..::::::..

Khulu' Cerai Ataukah Faskh?

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi

Syariat Islam menjadikan Al-Khulu’ (gugatan cerai) sebagai satu alternatif penyelesaian konflik rumah tangga jika konflik itu tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu bagaimana status Al-Khulu’ bila telah ditetapkan? Cerai ataukah faskh (pembatalan akad nikah).

Dalam masalah ini, para ulama berselisih pendapat dalam tiga pandangan.

Pendapat Pertama : Al-Khulu adalah thalak bain, dan ini merupakan pendapat madzhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i dalam qaul jadid.

Pendapat Kedua : Menyatakan, Al-Khulu adalah thalak raj’i, dan inilah pendapat Ibnu Hazm.

Pendapat ketiga : Menyatakan, Al-Khulu adalah faskh (penghapusan akad nikah) dan bukan thalak. Pendapat ketiga ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Asy-Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah dan Dawud Azh-Zhahiri[1]. Begitu pula zhahir madzhab Ahmad bin Hanbal dan mayoritas ahli fiqih yang muhadits (Fuqaha Al-Hadits).

Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan : “Masalah ini, terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf dan khalaf. Zhahir madzhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan (Al-Khulu) adalah faskh nikah dan bukan thalak yang tiga. Seandainya suami melakukan khulu’ sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan yang lainnya. Ini merupakan salah satu pendapat Asy-Syafi’i, dan mayoritas fuqaha ahli hadits, seperti Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Dawud, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat beliau seperti Thaawus dan Ikrimah. [2]

Pendapat yang rajih (kuat) ialah pendapat ketiga, dengan dalil sebagai berikut.

1). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Thalak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim. Kemudian jika si suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dari isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui” [Al-Baqarah : 229-230]

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan Thalak dua kali, kemudian menyebutkan Al-Khulu’ dan diakhiri dengan firman-Nya.

“Fain thollaqahaa falaa tahillu lahu = Kemudian jika si suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya…’

Seandainya Al-Khulu adalah thalak, maka jumlah thalaknya menjadi empat, dan thalak yang tidak halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat. [3]

Demikian yang dipahami Ibnu Abbas dari ayat di atas. Beliau pernah ditanya tentang seseorang yang menthalak isterinya dua kali kemudian sang isteri melakukan gugatan cerai (Al-Khulu), apakah ia boleh menikahinya lagi?

Beliau menjawab :”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan thalak di awal ayat dan di akhirnya, dan Al-Khulu di antara keduanya. Sehingga Al-Khulu bukan thalak. (Oleh karena itu) ia boleh menikahinya”. Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf (6/487), dan Sa’id bin Manshur (1455) dengan sanad shahih.[4]

2). Hadits Ar-Rubayyi binti Mu’awwidz Radhiyallahu anhuma yang berbunyi.
“Beliau melakukan Al-Khulu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, atau ia diperintahkan untuk menunggu satu kali haidh” [HR At-Tirmidzi dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudhah An-Nadiyah, 2/275]

Seandainya Al-Khulu adalah thalak, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cukup memerintahkannya untuk menunggu satu haidh.

3). Pernyataan Ibnu Abbas.
“Semua yang dihalalkan oleh harta, maka ia bukan thalak” [Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf, no. 11767] [5]

4). Hal ini sesuai tuntutan kaidah syari’at. Karena iddah (masa menunggu wanita yang dithalak) dijadikan tiga kali haidh agar panjang masa tenggang untuk rujuk. Lalu memungkinkan bagi suami secara perlahan-lahan untuk berpikir dan memungkinkannya untuk rujuk dalam masa tenggang iddah tersebut. Apabila tidak ada pada Al-Khulu bolehnya rujuk, maka maksudnya ialah sekedar untuk memastikan rahim tidak hamil, dan itu cukup dengan sekali haidh saja, seperti Al-Istibra. [6]

5). Asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnul Qayyim yang menyatakan, bahwa yang menunjukkan Al-Khulu itu bukan thalak yang tidak ada menetapkan tiga hukum setelah thalak yang tidak ada dalam Al-Khulu. Ketiga hukum yang dimaksud ialah :
a). Suami lebih berhak diterima rujuknya
b). Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna bilangan tersebut hingga menikah dengan suami baru dan berhubungan suami isteri dengannya.
c). Iddahnya tiga quru’ (haidh).

Padahal telah ditetapkan dengan nash dan ijma, bahwa tidak ada rujuk dalam Al-Khulu [7].

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyyah [8], Ibnul Qayyim [9], Asy-Syaukani [10], Syaikh Muhammad bin Ibrahim [11], dan Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di [12], serta Syaikh Al-Albani [13].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Pendapat yang telah kami jelaskan, bahwasanya Al-Khulu merupakan faskh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafazh apa saja adalah shahih. Sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisahkan isterinya dengan tebusan (Al-Khulu) beberapa kali, maka ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafazh thalak maupun selainnya” [14]

Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan : “Yang shahih, bahwasanya Al-Khulu tidak terhitung sebagai thalak, walaupun dengan lafazh thalak dan dengan niat thalak, dan itu umum ; baik dengan lafazh thalak secara khusus maupun dengan lafazh lainnya, dan juga karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya, bukan lafazh dan susunan katanya” [15]

Sedangkan Syaikh Al-Albani menyatakan : “Yang benar adalah fasakh sebagaimana telah dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syaikhul Islam dalam Al-Fatawa” [16]

HASIL DAN KONSEKWENSI AL-KHULU
Masalah Al-Khulu adalah faskh dan bukan thalak, sehingga akan memberikan beberapa hukum sebagai konsekwensinya. Di antaranya.

[1]. Tidak dianggap dalam hitungan thalak yang tiga. Sehingga , seandainya seorang meng-khulu’ setelah melakukan dua kali thalak, maka ia masih diperbolehkan menikahi isterinya tersebut, walaupun Al-Khulu terjadi lebih dari satu kali. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di atas.

[2]. Iddah, atau masa menunggunya hanya sekali haidh, dengan dasar hadits Ar-Rubayyi binti Mu’awwidz sebagaimana telah disampaikan di atas. Dikuatkan dengan hadits Ibnu Abbas yang berbunyi.

“Sesungguhnya isteri Tsabit dan Qais meminta pisah (Al-Khulu) darinya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali haidh” [HR Abu Dawud, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam shahih Abu Dawud, no. 2229]

Inilah pendapat Utsman bin Affan, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ishaq, Ibnul Mundzir dan riwayat dari Ahmad bin Hanbal. Inilah yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [17]

[3]. Al-Khulu diperbolehkan setiap waktu, walaupun dalam keadaan haidh atau suci yang telah digauli, karena Al-Khulu disyariatkan untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa wanita, karena faktor tidak baiknya pergaulan sang suami, atau tinggal bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan wanita yang melakukan Al-Khulu

Demikian, beberapa hukum berkenaan dengan Al-Khulu sebagai pelengkap pembasahan sebelumnya. Mudah-mudahan bermanfaat.

Maraji.
[1]. Al-Adillah Ar-Radhiyah Li Matni Ad-Durar Al-Bahiyyah Fi Masail Al-Fiqhiyyah, Muhammad Asy-Syaukani. Ditulis oleh Muhammad Shubhi Hallaf. Dar Al-Fikr, Beirut, Cetakan Tahun 1423H
[2]. Al-Mukharat Al-Jaliyah min Al-Masa’il Al-Fiqhiyyah, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Mu’allafat Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di Markaz Shalih bin Shalih Ats-Tsaqafi, Unaizah, KSA, Cetakan Kedua, Tahun 1412H.
[3]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudah An-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Tahqiq Ali Hasan Al-Halabi, Dar Ibnu Affan, Mesir, Cetakan Pertama, Tahun 1420H
[4]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H
[5]. Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Al-Maktabah At-Tauqifiyah, Mesir tanpa cetakan dan tahun
[6]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam, Maktabah Al-Asadi, Makkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423H
[7]. Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, Ibnul Qayyim, Tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, Muassasah Al-Risalah, Beirut, Cetakan Ketiga, Tahun 1421H

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton, Gondangrejo - Solo 57183. Telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. Taudhihul Ahkam min Bulughul Maram, 3/344-345
[2]. Majmu Fatawa, 23/289
[3]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudah An-Nadiyah Shidiq Hasan Khan (2/275), Taudhihul Ahkam (5/473), dan Shahih Fiqih Sunnah (3/3345).
[4]. Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah 3/346
[5]. Ibid
[6]. Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, 5/179
[7]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/263
[8]. Majmu Al-Fatawa, 23/289
[9]. Zadul Ma’ad, 5/179
[10]. Al-Adillah Ar-Radhiyyah Li Matni Ad-Durar Al-Bahiyyah Fi Masa’il Al-Fiqhiyah, hal. 129
[11]. Taudhihul Ahkam, 5/473
[12]. Al-Mukharat Al-Jaliyyah Min Al-Masa’il Al-Fiqhiyyah, 2/173
[13]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudhah An-Nadiyah, 2/273
[14]. Majmu Al-Fatawa, 23/290
[15]. Al-Mukharat Al-Jaliyyah Min Al-Masa’il Al-Fiqhiyyah, 2/173
[16]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudhah An-Nadiyah, 2/273
[17]. Shahih Fiqih Sunnah (3/360).



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP