ini hukumnya makruh,
3. Ada yang mengatakan mutasyabihat ini hukumnya mubah.
Dari semua pendapat itu , yang rajih adalah pendapat yang pertama (Wallahu a’lam), dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Hajar رحمه الله bahwa makna yang mutasyabihat adalah yang diikhtilafkan oleh para ulama dan hukumnya salah satu diantara halal atau haram.

… فمن اتّقى الشبهات فقد استبرأ لدينه و عرضه …
“فمن اتّقى “ (maka siapa yang menjauhi), “ اتقى “ dari kata “ وقى - يقى “ yang artinya jauh atau berhati-hati/ menjaga diri, sebagaimana dalam ayat “ قوأنفسكم “ (jagalah dirimu/ berhati-hatilah). Karena itulah ketika Umar  ditanya tentang definisi taqwa, beliau mengatakan “Kamu seperti berjalan di jalan yang banyak onaknya/ banyak durinya/ gangguannya, kamu tentu saja berhati-hati dan inilah taqwa”. Berarti barang siapa yang berhati-hari dengan syubhat, maka juga menjauhi syubhat tersebut (tidak mau dekat-dekat dengan syubhat tersebut).
“فقد استبرأ لدينه و عرضه “ (dia sudah menyelamatkan agamanya/diennya dan kehormatannya). “لدينه “ (menyelamatkan diennya) adalah berkaitan dengan hubungannya dengan Allah . Menjauhi syubhat merupakan perwujudan pertanggungjawabannya terhadap Allah . Namun orang yang melakukan syubhat akan ditanya oleh Allah  di hari kiamat kelak. Karena itulah “لدينه “, maksudnya dia akan selamat dari pertanyaan Allah .
“و عرضه “ (menyelamatkan kehormatannya), berkaitan dengan hubungannya antara sesama manusia. Dengan meninggalkan syubhat maka dia akan selamat dari gangguan/ komentar manusia dan prasangka-prasangka yang buruk yang mungkin datang dari manusia. Karena itulah ulama mengatakan :
مَنْ وَقَفَ مَوقِفَ الشّبهات فلا يَلومَنَّ من أساءَ به الظَّنون
“Siapa yang selalu mau berada di posisi syubhat, maka jangan dia mencela orang yang berprasangka buruk kepadanya”.
Seperti orang-orang yang berada di tempat-tempat yang syubhat, haram, mungkar, ahlu bid’ah dan maksiat, ketika ditanya, mereka berkata : “Sebenarnya sama mau berdakwah”. Tapi orang-orang yang lewat akan berprasangka buruk dan mereka tidak dapat marah/ melarangnya karena wajar jika orang berpikiran seperti itu. Dan inilah yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah . Dalam riwayat Bukhari – Muslim dari Ali bin Husain  diceritakan :
Suatu ketika Rasulullah  dikunjungi oleh istrinya Shofiyyah رضى الله عنها pada saat beliau sedang beri’tikaf. Ketika istrinya mau pulang, beliau mengantarkannya sampai ke depan pintu masjid. Ketika itu dua orang Anshar lewat di depan beliau. Lalu ketika mereka melihat beliau  bersama seorang wanita, cepat-cepat mereka pergi berjalan dengan jalan yang cepat, lalu Rasulullah  memanggil keduanya, dan berkata “Wahai Anshar, sesungguhnya perempuan ini adalah Shofiyyah bintu Hayyi (maksudnya istriku)”, lalu kedua shahabat itu berkata : “Ya Rasulullah  kami tidak mungkin berprasangka buruk denganmu”. Kata Rasulullah  : “Sesunguhnya syaithan itu berjalan di tubuh manusia sebagaimana aliran darah, karena itulah saya kuatir syaithan menggoda kalian lalu kalian berprasangka buruk kepadaku”.
Di sini Rasulullah  mau menjelaskan supaya menghindarkan syubhat atas dirinya. Kalau ada syubhat perlu kita jelaskan dan kalau perlu kita jauhi syubhat itu dan inilah jalan keselamatan. Orang yang menjauhi syubhat, tidak akan ada komentar buruk dari manusia, dia senantiasa akan selamat/ aman dari gangguan-gangguan manusia. Orang yang kadang-kadang berada di tempat orang-orang yang ahlul maksiat atau munafik atau ahlul bid’ah, mereka tidak akan selamat dari celotehan manusia. Karena itulah sikap seorang mukmin yang benar adalah adalah sebagaimana yang Rasulullah  katakan “فقد استبرأ لدينه و عرضه ”.
… ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام …
(Siapa yang jatuh kepada syubhat maka dia akan jatuh kepada yang haram). Disinilah ada khilaf dari ulama ketika mengatakan apakah syubhat itu halal atau haram. yang mengatakan syubhat itu halal berdalilkan dengan permisalan yang disebutkan Rasulullah , dan yang mengatakan bahwa syubhat itu haram berdalilkan dengan sabda Rasulullah  :
فمن اتّقى الشبهات فقد استبرأ لدينه و عرضه
“Siapa yang menjauhi syubhat maka dia akan menyelamatkan agamanya dan kehormatannya”. Berarti orang yang jatuh ke syubhat maka dia tidak menyelamatkan agamanya dan kehormatannya, berarti hal ini adalah haram, apalagi Rasulullah  mengatakan : “ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام “ ini yang menyatakan adalah haram. Sedangkan yang mengatakan bahwa dia adalah suatu yang halal berdalilkan dengan permisalan yang disebutkan oleh Rasulullah  : “ كالراعى يرعى حول الحمى “ (seperti pengembala yang mengembalakan gembalaannya di sekitar hima/ perbatasan/ ujung kawasannya sendiri) dan hima/ ujung kawasannya sendiri adalah sesuatu yang dihalalkan.
Makna “وقع في الحرام “ (jatuh kepada sesuatu yang diharamkan), ditafsirkan oleh sebagian ulama dengan dua tafsiran :
1. Orang yang jatuh kepada syubhat dan orang yang memudah-mudahkan masalah syubhat, suatu saat dia akan memudah-mudahkan juga sesuatu yang haram. artinya siapa yang melakukan hal yang syubhat maka suatu saat ia akan jatuh kepada hal yang haram. karena sesungguhnya maksiat itu akan saling panggil memanggil. Seorang yang terbiasa bermaksiat yang kecil suatu saat dia akan menambah kemaksiatannya dan suatu saat dia akan sampai kepada kekufuran dan dia tidak akan takut lagi. Karena itulah sebabnya ulama kita mengatakan :
" البدعـة بريد الـكفر "
“Al bid’ah bisa mengantarkan kepada kekufuran”
المعـاصي بريد الـكفر
“Maksiat itu bisa mengantarkan kepada kekufuran (kalau sudah dianggap enteng)”
Sehingga Rasulullah  mengatakan sampai-sampai ada orang yang mencuri telur saja dipotong tangannya. Maksudnya pertama-tama yan dicuri adalah telur, tapi selanjutnya ia akan merasa hebat karena tidak ada yang mengetahui dia mencuri telur, maka dia akan mencuri yang lebih dari itu sehingga mungkin sampai kepada batasan dipotong tangan (1/4 dinar). Begitulah maksiat saling panggil memanggil.
2. (a). Karena syubhat adalah sesuatu yang belum jelas tentang kehalalannya dan keharamannya, boleh jadi hal itu diharamkan sehingga ketika dia mau melakukannya dia mengatakan ini suatu yang syubhat saja (memudah-mudahkan dalam melakukannya) padahal dia sudah jatuh kepada yang haram. Atau boleh jadi dia menganggapnya suatu hal yang samar dan dianggap makruh, tapi kalau dia sudah sering melakukan yang makruh maka suatu saat sampai ke yang haram dia masih menganggap biasa-biasa saja. Seperti orang yang mengatakan (meskipun kita tidak setuju) bahwa rokok hukumnya hanya makruh, maka suatu saat dia akan mencoba teman-temannya (minuman keras, ganja, morfin, dan lain-lain) hingga mengantarkan kepada suatu yang haram.
(b). Ini adalah masalah yang belum jelas apakah halal atau haram tapi dia syubhat baginya dan dia melakukannya, dan ternyata dia adalah hal yang diharamkan.
Karena itulah, maka sikap yang tepat dalam masalah ini adalah dengan menjauhi syubhat. Tapi bagaimana dengan orang yang sebenarnya hal itu tidak syubhat baginya ? untuk kasus seperti ini maka tidak apa-apa dia mengamalkannya/ melakukannya, namun menjauhinya lebih afdhal, dan kalau dia mau melakukannya maka sebaiknya tidak dihadapan manusia untuk menyelamatkan kehormatannya dihadapan manusia, sebagaimana Rasulullah  menjelaskannya.
Contoh lain adalah minum berdiri (ada khilaf tentang hukumnya makruh atau mubah) sebaiknya kita meninggalkannya, walaupun kita yakin bahwa itu makruh. kecuali jika ada sekelompok masyarakat yang sepakat tentang keharamannya, maka kita boleh menjelaskan bahwa hal itu tidak sampai kepada yang haram. sebagaimana yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib  , beliau berada dihadapan para shahabat dan beliau minum berdiri untuk menunjukkan bahwa hal ini sebenarnya tidak sampai pada hal yang diharamkan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari An Nazzal bin Sabrah berkata :
أَتَى علىٌّ رضى الله عنه بابَ الرَّحبةِ فشرِبَ قائماً ، و قال : إني رأيتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه و سلم فعل
كما رأيتُمونىِ فعلْتُ ( رواه البخاري )
“Ali  masuk ke pintu halaman masjid lalu minum berdiri dan berkata : sungguh saya telah melihat Rasulullah  berbuat sebagaimana saya perbuat ini”.
Ada tiga masalah yang juga termasuk syubhat :
1. Masalah yang hukum asalnya halal, tapi dia menjadi syubhat ketika kita tidak mengetahui apakah hukum asalnya itu sudah berubah atau tidak. Seperti seorang laki-laki dengan istrinya. Hukum asal istrinya adalah halal baginya, tapi dia pernah menthalaq istrinya lalu dia ragu apakah dia sudah thalaq 3 atau belum. Disaat seperti maka yang kita ambil adalah hukum asalnya, karena yang kita yakini bahwa halal (istri halal) lalu yang muncul selanjutnya keraguan. Dalam hal ini berlaku kaidah “ اليقين لا يزال بالشّك “ (keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan). Ini juga terjadi ketika kita shalat, kita yakin kita sudah bersuci sebelum shalat dan ketika kita shalat ada di perut kita bunyi seakan-akan mau buang angin, lalu kita ragu apakah kita sudah buang angin atau tidak. Maka kata Rasulullah  ketika ditanya tentang seseorang yang mengalami hal tersebut :

(( إذا وجد أحدكم في بطنه شيئا فأشكل عليه أخرج منه شيء أم لا فلا يخرج من المسجد حتىّ يسمع صوتا أو
يجد ريحاً )) مسلـم
“Apabila salah seorang diantara kamu mendapatkan (merasakan) sesuatu diperutnya sehingga meragukan apakah mengeluarkan sesuatu darinya ataukah tidak, maka janganlah dia keluar dari masjid sampai dia mendengar suara atau mencium bau” (HR. Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah  ).
Karena hukum asalnya adalah sudah bersuci dan ini tidak boleh dibatalkan karena syubhat yang muncul.
2. Masalah yang keharamannya sudah jelas, tapi kita ragu apakah hukumnya itu sudah berubah atau tidak. Contohnya makan binatang yang sudah menjadi bangkai. Lalu timbul keraguan bahwa apakah dia sudah disembelih dengan sembelih yang syar’i atau tidak. Maka disini yang diambil adalah hukum asal yaitu haram. sebagaimana kisah yang pernah terjadi pada shahabat Adi bin Hatim  yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
“Ketika Adi bin Hatim  menceritakan kepada Rasulullah  kejadiannya, beliau  berkata : Ya Rasulullah  saya sudah melepaskan anjing yang sudah saya ajarkan dan saya sudah mengucapkan basmalah ketika melepaskannya, lalu ketika saya mendapati anjing saya disitu juga ada buruan (bangkai) dan juga ada anjing lain yang tidak pernah saya ajari sebelumnya dan tidak saya kenali pemiliknya. Maka Rasulullah berkata : Jangan kamu makan (hasil buruan tersebut). Karena hukum asal bangkai adalah haram dan yang kamu ajarkan hanya anjingmu saja dan boleh jadi yang menangkap buruan adalah anjing orang lain, oleh karena itu jangan kamu makan”.
Dalam Al Qur’an surat Al Maidah : 4 , Allah  berfirman :
 يسئلونك ماذا أحل لهم ، قل أحل لكم الطيبات وما علمتم من الجوارح مكلبين تعلمونـهن ممـا علمكم الله ،
فكلوا ممآ أمسكن عليكم واذكروا اسم الله عليه و اتقوا الله إن الله سريع الحساب  (المائدة : 4)
“Mereka menanyakan kepadamu : “Apakah yang dihalalkan bagi mereka ?”. Katakanlah : “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya” (Al Maidah :4 )
Jadi anjing yang sudah diajarkan dan ketika dilepaskan mengucapkan basmalah maka hasil buruannya dapat dimakan. Kata Ibnu Qayyim Al Jauziyah رحمه الله ini menunjukkan keutamaan ilmu. Anjing saja yang diajarkan (berilmu) berbeda dengan anjing yang tidak diajarkan. Anjing yang tidak diajarkan maka hasil buruannya tidak halal untuk dimakan.
3. Hal-hal yang belum jelas tentang kehalalannya atau keharamannya, maka hal ini harus ditinggalkan. Sebagaimana Rasulullah  pernah mendapatkan kurma di rumahnya dan beliau tidak tahu apakah kurma itu sedekah atau hadiah, maka beliau meninggalkannya. Sebenarnya kurma adalah halal, namun masalah bagi Rasulullah  apakah kurma itu sedekah atau hadiah dan kemungkinannya sama kuat. Karenanya Rasulullah  berkata “kalau saya tahu dia adalah hadiah tentu saya akan memakannya”. Namun karena beliau tidak tahu maka beliau meninggalkannya. Dengan demikian, kalau tidak jelas hukumnya maka kata para ulama sebaiknya meninggalkannya.
… كالراعى يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه …
Permisalan orang yang melakukan syubhat yang suatu saat akan jatuh pada yang haram. Salah satu manhaj Rasulullah  dalam ta’lim adalah menyampaikan sesuatu dengan permisalan. Ini adalah Manhaj Nabawi bahkan Manhaj Rabbani, Manhaj yang Ilahi. Allah  juga menyebutkan permisalan-permisalan supaya kita berpikir dan untuk mendekatkan pemahaman kita terhadap apa yang dijelaskan. Permisalan itu tidak dibuat begitu saja oleh Allah  tapi supaya kita bertafakkur dan mengambil ibrah darinya, sebagaimana firman Allah  dalam surat Al Ankabut (29) : 43 ,
 و تلك الامثال نضربـها للنـاس وما يعقلها الا العالمون  ( العنكبوت : 43 )
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (Al Ankabut : 43)”.
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah رحمه الله dalam kitabnya Miftah Daar As Sa’adah mengatakan bahwa ada sekitar lebih 40 permisalan yang disebutkan Allah  dalam Al-Qur’an dan hanya orang berakal/ berilmu saja yang dapat memahaminya. Dan Rasulullah  senantiasa mengikuti manhaj Allah  dalam ta’lim, Beliau  banyak memberikan permisalan, baik permisalan itu berupa perkataan (seperti pada hadits ini) atau permisalan yang beliau gambarkan di tanah atau selainnya.
Disini dikatakan “كالراعى يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه “, seperti seorang pengembala yang membawa gembalaannya disekitar الحمى "" (batasan), kalau dia tidak hati-hati (membiarkan saja gembalaannya) maka boleh jadi gembalaannya itu akan melewati batasannya dan akan pindah ke tempat orang lain sehingga mengambil makanan dan rumput-rumput dari tetangganya. Dan inilah bahayanya orang yang memudah-mudahkan masalah syubhat. Ketika dikatakan ini masalah syubhat, tapi dia mengatakan ini belum jelas haram jadi tidak apa-apa melakukannya, sehingga suatu saat akan jatuh pada yang haram dan dia tidak merasa bersalah dengan hal tersebut. Mengenai hal ini ulama kita mengatakan bahwa “Salah satu hukum fiqh tentang bagaimana bila ada seorang pengembala membawa gembalaannya ke dekat rumput/ tanah orang lain dan ternyata gembalaannya itu makan rumput orang lain. Maka kalau dia tidak waspada dan tidak menjaga dengan baik gembalaannya itu dan dia biarkan begitu saja (dia mendekatkan gembalaannya itu ke dekat tempat orang lain) maka dia mesti membayar jaminan. Namun jika dia telah berusaha untuk senantiasa memperhatikan lalu gembalaannya itu memakan rumput orang lain maka tidak mengapa”.
…ألا و إن لكل ملك حمىً …
“ ألا “ (ketahuilah) dalam istilah bahasa arab adalah harfu iftitah litanbih, untuk mengingatkan dan menarik perhatian orang tentang pentingnya masalah tersebut.
“لكل ملك حمىً “ (setiap raja ada batasan-batasannya/ daerah kekuasaannya). Sebagian mengatakan bahwa “ملك “ adalah raja-raja orang arab, namun yang shahih (Wallahu a’lam) adalah raja-raja secara umum dan setiap raja itu mempunyai daerah kekuasaan. Rasulullah  sendiri membuat batasan-batasan, sehingga Madinah mempunyai batasan, yaitu sejauh 12 mil dari Madinah, dan dalam batasan itu orang dilarang untuk mencabut apa yang tumbuh diatasnya, dilarang memotong pohon-pohon diatasnya dan dilarang membunuh hewan-hewan disana. Demikian pula Umar  juga membuat batasan untuk ibil sadaqah (hewan yang digunakan untuk berzakat diberikan batasan untuk berumput). Pada masa kekhalifahannya juga dibuat batasan-batasan pada pemerintahan dan untuk hal-hal yang diharamkan (untuk dihilangkan).
… ألا و إن حمى الله محـارمه …
Sesungguhnya batasan-batasan Allah  adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Dan Allah  melarang kita untuk melanggarnya, bahkan Allah  melarang kita untuk mendekatinya. Dan inilah kaidah “ سد الذرائع “ tindakan pencegahan untuk melakukan hal-hal yang diharamkan. Jika ada suatu hal yang diharamkan, maka apa saja yang bisa menyebabkan terjadinya hal yang diharamkan tersebut maka dia juga dilarang. Karenanya dalam kaidah : “وسائل لـها حكم المقاصد “ (wasilah-wasilah itu sama hukumnya dengan tujuannya). Jika sesuatu itu haram maka jalan yang digunakan untuk mencapainya hukumnya juga haram. sedangkan jika suatu tujuan halal maka jalan yang digunakannya juga harus halal.
Dalil tentang tidak bolehnya melewati batasan-batasan Allah  adalah firman Allah  dalam surat Al Baqarah : 229,
… تلك حدود الله فلا تعتدوها ، و من يتعدّ حدود الله فألئك هم الظالمون  ( البقرة : 229 )
“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melangar hukum-hukum Allah mereka itu orang-orang yang dzalim (Al Baqarah : 229)”.
Dalil tentang dilarangnya mendekati batasan-batasan Allah , walaupun belum melakukan hal yang diharamkan adalah sebagaimana dalam firman Allah  :
… تلك حدود الله فلا تقربوها . كذلك يبين الله آياته للناس لعلهم يتقون  ( البقرة : 187 )
“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa (Al Baqarah : 187)”.
Inilah kaidah “ سدا للذرائع “. Contohnya : Zina. Sebenarnya yang dilarang adalah zina, tapi banyak hal yang bisa mendekatkan kita pada zina., dan Allah  telah melarang dengan firman-Nya :
 ولا تقربوا الزّنى ، إنّه كان فاحشة و ساء سبيلاً  ( الإسراء : 32 )
“ Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Al Isra’ : 32)
Ulama kita berkata bahwa yang dilarang/ diharamkan sebenarnya adalah zinanya, tetapi mendekati suatu yang dilarang/ haram itu bisa mengantar kepada yang haram, karena itulah Allah  melarangnya.
Makanya syariat kita melarang apa saja wasilah-wasilah yang bisa mengantar kepada zina. Rasulullah  melarang kita berkhalwat karena itu mengantar kepada zina dan Rasulullah  juga melarang kita berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, bahkan sekedar memandang juga dilarang, sebagaimana firman Allah  :
 قل للمؤمنين يغضّوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ، ذلك أزكى لهم ، إن الله خبير بما يصنعون 
( النور : 30 )
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman :“Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (An Nur : 30)
 وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهنّ ويحفظن فروجهنّ  ( النور : 31 )
“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman :”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya” (An Nur : 31)
Contoh lain : Minuman keras. Minuman keras dilarang karena dapat menyebabkan mabuk, dan yang memabukkan sebenarnya adalah banyaknya. Tetapi sedikit juga dilarang karena bisa mengantar kepada yang banyak, dalam artian jika dia sudah suka maka dia bisa terus sampai mabuk. Rasulullah  bersabda :
“Semua yang banyak jika memabukkan, maka sedikitpun diharamkan” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari shahabat Ibnu Umar  ).
Demikian pula contoh lain : Jika berpuasa dilarang mendekati istri. Sebenarnya yang dilarang pada saat berpuasa adalah berjima’ tetapi sesuatu yang bisa mendekatkan kita kepada hal itu maka dia juga dilarang. Karena itulah sebagian ulama juga melarang mencium istri ketika sedang berpuasa padahal hal itu pada hakikatnya tidak dilarang secara hukum, tidak ada nash-nash yang menjelaskan larangannya dan sebagian ulama membedakan larangannya antara yang masih muda dan yang sudah tua, kalau yang tua tidak mengapa sedangkan yang masih muda dilarang.
Dan sudah banyak contoh dalam sunnah Rasulullah dan kehidupan kita bahwa orang yang memudah-mudahkan mendekati suatu yang haram maka suatu ketika dia akan jatuh kepada yang haram itu. Orang-orang yang bermuamalah dengan orang-orang yang banyak melakukan maksiat maka dia tidak akan aman dari perbuatan maksiat. Mungkin awalnya dia tidak ridho terhadap perkara maksiat itu dan menganggapnya sebagai sarana dakwah dan lain-lain tapi sedikit demi sedikit suatu saat dia akan ridho dengan semua itu. Contoh dalam kehidupan kita, seorang yang hidup di dekat sampah, pada awalnya tidak akan senang dan merasa terganggu tapi lama kelamaan dia tidak akan terganggu lagi karena sudah terbiasa.
 ألا و إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله و إذا فسدت فسد الجسد كله ألا و هي القلب
Dan Rasulullah  menutup hadits ini dengan tanbih lagi, karena yang akan diucapkan adalah masalah yang penting dan masalah yang kelihatannya baru, padahal ini ada kaitannya dengan masalah yang telah disebutkan sebelumnya. Karena masalah meninggalkan syubhat ditentukan oleh masalah hati.
Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله mengatakan bahwasanya hati itu sebagaimana kata Abu Hurairah  adalah pemimpin seluruh anggota tubuh dan seluruh anggota tubuh adalah tentaranya, baik tidaknya tentara ditentukan oleh pemimpinnya. Demikian pula anggota tubuh kita, baik buruknya (taat tidaknya) ditentukan oleh hati.
Ada beberapa hukum yang berkaitan dengan masalah ini, diantaranya yang sering dipermasalahkan yaitu : apakah akal ada di hati kita atau ada di kepala. Adapun mengenai hati, disepakati bahwa tempatnya di dada, sebagaima dikatakan oleh Rasulullah  :
“ التقوى ها هنا ( رواه مسلم ) “Taqwa itu ada di sini “ (dan beliau menunjuk ke dadanya). Artinya bahwa taqwa itu ditentukan oleh hati, dan hati telah ditunjukkan oleh Rasulullah  bahwa ada di dada. Yang kadang jadi permasalahan adalah akal. Apakah akal itu di hati ataukah di kepala. Dan ini banyak disebutkan oleh ulama-ulama kita diantaranya, Imam Nawawi رحمه الله dalam kitabul Al Minhaj (Syarhu Shahih Muslim), ketika menjelaskan hadits “Wanita itu kurang akalnya”, beliau sempat menyebutkan khilaf ulama tentang di mana letak akal. Beliau mengatakan bahwa kebanyakan dari Madzhab Syafiiyah mengatakan akal ada di hati, dengan dalilnya adalah :
… لهم قلوب لا بفقهون بها …  ( الاعراف : 179 )
”Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah)” (Al-A’raaf : 179).
Dan juga dalilnya :
 أفلم يسيروا في الأرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها …  ( الحجّ : 46)
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami…” (Al Hajj : 46)
Dan sebagian mengatakan akal letaknya di kepala. Sebagian yang lain mengatakan akal letaknya di kepala dan erat hubungannya dengan hati. Tapi masalah ini tidak perlu diperpanjang, seperti dikatakan oleh syaikh Utsaimin dan Imam Nawawi sendiri tidak mentarjihnya dan hanya menutup khilaf tersebut dengan perkataan Wallahu Ta’ala A’lam.
Di akhir hadits ini Rasulullah  menunjukkan tentang pentingnya hati karena hatilah yang menentukan baik tidaknya anggota tubuh kita. Dan dalil-dalil yang menunjukkan tentang hal tersebut diantaranya :
 يوم لا ينفع مال و لا بنون . إلا من أتى الله بقلب سليم  ( الشعراء : 88-89 )
“(yaitu) di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (Asy Syu’araa’ : 88-89).
Allah  telah menjelaskan bahwa modal yang paling berharga di hari kiamat kelak adalah Qalbun Salim (hati yang selamat). Harta yang banyak tapi tidak dengan hati yang bersih maka tidak ada manfaatnya di sisi Allah  .
Diantara dalil yang lain yaitu bahwa Allah  tidak melihat dari tinggi rendahnya derajat seseorang, juga bukan dari harta, kecantikan dan kejelitaannya, tapi dari hatinya. Sebagaimana sabda Rasulullah  :
وعن أبي هريرة عبد الرحمن بن صخر رضى الله عنه قال ، قال ر سول الله صلى الله عليه و سلم : (( إن الله تعالى
لا ينظر إلى أجسامكم و لا إلى صوركم و لكن ينظر إلى قلوبكم )) رواه مسلم
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tapi langsung melihat (niat dan keikhlasan) dalam hatimu” (HR. Imam Muslim)
Tapi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa yang pentingnya hatinya bagus, tapi tidak pernah beramal. Sebab yang dimaksud adalah kebaikan hati yang disertai dengan amalan. Sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah  :
(( و لكن ينظر إلى قلوبكم و أعمالكم )) رواه مسلم
“… Tapi yang Allah nilai adalah kebaikan hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian”.
Sebenarnya tanpa penyebutan “amalan” dalam hadits ini sudah cukup, bahwasanya Allah hanya melihat hati-hati kalian. Karena hati yang baik pasti menghasilkan amalan yang baik. Tapi untuk lebih menegaskan dan untuk membuang syubhat-syubhat orang yang menganggap yang penting hatinya baik, maka Rasulullah  menyebutkan “ … وأعمالكم “.
Suatu amalan dhohir yang kelihatannya sama dilakukan oleh 2 orang, maka yang bisa membedakan derajatnya di sisi Allah  adalah hatinya. Seorang yang melakukan suatu amalan karena ta’dzim kepada Allah  dan yang lainnya karena takut dicela, maka yang membedakan derajatnya di sisi Allah  adalah hatinya itu. Ibnu Qayyim Al Jauziyah رحمه الله menukil dari Hassan bin Athiyah رحمه الله , beliau berkata : “Ada dua orang yang sama-sama mendirikan satu shalat, tapi ada perbedaan antara keduanya, seperti perbedaan antara langit dan bumi. Yang demikian ini terjadi karena salah seorang menghadapkan hatinya kepada Allah, sedangkan yang satunya lagi lalai dan lengah. Jika seorang berhadapan dengan orang lain, sementara diantara keduanya ada pembatas, maka keduanya tentu tidak bisa saling bertatap muka dan berdekatan. Lalu bagaimana jika dia berhadapan dengan Allah ?”. Jadi keduanya berada di shaff yang satu, berdampingan, pundaknya saling bersentuhan, di belakang imam yang satu, shalat keduanya sesuai dengan sunnah Rasulullah , tapi yang membedakannya di sisi Allah  adalah hatinya.
Ulama membagi hati dalam tiga kelompok :
1. Qalbun Salim (hati yang selamat)
Yang dimaksud adalah hati yang selamat/ bersih dari segala macam kesyirikan, bid’ah serta syahwat/ maksiat kepada Allah , sehingga hatinya penuh dengan kecintaan kepada Allah  , dan semua amalannya adalah karena Allah . Inilah orang mu’min yang benar keimanannya dan imbalannya adalah syurga.
2. Qalbun Al Mayyit (hati yang mati)
Lawan dari hati yang salim. Hati seperti ini dimiliki oleh orang-orang kafir. Hatinya tidak bisa lagi dihidupkan, dan tidak berguna lagi peringatan-peringatan kepadanya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah  :
 إن الذين كفروا سوآء عليهم ءانذرتـهم ام لم تنذرهم لا يؤمنون . ختم الله على قلوبـهم و على سمعهم و
على أبصارهم غشاوة وّلهم عذاب عظيم  ( البقرة : 6-7 )
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau kamu tidak beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup dan bagi mereka siksa yang amat berat” (Al Baqarah : 6-7)
3. Qalbun Maridh (hati yang sakit)
Ini adalah hati yang dimiliki oleh orang-orang munafik dan mukmin yang lemah iman, dan hati ini juga bisa berkarat, dan sakitnya hati disebabkan oleh maksiat-maksiat yang kita lakukan. Hati jenis ini bisa diobati, jika diberi peringatan-peringatan akan sembuh, ketika diingatkan dengan adzab Allah  kembali lagi lagi pada keimanannya, dan timbul lagi semangat pada dirinya, berbeda dengan hati yang mati tidak ada lagi faidah baginya peringatan. Namun dituntut bagi setiap muslim untuk menjaga hatinya dari segala bentuk penyakit dan caranya yang paling tepat adalah dekat dengan Al Qur’an, karena Al Qur’an itu diturunkan sebagai obat bagi yang dihati. Sebagaimana firman Allah  :
 ياأيها الناس قد جآء تكم موعظة مّن رّبكم و شفآء لما فى الصدور و هدى وّرحمة للمؤمنين  ( يونس : 57 )
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran ( maksudnya Al-Qur’an) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Yunus : 57)
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah رحمه الله , ketika menafsirkan firman Allah  :
و قال الرسول يا ربّ إن قومى اتخذوا هذا القرآن مهجورا . وكذلك جعلنا لكل نيىّ عدوّا مّن المجرمين ،
و كفى بربك هادياً وّنصيراً ( الفرقان : 30-31 )

Artinya:“Berkatalah Rasul : “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan. Dan seperti itulah, telah kami adakan bagi tiap-tiap Nabi musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi Petunjuk dan Penolong” (Al Furqan : 30-31)
Beliau (Ibnu Qayyim) mengatakan bahwa termasuk meninggalkan (tidak mengacuhkan) Al Qur’an adalah ketika kita tidak menjadikan Al Qur’an sebagai obat, terutama obat bagi penyakit di dalam hati.
Dan yang paling bisa menyembuhkan penyakit yang ada di dalam hati adalah Al-Qur’an. Dan Allah  juga mengibaratkan dalam ayat lain sebagai dzikir kepada Allah  .
… ألا بذكر الله تطمعن القلوب  ( الرعد : 28 )
“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang” (QS.Ar Ra'du:28)
Dan seafdhal-afdhal dzikir adalah Al Qur’an. Karena itulah kalau kita mau memperbaiki anggota tubuh kita, maka yang kita perbaiki adalah hati kita dengan pendekatan Al Qur’an.
Hadits ini juga menjadi hujjah yang jelas sekali bagi kita terhadap kesalahan orang-orang yang mengaku hatinya baik, lalu tidak mengamalkan perintah-perintah Allah  dan sunnah-sunnah Rasulullah . Ulama kita mengatakan : ketika orang ramai-ramai mengaku cinta kepada Allah  dan Rasulullah , lalu Allah  menurunkan satu ayat sebagai batu ujian bagi siapa yang mengaku cinta kepada Allah  dan Rasul-Nya, apakah memang benar pengakuan cintanya itu, yaitu dengan firman-Nya :
 قل إن كنتم تحبون الله فاتّبعوني يحببكم الله و يغفرلكم ذنوبكم و الله غفور رحيم  ( ال عمران : 31 )
“Katakanlah : Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imran : 31)
Jadi untuk mengetahui cinta seseorang kepada Allah  dan Rasul-Nya  , adalah dengan mengikuti sunnah, dan ini adalah sebagai bantahan yang sangat jelas sekali kepada orang yang hanya sekedar mengaku-ngaku cinta kepada Allah  dan Rasul-Nya  namun tidak mengamalkan sunnah Rasulullah , bahwa mereka dusta dengan pengakuannya itu.
Karenanya Rasulullah  memberikan hadits ini sebagai bantahan terhadap orang-orang yang mengaku hatinya baik tapi tidak beramal, karena Rasulullah  mengatakan “Kalau hati baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh”, maksud dari baiknya seluruh anggota tubuh adalah semua anggota tubuh tunduk kepada Allah . Sehingga jika kita melihat seseorang tidak melakukan/ mengamalkan sunnah, maka kita katakan hatinya berpenyakit. Hadits inilah yang menjadi hakim/ pemutus bagi orang-orang yang mengaku hatinya baik tapi tidak mau mengamalkan sunnah, bahwa pengakuan mereka dusta.
Sangat penting bagi kita untuk memperhatikan masalah hati. Fenomena yang terjadi sekarang adalah umat khususnya pemuda-pemuda yang mau bangkit dan begitu semangatnya melakukan sunnah-sunnah Rasulullah  dan ini perlu disyukuri, maka seharusnya diingatkan kepada diri kita dan mereka agar memperhatikan masalah hati. Dhahir seseorang memang merupakan suatu tanda tapi kadang orang melihat dhahirnya dan melupakan masalah hati. Dikatakan oleh para ulama, kadang seseorang begitu baiknya dari segi gerakan, dari segi sunnah tapi ia tidak mendapatkan balasan kecuali 1/2 nya, 1/3 nya, atau 1/8 nya atau tidak sama sekali, karena masalah hatinya. Sebagaimana dalam hadits dari shahabat Ammar bin Yasir  , beliau berkata : saya mendengar Rasulullah  bersabda :
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا ﴾ ﴿ “Sesungguhnya seorang hamba telah melaksanakan shalat namun tidak dicatat baginya pahala kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya” (HR. Abu Dawud dan Ahmad dan dishahihkan oleh Al Iraqy)
Hati sangat membantu dalam melakukan amalan-amalan yang sulit dilakukan. Karena ada amalan-amalan yang sangat sulit dilakukan kecuali oleh orang-orang yang diberikan taufik oleh Allah . Bahkan begitu banyak orang yang sanggup melakukan amalan-amalan dhohir tapi untuk bangun shalat shubuh saja begitu beratnya, karena yang menentukan adalah masalah hati. Dengan kebersihan hati seseorang maka Allah  akan membantunya untuk melakukan amalan-amalan yang begitu berat dilakukan. Bagi seseorang yang sudah beriltizam dengan agama ini, masalah hati sangat penting untuk diperhatikan. Karena ulama mengatakan : “Tasyabbuh bukan hanya masalah zhahirnya saja tetapi juga masalah batin”. Karena ciri-ciri umat terdahulu yang dicela bukan hanya masalah lahir saja tapi juga masalah batin. Salah satu bentuk tasyabbuh adalah kekerasan hati seperti yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi. Allah  berfirman :
 الم يأن للذين آمنوا أن تخشع قلوبهم لذكر الله وما نزل من الحقّ و لا يكونوا كالذين أوتوا الكتاب من قبل
فطال عليهم الأمد فقست قلوبـهم وكثير منهم فاسقون  ( الحديد : 16 )
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara adalah orang-orang yang fasik” (Al Hadiid : 16).
Abdullah bin Mas’ud  berkata ayat ini (Al Hadiid : 16) turun tidak beberapa lama sesudah mereka masuk islam, dan ini menunjukkan pentingnya masalah hati tersebut. Jika bagi masyarakat awam perlu kita tekankan masalah dhahir karena banyak yang mengabaikan masalah ini, maka bagi mereka yang sudah melakukan yang dhahir dan mau beriltizam dengan syariat perlu ditekankan masalah hati ini.

PERIWAYATAN(TAKHRIJ) HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam shahihnya dan juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan juga diriwayatkan oleh seluruh Kutubussittah.
Hadits ini juga diriwayatkan dari shahabat yang lain, yaitu dari Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud , Ammar bin Yasir, dan Jabir bin Abdullah رضى الله عنهم أجمعين , tetapi periwayatannya lemah.

Wallohu Ta'ala A'lam



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP