..::::::..

Bush, Negara Pelestina, dan Mimpi Buruk Dunia

Minggu, 14 November 2004


Selain Yahudi, kelompok penting di balik Bush adalah neo-konservatif yang 'berbahaya'. Merekalah yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS di dunia Islam. Baca CAP Adian Husaini, MA ke 77 Belum lama ini cendekiawan terkenal Inggris Ziauddin Sardar dan seorang wartawati dan seorang antropologist bernama Merryl Wyn Davies menerbitkan buku berjudul American Dream, Global Nightmare (2004), (Mimpi Amerika, Mimpi Buruk Dunia). Buku ini merupakan kelanjutan dari buku terkenal mereka: “Why Do People Hate America?” (Mengapa Orang Benci Amerika?). Dalam buku ini mereka mengungkapkan AS begitu dibenci oleh banyak manusia, karena invasi dan infeksi berbagai produk dan budayanya ke berbagai budaya asli dari jutaan penduduk dunia. AS adalah ‘hyperpower’ pertama di dunia yang menjalankan politik luar negerinya dengan ditopang kekuatan militer yang belum pernah ada tandingannya dalam sejarah dunia. AS pun mengekspor sistem nilai mereka, menentukan negara mana yang beradab, rasional, dan demokratis. Bahkan, mana yang manusiawi dan tidak.

Kini, dalam buku barunya, American Dream, Global Nightmare, Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, lebih jauh memaparkan, bagaimana impian AS akan menjadi mimpi buruk bagi umat manusia. Buku ini ditulis sebelum Presiden George W. Bush menenangkan pemilihan Presiden untuk periode kedua, melawan John Kerry. Dan tentu saja, kemenangan Bush, akan semakin mengkhawatirkan banyak umat manusia di muka bumi. Masa depan perdamaian dunia akan semakin pudar, jauh dari harapan umat manusia. Perang atas terorisme bisa diperkirakan akan semakin panjang, sebab sejatinya ada agenda utama lain dibalik slogan “War againts terrorism”.

Mengapa dikatakan ada agenda lain? Karena definisi tentang “terrorism” itu sendiri tidak pernah jelas. Pada 11 September 2003, Harian terkemuka di Timur Tengah, Al--Syarqul Ausat, menulis, bahwa setelah dua tahun peristiwa 11 September 2001 berlalu, AS masih belum mampu mengatasi aksi terorisme. Bahkan perluasan konsep terorisme yang dipegangnya menciptakan banyak masalah baru. "Dua tahun setelah peristiwa 11 September seharusnya AS sadar bahwa konsep terorisme yang dipegangnya tidak relevan dan harus mendengar usul dunia Arab sebab terbukti AS makin kepayahan menghadapi aksi tersebut," demikian Al-Sharqul Awsat. Diingatkan, agar AS mendengar usul dunia Arab untuk menyepakati terlebih dahulu definisi dan maksud dari terorisme. "Usul Arab agar terlebih dahulu menentukan definisi terorisme yang disetujui dunia adalah salah satu cara untuk keluar dari perang jangka panjang dan melelahkan. Kita berharap agar kejadian di Irak menyadarakan kelompok konservatif di Washington," demikian laporan harian terbesar Arab itu.

Seruan logis semacam itu sebenarnya terlalu banyak telah diluncurkan berbagai kalangan di dunia internasional. Namun, tidak dipedulikan oleh sang penguasa super. Berbagai paradoks terus dibiarkan berjalan. Logika-logika yang saling bertabrakan dipaksakan karena memang AS dan sekutu-sekutunya memegang hegemoni politik, ekonomi, militer, dan informasi. Banyak pemimpin negara berpikir serius jika sampai tidak mendapat restu dari AS. Maka, demi mempertahankan kekuasaan atau kemaslahatan tertentu, berbagai paradoks dalam soal terorisme itu terpaksa harus dibiarkan terjadi.

Maka, bagi masyarakat AS yang memahami masalah sebenarnya, dan bukan hanya terpukau oleh opini media massa, bisa dipahami, jika kemenangan Presiden Goerge W. Bush atas saingannya John Kerry memunculkan keresahan dan protes keras dari berbagai kalangan rakyatnya. Berbagai aksi protes digelar di AS, dengan membentangkan poster-poster anti-Bush dan anti-perang. Sejumlah poster terang-terangan menyebut Bush sebagai teroris. Bahkan, karena kecewa dengan kemenangan Bush, Andrew Veal (25), datang ke Ground Zero – bekas lokasi Gedung WTC – dan melakukan aksi bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri. Di Malaysia, mantan Perdana Menteri Mahathir Mohammad menyatakan rasa duka cita atas kemenangan Bush. “Saya sungguh duka cita dengan perkara ini dan sudah tentu Bush akan membawa malapetaka kepada Islam dalam tempoh empat tahun akan datang,” kata Mahathir, seperti dikutip koran Berita Harian (8/11/2004).

Bagi yang mencermati perkembangan politik AS, kemenangan Bush sebenarnya tidak sulit diperkirakan. Hegemoni kelompok neo-konservatif dalam dunia publikasi, keuangan, dan pemerintahan AS sudah sangat dominan dan sulit ditembus. Majalah Time, edisi 6 September 2004, memuat ‘cover story’ berjudul “The World According to George Bush”. Majalah ini membuat polling yang menunjukkan Bush meraih dukungan 46 persen suara dibandingkan Kerry yang meraih dukungan 44 persen. Kepada majalah ini, Bush mengungkapkan visinya tentang politik luar negeri AS yang tegas dan tidak mengenal kompromi, politik yang mengandalkan kekuatan militer, dan bukan politik yang rendah hati (humble). Tim Bush tidak ingin mengikuti garis politik yang ‘humble’ agar dihormati dunia. Sebab, menurut mereka, tantangan utama memecahkan ancaman besar yang dihadapi negara itu. Maka, dalam soal Irak, tim Bush berpendapat, bahwa dukungan internasional akan diraih AS, jika tentara AS menang perang. “The way to win international acceptance is to win,” kata seorang pembantu senior Bush.

Untuk melegitimasi pembangunan kekuatan militer, harus ada ancaman yang dianggap riil oleh publik AS. Karena itulah, mitos-mitos tentang ancaman terorisme yang dibangkitkan oleh Bush dalam kampanye untuk menarik dukungan rakyat ternyata cukup ampuh untuk meraup suara. Dalam “American Dream, Global Nightmare” Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, mencatat adanya 10 hukum dalam mitologi Amerika (the ten laws of American mythology).

Ke-10 hukum dalam mitologi Amerika itu ialah: (1) Fear is essential, (2) Escape is the reason for being, (3) Ignorance is bliss, (4) America is the idea of nation (5) Democratisation of everything is the essence of America, (6) American democracy has the right to be imperial and express itself throuh empire, (7) Cinema is the engine of the empire (8) Celebrity is the common currency of empire, (9) War is necessity, (10) American tradition and history are universal narratives applicable across all time and space.

“Ketakutan”, tulis Sardar dan Davies, “adalah esensial bagi AS”. Tanpa ‘ketakutan’ tidak ada AS. Ketakutan adalah energi yang memotivasi kekuatan dan menentukan aksi dan reaksi. Dalam kasus kemenangan Bush, formula “menjual ketakutan” ini tampak meraih sukses. Ketakutan dapat menghilangkan logika sehat. Isu keamanan menjadi sentral, bahwa rakyat AS memang selalu berada dalam ancaman teroris Islam, terutama dari jaringan al-Qaeda. Entah mengapa, menjelang pemilihan Presiden AS, video Osama yang mengancam AS, lagi-lagi muncul dan disiarkan luas oleh jaringan televisi internasional. Ini mirip dengan kemenangan John Howard yang mengiringi peledakan bom di Keduataan Australia di Jakarta.

Apa yang ditulis oleh Huntington dalam bukunya, Who Are We? bahwa peristiwa 11 September 2001 mengakhiri pencarian AS terhadap musuh baru pasca berakhirnya Perang Dingin, juga menyiratkan adanya rancangan yang matang tentang mimpi global sebuah imperium bernama “Imperium Americanum”. Sebuah imperium yang merupakan superpower tunggal di muka bumi, tanpa saingan. Rancangan ini dibuat oleh kelompok yang populer dengan sebutan “neo-konservatif” (neo-kon).

Kemenangan Bush tidak dapat dilepaskan dari kerja kelompok neo-kon. Adalah sulit membayangkan John Kerry memenangkan pemilihan Presiden AS. Sebab salah satu programnya adalah menarik tentara AS dari Irak – sebuah kondisi yang mirip dengan kasus Perang Vietnam dan sikap John F. Kennedy. Sejak berakhirnya Perang Dingin, kelompok neo-kon sudah merancang agenda global dalam politik internasional. Isu-isu global dirancang dengan matang. Salah satu isu utama adalah doktrin “the clash of civilizations” yang secara resmi diterima sebagai kebijakan politik pada Konvensi Platform Partai Republik George W. Bush di Philadelphia, 3 Agustus 2002. Banyak agenda penting disepakati dalam konvensi tersebut. Diantaranya, unilateralisme AS dan statusnya sebagai “the only super power” harus tetap dipertahankan; ditetapkannya ‘the rogue states’ (negara-negara jahat) sebagai musuh baru – tanpa memberikan definisi apa yang dimaksudkan dengan ‘rogue state’. Definisinya diserahkan kepada imajinasi dan ketentuan “The Shadow Power”; juga diputuskan bahwa rezim Saddam Hussein harus diganti. Tidak semua agenda kelompok neo-kon ini telah tercapai. Misalnya, rencana mereka untuk memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. (Abdulhay Y. Zalloum, Painting Islam as The New Enemy, (Kuala Lumpur: Crescent News: 2003).

Dalam bukunya, Sardar dan Davies juga menyebut peran kelompok neo-konservatif dalam penentuan kebijakan luar negeri AS. Kelompok pemikir (think-tank) neo-kon dikenal sebagai Project for the New American Century (PNAC), yang didirikan oleh Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Folfowitz, Richard Perle, dan tokoh-tokoh neo-kon lainnya. Proyek ini dirancang sejak awal 1990-an. Namun, terhenti dengan kemenangan Clinton. Proyek neo-kon berlanjut lagi dengan kemenangan Bush yunior dan semakin menemukan momentumnya pasca 11 September 2001. Salah satu proyek terkenal diluncurkan pada September 2000 berjudul “Rebuilding America’s Defenses: Strategy, Forces, and Resources for a New Century”. Dikatakan, bahwa saat ini AS tidak menghadapi rival global. Strategi besar AS harus diarahkan untuk mengambil keuntungan dari posisi ini semaksimal mungkin. Rancangan Pertahanan yang disusun oleh Paul Wolfowitz berkaitan dengan Tata Dunia Baru menyebutkan: “Our first objective is to prevent the reemergence of new rival.”

Michel Colin Piper, melalui bukunya “The High Priests of War” (2004) menyebutkan, belum pernah dalam sejarah AS terjadi dominasi politik AS yang begitu besar dan mencolok oleh ‘tokoh-tokoh pro-Israel’ seperti dimasa Presiden George W. Bush. Sebagian besar anggota neo-kon adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar kelompok ini adalah memaksakan serangan AS atas Irak, meskipun elite-elite militer AS dan Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya. Jaringan neo-kon bisa dikatakan semacam kolaborasi “the unholy trinity” (Zionis Israel-Kristen Fundamentalis-imperialisme AS), yang telah berhasil menjadikan Presiden Bush sebagai kendaraan untuk menjalankan satu kebijakan berbasis pada ‘unilateralism’, ‘permanent mobilisation’, dan ‘preventive war’. Kata Piper, “President Bush seems to be driven by Christian fundamentalism and strong influence of the Jewish lobby.”

Dalam wawancara dengan Time, 6 September 2004, Bush juga menegaskan tekadnya untuk mewujudkan sebuah negara Palestina merdeka. Kata Bush, “As you know, I’m the fisrt President ever to have articulated a position that there ought to be a Palestinian state. I believe that a Palestinian state will emerge.” Bush ingin menunjukkan bahwa kasus Iraq dapat dijadikan contoh untuk menumbangkan sistem pemerintahan dimana satu orang dapat menentukan nasib seluruh rakyatnya. Ia menunjuk pada figur Yasser Arafat, yang ia sebut sebagai “a failed leader” (pemimpin yang gagal). Ia bangga, dan merasa dialah pemimpin pertama yang menyatakan hal itu tentang figur Arafat.

Kini, Arafat sudah pergi. Apakah impian Bush untuk terbentuknya sebuah negara Palestina merdeka akan terwujud? Mungkin saja, jika para pemimpin Palestina selepas Arafat mau berkompromi soal pembagian wilayah Tepi Barat, khususnya soal Jerusalem. Namun, ini juga tidak mudah, dilihat dari dua sisi, baik sisi Israel maupun sisi Palestina. Yang mungkin terjadi adalah menjadikan Jerusalem di bawah pengawasan internasional, atau satu Tim beranggotakan berbagai negara – termasuk sejumlah negara Arab. Kita tunggu saja, bagaimana skenario Bush akan berjalan. Yang pasti, masalahnya, Bush dan AS, juga Israel, memang tidak lagi melihat negara Palestina sebagai ancaman. Sebab, ancaman utama bagi mereka adalah para pejuang Palestina yang mereka cap sebagai “fundamentalis”, “militan”, “atau “teroris”, seperti “Jihad Islam”, dan “Hamas”.

Khalil Shikaki, profesor ilmu politik di Universitas Nasional an-Najah Nablus, dalam artikelnya berjudul "Peace Now or Hamas Later" mencatat ada tiga kekuatan politik utama di Palestina saat perjanjian Oslo ditandatangani, yaitu (1) Kekuatan utama, yaitu kelompok nasionalis. Secara ideologis, kelompok yang dipimpin oleh Arafat dan Fatah -- faksi terbesar di PLO -- adalah "semi-sekular pragmatis". Kelompok utama ini menolak Islam politik dan mengadopsi sejumlah pemikiran demokrasi; (2) Kelompok oposisi nasionalis kiri, yang memiliki dua kekuatan utama yaitu Front Palestina untuk Kemerdekaan Palestina (Popular Front for Liberatuon of Palestine/PFLP) dan Front Demokrasi untuk Kemerdekaan Palestina (Democratic Front for Liration of Palestine/DFLP), yang lebih kiri, sekular, dan menolak demokrasi Barat atau kapitalisme. Kelompok ini menolak Kesepakatan Oslo dan tidak terlibat dalam perundingan Oslo, sehingga memboikot pemilu 1996 di Tepi Barat dan Jalur Gaza; (3) kelompok Hammas dan Jihad Islam. Kedua kelompok ini sangat menekankan pada perilaku individual, mengadopsi nilai-nilai politik Islam, dan berusaha mendirikan negara Islam. Mereka juga menolak perdamaian dengan Israel -- termasuk kesepakatan Oslo -- dan bahkan menolak legitimasi negara Israel. (Jurnal Foreign Affairs, Agustus 1998.)

Edward N. Luttwak dalam tulisannya berjudul "Strategic Aspecs of U.S.--Israeli Relations", menyebutkan, saat ini, para pembuat kebijakan di AS dan Israel cenderung merasa bahwa Islam fundamentalis adalah ancaman terhadap elite-elite Barat di negara-negara Islam, kepentingan-kepentingan keduanya (dan negara-negara Barat lainnya) di negara-negara Islam, bahkan kepentingan keduanya di negara masing-masing.

Jadi, bisa dianalisis, karena adanya persepsi yang sama antara AS dan Israel tentang ancaman bersama, maka dibutuhkan juga satu negara Palestina yang mempunyai sikap yang sama dengan AS dan Israel. Dimana tugas utamanya adalah memberangus ‘gerakan-gerakan Islam’ di Palestina. Namun, rencana Bush ini juga tidak mudah, Neo-kon telah berhasil mementahkan Pembicaraan Camp David II antara Arafat dengan Ehud Barak, yang ketika itu sudah menyepakati pengembalian 99 persen Jalur Gaza. Lalu, dengan menjual isu “keamanan” dan “hak Yahudi” atas Jerusalem, Ariel Sharon memenangkan pemilu Israel, mengalahkan Barak tahun 2001. Pembentukan negara Palestina akan membentur tembok tebal yang sulit dijebol, yakni soal Jerusalem. Apalagi, kelompok neo-kon lebih mengikuti garis Likud yang memegang kepercayaan hak historis bangsa Yahudi atas Jerusalem.

Karena itu, dominasi kelompok neo-kon memang mengkhawatirkan banyak warga AS. Colin Piper sampai menyerukan melalui bukunya, “It’s time to declare war on The High Priest of War”. Sebab, agenda kelompok ini memang menyeret dunia ke jancah perang global. Dan serangan atas Irak adalah tahap pertamanya. Kelompok ini lebih bekerja dengan ideologi, dengan keyakinan, bukan dengan mengandalkan kepentingan dan logika. Michel Lind, seorang penulis AS, mengungkapkan, bahwa impian kelompok neo-kon untuk menciptakan sebuah “imperium Amerika” sebenarnya ditentang oleh sebagian besar elite perumus kebijakan luar negeri AS dan mayoritas rakyat AS. Lind juga menyebut, bahwa koalisi Bush-Sharon juga berkaitan dengan keyakinan, bukan karena faktor kebijakan. Itu bisa dilihat dari latar belakang Bush yang berasal dari keluarga Kristen fundamentalis. Kata Lind: “There is little doubt that the bonding between George W. Bush and Ariel Sharon was based on conviction, not expedience. Like the Christian Zionist base of the Republican Party, George W. Bush was a devout Southern fundamentalist.”

Melihat kuatnya cengekeraman kelompok neo-kon dalam politik AS, wajar jika dunia pantas khawatir dengan kemenangan Bush yang kedua kali. Benarkah kekhawatiran Mahathir akan terbukti? Benarkah dunia akan berhasil diseret menuju Perang Global dengan kendali Zionis Yahudi? Mari kita lihat bersama-sama.

Wa makaruu wa makarallah.

(KL, 12 November 2004).




Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP