..::::::..

Pengkhianatan Feminis Terhadap Perempuan

Oleh : Qurrata Ayuni, SH.

assalaamu'alaikum wr. wb.

Seharusnya feminisme bisa membuktikan solidaritas terbaik bagi sesama perempuan. Sesuai janji para feminis pada 1960, melalui gagasan ”Sisterhood is powerful!” (Persaudaraan perempuan adalah kuat), para feminis mati-matian menentang dominasi laki-laki, kapitalisme, dan diskriminasi terhadap perempuan. Sayangnya, ikrar

tersebut kini dikhianati, dengan meleburnya para feminis dalam nuansa kapitalistik yang penuh dominasi laki-laki dan mendiskriminasi perempuan lain yang cenderung berbeda.

Pertama, pengkhianatan gerakan feminisme dewasa ini justru dirasakan oleh tokoh feminisme itu sendiri. Barbara Espstein, seorang feminis dari Universitas California, menyatakan bahwa telah terjadi gap antara pergerakan perempuan dan kemajuan perempuan yang dicita-citakan yang dianggap melumpuhkan perjuangan kesetaraan gender bagi perempuan. Ia melihat sebuah kebalikan, yakni makin tinggi pendidikan perempuan malah mengakibatkan pembiaran dirinya disurbordinasi dan dieksploitasi oleh sistem sosial kapitalistik.

Pada titik tersebut, perempuan-perempuan yang telah mencapai kesetaraan pendidikan maupun karir malah semakin meninggalkan sisi dan perjuangan feminisnya. Perempuan macam ini juga cenderung untuk menjadi kaki tangan kapitalisme yang tanpa disadari akan kembali mensubordinasikan perempuan lainnya. Hal ini dikarenakan perempuan kelas menengah perkotaan dianggap tidak ‘nyatu’ dengan kebutuhan dan kepentingan kaum perempuan kelas sosial yang lebih rendah. Mereka terjebak dan tenggelam dalam sistem kapitalistik yang didominasi laki-laki, kemudian mengekor untuk mencapai pencapaian identitas diri hanya bagi dirinya sendiri.

Kedua, pengkhianatan gerakan feminis terjadi ketika kalap melindungi upaya eksploitasi seksual melalui pasal kebebasan berekspresi. Terdapat sebuah kecenderungan di antara para feminis Indonesia untuk melakukan serangkaian pembelaan atas pilihan segelintir perempuan untuk melakukan pornografi dalam media masa. Kecenderungan ini juga tampak saat para feminis justru tidak berdaya mencegah eksploitasi perempuan dalam ajang pemilihan ratu-ratu kecantikan lokal dan dunia.

Keberpura-puaraan para feminis untuk melindungi perempuan dalam pornografi merupakan sebuah pengkhianatan yang absolut. Hal ini mengingat, tidak ada satupun tokoh feminis yang pernah bersepakat dengan pornografi. Andrea Dworkin dan Catherine MacKinnon, seorang feminis radikal kultural, bahkan mendefinisikan pornografi sebagai berikut :

”Subordinasi perempuan yang eksplisit secara seksual, dan grafis melalui gambar atau kata-kata yang juga melingkupi perempuan, yang didehumanisasi sebagai objek seksual, benda, atau komoditi,... dalam sikap penyerahan, perbudakan, atau pertunjukkan seksual; direduksi menjadi bagian tubuh, dipenetrasi oleh objek atau binatang, atau ditampilkan dalam skenario yang merendahkan,.... dipertunjukkan sebagai kotor dan inferior...”

Para feminis sejati bersikeras bahwa hampir semua bentuk pornografi gagal menciptakan keintiman, yang menciptakan cinta antara orang-orang yang saling peduli. Feminis radikal-kultural mengklaim pornografi membahayakan perempuan dengan tiga cara : (1) dengan mendorong laki-laki untuk berprilaku yang secara seksual berbahaya bagi perempuan (misalnya pelecehan seksual, perkosaan, penganiayaan terhadap perempuan ; (2) dengan menistakan perempuan sebagai manusia yang tidak mempunyai penghargaan terhadap diri sendiri karena mereka baik secara aktif mencari, ataupun secara pasif menerima penganiyaan seksual ; dan (3) dengan mengarahkan laki-laki untuk tidak saja berpikir bahwa perempuan adalah manusia yang kurang, tetapi juga dengan memperlakukannya sebagai warga negara kelas dua, yang tidak layak untuk mendapatkan proses serta perlakuan setara dengan apa yang biasa didapat pada laki-laki (Rosemarie PutnamTong, 1998).

Padahal, sudah jauh-jauh hari Mary Daly, penulis buku Beyond God the Father, mencegah perempuan untuk dijadikan sebagai ”burung” dalam sangkar yang artifisial dicat untuk menyenangkan kaum laki-laki. Perempuan yang tereksploitasi dianggap Mary Daly sebagai perempuan yang difeminisasikan, dijinakkan dan didomestikasi. Perempuan-perempuan ini tanpa sadar membiarkan diri mereka untuk didandani dengan segala kemewahan, bersama bubuhan kosmetik, minyak wangi, hingga mengikat dan memasang korset pada tubuh untuk rela dijadikan mainan laki-laki.

Ketiga, pengkhianatan para feminis dengan menjadi musuh bagi perempuan itu sendiri. Feminisme yang sejatinya berjuang melawan stereotip, diskriminasi dan intimidasi justru melakukan hal yang persis sama bagi perempuan di luar lingkungannya. Salah satunya adalah dengan membuat stereotipe tersendiri bagi perempuan yang dianggap berbeda. Jika perempuan tidak bekerja, memilih menjaga anak dirumah tanpa penghasilan, maka akan dianggap sebagai perempuan yang masih terbelenggu. Para feminis ini juga sering kali membuat diskriminasi sepihak tentang penafsiran kepercayaan. Tidak sering, diskriminasi itu timbul hanya lantaran perempuan kebanyakan tidak menggunakan penafsiran Quran Fetima Mernissi atau Rif’at Hasan. Diskriminasi dan intimidasi juga tidak satu-dua kali timbul bagi perempuan yang memang dengan sadar memilih untuk menjadi istri kedua sebagaimana apa yang ia yakini dalam agamanya. Bukankah yang seperti ini juga perempuan yang harus dibela?

Para feminis harus segera bertaubat dan kembali pada khittah ”Sisterhood is powerful!” sebagaimana dahulu gerakan feminisme bermula, sehingga tidak lagi ada pengkhianatan dengan rela terjebak dalam sistem kapitalistik. Tidak perlu ada lagi kebohongan soal pornografi dengan mengumpankan perempuan sebagai mainan laki-laki. Dan tidak juga menjadi musuh dalam selimut bagi kaum perempuan pada umumnya dengan melakukan stereotip, diskriminasi, dan intimidasi bagi perempuan diluar karakter para feminis kebanyakan.

wassalaamu'alaikum wr. wb.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP