..::::::..

Kenapa Shalawat NARIYAH dikatakan SYIRIK? (2)

Pembahasan Pertama:

Kesyirikan Yang Terkandung Dalam Shalawat Nariyah

Segala puji bagi Allah yang telah mengumpulkan kami dalam barisan orang-orang yang beriman. Kami memohon kepada Allah agar diberi kekuatan untuk bisa istiqomah di atas tauhid sampai mati.. Semua umat islam sepakat bahwa syirik adalah dosa yang sangat besar, yang tidak akan Allah ampuni jika dibawa sampai mati.

Namun sayangnya banyak orang yang tidak memahami pengertian yang tepat tentang syirik. Akibatnya banyak orang yang melakukan perbuatan syirik namun dia tidak merasa kalau dirinya telah melakukan kesyirikan. Bahkan yang lebih menyedihkan, ketika ada orang yang melakukan kesyirikan namun dia merasa sedang melakukan ibadah. Sehingga sangat sulit bagi orang yang terjerumus ke dalam perbuatan ini untuk diingatkan. Karena bagaimana mungkin perbuatannya bisa disalahkan sementara dia meyakini bahwa dirinya sedang mendapatkan pahala dengan perbuatannya. Kita ucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, ada musibah besar yang menimpa kaum muslimin… melakukan perbuatan yang mendatangkan murka Allah namun dia merasa sedang mendapatkan pahala Allah… sungguh tidak ada kesesatan yang lebih parah melebihi kesesatan semacam ini.

Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad): apakah telah kami sampaikan kepada kalian tentang orang yang paling rugi perbuatannya? Mereka itulah orang-orang yang sesat amal perbuatan mereka di dunia sementara mereka bahwa diri mereka sedang berbuat kebaikan.” (QS. Al Kahfi: 103-104) Sungguh benar apa yang disebutkan dalam sebuah hadis: “Sesungguhnya syirik pada umat ini (umat Muhammad r) lebih samar dari pada jejak semut.” (disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam kitab Al Iman dan dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Betapa tersembunyi dan samarnya gambaran syirik yang disampaikan oleh Nabi r. Jika hanya dilihat secara selintas tanpa diamati dengan seksama maka tidak mungkin orang akan bisa melihatnya. Karena itulah banyak diantara kaum muslimin yang terjerumus ke dalamnya.


Namun, sayangnya banyak orang yang dirinya merasa aman dari kesyirikan. Hanya kepada Allah kita berlindung… Untuk memahami hakekat syirik pada shalawat nariyah, terlebih dahulu kami sampaikan pengertian syirk. Secara bahasa syirik artinya menduakan atau menggolongkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan secara istilah, ada beberapa pengertian yang disampaikan oleh para ulama. Definisi yang paling bagus adalah definisi yang dibawakan oleh syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim dalam catatan beliau untuk kitab tauhid, beliau memberi keterangan bahwa syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi sifat khusus bagi Allah. Ketika ada makhluq yang derajatnya diangkat setinggi-tingginya, sehingga berada pada derajat yang setara dengan Allah itulah syirik. Ketika ada makhluq yang dianggap mampu mengabulkan do’a, atau mampu menghilangkan bencana, atau mampu mewujudkan keinginan, atau memiliki kemampuan lainnya yang hanya dimiliki oleh Allah maka itulah syirik. Karena yang memiliki kemampuan semua ini hanya Allah. Artinya sifat ini adalah sifat khusus bagi Allah yang tidak dimiliki oleh makhluq. Barangsiapa yang memberikan sifat-sifat ini kepada selain Allah, siapapun orangnya, maka dia berarti telah merampas hak khusus Allah…karena itu syirik merupakan tindakan kedlaliman yang paling besar. Mari kita beralih pada pembahasan shalawat nariyah… ada beberapa hal yang patut dikoreksi dari shalawat ini:

Pertama, Pada shalawat ini terdapat beberapa lafadz yang Mengandung Kesyirikan, Lafadz tersebut adalah:
تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج و تنال به الرغائب

Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad r (تنحل به العقد)
Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad r (وتنفرج به الكرب) Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad r (وتقضى به الحوائج)
Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad r (و تنال به الرغائب)

Empat kalimat di atas merupakan pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad r. Jika kita perhatikan, empat kemampuan di atas merupakan kemampuan yang hanya dimiliki oleh Allah, dan tidak dimiliki oleh makhluqnya siapapun orangnya. Karena yang bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta do’a hanyalah Allah. Seorang Nabi atau bahkan para malaikat tidak memiliki kemampuan dalam hal ini. Oleh karena itu, ketika pujian-pujian ini ditujukan kepada selain Allah (termasuk kepada Nabi Muhammad r) maka berarti telah menyamakan makhluq tersebut dengan Allah dalam perkara yang menjadi hak khusus bagi Allah.

Cukuplah kita ingat firman Allah yang memerintahkan NabiNya r untuk mengatakan: قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا “Katakanlah (wahai Muhammad r): Aku tidak memiliki kemampuan untuk menghindarkan kalian dari bahaya dan tidak pula mampu memberi kebaikan pada kalian.” (QS. Al Jin:21) Nabi r juga pernah mengatakan kepada Fatimah: “Wahai Fatimah, lakukanlah apa yang kamu inginkan, (namun ingat) saya tidak mampu melindungimu dari (adzab) Allah sedikitpun.” (Al Bukhari & Muslim).

Bahkan Nabi r sendiri tidak bisa menghalangi keburukan dan kondisi kekurangan yang menimpa beliau dan para sahabat. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah bahwasanya beliau pernah terluka ketika perang, kaki beliau berdarah-darah karena dilempari orang-orang kafir, beliau kelaparan hingga perut beliau diganjal dengan dua batu, beliau pernah jatuh dari kendaraan, beliau pernah tersihir dan masih banyak bencana dan kesulitan yang beliau alami ketika berdakwah. Maka jika beliau sendiri tidak mampu menyelamatkan diri beliau sendiri dari segala bentuk kesulitan, bagaimana mungkin diri beliau bisa menyelamatkan orang lain dari kesulitan. Semua ini terjadi karena beliau adalah seorang hamba dan manusia biasa. Hanya saja perintah dan larangan beliau ditaati karena kedudukan beliau sebagai seorang utusan Allah.

Kedua, dalam shalawat ini terdapat pujian yang berlebihan kepada Nabi r, dan ini merupakan salah satu sikap yang dilarang keras oleh beliau r. Suatu ketika ada seorang sahabat memuji Nabi r dengan mengatakan: “Engkau adalah manusia terbaik diantara kami, putra dari manusia terbaik kami,…” kemudian beliau bersabda: “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Nabi Isa r. Aku hanyalah seorang hamba, maka sebutlah Aku: Hamba Allah dan RasulNya..” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Jika pujian semacam ini dilarang oleh Nabi r, padahal di sana tidak mengandung ungkapan kesyirikan, maka bagaimana lagi dengan pujian yang mengandung kalimat-kalimat kesyirikan. Nabi r bersabda: “Wahai manusia, hati-hatikan kalian (jangan sampai) melakukan ghuluw (bersikap berlebihan) dalam beragama. Karena sesungguhnya sikap ini telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian.” (HR. Ibn Majah & dishahihkan Syaikh Al Albani).


Ketiga, nabi r tidak pernah mengajarkan bentuk shalawat semacam ini. Shalawat yang beliau ajarkan adalah shalawat yang sering dibaca ketika shalat pada saat duduk tasyahud. Dalam sebuah hadis riwayatkan oleh Al Bukhari & Muslim, Dari sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah t, beliau mengatakan: “Wahai Rasulullah, Allah telah mengajari kami bagaimana cara memberi salam kepadamu, tapi bagaimanakah cara memberikan shalawat kepadamu..?” kemudian Nabi r bersabda:

“Bacalah: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa shalawat ini adalah shalawat terbaik, dengan ditinjau dari beberapa sisi: Shalawat ini diajarkan langsung oleh Nabi kepada sahabat yang bertanya tentang shalawat. Padahal setiap Nabi r ditanya tentang masalah agama maka beliau akan memberikan jawaban terbaik sesuai dengan apa yang Allah ajarkan. Dlahir hadis menunjukkan bahwa sebelumnya sahabat tidak tahu cara bershalawat, kemudian baru diajari Nabi r. Ini menunjukkan bahwa shalawat tersebut adalah cara bershalawat kepada beliau yang ditetapkan oleh syariat islam. Oleh karena itu, orang yang membaca shalawat yang tidak diajarkan oleh Nabi r dikhawatirkan sudah dianggap telah mengganti ajaran beliau dengan ajaran yang lain. Shalawat ini dibaca pada saat shalat. ini menunjukkan keistimewaan pada shalawat ini.


Keempat, dari sisi penamaan. Shalawat ini diberi nama dengan shalawat naariyah (النارية). Patut diketahui bahwa kata naariyah merupakan pecahan dari kata naar (النار) yang artinya api. Maka bagaimana mungkin sesuatu yang isinya doa diberi nama yang mengesankan sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa ditinjau dari sisi namanya menunjukkan bahwa orang yang membuat shalawat ini adalah orang bodoh yang kurang memahami arti nama dalam istilah arab. Dan ini sekaligus bukti bahwa shalawat ini bukanlah bagian dari ajaran syariat. Allahu waliyyut taufiiq Mari kita buang jauh-jauh sikap taqlid buta dalam diri kita… Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat…

Ammi Nur Ba’its

Sumber: http://ikhwanmuslim.com/akidah-dan-manhaj/shalawat-nariyah


Pembahasan Kedua:

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Shalawat Nariyah cukup populer di banyak kalangan dan ada yang meyakini bahwa orang yang bisa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat menghilangkan kesulitan-kesulitan atau demi menunaikan hajat maka kebutuhannya pasti akan terpenuhi. Ini merupakan persangkaan yang keliru dan tidak ada dalilnya sama sekali. Terlebih lagi apabila anda mengetahui isinya dan menyaksikan adanya kesyirikan secara terang-terangan di dalamnya.


Berikut ini adalah bunyi shalawat tersebut:” اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج وتنال به الرغائب وحسن الخواتيم ويستسقى الغمام بوجهه الكريم وعلى آله وصحبه عدد كل معلوم لك Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka Artinya: “Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, Kepada pemimpin kami Muhammad, Yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, Berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, Berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, Dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, Begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, Berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, Semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”

Syaikh berkata: “Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang di serunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah). Al-Qur’an ini telah mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah baik kepada para rasul ataupun para wali.

Allah berfirman yang artinya: أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا “Bahkan sesembahan yang mereka seru (selain Allah) itu justru mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan menempuh ketaatan supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka pun berharap kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (QS. Al-Israa’: 57). Para ulama tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang berdoa kepada Isa Al-Masih atau memuja malaikat atau jin-jin yang saleh (sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir).”

Beliau melanjutkan penjelasannya: “Bagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa merasa ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang bisa melepaskan ikatan-ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal Al-Qur’an saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya: قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ “Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raaf) Pada suatu saat ada seseorang yag datang menemui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu wahai Rasul”, Maka beliau menghardiknya dengan mengatakan, “Apakah kamu ingin menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Katakan: Atas kehendak Allah semata.” Nidd atau sekutu artinya: matsiil wa syariik (yang serupa dan sejawat) (HR. Nasa’i dengan sanad hasan) Beliau melanjutkan lagi penjelasannya: “Seandainya kita ganti kata bihi (به) (dengan sebab beliau) dengan bihaa (بها) (dengan sebab shalawat) maka tentulah maknanya akan benar tanpa perlu memberikan batasan bilangan sebagaimana yang disebutkan tadi. Sehingga bacaannya menjadi seperti ini: اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد التي تحل بها العقد Allahumma sholli sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taamman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Allati tuhillu bihal ‘uqadu (artinya ikatan hati menjadi terlepas karena shalawat) Hal itu karena membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah yang bisa dijadikan sarana untuk bertawassul memohon dilepaskan dari kesedihan dan kesusahan. Mengapa kita membaca bacaan shalawat bid’ah ini yang hanya berasal dari ucapan makhluk biasa sebagaimana kita dan justru meninggalkan kebiasaan membaca shalawat Ibrahimiyah (yaitu yang biasa kita baca dalam shalat, pent) yang berasal dari ucapan Rasul yang Ma’shum?” *** Penulis: Muhammad Jamil Zainu
Diterjemahkan oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi

Sumber: http://muslim.or.id/aqidah/shalawat-nariyah.html



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP