..::::::..

Sifat kebersamaan Allah

Oleh : Ikhwah Madinah

SILSILAH Pembagian Ma’iyatullah (kesertaan Allah ta’ala) dengan makhluk-Nya beserta Definisinya.

Berdasarkan dalil-dalil AlQur’an dan Sunnah, Ma’iyatullah terbagi atas dua bagian :

1. Ma’iyatullah Al-‘Ammah (kesertaan Allah dengan hamba-Nya secara umum)

2. Ma’iyatullah Al-Khosshah (kesertaan Allah dengan hamba-Nya secara khusus).

berikut penjelasannya:



1. Al Ma’iyatullah Al ‘Ammah

Yaitu kebersamaan Allah yang ditetapkan untuk semua makhluk-Nya, yang berarti bahwa Allah ta’ala selalu bersama mereka dengan mengetahui segala yang ada pada diri mereka, dan bagi-Nya tiada satupun yang tersembunyi pada mereka dibumi dan tidak pula di langit. Ini menunjukkan adanya kekuasaan[4], pengaturan serta pengetahuanNya terhadap mereka dan amal-amal mereka yang baik maupun yang buruk, beserta pengetahuan terhadap balasan-balasan amal mereka.[5]

Diantara dalil yang mengisbatkan jenis ma’iyah ini adalah :

Artinya : “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Kemudian Dia bersemayam diatas ‘Arsy, Dia mengetahui apa yang masuk kedalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid : 4)

Artinya : “Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya dan tiada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaran (antara) jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia ada bersama mereka, dimanapun mereka berada. Kemudian dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu. (Al-Mujadiilah : 7)

Dalam kedua ayat ini, Allah ‘Azza Wa Jalla memulainya dengan menyebut lafaz ilmu, serta menutupnya pula dengan lafaz yang sama, sebab itu Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, Adh-Dhohak, Sufyan At-Tsaury, dan Ahmad rahimahullah berkata (tentang makna ma’iyah di ayat ini): “Dia (Allah) bersama mereka dengan pengetahuanNya”[6]

Dan ini adalah ijma’nya para salaf (pendahulu umat ini), dan ijma’ ini diriwayatkan dari banyak imam yang menyatakan bahwa makna lafaz ma’a (beserta) dalam ayat ini adalah pengetahuan/ilmu Allah. Abu Umar Ath-Tholamanky berkata : Kaum Muslimin dari kalangan Ahlussunnah telah berijma’ (sepakat) bahwa maksud firman Allah :

"Wahuwa ma'akum aynamaa kuntum" (Dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada)

serta ayat-ayat Al-Qur’an semacam ini adalah ilmuNya dan bahwasanya Dzat Allah berada diatas langit, bersemayam diatas arsy-Nya, sebagimana yang Dia kehendaki,[7]

Ijma ini diriwayatkan juga oleh Imam Ibnu Abdilbar dan Imam Ibnu Katsir.[8] Dan jika ijma ini benar-benar ada, maka ia tidak boleh diselisihi, karena ijma’nya umat ini ma’shum (terlepas dari kesalahan), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

Artinya : “umatku tidaklah bersepakat diatas kesesatan” (HR. Tirmidzi (2167), Abu Daud (4253), dan Ibnu Majah (3950) dan dihasankan oleh Al Albany dalam Takhrij Assunnah (82))

Barangsiapa yang mengingkari Ijma tentang ma’iyah ini dan menafsirkannya dengan yang menyelisihi ijma’, maka ia telah sesat dan terjatuh dalam kekufuran sebab ia menyelisihi pendapat umat dan Allah telah mengancamnya dalam firman-Nya :

Artinya : “Dan (orang-orang yang) mengikuti jalan Yang bukan jalan orang-orang mu’min, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasianya itu, dan kami masukkan ia kedalam Jahnam, itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’ : 115)



2) Al-Ma’iyah Al –Khosshoh

Yaitu kebersamaan Allah yang dikhususkan bagi hamba-hambaNya yang mukmin yang berarti adanya pertolongan, perlindungan dan jaminan Allah terhadap mereka.”[9]

Diantara dalil-dalilnya dari AlQur’an firman Allah ‘Azza wa Jalla :

"Idz Yaquulu lishohibihi : Laa Tahzan Innallaha Ma'ana" (di waktu dia berkata pada temannya : janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita) (At-Taubah : 40)

"Innanii ma'akuma, asma'u wa araa" (sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat). (Thaha : 46)

"Innallaha ma'alladziinattaqaw walladzina hum muhsinuun" (Sesungguhnya Allah beserta orang-orang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan). (An-Nahl : 128)

"Washbiruu Innallaha Ma'asshobirin" (dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar) (Al-Anfal : 46)[10]

Jadi, semua lafaz ma’a dalam ayat-ayat ini, bermakna : pertolongan dan jaminan Allah terhadap hamba-hambaNya yang mukmin, dan ini adalah ijma (kesepakatan) para salaf, pendahulu umat ini, yang tidak boleh diselisihi –sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya-



Pembagian Mazhab dalam Penepatan Ma’iyatullah Beserta Bantahan terhadap Mazhab yang Menyelisihi Ijma’.

Mazhab pertama :

Mereka menyatakan bahwasanya ma’iyatullah (kesertaan Allah) dengan hamba-Nya, maksudnya adalah dengan pengetahuan (ilmu) dan penguasaan-Nya dalam ma’iyah umum yang mencakup pengetahuan-Nya terhadap semua makhluk-Nya, dan dengan pertolongan dan jaminan-Nya dalam ma’iyah khusus yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang mu'min, dengan tetap meyakini ketinggian Dzat-Nya serta pesemayaman-Nya diatas Arsy. Mazhab ini adalah mazhab para salaf dan merupakan mazhab yang hak –sebagimana yang telah dibahas-.



Mazhab Kedua :

Mereka menyatakan : Sesungguhnya Ma’iyatullah dengan makhluk-Nya, maksudnya adalah bahwa Allah ta’ala selau bersama mereka dibumi, sekaligus mereka menafikan ketinggian Dzat-Nya dan persemayaman-Nya diatas Arsy.

Mereka adalah firqah “Al-Hululiyah” (kaum yang berkeyakinan bahwa Allah dapat menitis kedalam tubuh makhluk/benda) dari pendahulu-pendahulu sekte sesat Jahmiyah dan penganut paham Wihdatulwujud serta selain mereka. Mazhab ini adalah mazhab batil lagi munkar dan para salaf telah sepakat akan kebatilan dan kemunkarannya”[11]

Bantahan terhadap mereka, antara lain :

1. Bahwa pendapat ini menyelisihi ijma’ ulama salaf dan tidak seorangpun dari mereka yang menafsirkannya seperti ini, bahkan dahulu mereka telah sepakat dalam mengingkari kebatilannya.

2. Sesungguhnya apa yang dikatakan kaum “Al-Hululiyah” itu, mengharuskan adanya penafian ketinggian Dzat Allah secara mutlak, yang berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, serta dalil akal dan fitrah secara ijma’. Dan setiap yang menafikan/mengingkari suatu hal yang ditetapkan oleh dalil, maka ia adalah sesuatu yang batil. Sebab itu penafsiran ma’iyatullah dengan makhluk-Nya dengan makna “penitisan dan pencampuranya (dengan makhluk) adalah penafsiran yang batil, berdasarkan pandangan AlQur’an, sunnah, akal, fitrah dan ijma’ salaf. [12]

Adapun dalil kebatilannya dari Al-Qur’an : semua ayat yang mengisyaratkan ketinggian dzat Allah ta’ala diatas langit, diantaranya :

"Arrohmanu 'Alal Arsyistawa" ((yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam diatas Arsy), (Thaha : 5)

"A'amintum man fissamai an yakhsifa bikumul ardh" (apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan menjungkirbalikan bumi bersama kamu). (Al-Mulk : 16)



Adapun dari sunnah, diantaranya

Doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam sujudnya :

"Subhana Robbiyal a'laa" (Maha Suci Alah yang Maha Tinggi)[13]

Juga sabdanya :

Artinya : “Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan saya adalah yang dipercayai oleh Yang ada dilangit?[14]

Sedangkan dalil akal :

Bahwa, ketinggian merupakan sifat kesempurnan, sedangkan kerendahan merupakan sifat kekurangan, dan tidak bisa dibayangkan jika Allah Yang Maha Tinggi lagi suci, merendahkan Dzat-Nya kebumi, bercampur dan berkumpul bersama makhlukNya yang rendah lagi hina, dan tidaklah masuk akal jika Allah ta’ala berjalan dan berkumpul bersama mereka walaupun ditempat-tempat kotor dan menjijikkan, atau ditempat maksiat dan dosa, bersama orang-orang fasik lagi kafir, Maha Suci Allah atas apa yang mereka katakan.

Apabila mereka mengatakan bahwa Allah menitis ke dalam jasad dan ruh mereka, maka ini adalah perkataan yang lebih kufur dan batil, serta klaim yang paling sesat dan menyesatkan, sebab apakah Allah ridho menitis dan menetap dalam diri hamba yang hina, dalam perut-perut makhluk yang penuh dengan kotoran dan darah-darah yang menjijikkan? Apakah Allah tidak lagi mendapatkan tempat hingga ia rela menitis kedalam hati dan ruh makhlukNya? Yang diantara mereka ada yang fasik dan kafir?? Sungguh, maha suci Allah atas apa yang mereka tuduhkan.

Sedangkan dalil fitrah :

Bahwasanya diantara fitrah insani, tidaklah seseorang berdo’a atau dalam keadaan takut dan mengharapkan perlindungan Allah, kecuali hatinya cenderung untuk menengadahkan wajah atau mengangkat tangannya kearah langit, dan sungguh ia tidak akan menoleh kekiri maupun ke kanan.[15] Ini semua menunjukkan keberadaan Allah 'azza wajalla di atas langit bersemayam di atas arsyNya.



Syubhat dan Bantahannya

Sebagian orang berkata :

“Apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, bahwa Allah Azza Wa Jalla, bersemayam diatas Arsy, sangatlah menyelisihi dzohir firman Allah : “Dan Dia beserta kalian dimanapun kalian berada” (Al Maidah : 4), juga menyelisihi sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : “jika seorang diantara kamu berdiri shalat maka Allah berada didepannya)[16]

Ini menunjukan bahwa firman Allah juga hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saling bertolak-belakang dan hal ini tidak mungkin terjadi kalau memang Al-Qur’an itu adalah wahyu dari Allah 'azza wa jalla.

Jawaban :

Dari Ibnu Taimiyah rahimahullah :

Ini adalah kesalahan besar, sebab Allah ta’ala sungguh beserta kita secara hakiki, dan Dia diatas arsy secara hakiki pula, sebagaimana Dia menggabungkan dua hal ini dalam firmanNya :

"Tsummastawaa 'alal arsy" (Kemudian Dia bersemayam diatas Arsy)

Artinya : “Dia Mengetahui apa yang masuk kedalam bumi dan apa yang keluar darinya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Al-Hadid :4)

Allah mengabarkan bahwa Dia diatas Arsy, mengetahui segala sesuatu, sedang Ia beserta kita dimanapun dengan ilmu-Nya secara hakiki, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : “Dan Allah bersemayam diatas Arsy, sedang Dia mengetahui segala yang kalian kerjakan) [17]

2) Dari As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :

Sesungguhnya hakikat makna ma’iyatullah sama sekali tidaklah bertentangan dengan ketinggian dzat Allah ta’ala yang hakiki (di atas arsy), sebab kedua hal itu sangat mungkin terjadi (dalam waktu yang sama) pada makhluk. Misalnya dikatakan : kami berjalan bersama bulan. Ini berarti kebersamaan dan kesertaan mereka dengan bulan yang ada di atas langit dan tiada seorangpun berpikir atau memahami bahwa bulan terebut turun ke bumi, lalu berjalan bersama mereka, ini mustahil.

Jika ini sangat mungkin terjadi pada makhluk yang lemah, maka hal ini paling mungkin terjadi pada hak Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu, sedang Dia diatas langit, sebab hakikat ma’iyatullah dengan makhluk-Nya tidaklah mengharuskan adanya kebersamaan/ kesertaan mereka dalam satu tempat.[18]

Mazhab Ketiga :

Mereka menyatakan : “Sesungguhnya maksud dari ma’iyatullah dengan makhlukNya adalah bahwa Dzat Allah ta’ala bersama mereka dibumi, dan dalam waktu yang sama Dia juga berada diatas Arsy dengan Dzat-Nya.

Bantahan untuk hal ini, diantaranya :

1) Ini adalah pendapat yang batil, berdasarkan dalil-dalil jelas dari AlQur’an dan Sunnah serta Ijma’, bahkan dari dalil akal dan fitrah –sebagaimana yang telah dibahas-

2) Pendapat ini sangatlah mustahil terjadi pada Dzat Allah ta’ala, sebab bagaimanakah Dzat Allah bersemayam diatas langit sedang dalam waktu yang sama Dzat itu juga berada di bumi, berkumpul dengan para makhluk? Ini tidaklah masuk akal, karena keduanya saling bertolak-belakang dan tidak ada yang meyakini hal ini kecuali orang-orang yang sesat dan menuruti hawa nafsu, sebab ia telah keluar dari kelaziman fitrah dan akal yang ada pada dirinya.

3) Barangsiapa yang berpendapat seperti ini, dia telah menetapkan bahwa Allah dikelilingi oleh tempat atau makhlukNya yang menunjukan bahwa Allah membutuhkan mereka, padahal Dialah yang mengelilingi dan mengetahui semua makhlukNya dan sama sekali tidaklah membutuhkan mereka.

Sebagaimana firmanNya :

Artinya : “padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka.” (Al Buruj : 20)

artinya : “Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (Al-Imrah : 97)

Pendapat mazhab ini adalah kedustaan besar terhadap Allah Azza wa Jalla. Sekaligus bentuk kezaliman terhadap ayat-ayatNya, karena mereka telah menafsirkan dan menta’wil dalil-dalil yang sangat jelas dalam hakikat ma’iyatullah ini dengan penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan RasulNya. Allahu A’lam

Syubhat dari Kaum yang Menafikan Ketinggian Dzat Allah diatas Arsy[19]

Dengan berhujjahkan dalil-dalil dan nas-nas ma’iyatullah ini, para pengusung mazhab yang menafikan ketinggian dzat Allah diatas langit, mencoba mengkritik Ahlussunnah, mereka mengatakan : “Sesungguhnya dalil yang kalian jadikan sebagai hujjah pengisbatan ketingian Dzat Allah diatas langit, sangatlah menyelisihi nas-nas/dalil-dalil ma’iyah yang kalian juga berdalih dengannya. Sebab itu jika penta’wilan kami terhadap Uluwullah (ketinggian Dzat Allah) diatas langit dengan Uluwulqodr (Tingginya kemuliaanNya), Uluwul Qohr (Kekuasaan-Nya), dan ‘Uluwul Makanah (Derajat/Kedudukan-Nya) adalah batil maka penta’wilan kalian juga pada dalil-dalil ma’iyatullah dengan makhlukNya dengan kesertaan ilmu, perlindungan dan jaminan-Nya adalah batil juga (karena kalian menta’wil sebagaimana kami menta’wil), demikian pula sebaliknya (jika kalian tidak menta’wil dalil-dalil tentang besemayam-Nya diatas Arsy, mengapa kalian lantas melakukannya (menta'wil) pada dalil-dalil ma’iyatullah?[20]

Jawaban/bantahan :

Tidaklah diragukan bahwasanya makna ma’iyatullah menurut Ahlussunnah, adalah kesertaan Allah dengan makhlukNya dengan perlindungan dan jaminanNya, maupun ilmu dan pengetahuanNya terhadap mereka, ini berdasarkan dzohir dalil dan hakikatnya.

Dan Ahlussunnah sama sekali tidaklah menta’wil ataupun memalingkan lafaz ma’iyah dari maknanya secara dzohir, dan juga sama sekali tidak adanya pertentangan antara nas-nas ma’iyah ini dengan nas-nas Al-Uluw (Ketinggian Dzat Allah), sebab lafaz ma’a dalam bahasa arab jika disebutkan begitu saja secara mutlak, maka ia bermaksud sekedar kesertaan dan kebersamaan yang mutlak/umum dan sama sekali tidak mewajibkan adanya pencampuran, saling bersentuhan, ataupun berdampingan, dan jika disebutkan beserta makna tertentu, maka ia menunjukkan adanya kesertaan yang terbatas pada makna konteks kata tersebut, Hal ini, banyak terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya :

“Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku” (A-Baqarah : 43)

“Ayat ini tidak menunjukkan adanya pencampuran dan keikutsertaan bersama orang-orang yang ruku, namun hanya menyebutkan kebersamaan dalam bentuk amal dan ibadah yaitu ruku' (tanpa menunjukkan adanya perkumpulan dalam suatu tempat).

Artinya : “Mereka itulah orang-orang yang bersama orang-orang mukmin (An-Nisa : 146)

Ini menunjukkan bahwa orang ini bersama orang-orang mukmin, walaupun dia di timur dan mereka (orang-orang mu'min) berada di barat.

Jadi, makna ma’iyah dalam dua ayat ini, menunjukkan mutlaknya (umumnya) kesertaan/kebersamaan, dan tidak mewajibkan adanya percampuran, persentuhan dalam keadaan apapun. Dan ini banyak terdapat dalam ucapan, misalnya : “Pemimpin itu beserta tentaranya”. Padahal dia ditimur, sedang tentaranya dibarat. Jika ini bisa terjadi pada hak makhluk maka ini sangat mungkin terjadi pada Maha Pencipta.

Imam Ibnu Mandah berkata : Jika dikatakan (kepadamu) : “Engkau telah menta’wil firman Allah : "Wahuwa ma'akum aynamaa kuntum" (Dan Dia beserta kalian dimanapun kalian berada) dan memaknainya dengan ilmu", Maka kita menjawabnya: “Sungguh kami tidaklah menta’wil ayat itu, karena ayat itu sendiri yang menjelaskan bahwa makna ma’iyah itu adalah dengan ilmu/pengetahuanNya, sebab Allah menyebutkan diakhir ayatnya:

Artinya : “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu” (QS. Al-Mujadilah : 7)

Washollallahu 'alaa muhammad wa'ala aalihi wasohbihi wasallam.

Edisi berikutnya : “Apakah Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya??


[1] Lihat Al-Mu’jam Al Asasy Al-‘Araby hal. 1142, dan Al-Mu’jam Al Wasith hal. 876

[2] Lihat Al Fatawa Al-Hamawiah Al Kubra hal. 501

[3] Al-Qowa’id Al Mutsla hal. 58

[4] Majmu; Fatawa Ibnu Taimiyah (11/249-250)

[5] Ini tambahan dari buku “Syarah Al-qidah Al-Wasithiah karya Al-Fauzan hal. 79

[6] Dinukil oleh Syekh Ibrahim Ar-Ruhaily dalm mudzakirah Al-Asma’ Wasshifat hal. 52

[7] Perkataan ini dinukil oleh Syekh Hamd At-Tunaijiry dalam Tamhid Alhamawiyah hal. 52

[8] Dari buku Ijma’ Al-Juyusy Al Islamiyah hal. 142

[9] Syarah Al-Aqidah Al Washitiyah oleh Al-Fauzan hal. 79

[10] Ibid.hal 76

[11] Al qowaid AL-Mutsla : 68

[12] Ibid hal. 58

[13] Diriwayatkan Muslim (7721)

[14] Diriwayatkan Al-Bukhair (4351) dan Muslim (1036)

[15] Al-Qowaid Al Mutsla : 67

[16] Diriwayatkan Al-Bukhari (406) dan Muslim (547)

[17] Diriwayatkan Abu Dawud (4723), At-Tirmidzi (332), Ibnu Majah (193), Ahmad (1/206-207)

[18] Lihat Al-Qowaid Al Mutsla : 68

[19] Mereka adalah Mu’tazilah dan sekte yang serupa dengan mereka

[20] Lihat : Al Qowaid Al-Mutsla : 68



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP