Hukum menikah dengan ahli kitab
analisa :Menimbang Pernikahan dengan Wanita Ahli Kitab
oleh : Izzudin Karimi
Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik.”(Al-Baqarah: 221).
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (Al-Mumtahanah: 10).
Larangan menikahi wanita-wanita kafir atau musyrik yang bersifat umum dalam dua ayat di atas dikhususkan dengan ayat lain yang menetapkan kehalalan menikahi wanita ahli kitab.
Firman Allah, “Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.” (Al-Maidah: 5).
Imam Ibnu Taimiyah menggabungkan ayat yang melarang menikahi wanita musyrik atau kafir dengan ayat yang membolehkan menikahi wanita ahli kitab, karena seperti kita ketahui bahwa wanita ahli kitab adalah wanita musyrik dan kafir.
Beliau berkata, jawabannya terdiri dari tiga segi:
Pertama, Ahli kitab tidak termasuk ke dalam syirik mutlak yang tercantum di dalam al-Qur`an, akan tetapi mereka termasuk ke dalam syirik muqayyad, hal ini karena dasar agama mereka tidak berisi syirik, syirik pada agama mereka hadir setelah itu yang disusupkan oleh para perusak..
Kedua, Dengan asumsi bahwa wanita ahli kitab termasuk wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah dan termasuk wanita-wanita kafir dalam surat al-Mumtahanah, maka ayat dalam al-Maidah bersifat khusus dan ia turun belakangan setelah al-Baqarah dan al-Mumtahanah, jadi ayat dalam al-Maidah lebih layak didahulukan.
Ketiga, Dengan asumsi bahwa kedua ayat, ayat yang melarang menikahi wanita ahli kitab karena yang bersangkutan termasuk musyrik atau kafir dan ayat yang membolehkan, sama-sama khusus maka ayat yang membolehkan wajib dikedepankan karena dua alasan:
1- Ayat yang membolehkan terdapat dalam al-Maidah yang turun belakangan dengan kesepakatan para ahli tafsir, jadi ia menasakh ayat sebelumnya.
2- Telah terbukti kehalalan makanan (baca: sembelihan) ahli kitab dengan al-Qur`an, sunnah dan ijma’, dan pembahasan tentang wanita ahli kitab adalah seperti pembahasan tentang sembelihan mereka, jika salah satunya halal maka yang lain juga halal dan tidak ada dalil yang menentang kehalalan sembelihan ahli kitab. Hudzaefah bin al-Yaman menikahi wanita Yahudi dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang mempersoalkannya. (Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Khilafah, memerangi pemberontak dan seterusnya, hal. 228-232, Pustaka Sahifa, Jakarta).
Pertanyaan selanjutnya, siapa yang dimaksud dengan ahli kitab yang sembelihan dan wanitanya dihalalkan dalam al-Maidah?
Imam Ibnu Taimiyah dalam buku yang sama memaparkan masalah ini, beliau berkata, apakah yang dimaksud dengan ayat ini –yakni ayat 5 surat al-Maidah- adalah orang-orang yang memeluk agama ahli kitab setelah ayat ini turun, ataukah yang dimaksud dengannya adalah orang-orang di mana nenek moyang mereka telah masuk ke dalam agama ahli kitab sebelum nasakh dan penggantian? Ada dua pendapat di kalangan para ulama:
Pendapat pertama adalah pendapat jumhur kaum muslimin dari salaf dan khalaf, ia adalah madzhab Abu Hanifah, Malik dan salah satu pendapat dalam madzhab Ahmad bahkan ia dinyatakan secara jelas dari Ahmad.
Pendapat kedua adalah pendapat asy-Syafi'i dan sekelompok orang dari kawan-kawan Ahmad.
Lalu Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan sebab perbedaan ini, beliau berkata, asal-usul pendapat ini adalah bahwa Ali dan Ibnu Abbas berselisih tentang sembelihan Bani Taghlib. Ali berkata, “Sembelihan dan wanita mereka tidak halal karena mereka tidak berpegang kepada agama Nasrani kecuali dalam perkara minum khamar.” Diriwayatkan dari Ali bahwa dia berkata, “Kita memerangi mereka karena mereka tidak melaksanakan syarat-syarat yang diambil oleh Usman atas mereka, karena (Usman) mensyaratkan atas mereka … dan syarat-syarat lainnya.”
Ibnu Abbas berkata, “Ia dibolehkan berdasarkan firman Allah, ‘Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.’ (Al-Maidah: 51).”
Kebanyakan kaum muslimin dari kalangan para sahabat dan lainnya tidak mengharamkan sembelihan mereka dan hal itu tidak diketahui kecuali hanya dari Ali. Ucapan senada dengan ucapan Ibnu Abbas diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. (Hal. 233 - 234).
Selanjutnya Imam Ibnu Taimiyah menshahihkan pendapat pertama, yaitu pendapat jumhur ulama, beliau memaparkan beberapa segi yang mendukung pendapat jumhur, di antara segi-segi yang beliau sebutkan adalah:
Pertama, Diriwayatkan secara shahih bahwa di antara anak-anak Anshar terdapat sekelompok orang yang masuk ke dalam agama Yahudi sesaat sebelum diutusnya Nabi saw, pada saat Nabi saw diutus, ada beberapa orang Anshar yang beragama Yahudi, ini berarti mereka masuk ke dalamnya sebelum Islam dan setelah diutusnya al-Masih dan ini berarti pula bahwa mereka masuk ke dalamnya setelah nasakh dan penggantian, dan mereka diperlakukan sebagai ahli kitab walaupun bapak mereka adalah orang-orang Anshar yang beriman kepada Nabi saw.
Kedua, Beberapa orang Yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya adalah orang-orang Arab dan mereka masuk ke dalam agama Yahudi, meskipun begitu Nabi saw tidak membedakan dalam perkara memakan makanan mereka, kehalalan wanita mereka dan pemberlakuan akad dzimmah kepada mereka antara orang-orang yang kedua orang tuanya masuk setelah diutusnya Isa as dengan orang-orang yang masuk sebelum itu, tidak pula antara orang-orang yang diragukan nasabnya apakah kedua orang tuanya termasuk ahli kitab, akan tetapi beliau menetapkan hukum pada semua dengan satu hukum yang umum.
Ketiga, Bahwa seseorang itu Muslim atau Yahudi atau Nasrani dan nama-nama agama lainnya merupakan hukum yang terkait dengan dirinya karena keyakinannya, keinginannya, ucapan dan amal perbuatannya, dia tidak menyandang nama ini hanya karena nenek moyangnya menyandangnya, meskipun anak kecil hukumnya di dunia mengikuti hukum bapaknya karena dia belum mandiri dengan sendirinya, akan tetapi jika anak tersebut baligh lalu dia berikrar masuk Islam atau menjadi kafir maka hukumnya berpijak kepada dirinya dengan kesepakatan kaum muslimin. Seandainya kedua orang tuanya Yahudi atau Nasrani lalu anaknya masuk Islam maka anak tersebut termasuk kaum muslimin dengan kesepakatan kaum muslimin. Seandainya kedua orang tuanya muslim lalu anaknya kafir maka dia kafir dengan kesepakatan kaum muslimin.
Keempat, Firman Allah, “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik.” (Al-Bayyinah: 1). Firman Allah, “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi. ‘Apakah kamu (mau) masuk Islam.’ Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 20).
Dan ayat-ayat yang sepertinya merupakan pemberitahuan tentang ahli kitab yang ada dan pembicaraannya diarahkan kepada mereka, dan yang dimaksud dengan kitab adalah kitab yang mereka pegang di mana kitab tersebut telah mengalami nasakh dan penggantian apa yang ia alami, bukan yang dimaksud dengannya adalah orang-orang yang berpegang kepadanya sebelum nasakh dan penggantian karena mereka ini bukan orang-orang kafir. (Diringkas dari buku yang sama hal. 236 – 239).
Masih tersisa beberapa segi yang mendukung pendapat jumhur yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Taimiyah, penulis akan melanjutkannya pada makalah mendatang sekaligus pertimbangan terkait pernikahan dengan wanita ahli kitab. Wallahu a'lam.
analisa :
Menimbang Pernikahan dengan Wanita Ahli Kitab 2
oleh : Izzudin Karimi
Tidak diragukan bahwa Allah membolehkan seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita ahli kitab, “Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.” (Al-Maidah: 5).
Persoalan yang muncul adalah siapa yang dimaksud dengan ahli kitab di mana wanita-wanita mereka boleh dinikahi? Penulis telah memaparkan sebelumnya bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, perbedaan mereka dipaparkan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan beliau menguatkan pendapat jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah orang-orang yang memeluk agama ahli kitab setelah ayat ini turun. Lalu Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan segi-segi yang menguatkan pendapat ini, penulis telah menyebutkan empat segi di antaranya. Adapun segi-segi yang belum disebutkan maka ia sebagai berikut.
Kelima, dikatakan, orang-orang yang kafir kepada al-Qur`an dari kalangan ahli kitab adalah orang-orang kafir walaupun nenek moyang mereka adalah orang-orang beriman, azab mereka di akhirat tidak lebih ringan daripada orang kafir yang bapaknya bukan ahli kitab, bahkan keberadaan nasab yang mulia lebih memperberat nilai kekufuran daripada meringankan, orang yang bapaknya muslim dan orang tersebut murtad, kekufurannya lebih berat daripada kekufuran orang muslim kemudian dia murtad.
Keenam, menggantungkan kemuliaan dalam agama hanya kepada nasab merupakan salah satu hukum jahiliyah yang dipijak oleh orang-orang Rafidhah dan orang-orang yang seperti mereka dari kalangan orang-orang jahil karena Allah swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13).
Nabi saw bersabda, “Tidak ada keunggulan bagi orang Arab atas orang ajam, tidak pula bagi orang ajam atas orang Arab, tidak pula bagi orang hitam atas orang putih, tidak pula bagi orang putih atas orang hitam kecuali dengan takwa. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.” (HR. Ahmad).
Oleh karena itu di dalam kitab Allah tidak terdapat satu ayat pun yang memuji seseorang karena nasabnya dan tidak pula mencela seseorang karena nasabnya, akan tetapi ia memuji karena iman dan takwa dan mencela kekufuran, kefasikan dan kemaksiyatan.
Diriwayatkan secara shahih di ash-Shahih bahwa Nabi saw bersabda, “Empat perkara termasuk perkara jahiliyah pada umatku di mana mereka tidak meninggalkannya: membanggakan keturunan, mencela nasab, niyahah dan meminta hujan dengan bintang-bintang.” (HR. Muslim dari Abu Malik)
Nabi saw menganggap membanggakan nasab termasuk perkara jahiliyah. Jika seorang muslim tidak memiliki keistimewaan atas muslim yang lain hanya karena moyangnya memiliki kedudukan mulia maka bagaimana orang kafir dari ahli kitab bisa memiliki keistimewaan atas kafir lain juga dari ahli kitab hanya karena nenek moyangnya dulu adalah orang-orang beriman?
Ketujuh, dikatakan, ketika para sahabat Rasulullah saw membuka Syam, Irak, Mesir, Khurasan dan lain-lain, mereka makan sembelihan penduduknya, mereka tidak membedakan antara satu golongan dengan golongan yang lain, tidak diketahui dari seorang sahabat pun pembedaan di antara mereka dengan nasab.
Kedelapan, dikatakan, pendapat tersebut berakibat tidak halalnya sembelihan mayoritas ahli kitab karena kita tidak mengetahui nasab kebanyakan dari mereka, kita tidak mengetahui sebelum hari-hari Islam bahwa nenek moyangnya adalah Yahudi atau Nasrani sebelum nasakh dan penggantian dan sudah dimaklumi bahwa kehalalan sembelihan mereka dan wanita-wanita mereka telah ditetapkan oleh al-Qur`an, sunnah dan ijma’. Jika pendapat tersebut mengakibatkan dihapusnya sesuatu yang ditetapkan oleh al-Qur`an, sunnah dan ijma’ maka diketahui bahwa pendapat tersebut batil.
Kesembilan, dikatakan, kaum muslimin di seluruh kota senantiasa dan masih makan sembelihan mereka, barangsiapa mengingkari itu maka dia telah mengingkari ijma’ kaum muslimin.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab di mana sembelihannya dan wanitanya dihalalkan adalah ahli kitab secara umum, mencakup mereka yang beragama ahli kitab sesudah agama mereka dihapus dengan diutusnya Nabi saw.
Selanjutnya kita akan membicarakan masalah pernikahan seorang muslim dengan wanita ahli kitab.
Sebelum seorang muslim memutuskan masuk ke dalam lahan ini maka hendaknya dia mengetahui pertimbangan-pertimbangan berikut.
Pertama, bahwa seorang muslim adalah pemimpin keluarga, dia bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.
Kedua, bahwa seorang muslim wajib menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka.
Ketiga, bahwa seorang muslim wajib berwala` kepada sesama muslim dan berbara` dari semua orang kafir.
Keempat, bahwa seorang muslim wajib menegakkan hukum syariat di dalam rumah tangganya.
Kelima, bahwa maksud dari rumah tangga adalah terwujudnya ketenangan, kasih sayang dan ketenteraman.
Dengan dasar lima pertimbangan ini maka dalam masalah menikah dengan wanita ahli kitab, seorang muslim harus memperhatikan beberapa perkara berikut.
Pertama, hendaknya wanita ahli kitab tersebut termasuk wanita-waita yang baik-baik yang meyakini diharamkannya perzinahan, dan dia membencinya dalam kondisi apapun. Perkara ini penting, sebab ayat al-Maidah menetapkan kriteria, al-muhshanah, yang berarti wanita suci, baik, menjaga kehormatannya dari najis perbuatan keji, sebab jika tidak maka dia bisa merusak nasab suami yang muslim
Kedua, hendaknya tidak termasuk wanita harbi (yang memerangi Islam) seperti Israel atau negara-negara lainnya yang memusuhi Islam dan kaum muslimin, tidak menyimpan permusuhan dan kebencian kepada Islam dan kaum muslimin. Hal ini berpijak kepada akidah al-wala` wa al-bara` yang merupakan salah satu pondasi akidah Islam.
Ketiga, hendaknya menerima hukum Islam dalam membangun keluarga muslim, berpegang kepada hijab syar'i, mandi junub, haid dan nifas, demi menjaga hak dan kehormatan suami yang muslim, menolak makan babi dan minum khamar, karena ia termasuk perkara yang secara nyata diharamkan, di samping itu bagaimana dia melakukan itu di depan suaminya yang muslim atau anak-anaknya yang muslim.
Keempat, hendaknya tidak mendiktekan sedikit pun dari keyakinannya kepada anak-anaknya, tidak pula adat-adat agamanya yang bertentangan dengan Islam, dia tidak boleh membawa anaknya kepada agamanya, agama anaknya harus mengikuti agama bapaknya yang muslim, hal ini demi menyelamatkannya dari api neraka.
Ini, dan perkara-perkara di atas diletakkan bukan untuk menolak atau melarang atau membatasi sesuatu yang dibolehkan oleh Allah, akan tetapi ia diletakkan semata-mata demi melindungi keluarga muslim, di samping ia juga berpijak kepada prinsip-prinsip syariat yang lurus.
0 komentar:
Posting Komentar