..::::::..

Kampanye Mengkritik al-Quran

Minggu, 10 Oktober 2004


Di Indonesia, belakangan banyak orang keranjingan Abu Zayd. Mereka seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu "si tukang sihir". CAP ke-73 Adian Husaini, MA

Entah nasib apa yang menimpa Dunia Islam dan umat Islam Indonesia khususnya pada hari-hari ini. Serangan dan kritikan bertubi-tubi terhadap Islam, Kitab Sucinya, dan umatnya bukan saja datang dari mereka yang secara logika sepatutnya membenci dan memusuhi Islam. Tetapi, kadangkala, serangan dan kritik itu justru dari kalangan kaum Muslim sendiri. Bahkan, dari mereka yang mengaku sebagai intelektual Muslim dari satu organisasi Islam tertentu.

Senin, 04 Oktober 2004, seorang yang menyebut dirinya dari “Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah” menulis artikel di Harian Republika, dengan judul “Islam dan Pertarungan Rezim Intelektual”. Pada umumnya, tulisan itu mendukung gagasan Nasr Hamid Abu Zayd tentang penggunaan hermeneutika untuk al-Quran. Berikut ini kutipan sebagian artikel tersebut: “Di mata kalangan Islam ortodoks, al-Quran adalah sabda Tuhan yang abadi. Dia selalu ada sebagai sifat Tuhan, dan tidak pernah diciptakan, karena sifat Tuhan adalah sesuatu yang melekat dalam diri Tuhan dan Tuhan tidak menciptakan sifat-sifat itu. Bahwa teks abadi ini telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad pada abad ke-7 masyarakat Arab sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menampakkan makna al-Quran, yang merupakan sebuah kitab yang harus dibaca secara literal dan selalu benar di sepanjang masa. Akibatnya, tidak ada tradisi kritisisme tekstual terhadap al-Quran yang sama dengan Bibel Hebrew dan Perjanjian Baru (New Testament).”

Jika dicermati, tulisan itu rancu, secara intelektual. Solah-olah, orang Islam yang tidak mengikuti tradisi kritisisme tekstual terhadap al-Quran adalah Islam ortodoks, karena tidak mau mengikuti jejak Yahudi dan Kristen. Jadi, yang mengikuti jejak Yahudi dan Kristen bukan Muslim ortodoks. Lalu, orang Islam yang mengikuti jejak Yahudi dan Kristen itu disebut apa? Muslim yang maju? Muslim yang modern? Muslim yang terbuka? Muslim yang progresif? Atau apa? Kata ortodoks, sebenarnya berasal dari bahasa Yunani “orthodoxos”, yang artinya “having the right opinion” atau “mempunyai pendapat yang benar”. (orthos: straight, correct). Tapi, kata ini sekarang dipersepsikan sebagai “kolot, anti-kemajuan”, dan sejenisnya.

Diskusi tentang al-Quran, kalam Allah, dan sifat Allah telah menjadi perdebatan sengit antara Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah. Mu’tazilah berpendapat, bahwa al-Quran adalah makhluk, sebagai bagian dari konsep mereka tentang penyucian Allah dari sifat tasybih, yaitu menyerupakan Dzat dan sifat Allah dengan makhluk-Nya. Dengan demikian pemikiran khalq al-Qur’an Mu’tazilah sebenarnya untuk memperkuat konsep tanzih yang menyangkal keberbilangan Yang Qadim. Konsep Mu'tazilah sebenarnya merupakan respon yang menyangkal ekstrimitas madhhab tasybih. Namun, pada akhirnya mereka juga terjebak dalam bentuk ekstrimitas yang lain. Sebab, konsep ini telah menafikan keberadaan sifat, ketika mereka menyatukannya dengan dzat (al-sifat ‘ainu al-dzat). (Lihat artikel “Studi Komparatif: Konsep al-Quran Nasr Hamid dan Mu’tazilah”, Majalah Islamia No 2).

Konsep al-Quran Mu’tazilah itu sama sekali berbeda dengan konsep al-Quran sebagai “produk budaya” Abu Zayd. Sebab, konsep Abu Zayd, adalah konsep yang jauh lebih ekstrim dari Mu’tazilah dan mendekati konsep kaum Kristen terhadap Bible mereka. Dari konsep Kitab Suci sesuai Bible ini, maka akan berkembang pula konsep penafsiran metode hermeneutika yang juga berkembang dalam tradisi Kristen. Fenomena ini tidak kita jumpai dalam perjalanan tradisi intelektual Mu’tazilah. Mu’tazilah tidak mengembangkan tradisi kritik teks al-Quran (naqd al-khithab), sebagaimana dilakukan kaum Yahudi dan Kristen terhadap Kitab Suci mereka. Masalah ini perlu ditekankan, agar kita tidak terjebak dengan anggapan sepintas, seolah-olah pemikiran Abu Zayd tentang “textual criticism” terhadap al-Quran adalah kelanjutan dari tradisi pemikiran di kalangan Muslim. Dulu, di zaman Khalifah al-Ma’mun, Imam Ahmad bin Hanbal menjadi tokoh Ahlu Sunnah yang rela dipenjara dan disiksa karena menentang konsep Mu’tazilah yang dipaksakan penguasa.

Saat ini, seluruh umat manusia juga dipaksa oleh “penguasa dunia” (negara adidaya) untuk menerapkan sekularisme - ideologi Nasr Hamid Abu Zayd. Sekedar menyegarkan ingatan kita, salah satu gagasan sentral Abu Zayd yang kontroversial adalah konsepnya tentang al-Quran, yang ia tekankan sebagai “produk budaya”, “teks historis”, “teks linguistik”, atau “teks manusiawi”. Meskipun tidak menafikan unsur ilahiah (divinity) al-Quran, Abu Zayd memandang teks al-Quran sudah “memanusiawi” dan masuk dalam kerangka teks historis dan budaya Arab. Abu Zayd masuk dalam diskursus teks, sebab sebagai hermeneut (pengaplikasi hermeneutik) dalam interpretasi al-Quran, ia harus melakukan “dekonstruksi” dan “deabsolutisasi” konsep al-Quran sebagai “the word of God” (dei verbum), yang menjadi mainstream pemikiran Muslim (ahlu sunnah). Ia tulis buku-buku yang mengupas persoalan teks dan kritik terhadapnya, seperti “Mafhum al-Nash al-Dirasah fi Ulum al-Quran” dan “Naqd al-Khithab al-Dini”.

Di sinilah Abu Zayd kemudian menempatkan Nabi Muhammad saw -- penerima wahyu -- pada posisi semacam “pengarang” al-Quran. Ia menulis dalam bukunya, Mafhum al-Nash, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia, dan merupakan bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya.

Dalam tradisi hermeneutika Bible, analisis terhadap kondisi psiko-sosial penulis Bible memang memungkinkan. Sebab, masing-masing Bible memang ada penulisnya. Tetapi, siapakah pengarang al-Quran? Dalam konsep Islam, Nabi Muhammad saw, sebagai seorang ‘ummiy, adalah penerima pasif wahyu. Konsep bahwa teks al-Quran adalah “spirit wahyu dari Tuhan” identik dengan konsep teks Bible, bahwa “The whole Bible is given by inspiration of God”. Pendapat Abu Zayd, menurut Dr. Gerard R. Wiegers, dosen Universitas Leiden, memang melewati batas pemahaman al-Quran yang mapan.

Konsep Abu Zayd tentang al-Quran berdampak pada metode penafsiran al-Quran yang dia ajukan, yang menggunakan pendekatan historisitas-budaya. Ia berupaya menjebol konsep dan metode tafsir al-Quran Ahlu-Sunnah. Ia mencatat: “Kekeliruan yang mendasar pada sikap Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah usaha mereka mengaitkan ‘makna teks’ dan ‘dalalah-nya’ dengan masa kenabian, risalah, dan turunnya wahyu. Ini bukan saja kesalahan ‘pemahaman’, tetapi juga merupakan ekspresi sikap ideologisnya terhadap realitas -- suatu sikap yang bersandar pada keterbelakangan, antikemajuan dan anti- progresivitas. Oleh karena itu kaum Ahlu Sunnah menyusun sumber-sumber utama penafsiran al-Quran pada empat hal: penjelasan Rasulullah saw, sahabat, tabi’in, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.”

Benarkah Ahlu Sunnah mendukung keterbelakangan dan antikemajuan, seperti klaim Abu Zayd? Pendapat Abu Zayd seperti itu tentu saja bukan pendapat ilmiah yang didukung oleh data-data yang kuat. Selama ratusan tahun, kaum Muslim mengalami zaman keemasan dan mencapai kemajuan di berbagai bidang justru ketika mereka menganut pola pemahaman Ahlu Sunnah. Upaya untuk meruntuhkan konsep Ahlu Sunnah dilakukan Abu Zayd dengan menyerang sejumlah tokoh utamanya, seperti Imam al-Shafii, al-Ash’ari, dan al-Ghazali. Imam al-Syafii dituduhnya mengubah teks primer (al-Quran) menjadi teks sekunder (al-hadits), dan sebaliknya.

Abu Zayd, yang mengaku seorang sekular, bukan orang baru dalam membongkar konsep al-Quran. Arkoen dan Fazlur Rahman, sudah melakukan itu. Rahman menyatakan, dalam bukunya, “Islam”, bahwa “the Quran is entirely the Word of God and, in an ordinary sense, also entirely the word of Muhammad.” Arkoun, dalam bukunya “Rethinking Islam Today”, menyayangkan sarjana Muslim yang tidak mau mengikuti jejak kaum Kristen dalam melakukan kritik folosofis terhadap teks suci al-Quran. Pada 1927, pendeta Kristen Prof. Alphonse Mingana, menyatakan, “Sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”

Memang, studi kritik teks al-Quran tidak berkembang di kalangan Muslim. Bahkan, setelah Abu Zayd menulis buku “Kritik terhadap Teks Keagamaan” (Naqd al-Khithab al-Dini). Ini berbeda dengan pesatnya studi kritis teks Bible. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadap Teks Bible. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972). Ini bisa dipahami, sebab Bible menyimpan problematika tekstualitas yang rulit. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab (The Old Testament) ini masih misterius. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world).

Fenomena dalam tradisi Kristen itu sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam tradisi Islam. Kaum Muslim, sepanjang sejarahnya, tidak pernah menggugat atau mempersoalkan otentisitas teks al-Quran-- termasuk Mu’tazailah. Karena itulah, secara prinsip, teks al-Quran tidak mengalami problema sebagaimana problema teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam.”

Di kalangan Kristen, hanya kelompok fundamentalis saja yang masih percaya Bible sebagai “dei verbum”. Sebab itu, sangatlah aneh, jika ada sebagian kalangan Muslim yang membawa nama Muhammadiyah kemudian dengan bangganya mengecam kaum Muslim yang tidak mau mengkritisi al-Quran, sebagaimana kaum Yahudi dan Kristen mengkritisi Bible mereka.

Untuk memperjelas siapa dan bagaimana hubungan konsep Abu Zayd dengan konsep-konsep dalam tardisi Kristen-Barat, berikut ini beberapa kutipan dari buku “Meretas Kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd” (2003), yang ditulis oleh seorang murid Abu Zayd di Universitas Leiden:

“Dia telah mengkritik para Muslim konservatif seperti Al-Imam al-Syafi’i, Al-Imam al-Asy’ari, Abu Hamid al-Ghazali (dari periode klasik), dan Sayyid Quthub, Hasan al-Banna, Muhammad al-Ghazali, Fahmi Huwaydi, Muhammad al-Baltaji, dan Ab al-Shabur Syahin (dari periode modern), dan juga para Muslim rasionalis klasik seperti Mu’tazilah dan Ibnu Rusyd (Averoisme), serta para Muslim liberal modern seperti Hasan Hanafi dan Muhammad Shahrour. Abu Zayd berupaya untuk memformulasikan sebuah perangkat metodologis yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi pembacaan-pembacaan ideologis atas teks-teks keagamaan. Dalam hal ini, pendapat Abu Zayd yang berkaitan dengan pembacaan ideologis mengingatkan kita kepada “hermeneutic of innocent” nya E.D. Hirsch, Jr, walaupun tak persis sama, yang sesungguhnya, menurut saya, tidak dapat lagi dipertahankan pada era pascaGadamer-- tokoh yang dianggap justru banyak mempengaruhinya.

Abu Zayd secara berulan-ulang mengatakan bahwa sebuah pembacaan ideologis dan subjektif atas al-Quran tidak lebih daripada manipulasi makna, yang bertentangan dengan objektivitas ilmiah. Bahkan, ideologi itu sendiri, menurutnya, adalah sebuah ‘penyakit’ yang harus diberantas. Pada titik ini, pengaruh konsep Marxis tentang ideologi, sebagaimana disinyalir oleh para penentangnya, bagaimana pun terbukti adanya. Para Marxis melihat ideologi sebagai sebuah ‘distorsi’ realitas, dan mereka juga mengkontraskannya dengan “kesadaran sejati” (true consciousness) “Kesadaran akan subjektivitas dan kecenderungan ideologis ini, menurut hemat saya, haruslah dimasukkan dalam asumsi-asumsi epistemologis. Subjektivisme dan kecenderungan ideologis bukanlah hal yang harus disingkirkan, namun malah harus dimasukkan sebagai faktor penting dalam membangun sebuah teori hermeneutika. Pada tingkat ini, kesadaran itu telah bekerja dalam level yang lebih riil, yakni level epistemologis. Upaya semacam ini tampaknya absen di dalam karya-karyanya”.

“Meskipun Abu Zayd sangat kritis terhadap pembacaan-pembacaan ideologis atas teks-teks keagamaan, sebagian besar tulisannya, pada kenyataannya, bersifat ideologis pula. Ada dua ideologi penting yang mendasari karya-karyanya, yaitu sekularisme dan akademisme, dengan tanpa mengatakan bahwa kedua ideologi ini, dan pengaruh dari keduanya, berdampak negatif. Saya hanya bermaksud menunjukkan bahwa, secara sadar atau tidak ideologi dan subjektivitas Abu Zayd hadir dalam tulisan-tulisannya.

Artinya, ‘klaim ideologis’ itu dapat dikenakan kepada siapa saja, karena ‘klaim’ itu sendiri merefleksikan ideologi tertentu. Sebagaimana tertulis dalam bab pertama, Abu Zayd memosisikan dirinya sebagai seorang intelektual Muslim sekularis. Meskipun dia mendefinisikan sekularisme sebagai sebuah “interpretasi sejati dan ilmiah atas Agama”, tidaklah berarti bahwa sekularisme bukan sebuah ideologi “Kepercayaan Abu Zayd akan otoritas nalar, objektivitas, dan akademisme membimbingnya untuk menjadi wakil sah dari pengikut rasionalis pencerahan modern. Namun, fakta bahwa dia terkadang mengadopsi konsep-konsep posmodernisme tidaklah terbantahkan. Fouad Ajami, misalnya, mengatakan, bahwa Abu Zayd sangat “at home dengan metode dan bahasa Michel Foucault dan Antonio Gramsci”, dan Edward Said mengatakan, bahwa “utang terhadap Foucoult adalah jelas” ketika Abu Zayd menggunakan konsep “wacana” dalam (buku) “Naqd al-Khithab al-Dini” (Kritik atas Wacana Keagamaan). Namun, tidak dapat dikatakan bahwa Abu Zayd bekerja dalam kerangka posmodernisme, yang justru menolak sentralitas nalar, objektivitas, dan akademisme, hal yang justru paling dibela Abu Zayd.

Lagi pula, dia tidak pernah menyatakan dukungannya terhadap posmodernisme, dan tidak pernah mengutip karya-karya posmodernis, meskipun, sebagaimana yang diakuinya, dia membaca beberapa karya itu.” (hal.158-161).

Salah satu produk hasil penggunaan metode hermeneutika ala Abu Zayd, misalnya, adalah pendapatnya, bahwa jin dan setan tidak ada dalam realitas dan hanya ada dalam mitos. Karena melihat wahyu sebagai proses evolusioner transformasi dari sebuah pandangan dunia mitologis kepada pandangan dunia rationalistik, maka di akhir analisisnya tentang jin, setan, sihir, dan hasad, Abu Zayd berkesimpulan, bahwa semua itu pada hekikatnya bersifat mitologis, “hidup” dalam konsep mental saja, dan tidak ada dalam realitas. (hal. 119). “Pengaruh Ferdinad de Saussure jelas dalam interpretasi tentang kekuatan-kekuatan jahat di atas, khususnya yang terkait dengan tanda-tanda linguistik. De Saussure berpendapat bahwa “tanda-tanda linguistik bukanlah hubungan (link) antara sebuab benda dengan sebuah nama, namun antara sebuah konsep dengan sebuah pola suara.” (hal. 126).

Membaca kesimpulan dan analisis murid Abu Zayd di Leiden tersebut, maka tidaklah berlebihan jika Dr. Syamsuddin Arif dalam artikelnya di Harian Republika (30 September 2004), yang berjudul “Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd” menulis: “Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika.

Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak mengatakan seluruhnya -- adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat”. Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.”

Wallahu a’lam.

(KL, 7 Oktober 2004).







Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP