..::::::..

Yang Terkaya, Yang Berperkara

Senin, 06 Desember 2010

MENJELANG tutup tahun 2010, awal Desember ini, Forbes, majalah bisnis dwimingguan dari New York, Amerika Serikat, mengumumkan daftar 40 orang terkaya Indonesia. Sungguh mengharukan. Betapa tidak?
Ternyata di tengah kesulitan ekonomi yang menghimpit rakyat sekarang – harga beras dan barang kebutuhan pokok naik, lowongan kerja sulit, sehingga semakin banyak saja orang menjadi TKW ke mancanegara, terutama ke Malaysia dan Arab Saudi – para konglomerat dan taipan Indonesia bertambah kaya saja.

Seperti dicatat Forbes, 40 orang terkaya Indonesia memiliki harta senilai 71 milyar dollar, atau melonjak 29 milyar dollar (nyaris 70%) dibanding kekayaan mereka tahun lalu, yang hanya 42 milyar dollar. Yang terkaya masih pemilik Group Djarum, R.Budi dan Michael Hartono dengan kekayaan 11 milyar dollar atau Rp 100,1 trilyun. Tahun lalu kekayaan keduanya masih 8 milyar dollar. Artinya, dalam setahun ini kekayaan mereka meloncat 3 milyar dollar. Luar biasa.
Aburizal Bakrie alias Ical, konglomerat yang beberapa tahun lalu pernah menjadi orang terkaya Indonesia, kini melorot. Ical menduduki posisi 10 dengan kekayaan 2,1 milyar dollar. Ia cuma setingkat di atas pengusaha tambang batubara Kiki Barki, pemilik PT Harum Energy Tbk, yang baru tahun ini menyodok masuk daftar orang terkaya Indonesia.
Dua pengusaha yang pernah terbelit dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan sempat diperiksa Kejaksaan Agung, Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim, masih terdaftar sebagai orang terkaya Indonesia, walau sekarang mereka lebih banyak berada di luar negeri.
Anthony Salim, putra konglomerat Orde Baru Liem Swie Liong itu menduduki posisi orang nomor 5 terkaya Indonesia, dengan kekayaan 3 milyar dollar. Sedang Sjamsul Nursalim menempati posisi ke-23 dengan 850 juta dollar.
Pada 2008 kedua konglomerat itu diperiksa Kejaksaan Agung karena tak melunasi puluhan trilyun rupiah dana BLBI. Ternyata kemudian aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap basah Urip Tri Gunawan, Ketua Tim Pemeriksa perkara itu di Kejaksaan Agung, menerima uang 660.000 dollar (lebih Rp 5 milyar) dari Artalyta Suryani, pengusaha yang menjadi utusan konglomerat Sjamsul Nursalim.
Jaksa Urip divonis pengadilan 20 tahun untuk kesalahannya menerima suap dan pengusaha Artalyta Suryani 4 tahun penjara. Tapi anehnya, sejak itu kasus BLBI Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim tak pernah terdengar kabar-beritanya. Tentu saja keduanya tak pernah menjadi terdakwa di pengadilan. Maka dengan itu jangan heran kalau di negeri ini selalu saja orang kaya akan bertambah kaya, dan sampai kapan pun tak pernah miskin karena selalu ada yang bersedia melindungi.
Maka hampir pasti akan sia-sia, misalnya, apa yang dilakukan Eggi Sudjana, pengacara dan Ketua Lepas (Laskar Empati Pembela Bangsa), lembaga swadaya masyarakat di Jakarta. Kamis, 2 Desember lalu, Eggi menghadap Babul Khoir Harahap, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Ka Puspenkum) Kejaksaan Agung, untuk mendesak Kejaksaan Agung mengusut korupsi yang melibatkan para pejabat Pertamina dan pengusaha Sandiaga Uno.
‘’Kenapa dia tak diperiksa dan selalu mangkir? Kami dapat informasi kalau Sandiaga Uno dilindungi oknum pejabat. Saya tahu pejabatnya tapi tak etis untuk diomongkan,’’ kata Eggi Sudjana menuduh.
Kasus ini kabarnya sudah ditangani Polda Metro Jaya, sejumlah orang sudah diperiksa. Sandiaga Uno yang disebut Eggi, juga sudah dipanggil polisi tapi tak pernah datang. Kasus ini konon menyangkut pemalsuan dokumen dalam pembangunan depo minyak di Balaraja, Banten, yang merugikan keuangan negara 6,4 juta dollar atau lebih Rp 50 milyar.
Sandiaga Uno adalah pengusaha muda yang sedang berkibar. Dia bergabung bersama Edwin Soeryadjaja dalam perusahaan yang dikenal sebagai Saratoga Group. Dan mereka berdua masuk daftar 40 orang terkaya Indonesia versi Majalah Forbes tadi.
Dengan kekayaan 1,6 milyar dollar, Edwin menduduki posisi 13. Sedang Sandiaga Uno memiliki 795 juta dollar berada di peringkat 27. Kekayaan Uno mengatasi pengusaha senior yang sudah punya nama besar seperti Muchtar Riady dari Group Lippo atau Ciputra yang dikenal sebagai Raja Real Estate Indonesia di zaman Orde Baru.
NEGARA RUGI LEBIH RP 1 TRILYUN
Tapi agaknya tak cuma Depo Balaraja yang mengaitkan Uno dengan kasus menyerempet hukum. Sudah lama terdengar dugaan penyelewengan di PT Telkom, perusahaan BUMN yang mengelola telekomunikasi Indonesia, yang merugikan negara trilyunan rupiah, dikenal sebagai kasus MGTI. Dan itu menyeret nama Uno mau pun patnernya Edwin.
MGTI (Mitra Global Telekomunikasi Indonesia) adalah perusahaan mitra PT Telkom dalam Kerja Sama Operasi (KSO) membangun jaringan telekomunikasi di Provinsi Jawa Tengah. Perusahaan itu dimiliki Satelindo bekerjasama dengan perusahaan telekomunikasi Australia, Telstra.
Mestinya baru di tahun 2010, seluruh proyek yang dibangun, dibiayai, dan dikelola MGTI itu diserahkan ke PT Telkom. Tapi karena krisis ekonomi 1998, ada pertimbangan proyek itu diserahkan lebih cepat dengan sistem kompensasi. Maka MGTI pada tahun 2003 menawarkan proyek itu ke PT Telkom seharga 266 juta dollar (sekitar Rp 2,4 trilyun). Tapi PT Telkom hanya menawar seharga 212 juta dollar. Terjadi selisih harga 54 juta dollar (hampir Rp 500 milyar). Negosiasi gagal.
Melalui perantara Sandiaga Uno, yang dikenal sebagai usahawan muda itu, kemudian MGTI bernegosiasi dengan ALBERTA, anak perusahaan SARATOGA Group milik Edwin Soeryadjaya. Pengusaha dari keluarga bekas pemilik Astra itu memang ‘’kuat’’ di Telkom. Buktinya, Aria West International, perusahaannya, adalah pemegang proyek KSO untuk Jawa Barat. Dan Edwin baru saja meraih Ernst and Young Award 2010, sebagai pengusaha berprestasi Indonesia.
Singkat cerita, Januari 2004, MGTI dan Alberta sepakat jual-beli proyek itu seharga 260 juta dollar. Kenapa mahal? Ternyata Alberta membayarnya lewat kredit dari Bank Mandiri dengan agunan proyek Telkom di Jawa Tengah yang dibangun MGTI itu. Kredit model begitu diperoleh Alberta berkat bantuan Bahana Sekuritas. Sampai di sini masalah mulai bermunculan.
Soalnya, dalam perjanjian KSO disebutkan MGTI boleh mengalihkan haknya kepada pihak lain, tapi dengan syarat pihak lain itu adalah operator telekomunikasi. Sedangkan Alberta tampaknya selain bukan perusahaan seperti itu, bidang usahanya pun tak jelas. Ini satu masalah.
Tapi masalah terbesar ketika pada saat itu juga PT Telkom membeli proyek itu dari Alberta dengan harga 390 juta dollar, atau lebih mahal 124 juta dollar (sekitar Rp 1,1 trilyun) dari harga yang dulu ditawarkan MGTI secara langsung kepada PT Telkom. Selain itu ada lagi masalah permainan dalam pembayaran pajak.
Tapi entah apa yang terjadi, walau sejak tahun 2007 kasus ini dilaporkan ke KPK oleh Serikat Karyawan Telkom, sampai sekarang perkaranya tak pernah sampai ke pengadilan. Malah, sejumlah pejabat Telkom, MGTI, atau ALBERTA, yang bertanggungjawab dalam kasus ini, belum pernah dipanggil atau diperiksa KPK. Padahal dari bukti-bukti yang ada diketahui kalau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga sudah mengauditnya dan menemukan semua ‘’permainan’’ itu.
Sekarang saatnya Ketua KPK yang baru, Busyro Muqoddas, membuktikan kepada masyarakat bahwa dia tak berkompromi dalam melawan korupsi, seperti dikatakannya setelah terpilih sebagai Ketua KPK belum lama ini. Bagaimana proyek MGTI bisa disulap jadi lebih mahal sehingga merugikan negara lebih Rp 1 trilyun, harus dibuat terang-benderang.[]

Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP