..::::::..

Gebrakan Ilmiah NU Pasuruan Bongkar Kebohongan Aktivis Gender

Jumat, 26 November 2004


RMI Pasuruan, Jawa Timur membongkar kebohongan 'Forum Kajian Kitab Kuning', atas penyelewengan buku berjudul “‘Uqud al-Lujayn’, karya Imam Nawawi al-Bantani. Baca CAP, Adian Husaini ke 79 Belum lama ini, (September 2004), Rabithatul Ma’ahid Islamiyah (RMI), Cabang Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menerbitkan sebuah buku berjudul “Menguak Kebatilan dan Kebohongan Sekte FK3”. RMI adalah organisasi ikatan Pondok Pesantren di bawah Naungan Organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Buku ini merupakan hasil kajian ilmiah Forum Kajian Islam Tradisional Pasuruan (FKIT), yang beranggotakan kyai-kyai muda dari berbagai pesantren, seperti Abdulhalim Mutamakkin, Muhibbul Aman Ali, HA Baihaqi Juri, M. Idrus Ramli, dan sebagainya.

Para kyai itu merasa resah dengan terbitnya sebuah buku berjudul “Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujayn’, karya Imam Nawawi al-Bantani, seorang ulama terkenal yang dijuluki ‘Sayyid Ulama Hijaz’. Maka mereka melakukan diskusi ilmiah intensif lebih dari 20 kali, dan hasilnya keluarlah sebuah buku ilmiah yang menarik ini. Tentu saja, aktivitas ilmiah ini sangat membanggakan, mengingat begitu besarnya perhatian para elite NU terhadap masalah-masalah politik, seputar pemilihan Presiden tahun 2004. Sebagai ‘ulama’ pewaris para Nabi, para kyai itu tampaknya tidak melupakan tugasnya untuk menjaga aqidah umat, di tengah situasi dan kondisi yang tidak terlalu mendukung perjuangan ilmiah mereka. Menyimak isi buku ini, bisa dikatakan, para kyai muda itu memiliki daya intelektual dan penguasaan literatur-literatur Islam yang cukup mendalam. Ratusan kitab-kitab klasik dikaji dan disajikan dengan baik dalam buku ini.

KH Abdulhalim Mutamakkin, Ketua RMI Kabupaten Pasuruan, dalam pengantarnya menyatakan, bahwa mengkritisi sebuah karya memang perbuatan yang terpuji dalam rangka mencari suatu kebenaran. Akan tetapi apabila dilakukan dengan cara dan tujuan yang tidak benar atau oleh orang yang tidak memiliki cukup ilmu untuk memahami karya yang bersangkutan, maka harus diluruskan. KH Ahmad Subadar, Rais Syuriah PCNU Kabupaten Pasuruan, menulis dalam pengantarnya, “Saya telah melihat dan membaca risalah ini, dan saya mengambil kesimpulan, bahwa risalah ini adalah benar-benar menegakkan ajaran Rasululah saw, dan meluruskan paham orang yang salah, melenceng dari tuntunan ulama’una al-salaf.

Telaah kritis para ulama Jawa Timur ini sungguh menyejukkan. Di tengah kegersangan situasi intelektual, mereka mau dan berani berbicara yang benar, mereka berani melawan arus besar, Gerakan yang mengatasnamakan kesetaraan gender, yang justru disebarkan oleh para elite NU sendiri. Apa yang mereka sebut sebagai “Sekte FK3” (Forum Kajian Kitab Kuning), yang melakukan tindakan kebatilan dan kebohongan, adalah orang-orang yang cukup terkenal di kalangan NU sendiri. Di situ ada nama Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Masdar F. Masudi, Husen Muhammad, Lies Marcus, dan sebagainya. Namun, para kyai dari kota kecil di Jawa Timur itu tidak gentar dan mampu membuktikan, bahwa buku yang diterbitkan oleh FK3, yang mengkritik kitab ‘Uqud al-Lujayn, adalah buku yang bertaburan dengan kebatilan dan kebohongan. Bagi kaum Muslimin yang tidak mempunyai kemampuan dan keakraban dalam membaca karya-karya klasik ulama Islam, memang bisa terpengaruh. Apalagi yang memang menginginkan masuknya paham kesetaraan gender ala Barat dalam masyarakat Islam.

Orang-orang yang membawa ideologi kesetaraan gender ke dalam pondok-pondok pesantren adalah juga orang-orang yang mempelajari kitab-kitab klasik dan mencantumkan rujukan mereka pada karya-karya klasik ulama Islam. Namun, melalui buku terbitan RMI Pasuruan ini, kebohongan dan kebatilan kelompok FK3 itu dibongkar satu persatu.

Misalnya, penilaian FK3 terhadap hadits “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Terhadap hadits ini, FK3 menulis: “jalur hadits ini dhaif sebagaimana ditetapkan oleh al-Sakhawi dalam Kitab “al-Maqashid al-Hasanah”. Pendapat itu dijernihkan oleh FKIT, dengan menyebutkan, bahwa al-Albani dalam “Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar al-Sabil” (hadits no 1269), menyatakan hadits itu sahih. Kata-kata Sakhawi juga dipotong. Aslinya merupakan ungkapan dari al-Munawi dalam Faidh al-Qadir, yang berbunyi: “Al-Sakhawi berkata, sanad hadits Ibnu Umar dhaif akan tetapi memiliki beberapa syahid. Ibnu Taimiyah berkata, sanadnya jayyid, dan Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari, sanadnya hasan.” FK3 memilih komentar al-Sakhawi karena menilai sanadnya dhaif, dan tidak ingin menggunakan hadits itu.

Contoh lain, adalah sebuah hadith tentang larangan berkhalwat (berudua-duaan) antara laki-laki dan wanita, yang dikatakan FK3 sebagai hadits dhaif. Padahal, ada hadits lain dengan makna yang sama yang sahih. Tetapi hal ini tidak disebutkan oleh FK3. Contoh lain adalah soal kepemimpinan laki-laki terhadap wanita, sesuai ayat 34 surat an-Nisa’: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.”

FK3 menulis komentar tentang ayat ini bahwa : “Mayoritas ulama fiqih dan tafsir berpendapat bahwa qiwamah (kepemimpinan) hanyalah terbatas pada laki-laki dan bukan pada perempuan, karena laki-laki memiliki keunggulan dalam mengatur, berfikir, kekuatan fisik dan mental. Kata-kata FK3 itu dikritik FKIT, dengan disebutkan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan diantara ulama fiqih dan tafsir tentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga termasuk dalam kepemimpinan negara (imamah). Masalah kepemimpinan laki-laki ini dibahas dengan panjang lebar dan tampak bahwa argumentasi FK3 atau aktivis kesetaraan gender, memang tidak kuat dan hanya dicocok-cocokkan dengan kemauan dan tujuan ideologi kesetaraan gender, yang belum tentu cocok dengan Islam.

Soal kepemimpinan laki-laki ini dihujat oleh FK3, dengan menyatakan, bahwa “di masa sekarang dalam bidang ekonomi atau sosial, banyak perempuan yang lebih unggul daripada laki-laki.”

Argumentasi FK3 ini sangatlah lemah, sebab sejak dulu, ada saja wanita yang lebih unggul dari laki-laki. Khadijah r.a. adalah seorang wanita bangsawan dan kaya raya dan banyak mempekerjakan laki-laki, termasuk Rasulullah saw, di masa mudanya. Siti Aisyah r.a., juga seorang wanita yang unggul dalam kepemimpinan dan intelektual, melebihi banyak kaum laki-laki di zaman itu. Belum lama ini terbit sebuah kitab fiqih hasil ijtihad ulama perempuan terkemuka, yaitu Aisyah r.a. berjudul “Mausu’ah Fiqh ‘Aisyah Ummu al-Mu’minin Hayatuha wa Fiqhuha”, setebal 733 halaman. Hasil ijtihad beliau sebagai seorang perempuan, tidak berbeda dengan hasil ijtihad para mujtahid laki-laki. Namum, seringkali tuduhan kepada para mujtahid dan fuqaha ditimpakan, bahwa fiqih didominasi oleh laki-laki, dan ajaran agama ditafsirkan berdasarkan kepentingan laki-laki.”

Demikianlah kajian FKIT Pasuruan yang perlu ditelaah dna didiskusikan lebih jauh, khususnya bagi kalangan NU, dan kaum Muslim pada umumnya. Sebab, saat ini begitu gencar serangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang dinilai para aktivis gender ala sekular-Barat tidak cocok dengan zaman. Tuduhan-tuduhan bahwa ajaran Islam banyak didominasi oleh kaum laki-laki, seperti datang bertubi-tubi, sehingga bantak yang kemudian meragukan ketulusan dan kecanggihan ijtihad para ulama terdahulu. Padahal, sepanjang sejarah Islam, begitu juga banyak diantara ulama-ulama Islam adalah wanita. Tetapi, mereka tidak pernah menggugat masalah kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, atau berbagai masalah yang dipersoalkan oleh aktivis kesetaraan gender, seperti sekarang ini. Kepemimpinan bukan hanya soal “hak”, tetapi juga tanggung jawab. Artinya, bagi laki-laki, tanggung jawab itu belaku di dunia dan akhirat. Dalam soal kepemimpinan negara pun, banyak rakyat yang lebih pintar dan mahir dalam kepemimpinan dari kepala negaranya. Oleh karena itu, seyogyanya, wanita memilih calon suaminya yang “sekufu” atau laki-laki yang memang mampu menjadi pemimpin. Bisa saja istri lebih pintar dari suaminya, tetapi hak kepemimpinan memang ada pada suaminya, termasuk hak talak. Pemimpin yang baik, pasti akan memanfaatkan kepintaran istrinya. Ini bukan masalah baru, sudah banyak rumah tangga yang sukses, meskipun istri lebih pandai dari suaminya, dan tetap ia menghormati kepemimpinan suaminya. Ini bukan soal tinggi atau rendah martabat sebagai manusia, tetapi adalah soal tanggung jawab dan pembagian tugas.

Masalah kesetaraan gender memang saat ini begitu menggejala dan menjadi proyek yang banyak menyediakan dana. Beberapa waktu lalu, Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama telah memproduksi legal draft Kompilasi Hukum Islam yang sangat kontroversial dan ‘ajaib’, yang tidak berpijak pada metodologi Islam, tetapi pada prinsip-prinsip kesetaraan gender, pluralisme, nasionalisme, dan sebagainya. Tanggal 25 Oktober 2004 lalu, Harian Kompas menurunkan tulisan seorang wanita aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, berjudul “Khatib Perempuan”. Tulisan itu menggugat, mengapa tidak ada khatib jumat atau salat tarawih yang perempuan. “Tak adakah kesempatan bagi dai perempuan untuk berkhotbah?" Dari sekian ribu masjid di Tanah Air, tulisnya, tak satu pun perempuan menjadi khatib. Satu-satunya perempuan yang ia dengar berani berkhotbah Jumat di hadapan pria adalah Prof Amina Wadud, sarjana Muslim terkemuka. Ia naik mimbar Masjid Claremont Main Road di Cape Town di Afrika Selatan.

Menurut dia, secara umum, khatib adalah orang yang menyampaikan ajaran agama atau khotbah sebelum shalat Jumat atau kegiatan keagamaan lain. Untuk itu, seorang khatib harus memiliki kecakapan dan pengetahuan agama yang baik. Dan kini yang memiliki kecakapan dan pengetahuan agama yang cukup tak hanya laki-laki. Terbukti, kini mubalig perempuan telah bermunculan. Sayangnya, mereka tetap tidak bisa menjadi khatib maupun iman shalat di masjid. Mereka hanya bisa menjadi khatib atau imam di rumah atau pelbagai majelis taklim di kalangan perempuan sendiri.

Jelaslah, kata wanita ini, perempuan tidak boleh berkhotbah di masjid bukanlah karena ketidakmampuan mereka. Dalil-dalil yang menolak perempuan untuk berkhotbah “harus dipahami secara kontekstual, sesuai dengan situasi dan kondisi budaya saat dalil itu dikemukakan, sebab prinsip utama dalam Islam adalah musawah, hak yang sama antara laki-laki dan perempuan, tidak mengenal pembatasan dan diskriminasi dalam pelaksanaan ibadah.”

Kata dia: “Kala situasi sekarang berbeda dengan dulu, keamanan telah sepenuhnya dijamin, dai-dai perempuan pun bermunculan, masihkah kita tidak mau memberi kesempatan bagi perempuan untuk berkhotbah atau memimpin shalat di masjid? Barangkali di antara kita belum ada yang berani tampil seperti Prof Amina Wadud. Namun, setidaknya kita berani bertanya dalam diri kita: apa yang sebenarnya kita takutkan dan apa yang kita pertahanankan jika perempuan bicara di masjid? Apakah ada yang akan merasa bakal kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin agama dalam masyarakat? Ataukah rasa maskulinitas kita sedang terancam?”

Wanita ini sedang menampilkan dirinya sebagai ‘mujtahid’ yang merasa lebih hebat dari ribuan ulama, termasuk ulama-ulama wanita, seperti Sayyidah Aisyah r.a. Sepanjang 1500 tahun, dan di belahan dunia mana pun, ulama Islam tidak pernah berpikir semacam ini. Jika fiqih dipengaruhi oleh waktu dan tempat atau budaya, di mana-mana kaum Muslim selama ribuan tahun punya pendapat yang sama tentang banyak masalah fiqih. Tentu ada perbedaan, tetapi bukan karena perbedaan budaya. Lalu, apakah yang dimaksud dengan musawat? Apakah itu berarti persamaan dalam segala hal antara laki-laki dan wanita? Jika si wanita ini merasa mampu dan berhak menjadi khatib Jumat, apakah dia mau hukum salat Jumat juga wajib baginya? Apakah si wanita ini lalu merasa menjadi terhormat jika dapat berkhotbah Jumat?

Tanpa dia sadari, atau mungkin dia sadari, si wanita yang mengaku dari aktivis organisasi intelektual Islam ini, sebenarnya sedang membongkar agamanya sendiri. Dengan dalil “musawat” dia bisa membongkar apa aja yang dikehendaki, yang penting sama dengan laki-laki. Dia bisa menuntut hak talak, karena perempuan juga bisa mentalak suaminya. Wanita juga bisa menuntut untuk masuk masjid, meskipu sedang haid, karena sekarang sudah ada pembalut wanita yang mampu menahan ceceran darah. Di masa turunnya ayat, pembalut wanita belum ada. Wanita juga bisa mencari nafkah dan menjadi kepala keluarga. Wanita juga tidak harus melahirkan dan menyusui anaknya, karena dia bisa menyewa orang lain untuk melahirkan dan menyusui anaknya. Kelebihan seperti dalam surat an-Nisa ayat 34, menurut mereka, bukan kelebihan berdasarkan jenis kelamin.

Inilah pemahaman yang keliru. Secara umum, hingga kini, dalam soal fisik saja, laki-laki memang lebih unggul dari perempuan. Meskipun secara perseorangan, banyak wanita lebih unggul dan lebih kuat secara fisik. Bisa dipastikan, juara tinju dunia kelas berat wanita, Lamya Ali, misalnya, lebih kuat pukulannya dan akan menang bertinju melawan Komar, pelawak yang kini menjadi anggota DPR. Banyak wanita jago angkat besi atau bela diri yang mungkin saja lebih kuat fisiknya ketimbang suaminya. Tetapi, secara umum, tetap saja laki-laki lebih kuat. Para aktivis kesetaraan gender sebenarnya mengakui hal ini. Maka mereka tidak memprotes, bahwa dalam bidang olah raga, kaum wanita sebenarnya telah didiskriminasi dan diperhinakan dengan sadis, dengan dibeda-bedakan kelompok pertandingannya dengan laki-laki. Jika para aktivis kesetaraan gender ini konsisten, maka mereka harusnya memprotes hal itu, dan menuntut, agar tidak ada lagi pembedaan pertandingan tinju laki-laki dan tinju wanita, angkat besi laki-laki dan angkat besi wanita, sepakbola laki-laki dan perempuan, gulat laki-laki dan gulat wanita, bulu tangkis laki-laki dan wanita, dan sebagainya.

Para aktivis kesetaraan gender ini tidak menuding, bahwa olimpiade, Sea-games, dan sebagianya, adalah rekayasa kaum laki-laki, yang mendiskriminasi wanita, karena memperlakukan wanita sebagai makhluk lemah. Nyatanya, aktivis kesetaraan gender hanya berani menuduh-nuduh para ulama, para fuqaha, bahwa mereka merakayasa hukum agama untuk kepentingan laki-laki. Tuduhan yang sebenarnya sangat jahat, karena dilakukan serampangan. Pada 21 November 2004, seorang yang mengaku aktivis liberal, menulis di Harian Jawa Pos, bahwa ada seorang wanita, bernama Maryam Mirza, yang melakukan khotbah shalat Id, di Amerika Serikat. Penulis ini sangat bangga bahwa ada wanita bisa khotbah Id, sehingga ia puji habis-habisan, dengan kata-katanya berikut:

“Penampilan Maryam Mirza memang bahkan bisa dikatakan "revolusioner" - bukan hanya buat Muslim Amerika, tapi untuk seluruh dunia Islam. Kesetaraan gender dalam Islam memang terlalu banyak dikatakan dan terlalu sedikit dilaksanakan... Mudah-mudahan pada Idul Fitri tahun depan, kita di Indonesia - kalaupun mustahil diharap di Arab Saudi -- pun bisa menikmati tampilnya khatib perempuan dalam salat Id. Jika Maryam Mirza bisa, seperti kata jamaah salat Id di Washington itu, tentu para perempuan Muslim lain di mana pun bisa.”

Memang, banyak wanita yang mampu menjadi khatib. Tetapi, ironis sekali cara berpikir seperti ini, bahwa wanita menjadi khatib Id dibanggakan, hanya karena “WTS” (Waton Suloyo/asal beda dengan yang lain). Jangankan menjadi khatib, sekarang pun banyak wanita Muslimah yang bisa membuat pesawat terbang dan menjadi cendekiawan-cendekiawan unggul, tanpa perlu menjadi khatib Id. Apa yang perlu dibanggakan dengan hal semacam ini? Sepanjang sejarah Islam, banyak wanita menjadi pejuang unggul, tanpa perlu menuntut menjadi khatib. Cut Nya’ Din, tetap dihormati dan dipuji sebagai pahlawan. Cut Mutiah, namanya tetap harum. Mereka tidak berbuat hal yang aneh-aneh untuk menjadi terkenal. Kalau si penulis artikel itu ingin ada wanita jadi khatib shalat Id di Indonesia, biarlah istrinya sendiri, yang jadi imam salat baginya, dan jadi khatib untuk keluarganya sendiri. Biarlah dia memberi contoh, untuk dirinya sendiri, dan mempertanggung jawabkannya kepada Allah SWT di Hari Akhirat nanti. Ibnu al-Mundzir, dalam Kitab al-Ijma’, (hal. 44) menjelaskan, bahwa soal imam dan khatib ini sudah merupakan ijma’ di kalangan sahabat. Para Ulama Islam pun tidak pernah berbeda dalam soal ini.

Wallahu a’lam.

(KL, 25 November 2004).







Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP