..::::::..

Cendekia “Pembaharu”, Bukan Pengganggu

oleh: Zahrul Bawady M. Daud

FENOMENA Islam liberal di Indonesia bisa diasumsikan ibarat gunung es, tampak kecil dan tak terlalu bahaya, namun di dalamnya sangat mematikan. Bila meletus akan menghasilkan pecahan yang bisa saja menenggelamkan nama Indonesia dari papan atas mayoritas Islam di dunia.

Ide-ide liberal kini dipelajari hampir di seluruh Universitas Islam Indonesia. Fenomena tersebut secara langsung akan mempengaruhi naiknya pamor liberal dalam masyarakat. Sangat lumrah, ketika mereka berhasil menguasasi pusat pendidikan, maka mereka sedang mendidik kader “dakwah” yang notabanenya berbasis kemasyarakatan.

Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia (PTI) secara spesifik pendidikan agama sangat kentara dengan unsur liberal. Entah siapa yang memulai, pastinya virus ini lambat laun semakin menggerogoti intelektualitas seorang Muslim. Untuk mempelajari sebuah realitas fikih kontemporer saja harus merubah mainstream fikih dan ushul yang sudah berlaku. Kenyataan ini penah saya dapati langsung ketika masih belajar di IAIN Sunan Ampel, Surabaya.

Buku Syahrur yang menjadi salah satu pedoman mata kuliah fikih kontemporer sangat digandrungi. Padahal pembaharuan yang dibawa Syahrur sudah lepas dari koridor konsensus ulama. Selain itu, pemikir seperi Arkoun, Al Jabiri, Abu Zayd, Jamal Banna, Qasim Amin, Hasan Hanafi dan lainnya sangat diidolakan. Bagi kaum liberal, mereka ibarat “tuhan” yang pemikirannya diagungkan walaupun dengan landasan berpikir yang nyeleneh.

Wacana Islam liberal di Indonesia sendiri menuai problema. Mulai dari etimologi kata liberal yang tidak sesuai dengan ruh Islam, bahkan terkesan kontradiktif dengan pandangan kaum liberal. Bagaimana dalam satu kesempatan Islam bisa dikatakan liberal dan islami, sedang kali lain disebut bebas tanpa memperhatikan teori agama yang sudah tsabit (tetap).

Kerancuan kaum liberal tak dimulai dari situ. Jauh ketika gereja masih mendominasi eropa, sedikit demi sedikit paham ini mulai disusupkan. Tak lain adalah untuk mendobrak intervensi institusi gereja. Ketika kaum liberal mengajak kita untuk melakukan tafsir kontekstual, mengapa kita tidak melakukan telaah kontekstual terlebih dahulu terhadap liberalisme yang berkembang di Barat pada abad pertengahan. Termasuk revolusi Prancis yang mencantumkan liberty, egality dan fraternity.

Sejarawan banyak mencatat, fakta kelam yang dialami Barat pada abad pertengahan mejadikan mereka sebagai bangsa yang liberal. Tokoh liberal kala itu ingin menghancurkan dominasi gereja atas kehidupan masyarakat. Karen Amstrong menulisnya dengan apik. Dalam The History Of God ia menceritakan bagaimana kekuasaan gereja yang berlebihan mengantarkan barat dalam jurang kejumudan. Tidak ada penemuan baru. Era gelap ini juga mengantarkan maut bagi ilmuwan yang berani menentang doktrin gereja.

Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Ushul Al-Nahdhah Al-Rasyidah (1995:31) menyebut akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar sekularisme (fashl al-din ‘an al-hayah).

Benar, liberalisme lahir dari trauma terhadap praktik pengaruh tuhan oleh gereja. Trauma western civilization ini kemudian dibalut dengan halus paska kekalahan perang terbuka melawan Islam. Sayangnya, intelektual kita malah terkena sindrom shock culture, seolah semua yang menjadi awal kebangkitan Barat harus diadopsi untuk kemajuan Islam. Dalam pandangan ini, orang sekenanya saja akan menghujat Al Ghazali yang diasumsikan sebagai sebab kemunduran Islam menjadi konservatif dan ortodok.

Banyak pula intelektual muslim yang terjerembab ke dalam ruang rasionalismenya, sehingga melahirkan pemikiran nyeleneh hasil impor dari Barat tanpa melihat keluwesan Islam dalam masalah tersebut. Mereka berusaha membuat pergeseran paradigma (paradigm shift) dalam berbagai teks keagamaan dengan memodifikasi ajaran agama tersebut.

Bertingkat-tingkatnya pemahaman manusia dalam memahami kebesaran dan ke-Esaan Tuhan menjadikan sebagian manusia mencari atau lebih tepat memaksakan diri untuk mengetahui hal-hal yang jauh diluar nalar logikanya, bukan karena ketidak logisan ajaran tersebut, tetapi karena keterbatasan manusia itu sendiri. Kondisi ini semakin diperkeruh dengan upaya pihak-pihak yang menyerap "aturan Pencipta" dengan kemampuan terbatas hasil anugerah Pencipta itu sendiri

Liberalisme: Agama Tanpa Tuhan

Kembali belajar ke Eropa. Munculnya gagasan liberalisme-pluralisme di mana tidak ada ikatan dalam keyakinan merupakan efek yang muncul akibat pertikaian antar madzhab kristen, sebagaimana diakui oleh Bernad Lowis dalam What Went Wrong (sebagaimana dikutip Adian Husaini).

Pertikaian ini berujung kepada konflik saling mengkafirkan dan kehancuran peradaban kristen. Lalu diambillah solusi liberal-plural. Klaim keberanan mutlak digugat. Ilmuwan barat menggunakannya untuk menghantam kristen yang memang dilanda distorsi sejarah, baik secara teks maupun keyakinan, hal ini turut pula diamini oleh pemikir Barat seperti Norman Daniel dan Friedman.

Perbedaan yang sangat mencolok, Islam tidak mengenal arti sebuah institusi bergerak atas nama Tuhan, walaupun ia melakukan sebuah kesalahan. Jika institusi geraja pada masa itu mengklaim bahwa mereka adalah wakil Tuhan di bumi, berhak membakar manusia atas dasar kesalahannya yang serba tuduhan, maka perspektif ini tidak kita temui dalam ajaran Islam. Kebenaran di dalam Islam adalah sebuah pemahaman yang bersumber dari dalil yang jelas. Kesalahan setiap individu itu tidak dinamakan sebagai sebuah kesalahan sistem agama, tetapi karena kecerobohan individu tertentu saja. Islam tidak mengenal istilah Paus yang infallible (ma’shum; terlepas dari dosa). Seseorang tidak bisa berlaku dosa dengan legalitas kegamaan. Hal yang secara indah diakui oleh Karen, “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire.”

Di dalam Islam, kebenaran mutlak itu wujudnya mutlak pula. Islam sebagai satu satunya agama yang diyakini kebenarannya itu bersifat mutlak. Tidak mungkin dalam satu waktu kita mengakui Tuhan itu Esa sekaligus trinitas itu benar. Kedua hal ini adalah kontradiktif, sebagaimana tidak mungkin dalam satu masa kita diam dan bergerak. Kata La ilaha Illallah sendiri mengandung unsur nafy dan istbat; meniadakan tuhan lain dan menetapkan Allah sebagai satu-satunya yang patut disembah.

Islam memiliki pandangan-hidup mutlaknya sendiri, merangkumi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dll. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonsekrasi nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak (Naquib Al-Attas, 1993)

Gagasan Islam liberal ala John Hick melalui semangat kesamaan agama dengan the real bertentangan dengan ajaran Islam dan lainnya. Hanya secara kebetulan makna real disandingkan dengan kata Al-Haq yang menjadi salah satu sifat Allah.

Sementara benar (truth) dalam pandangan kaum liberal adalah benar yang relatif, sejauh nalar sanggup menjangkau. Pada akhirnya, mereka akan bergerak ibarat kaum sophies, dimana bingung dalam menentukan standar kebenaran dan pengetahuan.

Filosof Barat semisal John Locke (1632-1704) menyatakan keyakinannya bahwa dengan membuang tuhan gereja, maka akan datang kebahagiaan. Lebih lanjut, filosof Perancis Jean Paul Sartre menggugat habis eksistensi ketuhanan. Karena menurutnya, selama Tuhan masih ada, ia akan tetap membatasi kebahagiaan manusia. Naif.

Arkoun menyebut umat Islam dalam kondisi dimabuk Tuhan. Ia menghujat paham theologis yang dianut umat Islam. Kemudian dicetuskanlah pahaman antroposentris; semuanya bersumber pada manusia. Nalar teologis digugat. Padahal sangat jelas bahwa fenomena alam dengan segala benturan yang terjadi adalah legitimasi teologis itu sendiri.

Ketika kita menyebut sebuah fakta alam (musibah) dengan realitas yang objektif, maka penyelidikan akan berujung pada titik nol -Apakah gejala (sebab-akibat) itu terjadi dengan sendirinya, atau ada satu kekuatan besar yang menggerakkannya.-

Pada akhirnya kita berada dalam posisi yang subjektif. Karena menyakini eksistensi Tuhan adalah starting point menjadi seorang muslim. Memahami segala fenomena dengan hukum kausalitas tentu lebih berimbang, tanpa mengenyampingkan realitas subjektif kemudian objektif.

Ketika kita telah menyakini kebenaran agama lain. Itu berarti kita telah mengikis keimanan kita sendiri. Pada akhirnya Tuhan kita menjadi abu-abu. Bisa digerakkan sesuai dengan hasrat kita. Padahal Tuhanlah yang membolak balikkan hati manusia. Kalau mau mempertahankan liberalisme, maka pertahankan dulu sisi metedologis dan epistimologis. Boleh jadi zaman kita lebih maju, tetapi tidak menjamin kemajuan intelektual yang kita miliki (al-fadhlu li al-mubtadi wa in ahsana al-muqtadi).

“Diabolisme pemikiran” pernah menerjang bangsa jin (iblis). Mereka sombong, angkuh dan hendak menang sendiri dengan segala keterbatasannya. Semoga ini tidak ikut menimpa kita.

Selayaknya kita menjadi “pembaharu” bukan pengganggu. Mengapa kita harus berkaca dengan cermin yang retak. Kita harus menjadi aktor intelektual yang mencerahkan, tidak menyesatkan. Semoga.

Penulis mahasiswa di Al Azhar dan peneliti di Zawiyah KM Mesir

Apabila ada pertanyaan, kritik, atau saran silakan hubungi di nomor 0411-9303899



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP