..::::::..

"Menyembunyikan" Keburukan Orang Lain

oleh Zainul Arifin
pada 18 Mei 2011


Dalam Qs. Al-Hujuraat ayat 12 yang sudah sangat populer, Allah melarang kita untuk berprasangka (dzan) karena menurut Allah --- dan berarti hal itu adalah benar --- sesungguhnya sebahagian dari prasangka itu mengandung dosa. Mengandung dosa karena potensial mengandung ketidakbenaran. Sebahagian itu bukan berarti sebahagian kecil, karena bisa jadi ia adalah sebahagian besar.

Selanjutnya Allah juga melarang kaum muslimin untuk ghibah, membicarakan seseorang tanpa kehadirannya. Bahkan Allah memberi permisalan bahwa ghibah itu laksana memakan daging saudaranya yang sudah menjadi mayat, pasti kita akan jijik jika hal itu benar-benar terjadi.

Prof. HAMKA dalam Tafsir Al-Azhar-nya mengatakan bahwa ghibah itu laksana memakan daging, karena daging itu suatu benda mati. Ia tidak akan kuasa mengelak untuk diperlakukan seperti apapun jua. Seonggok daging, apakah ia akan dicacah kecil-kecil, dipotong-potong atau digiling sekalipun, tidak akan mampu melawan. Seperti itulah orang yang dighibahkan. Karena ia tidak berada di tempat, maka apakah orang yang ghibah itu akan menghujatnya, menjelek-jelekkan dirinya seperti apapun, ia tidak akan mampu melawan.

Tapi Allah segera mengingatkan bahwa aktivitas seperti itu laksana makan daging saudara kita yang sudah menjadi mayat. Mayat memang sama dengan seonggok daging, tak punya lagi daya upaya melawan, namun ia juga adalah bangkai yang sewajarnya orang normal jijik untuk menyantapnya. Kecuali orang itu abnormal, seperti yang pernah dilakukan oleh Sumanto.

Apa yang terkadung dalam ayat tersebut adalah pengajaran kepada kaum Muslimin untuk saling menjaga kehormatan sesama. Terlebih jika seseorang itu tidak berada di hadapan kita dimana ia tidak mampu mengadakan klarifikasi atas sesuatu yang kita perbincangkan.

Hanya saja, perkembangan dewasa ini, termasuk sajian berita dan infotainmen yang ada di televisi banyak yang menjurus kepada pembongkaran keburukan orang lain, keburukan sesama kita bahkan kadang-kadang keburukan seseorang yang masih dalam lingkungan keluarga sendiri. Perseteruan di media massa itu dipilih oleh sang pengelola media karena dianggap punya nilai jual, apalagi jika yang berseteru itu adalah selebriti. Padahal dalam penilaian sebuah berita hal itu tidaklah berbobot sama sekali dan tidaklah penting bagi kehidupan masyarakat. Ia bahkan memperburuk peradaban suatu masyarakat jika saling menghujat dan menjatuhkan sudah menjadi tradisi.

Maka Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadisnya bersabda, ”’Alaika bitaqwa Allah, wa inimru’un ’ayyaraka bisyai’in ya’lamuhu fiika, falaa tu’ayyirhu bisyai’in ta’lamuhu fiihi,” “Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah. Jika seorang membongkar keburukan yang diketahuinya pada dirimu janganlah kamu membongkar keburukan yang kamu ketahui ada pada dirinya.” (HR Al Bukhari, Baihaqi, Ahmad, sahih). Hadis ini dengan jelas melarang seseorang untuk membalas membongkar aib seseorang dengan aib-aibnya yang kita ketahui.

Dalam kenyataan sehari-hari memang biasa kita mendengar cerita dari orang lain bahwa seseorang telah memaparkan keburukan kita kepada orang lain, entah dengan maksud apa. Dalam keadaan begitu, seringkali kita kemudian menjadi terpancing, untuk balik membongkar keburukan orang itu sejauh yang kita ketahui. Padahal jika hal itu dilakukan, maka sesungguhnya kedua-duanya adalah sama saja. Sama-sama buruk dan sama-sama menjatuhkan martabat saudaranya yang lain.

Maka demi menjaga kehormatan diri, paling tidak kehormatan diri kita sendiri, seperti sabda Nabi di atas, jika seseorang membongkar keburukan yang ada pada diri kita yang diketahuinya, hendaklah kita tidak usah membongkar keburukannya yang mungkin kita ketahui. Secara demikian maka masyaratkan pun akan dapat menilai: diri siapa yang lebih mulia. Allahu a’lam.

Apabila ada pertanyaan, kritik, atau saran silakan hubungi di nomor 0411-9303899



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP