..::::::..

Membongkar kerancuan dalam Tauhid (1)

Syaikul Islam Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah berkata :”Ketahuilah semoga Allah merahmati anda bahwa tauhid ialah mengesakan Allah dengan beribadah. Inilah dia agama semua Rasul Allah yang diutus untuk para hamba- Nya. Utusan paling pertama adalah adalah Nuh `alaihis-salam [1] yang diutus Allah ta’ala kapada kaumnya ketika mereka berlaku ghuluw (berlebih-lebihan ) terhadap para ulama sholihin yaitu Wadd, Suwa`, Yaghuts, Ya`uq, serta Nasr “. Makna tauhid menurut syar`i ialah mengesakan Allah dengan cara mempersembahkan segala apa yang khusus menjadi hak Allah; berupa asma`, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan dan peribadatan hanya kepada Allah semata, baik secara ilmu maupun secara aqidah (keyakinan).

Tauhid tidak akan menjadi sempurna kecuali jika meliputi dua hal nafi (penolakan) dan itsbat (penetapan) [2] . Sebab nafi semata-mata berarti masih mengandung kemungkinan adanya penyekutuan. Pola-pola itsbat serta nafi ini didalam Al-Qur`an terdapat banyak sekali.

Sementara sejumlah ahli ilmu (ulama`) telah mendefinisikan tauhid [3] dalam beberapa pengertian, namun maknanya satu diataranya :

Al Qodhi ‘Iyadh rahimahullah dalam as-Syifa`(1/388) mengatakan:”tauhid ialah menetapkan satu zat yang tidak sama dengan zat-zat lain dan tidak lepas dari sifat-sifat”.

Al-Hafidz Qowam as Sunnah At Taimi al Ashfahani mengatakan: ”At tauhid mengikuti wazan at-taf`il; merupakan mashdar dari wahhada-yuwahhid. Arti wahhad-tullaha yakni: Aku meyakini bahwa hanya ALLAH sendiri yang ESA dalam dzat maupun sifat-sifatnya, tiada sesuatupun yang menyerupainya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimmahullah dalam majmu Fatawanya (4/150) mengatakan : ”Adapun tauhid yang karenanya para utusan Allah diutus dan kitab-kitab Allah diturunkan ialah perintah Allah kepada para hambanya agar beribadah hanya kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan (syirik) sesuatupun dengan-Nya, sehingga selain Allah tidak memiliki sebagian kecil pun apa yang menjadi hak khusus Allah berupa peribadatan dengan segala rangkaianya. Ini jika dilihat dari segi pengamalan (amaliyah lahir maupun batin). Adapun jika dilihat dari sisi perkataan maka tauhid ialah iman terhadap suatu sifat yang Allah telah menatapkan bagi diri-Nya dan Rasulullah shallallahu alaihi wa salam telah menetapkan bagi Allah.

Syaikh Abdul Haq Al-Hasyimi rahimmahullah dalam Syarh Kitabit–Tauhid min Shahih Bukhari hal 11 mengatakan : Tauhid ialah penetapan ke-Esaan Allah Ta`ala. Dan penetapan sifat-sifatnya dengan cara menafikan (meniadakan) penyerupaan (tasybih) dan ta`thil (penolakan terhadap sifat-sifatNya)”

Selanjutnya diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa tauhid itu adalah diin (agamanya) para rasul. Mereka diutus untuk membawa din ini.

Rasul Allah paling pertama adalah Nuh alihis-salam, beliau diutus untuk menyeru kaumnya agar mereka mentauhidkan Allah serta mengingatkan mereka supaya jangan menyembah kepada patung : Wadd, Suwa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nashr.

Sebab-sebab peribadatan mereka terhadap patung-patung itu ialah karena ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang–orang shalih.

Nama-nama Wadd, Suwa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nashar, sebelumnya nama orang-orang shalih yang telah wafat, kemudian mereka dimonumenmtalkan menjadi patung-patuing. Mula-mula tidak disembah, namun ketika zaman menjadi semakin panjang, akhirnya patung-patung innipun disembah.

Karena itulah Nuh ‘alaihi salam mengajak mereka untuk kembali bertauhid kepada Allah dan mengingatkan mereka supaya jangan syirik kepada Allah Azza wa Jalla. Begitu pulalah semua rasul Allah, mereka diutus untuk mengemban prinsip ini, prinsip Tauhidullah.(Al-Ambiya`:25)

Kemudian rasul paling akhir adalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Beliau inilah yang telah membinasakan patung-patung orang shalih tersebut.

Manakala terjadi Fathul Makkah, ketika beliau masuk Ka`bah, beliau mendapati patung-patung yang jumlahnya mencapai 360 buah patung, terdapat didalam dan disekitar Ka`bah, lalu dihancurkan lah patung–patung itu oleh beliau dengan kampak seraya mengucapkan : “yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap, sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (Al-Isra`:81)

Allah Ta`ala telah (sengaja) mengutus Nabi Muhammad sallahu ‘alaihi wa salam ini ketengah-tengah manusia yang beribadah, berhaji, shadaqoh dan berdzikir (banyak-banyak) kepada Allah, namun bersamaan dengan itu, mereka menjadikan para makluk sebagai wasilah (perantara) yang dianggap bisa menjadi penghubung antara diri mereka dengan Allah. Mereka mengatakan: “Kami menginginkan mereka untuk menjadi wasilah yang mendekatkan diri kami kepada Allah, kami menghendaki syafa`at mereka.”

Begitulah manusia jahiliyah, mereka menyembah patung-patung, kayu-kayu, kuburan-kuburan dan monumen-monumen orang–orang shlih dengan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan itu bukanlah peribadatan tetapi hanyalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah Ta`ala telah berfirman mengenai meareka:

Kami tidak mnyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (Az-Zumar: 3) [4]

Mereka sebenarnya yakin dan mengakui bahwa benda serta patung-patung tesebut tidaklah akan mampu memberikan manfaat atau madharat apapun kepada mereka, hanya saja mereka beranggapan bahwa semua itu adalah pemberi syafa`at kelak disisi Allah. akan tetapis eungguh sayang, syafa`at semacam itu adalah syafa`at yang tiada bermanfaat, sebuah syafaat yang hakikatnya tidak ada, sebeb tiada seorangpun yang bisa memberi syafaat tanpa idzin dari Allah, padahal Allah ta`ala tidak mungkin akan mengijinkan seseorang untuk memberikan syafa`atnya (kelak di hari kiamat) kecuali kepada orang yang diridhai-Nya.

Siapapun yang tidak diridhai oleh Allah baik yang memberi syafa`at maupun yang diberi, maka Allah tidak mungkin memberi izin padanya ubntuk memeri atau mendapat syafa`at. Firman-Nya :

Maka tidak berguna lagibagi mereka syafaat dari orang –orang yang memberi syafaat (Al Mudatsir: 48)

Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah –Maha Rahman- telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya. (Taha : 109).

Demikianlah, orang-orang Quraisy Jahiliah dahulu banyak melakukan kebaikan, sengang bersadaqah dan suka berhaji di Baitullah, namun segala kebaikan mereka itu tidak bermanfaat sama sekali karena mereka adalah orang-orang kafir, musyrik dan penyembah berhala. Kepada mereka dan kepada orang-orang semisal mereka Nabi shalallahu alaihi wasallam diutus.

Demikianlah, mereka terus menerus berada dalam kekufuran dan kemusydikan, mereka menuhankan malaikat, Isa bin Maryam, orang-orang shalih dan berhala-berhala dengan anggapan bahwa merekalah calon pemberi syafaat di sisi Allah. Maka (sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), diutuslah Muhammad Shalallahu alaihi wasallam ketengah-tengah mereka guna memperbaharui kembali millah Ibrahim alaihis salam yang telah dirusak oleh tangan-tangan kotor jahiliah. Beliau menegaskan bahwa amaliyyah taqarub (pendekatan diri kepada Allah) dan peribadatan hanyalah menjadi hak mutlak Allah Ta`ala, dengan demikian tidaklah layak sama sekali tindakan taqarub serta peribadatan ini ditujukan kepada selain Allah walaupun kepada seoran malaikat atau seorang nabi, apalagi kepada selain keduanya.

Itulah kemusyrikan mereka, kemusyrikan yang terjadi dalam masalah uluhiyyah. Al Qur`an telah banyak menjelaskan bahwa kemusrikan Quraisy jahiliah dahulu hanyalah terjadi dalam hal peribadatan saja. Adapun secara Rububiyyah maka sebenarnya mereka telah meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb pencipta segala sesuatu, satu-satunya Dzat Yang Maha mengabulkan do`anya orang yang sedang dalam keadaan kritis dan satu-satunya Dzat Yang Kuasa melepaskan segala marabahaya. Begitu pulalah keyakinan-keyakinan meraka lainnya sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah dalam Al Qur`an Al Karim berkenaan dengan ikrar mereka terhadap Rubbubiyyah Allah. Akan tetapi tetap saja mereka sebatgai orang-orang musyrik secara ubudiyyah, sebab mereka juga melakukan peribadatan kepada selain Allah. kemusyrikan semacam ini jelas merupakan kemusyrikan yang mengeluarkan seseorang dari keislaman.

Sementara itu pengertian tauhid secara lafzhi ialah menjadikan sesuatu menjadi satu. Jadi mentauhidkan Allah artinya menjadikan segala sesuatu hanya tertuju kepada Allah semata.

Allah Tabaraka wa Ta`ala memiliki hak wajib yang hanya kepada Dia saja hak itu diberikan, dan tidak boleh diberikan kepada selain-Nya. Hak Allah tersebut terbagi menjadi beberapa bagian :

1. Hak pemilikan kekuasaan (Rububiyyah)

2. Hak Peribadatan (Uluhiyyah), dan

3. Hak Asma` wa Shifat.

Jadi seperti yang telah dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, orang-orang musyrik (Arab dahulu) yang Nabi shalallahu alaihi wasallam diutus ketengah-tengah meraka itu, secara Rububiyyah beriman kepada Allah. Mereka meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta alam semesta dan satu-satunya pemberi rizki, tiada pencipta dan pemberi rizki selain Allah, tiada yang menghidupkan serta mematikan selain Dia, tiada yang mengatur segala urusan alam semesta ini melainkan Dia. Mereka yakin betul bahwa langit-langit yang tujuh serta penghuninya dan bumi yang tujuh beserta segenap isinya adalah hamba bagi Allah dan semuanya berada dalam genggaman serta kekuasaan-Nya.

Banyak sekali ayat Al Qur`an yang menerangkan tentang ikrar mereka terhadap tauhid rububiyyah, tetapi ikrar mereka tersebut tidak memberikan arti apa-apa bagi mereka bagi mereka, sebeb yang mereka ikrarkan hanyalah tauhid rububiyyah belaka.[5] Selamanya, iman terhadap tauhid rububiyyah tidak akan memberi manfaat apapun kepada pelakunya sebelum ia juga berikrar terhadap tauhid uluhiyyah[6] dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah semata.

Ketahuilah bahwa ikrar terhadap tauhid rububiyyah mengandung konsekuensi untuk ikrar terhada tauhid uluhiyyah, sedangkan ikrar terhadap tauhid uluhiyyah menngandung pengertian ikrar terhadap tauhid rububiyyah. Penjelasanya adalah :

Bahwa macam tauhid yang pertama (rububiyyah) merupakan petunjuk pasti untuk sampai kepada tauhid yang kedua (uluhiyah) yankni ikrar terhadap tauhid rububiyah secara pasti mengharuskan pula untuk ikrar terhadap tauhid uluhiyah . sebeb apabila telah diyakini bahwa Allah-lah satu-satunya pencipta dan pengatur segala sesuatu, dan bahwa ditangan-Nyalah segala kekuasaan, maka Dia menjadi wajib untuk disembah dan bukan selain-Nya.

Sedangkan macam tauhid yang kedua (uluhiyah) ketika seseorang telah mengimani, otomatis ia (mestinya) mengimani tauhid yang pertama (rububiyah), sebab tidak ada yang bisa dijadikan Ilah (sesembahan) kecuali Ar Rabb Ta`ala, Dzat yang memiliki sifat Rububiyyah, maha pencipta dan maha pengatur segala urusan.

Dalil-dalil al Qur`an yang menegaskan bahwa orang-orang musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu telah mengikrarkan rububiyyah Allah antara lain :

“Katakanlah : Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan dari bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan pengelihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab : Allah. Maka katakanlah : mengapa kamu tidak bertakwa( kepada-Nya) ?”(Yunus : 31).

“Katakanlah : Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab : Kepunyaan Allah. Katakanlah : Maka apakah kamu tidak ingat?. Katakanlah : Siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya ‘arsy yang besar? Mereka akan menjawab : kepunyaan Allah. Katakanlah : Maka apakah kamu tidak bertakwa?. Katakanlah : iapakah yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab : Kepunyaan Allah. Katakanlah : Kalau demikian, maka dari jalan manakah kamu ditipu? (Al Mukminun : 84-89).

Dengan demikian adalah amat nyata bahwa kaum musyrikin benar-benar telah mengikrarkan tauhid rububiyah, namun hal itu tidaklah cukup bagi mereka untuk disebut sebagai orang-orang yang bertauhid, dan tidak cukup pula untuk menjadikan terpeliharanya darah serta harta benda mereka.

Dari sini menjadi amat terang pula bahwa barang siapa yang mengingkari tauhid al-ibadah (uluhiyah), maka bukanlah ia termasuk golongan orang muslim, sekalipun ia mengimani rububiyyah Allah.

Itulah ! kejahilan mereka dalam memahami makna tauhidullah, hingga mereka hanya ikrar terhadap tauhid rububiyyah saja tanpa tauhid uluhiyah, menyebabkan mereka terjerumus dalam peribadatan kepada selain Allah.

[1] Hadits ini dikeluarkan oleh bukhari 6/256; muslim194; dan juga diriwayatkan oleh attirmidzi dan lain-lain

[2] Laa ilaaha: nafi, illallah: itsbat. Maksud semata-semata berertimenolak adanya sesembahan (ilah) secara mutlak , tentu saja ini adalah batil . Sedangkan “irtsbat” semata-mata juga berarti masih mungkin mengandung penetapan adanya sesembahan lain selain Allah. Tentu inipun batil (pen).

[3] Lihat catatan kaki dari kitab At-Ta`liqat `Ala Kitab Kasyfisy Syubuhat li Syaikhil Islam Muhammad bin Abdul Wahab, yang dita`liq oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

[4] Lihat Fathul Majid Syarh Kitab At-Tauhid

[5] pengertian tauhid rububiyyah ialah meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Pencipta, Penguasa dan Pengatur segenap urusan.

[6] Pengertain tauhid uluhiyyah adalah : meyakini dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah semata, yakni dengan cara tidak melakukan peribadatan kepada selain Allah. selanjutnya perlu diketahui bahwa pembagian tauhid menjadi tauhid rububiyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma` wa shifat adalah berdasarkan tatabbu` (penelitian) yang dilakukan oleh para ulama Islam rahimahullah ketika berbagai macam kemusyrikan bermunculan. (Diambil dari Syarh Kitab at Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan Syarh Kitab At Tauhid wa Ar Raad ‘ala Al Jahmiyyah Min Shahih al Bukhari, karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga.Jika ada pertanyaan, langsung kirim aja ke 0411-9303899 (esia) atau irmbf@yahoo.com



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP