..::::::..

Hikmah di balik pernkahan ummul mukminin Khadijah

Khadijah adalah sosok yang paling pertama dari kalangan wanita, yang menyatakan keimanannya kepada Allah SWT dan Rasul-NYA, tanpa ragu, tanpa hambatan dan tanpa banyak tanya. Bahkan Khadijah justru memberikan support moral kepada Rasulullah suami tercinta bahwa apa yang telah diterimanya berupa wahyu adalah sebuah kebenaran yang tak perlu diragukan lagi.


Rasulullah SAW di dalam sebuah haditsnya menempatkan Khadijah sebagai wanita terbaik selain Maryam binti Imran, sebagaimana Ali bin Abu Thalib meriwayatkan, bahwasanya Ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : "Khairu Nisaa'iha Maryam binti Imran, wa khairu Nisa'iha Khadijah binti Khuwailid", Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid (HR. Muslim)

Sedangkan di mata orang-orang beriman, Khadijah adalah Ibunda mereka yang pertama, gelar Ummul Mu'minin meskipun disandang oleh Istri-Istri nabi yang lain seperti Aisyah, Hafsah, Ummu Salamah dll . tetapi tidak ada satupun yang dapat mengungguli peran dan jasa Khadijah dalam dakwah, betapa-pun Aisyah RA mempunyai banyak kelebihan, keutamaan tetap ada pada Khadijah, karena ia adalah pelopor dalam sikap keimanan yang tulus, wanita pertama yang memberikan pelajaran keimanan kepada sesama kaumnya, pelopor hanya ada satu dalam sejarah, dan keutamaan hanya diperuntukkan bagi sang pelopor, sebagaimana adagium mengatakan ; "Al-Fadhlu lil mubtadi wa in ahsanal muqtadi", keutamaan itu bagi orang yang memulai (memelopori), walaupun yang datang sesudahnya lebih baik darinya.

Kepeloporan Khadijah perlu dijadikan bahan renungan dan pelajaran, khususnya bagi wanita muslimah, banyak teladan yang dapat diambil darinya, keteladanan sebagai seorang istri pendamping setia sang suami, keteladanan sebagai seorang Ibu, pendidik yang solihat bagi anak-anaknya, sehingga kesalehan itu tidak tampak hanya pada dirinya, tetapi juga tertular kepada anak-anaknya, khususnya anak perempuannya Fatimah Azzahra RA. Di Indonesia juga dikenal pelopor pejuang wanita, R.A. Kartini namanya, tanpa bermaksud mengecilkan peran dan jasanya terhadap amal kemanusiaan, terutama usahanya mengangkat derajat kaum wanita Indonesia agar mendapatkan hak yang sama di bidang pendidikan dan pengajaran, namun yang diperjuangkan Kartini baru hanya sebatas pencapaian kesalehan duniawi, sedangkan kasalehan ukhrawi nyaris tidak menjadi fokus perjuangannya. Karenanya Ironis bila Kartini sedemikian besar citranya di mata umat Islam di Indonesia, sementara nama Khadijah seakan tenggelam begitu saja, liputan dari ingatan dan memori umat Islam, padahal citra dan jasanya jauh lebih besar.

Sedangkan Khadijah mengajarkan keduanya sekaligus, kesalehan duniawi dan kesalehan ukhrawi. Kesalehan duniawi Ia tunjukkan dengan status dirinya sebagai "The Women Interpreneur" Saudagar wanita atau "The Women carrier", Wanita karir yang menuntut keterampilan dan etos kerja yang tinggi untuk dapat memenuhi kebutuhan dirinya agar tidak menjadi beban bagi orang lain, juga agar tidak menjulurkan tangannya di bawah mengharapkan belas kasihan orang lain. Sedangkan kesalehan ukhrawi ia tunjukkan dengan kekaffahan dirinya menerima Islam, tidak setengah-setengah, tidak parsial, mengerjakan yang satu dan meninggalkan yang lainnya seperti kebanyakan wanita yang nota bene mengaku beragama Islam dewasa ini. Oleh karena itu Khadijah betapa-pun predikat yang disandangnya sebagai wanita karir, tetapi Ia tidak pernah mengorbankan harga diri dan kehormatannya, apalagi sampai menjadi objek eksploitasi duniawi yang menodai fitrahnya. Hal itu dikarena kan Khadijah menjaga agar dunia yang digelutinya tidak menjadi musibah bagi agamanya, lain halnya dengan kebanyakan wanita karir dewasa ini, apakah ia seorang sekretaris, Public Relation, Pramuniaga, Sales, Artis, Penyanyi, meskipun nota bene mereka mengaku sebagi orang Islam, tetapi yang terjadi seringkali begitu saja mereka menganggap enteng rambu-rambu syari'ah dan cenderung menjual agamanya dengan kemewahan dunia. Wal'Iadzu billah.


Perkawinan Khadijah

Seperti yang digambarkan di atas, Khadijah bukanlah tipe wanita yang menganut paham permisivisme, serba boleh, serba dianggap lumrah dan wajar, sebagaimana sikap yang berkembang selama ini, akan tetapi Khadijah adalah sosok wanita yang sangat menjaga kehormatannya. Perkawinannya dengan Nabi Muhammad terjaga dan terpelihara dari unsur-unsur yang mengotori jiwa, merusak hati dan keikhlasan, yang prosesnya dengan izin Allah berlangsung secara alamiah, yaitu ketika Khadijah mendengar tentang pribadi Rasulullah SAW, yang terkenal dengan kejujuran, amanah dan kemuliaan akhlaknya, maka Khadijah mencoba menawarkan kepadanya untuk membawa barang dagangannya ke Negeri Syam dengan perjanjian mudharabah yang lazim dilakukan oleh Khadijah RA dalam menjalankan praktek Bisnisnya.

Selain memberikan barang dagangannya kepada Muhammad, Khadijah juga menyertai seorang pembantunya bernama Maisaroh, sebagai pemandu dan teman di perjalanan, hal ini barangkali di maksudkan agar Khadijah lebih banyak lagi menyerap Informasi tentang pribadi nabi Muhammad SAW selama membawa barang dagangannya ke negeri Syam.

Sepulangnya dari Syam, Khadijah banyak mendapatkan Informasi mengenai nabi Muhammad dari pembantunya Maisaroh, maka Khadijah yang sudah lama menjanda langsung menyatakan keinginannya melalui surat yang dibawa oleh Maisaroh dan di dalam surat tersebut Khadijah menyatakan simpatinya kepada Muhammad SAW dan menawarkan dirinya untuk dipersunting olehnya. Setelah mendapatkan surat itu, beliau segera menghubungi paman-pamannya, dan ternyata mereka menyambut baik, dan pergilah Rasulullah SAW bersama pamannya Hamzah bin Abdul Mutthalib menjumpai Khuwailid bin Asad orang tua Khadijah, untuk melamarnya dan langsung menikahkannya dengan mas kawin 20 ekor onta. Dengan demikian Khadijah adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Nabi Muhammad, dan tidak pernah menikah lagi dengan wanita lainnya sampai Khadijah meninggal dunia.


Pelajaran dan Nasehat

Meskipun perkawinan antara Muhammad SAW dengan Khadijah RA, berlangsung pada saat beliau belum diutus menjadi Rasul Allah, di mana pada waktu itu usia beliau baru 25 tahun dan Khadijah 40 tahun, itu artinya 15 tahun sebelum turunnya wahyu, namun perkawinan Muhammad SAW dengan Khadijah RA tetap mengandung banyak pelajaran dan nasihat, bahkan proses dan prosedur pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah RA kemudian dibakukan dalam syariat Islam, seperti ta'aruf, khutbah, mahar, akad nikah dengan segala adab dan tata cara yang tidak menyimpang dari ketentuan Islam.

Pertanyaannya adalah mengapa pada saat pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah RA, yang pada saat itu belum turun wahyu dan syariat Islam kepada beliau, tetapi proses dan prosedur pernikahannya ternyata sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Islam setelah beliau diutus menjadi Rasulullah. Itu artinya Nabi Muhammad SAW benar-banar ma'shum, terjaga dan terpelihara dari segala delik yang dapat mengurangi citra dan kredibilitasnya sebagai utusan Allah SWT. Oleh karenanya meskipun perkawinan beliau wahyu Allah belum turun pada saat itu , tetap perkawinannya adalah teladan dan ajaran yang harus dicontoh oleh umatnya, karena hal itu merupakan bagian dari kehendak dan skenario Allah SWT menjadikan beliau ma'shum, terpelihara dan terjaga dari maksiat dan dosa. Ternyata proses pernikahan yang ma'shum bukan hanya dialami oleh Rasulullah saja tapi juga di alami oleh para nabi dan Rasul sebelumnya, seperti antara nabi Musa dengan salah seoarang putri nabi Syuaib A.S. (Lihat QS Al-Qashash : 22 - 27)


Adapun beberapa pelajaran yang penting untuk dijadikan nasihat, khususnya bagi umat Islam yang tanpa disadari sekarang ini telah banyak menyimpang dari proses dan prosedur pernikahan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, di antara pelajaran dan nasihat yang dapat diambil dari perkawinan Muhammad SAW dengn Khadijah RA adalah :

Pertama, Niat ikhlas karena Allah SWT. Rasulullah sebagai seorang pemuda pada saat itu juga menjaga kehormatannya, keikhlasannya, dan kebersihan hatinya untuk tidak terkotori oleh karena interaksi dengan lawan jenis, bahwa Rasulullah pada saat itu murni niat dan motivasinya adalah berdagang, tidak lebih dari itu, sebagaimana Nabi Musa A.S. yang ikhlas bekerja membantu meminumkan ternak dua orang wanita yang tengah menggembalakan kambingnya, lalu setelah selesai membantunya seakan begitu saja melupakan jasanya, lalu mencari tempat berteduh seraya berdo'a kepada Allah SWT : "Rabbi innii lima anzalta ilayya min khairin faqiir" , ya Allah sesungguhnya aku sangatlah butuh terhadap apa yang Engkau berikan kepadaku berupa kebaikan. (QS. 28 : 24). Barangkali di zaman sekarang sedikit saja seorang merasa berjasa telah menolong seorang gadis, bisa jadi langsung berlanjut pada hubungan yang dimana orang itu kemudian menjadikan gadis tadi sebagai kekasih atau pacarnya. Rasullullah SAW dan nabi Musa bersih dari kecenderungan dosa dan maksiat seperti itu.

Kedua, Tidak ada pacaran dalam Islam, hal itu jelas dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam proses perkawinannya dengan Khadijah, dan Nabi Musa AS dalam perkawinannya dengan salah seorang putri nabi Syuaib AS, jelas tidak ada unsur pacaran, yaitu hubungan bebas ataupun semi bebas antara laki-laki dan wanita yang belum diresmikan melalui akad pernikahan, seperti berkhalwat atau berdua-dua-an baik di jalan maupun di satu ruangan, berkomunikasi, atau bercanda yang mengakibatkan maksiat dan kotornya hati (QS Al-Ahzab : 32), dan sebagainya. Oleh karena itu yang ada dalam proses ajaran Islam, kaitannya dengan proses dan prosedur menjalin hubungan yang halal dalam pandangan Allah SWT, adalah berusaha melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika memproses pernikahannya dengan Khadijah RA, yaitu pertama diawali dengan berusaha mengenali calon suami atau isterinya dengan informasi dari orang terdekat, lalu melakukan penjajagan dengan mediator atau perantara sebagaimana yang dilakukan Khadijah RA dengan Maisaroh, sejauh mana calon yang dimaksud memberi isarat untuk menerima, ketika sudah ada isarat dari calon yang dijajaginya, maka proses selanjutnya bisa dilangsungkan khitbah, bahkan setelah khitbah secara resmi diterima, bisa dilangsungkan dengan akad nikah. Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Kalaupun ada jeda atau interval setelah khitbah, hal itu hanyalah dimaksudkan untuk melakukan persiapan-persiapan sewajarnya untuk segera melaksanakan pernikahan, agar hubungan kedua lawan jenis lebih cepat memperoleh sertifikat kehalalannya. Oleh karenanya mengikat hubungan hanya dengan ikatan tukar cincin, seperti yang banyak ditradisikan oleh orang di zaman sekarang ini, sementara rencana pernikahannya masih sangat jauh waktunya, mungkin bisa setahun dua tahun lagi, maka hal seperti itu tidak ada rujukannya dalam syariat dan tidak ada contohnya dalam sunah Rasulullah SAW.

Ketiga, tidak menjadi aib bila wanita menawarkan dirinya untuk dinikahi, tentu saja dengan sarat tidak mengorbankan harga diri, misalnya langsung berkata kepada orangnya, tetapi meminta bantuan orang lain untuk menyampaikannya seperti yang dilakukan Khadijah RA melalui Maisaroh, dan penawarannya juga benar-benar dilandasi oleh keyakinan bahwa orang yang ditawari itu akan mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat, bukan karena dilandasi oleh hawa nafsu dan tujuan-tujuan rendah duniawi. Tentu saja hal itu sangat jarang terjadi pada diri seorang wanita, kalaupun Khadijah melakukan itu karena secara psikologis Ia adalah seorang janda yang dengan segala kedewasaannya bersikap realistis dan tidak perlu merasa sungkan untuk tujuan kebaikan. Bahkan sikap seperti itu justru merupakan indikasi tingginya "Emosional and Intelectual Intelligen" atau kecerdasab emosi dan intelektual yang dimiliki oleh Khadijah RA.

Ini artinya bila menawarkan diri saja dibolehkan dengan sarat tidak melanggar rambu syariat, maka seorang gadis yang mengekspresikan hasratnya, agar misalnya orang tuanya mau menikahkan dirinya dengan seorang pemuda yang telah diyakini kebaikannya, meskipun hasratnya itu tidak dinyatakan secara terbuka tetapi dengan sindiran atau "kinayah" yang dilontarkan kepada orang tua atau walinya, sebagaimana hal ini disikapi oleh salah seorang putri nabi Syuaib AS, ketika nabi Musa datang menghadap ayahnya lantas Ia berkata : "Yaa abatista'jirhu fa inna khaira manis ta'jarta al-qowiyyul amiin" (QS 28 : 26), Wahai Ayah, jadikanlah Ia (Nabi Musa) pekerja yang digaji, karena sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau pekerjakan adalah orang yang kuat lagi jujur, ternyata nabi Syuaib sebagai Ayah yang bijak yang menyalami dalamnya suara hati anak perempuannya itu, kemudian merespon dan langsung menanggapi sindirannya dengan mengatakan kepada Nabi Musa AS : "Innii uridu an unkihaka ihda ibnatayya hadzihi 'alaa an ta'juranii tsamaaniya hijaj", (QS, 28 : 27)sesungguhnya aku ingin menikahkan salah satu putriku ini , atas dasar bahwa kamu bekerja kepadaku selama delapan tahun. Demikialah bukan merupakan aib bila seorang wanita mengutarakan keinginannya untuk menikah kepada walinya, yang aib adalah bila hasratnya itu disalurkan dengan hubunagn bebas ataupun semi bebas pra nikah , permisif dan cenderung mengarah kepada perilaku dosa dan maksiat. Wallahu a'lamu bisshawab.
Jika ada pertanyaan, langsung kirim aja ke 0411-9303899 (esia) atau irmbf@yahoo.com



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP