..::::::..

Pluralisme Agama versi ICIP

Oleh: Adian Husaini

Pada Kamis (8/5/2008), seseorang datang ke rumah saya membawa sejumlah buku dan majalah terbitan International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Majalah terbitan ICIP adalah AL-WASATHIYYAH. Pada edisi No 11/2008, majalah ini masih membawa moto: “Meneguhkan Persaudaraan, Menghormati Keragaman.” AL-WASATHIYYAH menyatakan dirinya sebagai ”media yang diterbitkan untuk pencerahan dan peningkatan wawasan mengenai agama, budaya, dan sosial di kalangan pesantren.”

ICIP memang salah satu LSM yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama di pondok-pondok pesantren. Selain paham Pluralisme Agama, sebagaimana LSM-LSM pengecer paham liberal di Indonesia, ICIP juga aktif menyebarkan paham kesetaraan gender. Pada edisi No.02/2006, AL-WASATHIYYAH membantah bahwa pihaknya menyebarkan paham Pluralisme Agama, seperti yang diharamkan MUI. Katanya, yang disebarkan ICIP adalah “Pluralisme mu’amalah”, yakni pluralisme yang mengakui keragaman agama, yang berhubungan dengan tata pergaulan kemasyarakatan.

Di majalah ini juga dikutip ucapan seorang Kyai di Jawa Barat yang diwawancara AL-WASATHIYYAH dan menyatakan: ”Makanya, ICIP di sini ada Islam dan pluralisme, saya yakin pluralisme di sini adalah pluralisme yang mu’amalah atau mengakui keragaman agama.” Bahkan, sang kyai menasehati Direktur ICIP, Dr. Syafii Anwar, agar tidak menanggapi tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada ICIP. Dalam artikelnya di majalah ini, Dr. Syafii Anwar menulis: ”Karenanya, saya berpendapat bahwa pluralisme agama bukan sinkretisme agama yang punya tendensi ke arah relativisme yang mengarah pada penyamaan dan pembenaran semua agama.” Juga dikatakannya, “Mereka yang concern dengan pluralisme yang benar tidak pernah merelatifkan ajaran agama masing-masing. Mereka tentu mempercayai kebenaran agamanya sendiri.”

Dari definisi Pluralisme Agama versi Syafii Anwar tersebut, tampak tidak ada masalah dengan urusan aqidah. Tetapi, benarkah ICIP konsisten menganut paham pluralisme versi tersebut? Jika kita telaah sejumlah artikel di AL-WASATHIYYAH dan buku-buku terbitan ICIP, tampak bahwa definisi Pluralisme Agama versi Syafii Anwar tersebut merupakan klaim yang tidak berdasar. Bahkan, di dalam artikel itu sendiri, sejumlah argumentasi yang disajikan juga tidak benar. Misalnya, disebutkan bahwa: ”Dalam Al-Quran tidak ada satu ayat pun yang menyatakan akan menghapuskan kitab-kitab umat lain yang pernah diwahyukan sebelumnya, tetapi hanya mengafirmasi validitasnya.”

Tentu saja, pernyataan itu sangat tidak berdasar. Begitu banyak ayat Al-Quran yang menyebutkan bahwa kaum Yahudi sudah mengubah-ubah kitab mereka. (mis: QS 2:59, 75, 79, dsb.). Jadi, Al-Quran bukan hanya mengafirmasi (menegaskan) keabsahan kitab-kitab terdahulu, tetapi Al-Quran juga menjelaskan bahwa kitab-kitab sebelum Al-Quran sudah diubah-ubah oleh para pemuka agama mereka, sehingga tidak jelas lagi mana yang asli dan mana yang tambahan.

Gagasan Pluralisme ala ICIP juga bisa dilihat dalam salah satu buku terbitannya yang berjudul ”Modul Islam dan Multikulturalisme” (cetakan I, Maret 2008). Ditulis dalam buku ini: ”Sebagai sebuah gagasan, multikulturalisme dan juga pluralisme bukan hanya toleransi moral ataupun kebersamaan yang pasif semata, melainkan sebuah kesediaan untuk melindungi dan mengakui kesetaraan dan rasa persaudaraan di antara sesama manusia, terlepas dari adanya perbedaan asal usul etnis, keyakinan, kepercayaan dan agama yang dianut.”

Pluralisme ala ICIP seperti itu jelas tidak benar. Sebab, seorang Muslim tidak mungkin membangun persaudaraan dengan manusia lain tanpa memandang faktor agama. Kerancuan pemikiran keagamaan ICIP bisa dilihat juga dalam mendefinisikan sejumlah istilah kunci dalam Islam, seperti ”Islam”, ”kafir”, dan ”musyrik”. Ditulis dalam buku ini, misalnya:

”Tradisi Yahudi, Nasrani, dan ahli kitab yang lain, seluruhnya memiliki kelompok kafir dan musyrik tersendiri. Sering terjadi kesalahpahaman di antara kita bahwa kekafiran dan kemusyrikan hanya terjadi pada umat Muhammad saja. Sebenarnya kekafiran dan kemusyrikan ada dalam seluruh tradisi Ibrahim dan agama-agama yang merupakan derivasi dari tradisi tersebut. Hal ini perlu ditandaskan di sini agar tidak terjadi penyempitan makna atas kedua istilah tersebut yang selama ini disempitkan untuk konteks Islam saja. Dari gambaran di atas, maka kesimpulan yang bisa diambil di sini adalah Islam merupakan sistem keyakinan yang terbuka.” (hal. 8).

Dalam sejumlah diskusi, pemahaman Islam seperti ICIP ini beberapa kali terungkap. Menurut mereka, Yahudi dan Nasrani bukanlah kafir, tetapi pada masing-masing agama ada yang beriman dan ada yang kafir. Jadi, di kalangan Muslim, ada yang beriman dan ada yang kafir. Begitu juga dalam Yahudi dan Kristen, ada yang beriman dan ada yang kafir. Logika seperti ini tentu menggelikan, sebab begitu banyak ayat-ayat Al-Quran yang secara tegas menyebut, bahwa kaum Ahlul Kitab adalah termasuk kategori kafir. (QS 98).

Sebagaimana berbagai kelompok liberal lainnya, ICIP juga menyebarkan gagasan untuk membongkar ajaran-ajaran Islam, termasuk hal-hal yang sudah qath’iy. Ditulis dalam buku ini: ”Terkesan dari sini bahwa semua ajaran Islam pada dasarnya adalah bisa dijtihadkan kembali tak terkecuali ajaran-ajaran yang bersifat qath’iy tersebut di atas.” (hal. 24).

Pandangan dan sikap ICIP terhadap Pluralisme Agama bisa dilihat jelas pada buku yang diterbitkannya, yaitu ”Interfaith Theology: Responses of Progressive Indonesian Muslims” (Diterbitkan atas dukungan dari The Asia Foundation, 2006). Tim penulis buku ini adalah: Zainun Kamal, Nurcholish Madjid, Masdar F. Mas’udi, Komaruddin Hidayat, Budhy Munawar Rachman, Kautsar Azhary Noer, Zuhairy Misrawi, dan Ahmad Gaus AF. Buku ini merupakan edisi Bahasa Inggris dari buku Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004).

Melihat isinya, buku Fiqih Lintas Agama adalah buku yang secara mendasar membongkar konsep Islam di bidang aqidah dan syariah, khususnya yang berkaitan dengan hubungan Islam dengan pemeluk agama lain. Membaca buku ini, kita menemukan banyak kesalahan, kerancuan epistemologis, dan logika-logika yang rancu. Bisa jadi, itu tidak disengaja (karena ketidaktahuan) atau mungkin karena memang disengaja untuk menutupi jalan kebenaran. Misalnya, ditulis: “Segi persamaan yang sangat asasi antara semua kitab suci adalah ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.” (hal. 55).

Kita bertanya, benarkah semua kitab suci mengandung ajaran seperti itu? Berapa kitab suci yang sudah diteliti? Lebih kacau lagi, pernyataan berikut ini: “Sekalipun kaum Ahli Kitab – kecuali yang berbahasa Arab – tidak menggunakan perkataan “Allah: untuk objek sesembahan mereka, Al-Quran menyebutkan bahwa konsep Ketuhanan dalam kitab suci mereka sama dengan yang ada dalam Al-Quran. Hal itu menunjukkan bahwa dalam pengertian yang benar tentang Tuhan, masalah nama bukanlah hal yang asasi; yang asasi ialah pengertiannya.” (Edisi Bahasa Indonesia, hal. 56).

Tentu saja pernyataan dalam buku tersebut ”asbun”, alias tidak berdasar sama sekali. Konsep ketuhanan dalam Al-Quran jelas berbeda dengan konsep ketuhanan dalam Bibel Yahudi atau Kristen. Juga berbeda dengan konsep ketuhanan dalam kitab agama-agama lain. Al-Quran banyak mengritik konsep ketuhanan kaum Kristen (Lihat, misalnya, QS 5:72-75, 19:88-91). Di sinilah, kita melihat kacaunya logika ICIP yang terlalu memaksakan diri untuk “menyama-nyamakan” konsep ketuhanan agama-agama, yang jelas-jelas berbeda.

Buku ini juga menulis: “Bagi orang-orang Muslim pluralis sejati, (yang percaya bahwa semua agama, meskipun dengan jalan masing-masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir, Yang Riil), meminta doa kepada orang-orang non-Muslim adalah mungkin dan, karena itu, tidak terlarang.” (Ibid, hal. 103).

Jadi, tampaknya, itulah definisi Pluralis sejati, seperti disebarkan ICIP. Yakni, semua agama, agama apa pun – tentunya dengan konsep Tuhannya yang sangat beragam dan tata cara ibadah yang beragam pula – adalah menuju Tuhan yang sama. Inilah sebuah konsep Pluralisme yang disebut sebagai “Kesatuan Transenden Agama-agama”. Dalam konsep ini tidak ada agama yang dianggap sesat atau salah. Mau shalat cara Islam, atau sembahyang gaya Lia Eden atau agama Gatholoco, semuanya dipandang sama-sama akan menuju kepada Tuhan yang sama.

Karena itulah, kaum Pluralis ini tidak mempersoalkan nama Tuhan (Ibid, hal. 56). Padahal, nama Tuhan, bagi kaum Muslim adalah berdasarkan wahyu, bukan berdasar konsensus, tradisi budaya, atau spekulasi akal. Hingga kini, umat Islam tidak berselisih paham soal nama Tuhan. Di mana pun juga dan kapan pun juga, umat Islam mengucapkan nama Tuhan mereka, dengan lafaz yang sama.

Walhasil, jika kita telaah buku-buku terbitan ICIP, kita akan melihat konsep keimanan, keislaman, dan juga konsep ketuhanan yang amburadul. Dalam hal ini, jelas konsep Pluralisme yang disebarkan oleh ICIP tidak berbeda dengan para pengecer ide liberal lainnya di Indonesia. Jadi, jelas tidak benar, jika konsep Pluralisme ICIP adalah sekedar ”Pluralisme mu’amalah”. Bacalan buku-buku penerbitan ICIP, akan tampak bagaimana konsep lembaga ini tentang Pluralisme.

Melalui buku Fiqih Lintas Agama (Interfaith Theology) ini pula, kita bisa melihat semangat ICIP untuk membongkar bangunan konsep ushul fiqih yang dibangun oleh Imam Syafii. Seperti beberapa kali kita kutip dalam CAP, buku ini menulis:

“Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, Imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad.” (Ibid, hal. 5).

Tentu saja, Imam Syafii dan kaum Muslim pada umumnya, tidak ingin membongkar ajaran Islam, seperti yang dilakukan ICIP dan kaum liberal lainnya. Kelompok-kelompok ini sama sekali tidak memiliki bangunan epistemologi keilmuan yang kokoh dalam bidang fiqih, tetapi dengan angkuhnya sudah melecehkan ulama besar seperti Imam Syafii. Jika konsep dasar Ilmu Fiqih dibongkar, maka langkah berikutnya adalah membongkar hukum-hukum Islam dalam masalah hubungan antar-agama. Misalnya, hukum tentang perkawinan wanita Muslimah dengan lelaki non-Muslim. Ditulis dalam buku ini:

“Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.” (Ibid, hal. 164).

Lebih jauh, soal nikah beda agama dikatakan dalam buku ini: ”Dan pernikahan beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat. Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (al-rahmah). Di tengah rentannya hubungan antar agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.” (Ibid, hal. 164).

Setiap muslim yang masih memegang nilai-nilai tauhid, tentu dengan mudah menolak ide-ide jahat dari buku Fiqih Lintas Agama yang kemudian diterbitkan oleh ICIP dalam versi bahasa Inggrisnya dengan judul menawan: ”Interfaith Theology”. Kita bertanya, inikah yang dimaksud sebagai ”pluralisme mu’amalah” oleh ICIP? Selama ini, sudah banyak yang mengingatkan, bahwa buku Fiqih Lintas Agama adalah buku yang sangat merusak Islam. Tetapi, mereka bukannya mau mendengar semua nasehat dan kritik. Justru kemudian, ICIP menyebarluaskan buku ini dalam edisi bahasa Inggrisnya.

Penerbitan buku Fiqih Lintas Agama edisi bahasa Inggris – kabarnya juga sedang dipersiapkan edisi bahasa Arabnya – oleh ICIP, perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius bagi umat Islam. Mengapa? Sebab, ICIP adalah lembaga yang aktif memasukkan ajaran-ajaran Pluralisme Agama ke pondok-pondok pesantren. Dengan sokongan dana puluhan milyar rupiah dari lembaga-lembaga asing seperti Ford Foundation, The Asia Foundation, dan sebagainya, ICIP sering membuat acara-acara dan program ”pembinaan” Pondok Pesantren.

Selama ini, ICIP aktif berkampanye di pesantren-pesantren, bahwa paham Pluralisme Agama yang mereka sebarkan adalah berbeda dengan yang diharamkan oleh MUI. Bahkan, kata mereka, MUI telah keliru mendefinisikan Pluralisme. Menurut klaim majalah AL-WASATHIYYAH, sebagian besar pengasuh pesantren yang menjadi peserta pelatihan-pelatihan ICIP justru mendukung program ICIP dan tidak mempersoalkan paham Pluralisme Agama gaya ICIP.

Jika menengok jajaran Board of Directors ICIP, memang terpampang nama-nama yang sudah dikenal sebagai penyebar paham liberal dan Pluralisme Agama, seperti Moeslim Abdurrahman, PhD (Director Syafii Maarif Institute), Prof. Dr. Musdah Mulia (Prof. of Islamic Studies, Post-Graduate of Syarif Hidayatullah State Islamic University), dan Ulil Abshar Abdalla.

Fenomena ICIP dan pondok pesantren ini menunjukkan bahwa setelah 3 tahun Fatwa MUI tentang Pluralisme Agama dikeluarkan (2005), ternyata penyebaran paham Pluralisme Agama masih terus dilakukan dengan gencar di kalangan umat Islam. Bahkan, paham ini secara sistematis terus disebarkan ke jantung-jantung pertahanan umat Islam, seperti Pondok Pesantren.

Sebagai penutup catatan ini, marilah kita renungkan firman Allah yang maknanya:

”Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS 6:112).

(Depok, 2 Jumadilawwal 1429 H/8 Mei 2008/www.hidayatullah.com]

Jika ada pertanyaan, langsung kirim aja ke 0411-9303899 (esia) atau irmbf@yahoo.com



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP