..::::::..

Ummat Islam Indonesia bagai Digiring ke Jurang Neraka


Ummat Islam Indonesia bagai digiring ke Jurang Neraka. Para tokoh Islam yang “nangkring” di pusat-pusat Ormas Islam ataupun tempat strategis biasanya adalah tokoh giringan pers yang suaranya bernada anti Islam, karena memang yang dominan di Indonesia yang begitu. Dan pers yang suaranya bernada anti Islam dengan aneka caranya itu memang sengaja atau tidak telah dibesarkan sejak berlama-lama, paling kurang sejak tahun 1974. Sehingga kalau ada masalah apa saja yang menyangkut Islam, tokoh-tokoh Islam yang bisanya nangkring ke tingkat atas adalah atas jasa pers yang suaranya bernada anti Islam itu, maka ketika dimintai pendapatnya, biasanya akan berpihak kepada yang anti Islam, hingga berani melawan Islam.

Contoh paling nyata adalah kasus HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Ciketing Bekasi. Suara-suara tokoh Islam –terutama yang promotan seperti tersebut– justru mengecam Muslimin dan membela HKBP bahkan ada yang sambil bekerjasama dengannya dan bangga lagi.

Itu, tokoh Islam yang jenis itu, bukan lantaran keseleo, tetapi memang ya seperti itu. Namun Ummat Islam kurang waspada, hingga yang mereka pilih untuk jadi tokoh dan menyuara setiap ada kasus ya yang seperti itu.

Dari sisi lain, manusia yang awam agama dan memang rata-rata begitu, dijerumuskan ke jurang lewat aneka tayangan yang memusyrikkan dan mengajak kepada maksiat. Sehingga dalam jangka sekian tahun, karena sehari-harinya mereka itu dijerumuskan lewat aneka tayangan televisi yang memuja artis –padahal para artis itu kalau dilihat dari kaca mata agama banyak yang bejat moranya–, maka masyarakat awam jadi rusak pula moralnya. Kemaksiatan merajalela, dan semakin jauh dari agamanya.

Di saat seperti itu ketika datang bencana bertubi-tubi di negeri ini, maka mereka bingung, dan tidak tahu harus minta perlindungan ke siapa. Mereka jadi bingung karena selama ini telah terseret jauh untuk menjauhi Tuhannya. Menjauhi Allah Ta’ala sejauh-jauhnya. Kalau keliahatannya mendekati Allah Ta’ala, bahkan seolah-olah syiar dan semarak, namun t kalau dilihat secara ilmu ternyata banyak yang berupa amaliah bikinan alias bid’ah yang dalam hadits adalah sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka.

Jadi masyarakat awam ini, yang tampak menjauh dari Tuhannya merupakan hasil garapan penyesatan tayangan-tayang “tidak nggenah” dan menyesatkan, sedang yang tampaknya agamis namun sejatinya penggalakan dan penyemarakan bid’ah itu adalah korban dari para penyesat yang berjubah agama.

Lebih dari itu, kalau tidak mengadakan ritual bid’ah, ada lagi yang justru membuat acara-acara penyembahan syetan dengan aneka sesaji. Lalu ditayangkan dan disiarkan pula oleh aneka media massa. Jadilah pemusyrikan secara massal dan merata.

Ketika para tokohnya adalah promotan media massa anti Islam, sedang masyarakatnya juga sehari-hari telah digarap oleh aneka tayangan yang menjerumuskan kepada kemusyrikan dan kemaksiatan, serta bid’ah dholalah, maka ibaratnya Ummat Islam ini sedang dijengkangkan ke jurang neraka secara ramai-ramai oleh berbagai pihak. Baik pihak yang memang sejatinya anti Islam maupun yang masih tampaknya berbaju Islam.

Sadarlah wahai para tokoh dan masyarakat, jurang neraka telah berada di sisi kita, dan di situlah kita sedang dijengkangkan setiap saat. Dan betapa dhalimnya kalau diri kita justru terlibat dalam penjengkangan Ummat Islam ini.

Dan berikut ini ada tulisan seorang wartawan senior membeberkan latar belakangnya sedikit:

Diskriminasi Terhadap Pers Islam Berkepanjangan

HM Aru Syeiff Assadullah

Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam

Tidak ada yang menyangkal kehidupan pers di Indonesia sangat bebas di era reformasi sepuluh tahun terakahir ini. Setiap warga negara kini bebas mendirikan perusahaan pers dan menerbitkan berbagai media cetak: koran, tabloid, majalah,bulletin, jurnal, hingga brosur, dll.

Di masa lalu syarat ijin pendirian perusahaan pers berupa SIT (Surat Ijin Terbit), kemudian diperbarui menjadi SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) harus dimiliki melalui SK Menpen (Menteri Penerangan), kini tidak diperlukan lagi. Padahal SIUPP sepanjang puluhan tahun di era orde baru telah menjadi hal yang menakutkan. Kepemilikan SIT-SIUPP hanyalah dikuasai oleh kelompok tertentu. SIT-SIUPP pun diperjualbelikan dengan harga mencapai milyaran rupiah. Dominasi dan penguasaan pers oleh golongan tertentu tak terelakkan. Sementara nasib pers Islam pun menjadi terlunta-lunta.

Sampai Januari 1974, kekuatan pers nasional masih sangat berimbang karena setiap golongan selalu memiliki media (khususnya cetak) yang siap menjadi penyalur aspirasi mereka. Pada saat itu teknologi pers belum lagi menggunakan teknologi modern (cetak offset -cetak datar), dan masih menggunakan teknologi sederhana yakni cetak timbul (seperti kerja stempel). Hari-hari deadline bagi wartawan pada Januari 1974, tak boleh lewat pukul 13.00 Wib, karena berita yang ditulisnya itu harus disusun secara manual melalui plate dari huruf-huruf terbuat dari timah dan disusun satu persatu. Sungguh sangat sederhana.

Kekuatan pers nasional pada Januari 1974 masih sangat berimbang dengan oplag rata-rata di atas 50.000 eksp dan dibawah 100.000 eksp setiap hari terbit. Koran yang memiliki oplag terbesar saat itu adalah Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis. Saat itu hanya Indonesia Raya yang mampu terbit lebih dari delapan halaman, hingga mencapai 16 halaman bahkan 24 halaman. Sementara Koran-koran lain relatif mempunyai kekuatan yang sama, antara lain: Pedoman (pimpinan Rosihan Anwar), Duta Masyarakat (milik golongan Nahdliyin pimpinan Said Budairi dan Mahbub Djunaidi), Abadi (milik golongan Masyumi/Bulan-Bintang pimpinan S.Tasyrif dan AM.Hoeta Soehoed), Kompas (milik Kelompok Gramedia pimpinan PK Oyong danJacob Oetama), Sinar Harapan (diterbitkan PT Sinar Kasih). Harian Kammi (pimpinan Nono Makarim dan Goenawan Mohamad).

Peta kekuatan pers nasional ini berubah drastis saat terjadi Huru-Hara Malari (Malapetaka 15 Januari) pada 15 Januari 1974. Semua media cetak saat itu terkena breidel yang dilakukan pemerintah. Yang berperan dalam pembreidelan saat itu adalah Pangkopkamtib (panglima Komando Operasi keamanan dan Ketertiban) yang dijabat Jendral Soemitro. Usai pembredelan dalam beberapa hari Jendral Soemitro dicopot dari jabatannya digantikan oleh Laksamana Soedomo. Dengan jabatan barunya itu Soedomo mengumumkan dua koran: Kompas dan Sinar Harapan, diijinkan terbit kembali. Sementara semua koran yang telah disebut dimuka tidak diijinkan terbit lagi.

Hal inilah yang telah menjadi titik awal terjadinya perubahan drastis perimbangan kekuatan pers nasional. Dua koran: Kompas dan Sinar Harapan yang kembali diijinkan terbit bagai mendapat: Blessing in Disguise, berkah di balik musibah. Yang menerima musibah tentu saja semua koran yang tidak lagi diijinkan terbit. Sebaliknya dengan “berkah” yang dimilikinya itu Kompas dan Sinar Harapan melesat di dunia pers di Indonesia bahkan tampil sebagai kekuatan pers raksasa.

Usaha pemerintah memberikan kompensasi SIT koran Pelita kepada golongan Islam khususnya kelompok Partai Persatuan Pembangunan, ternyata tak mampu menolong. Sementara Kompas dan Sinar Harapan bagai mendapatkan hak istimewa sejak saat itu terus diberikan SIT juga SIUPP yang baru oleh Deppen, sehingga masing-masing memiliki SIUPP mencapai puluhan nama. Jadilah dua raksasa pers nasional ini menjadi kekuatan pers nasional yang dominan.

Asset yang dimiliki pun kian membengkak, sehingga terpaksa dilakukan diversifikasi usaha, mulai percetakan, toko buku, perfilman, supermarket, hotel, sampai pergudangan di pelabuhan. Memang pada kelompok Sinar Harapan di tengah jalan mengalami gangguan dengan dibreidelnya koran ini pada akhir 1980-an dan berganti nama menjadi Suara Pembaharuan. Hal ini makin meneguhkan posisi Kompas menjadi kekuatan pers yang sangat dominan di Indonesia.

Sampai kini pun Kompas bahkan menjadi Newsleader dan menjadi rujukan semua media massa termasuk media elektronika : radio dan televisi. Celakanya Kompas tidak selalu ramah pada aspirasi Islam .Kendati sajian Kompas selalu dikemas dengan bahasa yang santun dan “tampak” taat pada kode etik jurnalistik, namun pada muatan-muatan tertentu Kompas dengan sangat “nakal” justru menyisipkan pesan dan opininya yang sangat berlawanan dengan aspirasi Islam.

Contoh paling baru niscaya kasus bentrokan Islam-Kristen di Ciketing dan wilayah Bekasi lainnya belum lama berselang. Pemberitaan Ciketing sangat menyolok diarahkan—melalui berita-berita dan tulisan opini lebih dari satu bulan—seolah-olah kasus Bekasi disebabkan sikap umat Islam di sana yang tidak mengenal toleransi dan mau menghargai golongan minoritas. Sebaliknya diblowup berbagai kejadian dari sudut pandang seolah-olah telah terjadi tindak kekerasan dan anarki bahkan penganiayaan dari pihak Islam kepada orang-orang Kristen yang tertindas.

Penyesatan opini seperti ini niscaya bentuk nyata ketidak-adilan yang dialami oleh umat Islam di negerinya sendiri yang konon menjadi negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Usaha tokoh Islam lokal Bekasi dan pusat untuk menjelaskan duduknya-perkara di balik kasus Ciketing sama sekali tidak dimuat oleh pers yang sengaja mewawancarainya.

Dalam posisi seperti inilah sangat dirasakan posisi umat Islam, khususnya di bidang pers sangat lemah dan tak mampu membela dirinya. Dalam kasus Ciketing berulang-ulang dijelaskan pokok masalah Ciketing hanyalah dua hal, yakni pelanggaran ijin lokasi tempat ibadah dan Gerakan Kristenisasi yang agresif di sana. Semua pers nasional juga media elektronika TV , tidak satu pun yang mau memuat keterangan penting dari sisi umat Islam Bekasi itu.

Tiba-tiba akhir bulan lalu sebuah lembaga Barat yang berpusat di Brusel Belgia bernama International Crysis Group (ICG), memuat laporan rinci tentang kasus Ciketing Bekasi. Disebutkan secara telak sebab terjadinya bentrok di Bekasi adalah kegiatan Penginjilan dan Kristenisasi. Fakta yang dikemukakan ICG itu kini dijadikan laporan utama Suara Islam edisi 103. Walau semua media massa nasional tidak mau “melirik” fakta yang telah dibongkar ICG, tapi hal itu tetap dimuat Suara Islam, sekadar menjadi sebuah laporan yang akan menjadi dokumentasi, betapa nasib umat Islam,khususnya pers Islam sangat lemah dan tak mampu menjaga hak-haknya yang jelas-jelas tertindas.

Memang, di era reformasi ini, semua orang bebas menerbitkan pers cetak dalam bentuk apapun. Umat Islam pun bebas menerbitkan koran, tabloid apapun, namun ibarat lomba lari dengan garis finish di Surabaya, maka garis start bagi pers Islam dimulai dari Tugu Monas (Jakarta), (sedang yang) seperti pers “Istimewa” tadi garis start dimulai dari kota Gresik, hanya 30 Km dari kota Surabaya. Pers Islam pasti kalah telak.

Jakarta, 16/12/2010

Suaraislam online, Thursday, 16 December 2010 14:13 , Written by Shodiq Ramadhan

Saudara-saudaraku, tulisan ini hanya mengingatkan. Sedang peringatan yang paling benar adalah yang dari Allah Ta’ala yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tinggal kita mengikutinya secara konsekuen, tanpa menambahi dan tanpa mengurangi, serta ikhlas hanya untuk Allah Ta’ala. Kapan lagi kalau sudah sejauh ini kita tidak sadar-sadar juga. Dan di sinilah pentingnya pendidikan Islam dan da’wah. Ini saja. Semoga bermanfaat. (nahimunkar.com).



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP