..::::::..

membongkar kesesatan pluralisme

Menurut Kelompok Islam Progresif, kemajemukan atau pluralitas merupakan kenyataan dan bahkan makin lama makin menjadi keharusan perkembangan zaman. Untuk mengatur pluralitas ini supaya produktif, diperlukan sebuah pluralisme. Sebab tidak bisa dipungkiri, pluralitas mengandung bibit perpecahan. Justru karena ancaman perpecahan inilah diperlukan sikap toleran, keterbukaan untuk saling belajar dan kesetaraan. Pluralisme memungkinkan terjadinya kerukunan dalam masyarakat atau harmoni, bukan konflik. Dengan paham pluralisme setiap orang memperoleh kebebasan yang sama, adil dan setara.

Pluralisme muncul sebagai paham yang bertitik tolak dari perbedaan, bukan persamaan. Mereka yang menyebarkan pluralisme secara otomatis mengakui perbedaan dan persamaan sekaligus. Karenanya pendapat yang menyatakan bahwa pluralisme memandang semua agama sama saja secara dangkal, adalah mustahil, karena dasarnya pluralisme mengakui perbedaan. Pluralisme mempunyai tempat yang sah di dalam agama Islam. Semua agama dan keyakinan diakui hak hidup dan berkembang di dalam Islam.

Akan tetapi, kelompok Islam Progresif menegaskan, pluralisme mengakui bahwa setiap agama adalah baik. Jika semua agama dianggap baik, maka orang akan terdorong untuk saling belajar, karena tanpa pluralisme orang pasti akan bertahan dengan agamanya sendiri-sendiri, tidak pernah mau belajar dari kearifan agama lain. Memang seorang yang memeluk agama harus yakin bahwa agamanya adalah “agama yang paling benar”. Namun di sisi lain, harus ada pengakuan juga bahwa setiap agama mempunyai kebenarannya sendiri.

Simpulannya, kelompok Islam Progresif menegaskan, pluralisme adalah suatu posisi, keyakinan, way of life, doktrin, ajaran, atau ideologi yang mengakui semua agama adalah agama yang sama-sama otentik, valid, benar, dan mempunyai nilai dan daya untuk mengubah watak manusia. Agama-agama berfungsi positif untuk mengarahkan manusia kepada kehidupan yang utuh, yang disebut dengan keselamatan. Tegasnya, pluralisme mengakui bahwa setiap agama yang otentik merupakan jalan keselamatan yang unik (hlm. 200-202).

Perkembangan Ide Pluralisme

Budhy secara jujur mengakui bahwa pluralisme ini pada awalnya terjadi pada masyarakat Barat yang Kristen. Waktu itu mulanya hanya ada paham eksklusivisme; paham yang menegaskan bahwa di luar Gereja tidak mungkin ada keselamatan. Lalu berkembang menjadi inklusivisme; di luar Gereja mungkin ada keselamatan. Namun, menurut Terry O’Keeffe sebagaimana dikutip Budhy, paham inklusif belum menyelesaikan persoalan, sebab kebenaran mutlak masih diyakini hanya ada pada Kristen. Sampai kemudian lahir paham pluralisme yang menegaskan bahwa keselamatan ada pada berbagai agama dengan keunikannya masing-masing (hlm. 4-5).

Dalam perkembangannya, menurut Budhy, ada tiga pengertian pluralisme kontemporer, yaitu: Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun peradaban bersama. Dalam pengertian ini, pluralisme lebih dari sekadar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan, tetapi aktif merangkai keragaman dan perbedaan itu untuk tujuan sosial yang lebih tinggi, yaitu kebersamaan dalam membangun peradaban.

Kedua, pluralisme melebihi toleransi. Pluralisme mengandaikan pengenalan secara mendalam atas yang lain itu, sehingga ada mutual understanding (kesepahaman bersama) yang membuat satu sama lain secara aktif mengisi toleransi itu dengan hal yang lebih konstruktif untuk tujuan yang pertama, yaitu aktif bersama membangun peradaban.

Ketiga, pluralisme bukan relativisme. Pengenalan yang mendalam atas yang lain akan membawa konsekuensi mengakui sepenuhnya nilai-nilai dari kelompok yang lain. Toleransi aktif ini menolak paham relativisme, misalnya pernyataan simplisistis, “bahwa semua agama itu sama saja”.

Ketiga pengertian pluralisme ini, menurut Budhy, secara teologis berarti bahwa manusia harus menangani perbedaan-perbedaan mereka dengan cara terbaik secara maksimal, sambil menaruh penilaian akhir mengenai kebenaran kepada Tuhan. Karena tidak ada satu cara pun yang bisa dipergunakan secara objektif untuk mencapai kebenaran yang mutlak ini.

Menyerang MUI

Dawam Rahardjo dalam pengantar buku tersebut secara terus terang menyerang MUI dan umat Islam yang diwakili ormas Islam, yang menurutnya tidak paham apa pluralitas dan pluralisme, juga rendah diri dan takut menghadapi paham-paham lain. Menurut Dawam, MUI terlalu gegabah menilai bahwa pluralisme adalah paham yang bersumber dari teologi Kristen. Jika umat Islam menerima pluralisme maka aqidah mereka akan mudah terbawa oleh Kristen dan berujung kemurtadan. Ini, menurut Dawam, menggambarkan rasa rendah diri umat Islam yang takut menghadapi paham-paham lain (hlm. LII).

Selain itu, MUI terlalu gegabah menilai Islam yang diyakininya sebagai agama yang satu-satunya benar. Padahal menurutnya, dengan mengutip penafsiran Cak Nur, “Sesungguhnya agama di sisi Allah itu adalah Islam” tidak berarti bahwa itu adalah Islam yang dianut hari ini. Islam itu artinya tunduk dan pasrah kepada Tuhan, apapun itu agamanya. Keyakinan seperti MUI ini, menurut Dawam, sangat berbahaya. Jika setiap agama hanya menganggap agama sendiri yang benar, maka sikap itu akan merupakan potensi untuk konflik, karena saling mengklaim kebenaran yang hanya satu itu (hlm. LII-LIII).

Selanjutnya MUI menilai bahwa pluralisme mendasarkan diri pada kebenaran relatif. MUI berpendapat bahwa kebenaran agama mutlak. Padahal jelas menurut Dawam, kebenaran agama adalah persepsi manusia yang sifatnya tunggal dimensi dalam menangkap “Yang Nyata” (The Real). Jadi tentu saja relatif tergantung persepsi manusianya. Jika hanya satu persepsi saja yang dianggap kebenaran, maka konsep kebenaran seperti itu malah menyesatkan (hlm. LIII).

Sebagaimana ditegaskan Budhy, Dawam juga menegaskan bahwa pluralisme itu bukan berarti menilai semua agama sama sebagaimana diasumsikan MUI. Perbedaan dan pluralitas, apalagi dalam aqidah yang tidak bisa ditawar-tawar itu, akan merupakan potensi konflik, kecuali jika orang yang berbeda aqidah itu mau menganggap baik pula agama lain yang tidak dianutnya. Inilah pluralisme, yang sebenarnya akan “saling menyuburkan iman”. Sebab setiap pemeluk agama masih terus bisa menganggap agamanyalah yang benar. Tetapi sikap ini tidak perlu dinyatakan secara terbuka, karena arahnya ke dalam, kepada iman individual.

Jadi menurut Dawam, asas dari komunikasi dalam masyarakat yang plural itu adalah pluralisme. “Jika MUI menolak asas pluralisme lalu menganut asas apa? Apakah monotilisme berdasarkan satu aqidah yang dipaksakan oleh Negara kepada semua pemeluk agama berbeda? MUI dalam hal ini tidak mengemukakan asas yang dihalalkan dalam masyarakat yang plural. Karena itu maka masyarakat dibiarkan dalam keadaan tersesat, karena tidak tahu asas pergaulan yang tepat,” demikian tegas Dawam Rahardjo (hlm. LV).

Lebih lanjut Dawam mengemukakan, “Dengan keluarnya fatwa MUI mengenai pengharaman (untuk mengikuti paham) sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, maka Indonesia terbuka terhadap ancaman konflik dan perpecahan…Alternatifnya adalah paham pluralisme yang membentuk sebuah masyarakat terbuka (open society) yang mendorong terjadinya dialog antarperadaban.” (hlm. LX)

Tuduhan Bodoh Yang Salah Arah

Tuduhan-tuduhan “bodoh” terhadap MUI dan umat Islam secara umum terkait isu pluralitas dan pluralisme ini memang bukan barang baru. Dari sejak keluarnya fatwa itu pada tahun 2005, media-media pro sepilis sudah ramai memberitakan tuduhan tersebut kepada MUI. Akan tetapi sebenarnya tuduhan ini salah arah. Mereka menuduh MUI “bodoh”, padahal mereka sendirilah yang sebenarnya “bodoh”. Bodoh pertama adalah bodoh terhadap ajaran Islam tentang interaksi dengan non-muslim, bodoh kedua tidak bisa memfilter pemikiran pluralisme yang mereka akui sendiri berasal dari Barat Kristen, yang akibatnya menyamaratakan begitu saja antara pluralisme dan toleransi, bodoh ketiga adalah bodoh dari “kebenaran”, terjebak dalam ketidaktahuan bagaimana kebenaran itu dan bagaimana menemukannya.

Bodoh pertama adalah bodoh terhadap ajaran Islam tentang interaksi dengan non-muslim. Padahal ayat-ayat dan hadits-hadits tentang itu banyak berserakan dalam al-Qur`an dan kitab-kitab hadits. Di antaranya yang dijadikan landasan keputusan fatwa MUI tahun 2005 tentang haramnya sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme). Sudah sangat jelas disebutkan oleh MUI dalam fatwanya:

Nabi saw melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-komunitas non-muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi Bani Quraizah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Akan tetapi jangan lupa juga menurut MUI, bahwa Nabi saw sudah bersabda: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni Neraka.” (HR Muslim). Nabi saw juga, tulis MUI dalam fatwanya, mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-Muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi Raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam Al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari). Maka dari itu, MUI mengeluarkan fatwa:

1. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
2. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.



Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah swt agar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ajaran yang diterima oleh Nabi saw dari Allah swt, bukan diperuntukkan bagi Nabi saw sendiri, melainkan untuk disebarkan kepada seluruh alam. Dalam hal ini maka tidak dikenal dalam ajaran Islam, keyakinan kebenaran untuk diri sendiri ke dalam, ke individu, jangan dibawa keluar kepada orang lain yang belum mendapatkan rahmat. Yang benar adalah ajaran kebenaran ini wajib disebarkan kepada seluruh manusia di seluruh penjuru alam.

Antara Agama dan Konflik

Permasalahan yang selalu diketengahkan oleh para pengusung pluralis adalah rentannya “konflik” dalam hubungan antar-umat beragama jika pluralisme tidak diterapkan. Di sini tampak letak kebodohan mereka yang menyamaratakan begitu saja pengalaman bergama Barat dengan Islam. Apa yang dipaparkan Budhy dan Dawam di atas itu hanya murni kasus Barat, dan tidak berlaku untuk Islam. Kristen Barat dari sejak kemunculannya menerapkan doktrin extra ecclesia nulla salus; di luar Gereja tidak ada keselamatan. Dampak dari doktrin ini adalah hukuman untuk mereka yang berada di luar gereja dengan status heresy (semacam kafir) dan hukuman inquisisi; hukuman penganiayaan sampai pembunuhan. Gereja-gereja di Barat hari ini masih menyisakan situs-situs inquisisi yang kejam dan beberapa di antaranya jadi museum inquisisi. Doktrin tersebut bukan hanya berlaku bagi yang tidak beragama Kristen, tapi juga bagi Kristen yang cara beragamanya tidak seperti yang diarahkan Gereja Katholik. Maka dari itu ketika muncul gerakan Kristen Protestan yang digagas Marthin Luther, peperangan pun tidak dapat dielakkan.

Kondisi seperti ini diperparah oleh keadaan agama Kristen Baratnya sendiri yang sudah tidak otentik lagi. Dalam pengantarnya yang cukup panjang untuk buku Islam and Secularism, al-Attas menguraikan pendapat beberapa sarjana Kristen yang sudah disetujui sebagai sebuah kesepakatan ilmiah bahwa memang agama Kristen yang otentik itu susah ditemukan. Sederhananya, menentukan Bible (Injil) yang otentik saja tidak mungkin dilakukan oleh kaum Kristiani. Oleh sebab itu, seiring gelombang revolusi sains besar-besaran yang membawa pada gelombang sekularisasi dan liberalisasi kehidupan, maka agama Kristen Barat pun mau tidak mau terbawa gelombang tersebut guna melepaskan diri dari bayang-bayang agamanya yang kelam.

Di samping itu doktrin Matius 28:19-20 yang dikenal dengan “amanat agung” turut juga menjadi pemantik “konflik” dalam hubungan antar agama ini. Amanat agung ini mengajarkan bahwa siapapun harus dikristenkan dengan berbagai cara: “Karena itu pergilah jadikanlah semua bangsa muridku, baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” Kata “semua bangsa” merupakan terjemahan dari Bibel berbahasa Inggris: all of the nation. Akan tetapi jika dirujuk pada Bibel aslinya yang berbahasa Yunani: kata yang digunakan adalah τα εθυη (ta ethne) yang artinya “bangsa yang belum percaya kepada Tuhan” yakni Tuhan versi mereka.

Ketika Dawam mempertanyakan MUI hendak memilih mana antara monotilisme atau pluralisme untuk dijadikan asas dari masyarakat yang plural, tentu itu disebabkan keterjebakan Dawam pada pola pikir Barat yang terdikotomi antara dua pilihan saja; monotilisme atau pluralisme. Seandainya saja Dawam, selaku muslim, berkenan melihat pada ajaran Islam pasti Dawam akan menjawab bahwa Islam sebagai asas masyarakat yang plural sudah cukup, dan itu bukan monotilisme yang tidak toleran ataupun pluralisme yang kebablasan.

Islam tidak memandang orang kafir harus dipaksa pindah agama dengan berbagai cara seperti halnya “amanat agung” dalam Kristen. Dalam konsep Islam, cukup didakwahi dan tabligh dengan cara yang hikmah (bijaksana) dan mau’izhah hasanah (nasihat yang baik). Kalaupun harus berdebat, berdebat dengan cara yang terbaik agar tidak memicu konflik. Kalaupun mereka enggan, tugas Nabi dan pengemban misi profetik (kenabian) hanya menyampaikan, bukan memaksa pindah agama. Sebab tidak ada paksaan dalam agama. Perintah berperang pun tidak ditujukan agar mereka pindah agama, melainkan agar mereka siap duduk bersama dalam membangun Negara dan mematuhi semua peraturan yang telah ditetapkan, cirinya membayar jizyah (upeti). “Negara Madinah” yang dipraktikkan Nabi saw dan diteruskan oleh para khalifah sesudah beliau mencatatkan hubungan harmonis antar-umat beragama ini. Terlalu naif jika bukti sejarah yang tersaji selama beberapa abad ini dinafikan begitu saja. Zionis Yahudi saja sebelum mereka mendirikan Negara Israel merasa sangat nyaman hidup di bawah pemerintahan Islam dibanding di bawah pemerintahan Barat yang Kristen.

Penilaian kelompok pluralis bahwa jika agama masuk ke wilayah Negara maka rakyat yang berbeda agama akan menjadi warga Negara kelas dua, hanyalah pandangan yang terlalu sinis terhadap agama. Di belahan dunia manapun tidak mungkin ada Negara yang menyamaratakan begitu saja status kewarganegaraan warganya. Pasti ada perbedaan antara warga Negara asli dan warga Negara asing. Antara warga Negara yang setia dengan ideologi Negara dan warga Negara yang tidak setia dengan ideologi Negara. Dalam Islam pembedaan itu terletak pada ideologi Negara dan itu adalah “Islam”. Tetapi jangan serta merta menyimpulkan bahwa mereka tidak diberi kebebasan untuk memeluk agama dan membangun negaranya, sebab itu tidak berlaku dalam Negara yang ideologinya Islam. Kalaupun beberapa Negara Islam yang hari ini sering dijadikan sampel oleh mereka tidak mempraktikkan konsep ini maka itu tidak boleh dijadikan kesimpulan bahwa konsep Negara Islam tidak benar, Negara tersebut saja yang tidak benar. Bukankah tidak semua Negara yang menganut demokrasi juga menerapkan demokrasi dengan benar? Jadi jangan lihat kasusnya, tapi kembali pada konsepnya.

Terlalu banyak kitab-kitab fiqh yang membahas tentang hak-hak ahlu dzimmah (warga Negara yang tidak beragama Islam) di dalam khazanah pemikiran Islam yang terlalu aneh jika dilupakan begitu saja. Semuanya itu menjadi jawaban bahwa MUI sudah sangat cerdas tidak memilih pluralisme sebagai asas untuk masyarakat yang plural, tetapi tetap memilih Islam. Dari sejak awal pendirian Negara ini, para founding fathers kita dari kalangan muslim telah sejak lama merumuskan Islam sebagai asas Negara yang tetap toleran terhadap warga non-muslim. Jadi adagium “harus pluralisme agar toleran” terlalu menyempitkan persoalan, sebab faktanya dengan Islam pun umat Islam, khususnya rakyat Indonesia, bisa tetap toleran.

Dalam hal ini maka perlu dipertanyakan dengan kritis ketika timbul konflik antar umat beragama, apakah benar pemicunya adalah keyakinan agama itu sendiri? Jika demikian kenapa di berbagai belahan dunia lainnya, khususnya jika itu mengambil sampel Negara/khilafah Islam, hal yang sama tidak terjadi? Jika benar keyakinan agama yang tidak pluralis yang menjadi masalah, tentu konflik akan terjadi di setiap belahan dunia yang mempertemukan ragam agama di dalam masyarakatnya. Tetapi pada faktanya tidak. Maka dari itu, jawaban yang paling tepat sesuai fakta tersebut adalah bukan keyakinan agama yang menjadi pemicu konflik, tetapi sikap tidak toleranlah yang menjadi pemicunya. Di berbagai tempat yang terdiri dari berbagai agama tidak terjadi konflik, itu pasti disebabkan masyarakatnya menjungjung tinggi nilai-nilai toleransi, meskipun keyakinan agama faktanya berbeda-beda.

Pluralisme bukan Toleransi

Di sinilah letak kekeliruan kaum pluralis yang begitu ngotot memaksakan pluralisme sebagai ideologi Negara dan masyarakat. Mereka sudah terang-terangan mengakui dengan jujur bahwa pluralisme melebihi toleransi. Bersikap toleran saja tidak cukup, tapi harus dengan menilai bahwa agama yang lain juga baik dan benar, sebab kebenaran agama sendiri pada faktanya sulit dibuktikan. Sampai di sini berarti sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap ajaran Islam yang dalam bahasa MUI sangat eksklusif; harus meyakini bahwa Islam satu-satunya agama yang benar; bahwa yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir adalah orang kafir yang harus diluruskan keyakinannya.

Tentang penafsiran Cak Nur atas ayat “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanya Islam” bahwa yang dimaksud adalah Islam dalam artian submission (penyerahan diri kepada Yang Mahaagung dan itu berarti mencakup semua agama, khususnya Kristen dan Yahudi), sudah banyak dibantah sebagai penafsiran yang sangat keliru. Ayat-ayat lain jelas menginformasikan bahwa Islam itu agama Allah yang diturunkan kepada semua Nabi dan hanya mengajarkan la ilaha illal-’Llah (QS. 3 : 83, 16 : 36, 2 : 131-132 dan 7 : 59-171). Konsep Allah sudah sangat detail dijelaskan al-Qur`an khususnya dengan asma`ul-husna yang dengan sendirinya tidak bisa disamakan dengan Tuhan yang lain. Terlebih berbagai ayat menyatakan bahwa agama Kristen dan Yahudi sudah tidak Islam (agama wahyu) lagi. Penyebabnya, mereka sudah mengubah kitab mereka sendiri (QS. 4 : 46, 5 : 13-41), tidak taat sepenuhnya kepada para nabi, bahkan membunuh sebagiannya (2 : 87), dan mengubah konsep tauhid yang merupakan inti ajaran Islam (9 : 30-31). Apalagi pemeluk agama selain mereka yang disebut al-Qur`an sebagai orang-orang musyrik. Jadi sangat salah kaprah untuk tidak disebut bodoh jika Dawam menjadikan ayat tersebut sebagai pembenar bagi kebenaran agama selain Islam.

Bahkan, al-Attas mencatat, Islam bukan hanya saja mengajarkan bahwa setiap manusia harus submission (berserah diri) kepada Allah swt, melainkan juga mengajarkan bagaimana bentuk submission tersebut, yakni melalui taat kepada Rasul-Nya yang terakhir, Muhammad saw (Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm. 3-4). Di sinilah letak sakralitas syahadat dalam ajaran Islam. Jadi klaim dari Yahudi dan Kristen bahwa mereka juga submission kepada Allah, tertolak disebabkan mereka salah dalam bentuk submission-nya. Ini penting untuk dicatat, sebab Iblis pun yang mengakui adanya Allah dan submission kepada Allah swt (sebab semua makhluk yang ada di alam ini mau tidak mau submission kepada Allah sesuai ajaran inna lil-’Llahi wa inna ilahi raji’un. Lihat QS 3 : 83) tetap saja dinyatakan kafir oleh Allah swt disebabkan bentuk submission-nya tidak tepat.

Pluralisme Mengingkari Ideologinya

Anis Malik Thoha dalam disertasinya yang menjadi buku, Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis, berhasil membuktikan bahwa pluralisme sebenarnya telah mengingkari ideologi semulanya. Pada awalnya pluralisme muncul sebagai ideologi netral yang hendak menciptakan kedamaian di muka bumi. Akan tetapi perjalanan sejarah teori-teori mereka tentang pluralisme telah menjauh dari tujuan yang semula dicanangkan, malah mengambil arah yang berlawanan secara diametral dengan tujuan tersebut. Pluralisme telah menjadi ideologi tersendiri yang eksklusif dan merasa benar sendiri. Bukannya menjadi wasit di antara pemain yang ada, malah turut menjadi pemain itu sendiri. Kedamaian yang diharapkan dari teori-teori pluralisme pun, jika memang terwujud, adalah tak lebih dari sekadar kedamaian formalitas dan semu yang tak berlangsung lama. Sebab keyakinan yang sifatnya eksklusif walau bagaimanapun tidak bisa dihilangkan, kecuali oleh pluralisme yang membunuh keyakinan itu sendiri. Artinya, tanpa disadari pluralisme ternyata telah menjadi keyakinan tersendiri di samping keyakinan-keyakinan yang ada, dan bersifat hegemonik karena memberangus keyakinan yang sudah ada. Oleh karena itu, gagasan pluralisme agama ini tidak mungkin dijadikan cara penyelesaian problem-problem konflik keagamaan, karena wataknya yang eksklusif dan merasa benar sendiri.

Alternatif yang masih mungkin diambil adalah “inklusivisme” yang dikembangkan oleh sebagian teolog Kristen, di antaranya yang terdepan adalah Karl Rahner yang melontarkan konsep anonymous Christian (Kristen anonim/Kristen yang tidak bernama Kristen). Konsep ini mengajarkan bahwa keselamatan mencakup seluruh manusia terlepas dari agama dan kecenderungan pemikirannya. Semuanya terselamatkan berkat pengorbanan Yesus Kristus di tiang salib, baik mereka mengakui itu atau tidak, dan baik mereka tahu hal itu atau tidak. Bedanya inklusivisme ini dengan pluralisme, inklusivisme masih mengakui bahwa kebenaran absolut hanya ada dalam Kristen saja, oleh karenanya tidak masuk bagian pluralisme .

Akan tetapi konsep inklusivisme ini dipertanyakan secara kritis oleh Jhon Hick: Selama keselamatan sudah mencakup seluruh manusia, bukankah penamaan mereka sebagai “Kristen anonim” adalah sia-sia? Lebih dari itu, kenapa masih selalu ngotot ingin mengkristenkan seluruh manusia di dunia? Ataukah sebenarnya inklusivisme hanyalah slogan kosong dan dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu? Pertanyaan-pertanyaan kritis ini dan semacamnya telah membuktikan bahwa teori inklusivisme tidak lebih baik dari pluralisme agama (hlm. 175-176).

Dengan demikian maka yang sudah benar adalah meyakini bahwa agama Islam satu-satunya agama yang benar, sambil tetap toleran terhadap pemeluk agama lain, berinteraksi sosial dengan baik selama tidak menyentuh wilayah aqidah dan ibadah. Sebab sudah terbukti bahwa pluralisme dan inklusivisme hanyalah ideologi bohong dan omong kosong. Ngotot memperjuangkannya berarti ngotot memperjuangkan kebohongan.

Wal-’ilm ‘indal-’Llah



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP