..::::::..

Nilai Nyawa Seorang Muslim

Allah Subhaanahu Wata’ala adalah satu-satunya Zat yang memiliki hak atas kehidupan dan kematian seseorang. Dialah yang menciptakan kehidupan dan kematian. Dia menghidupkan segala sesuatu dan mematikan sesuai dengan hikmah dan kehendak-Nya. Maka nyawa dan kehidupan manusia ini adalah menjadi hak prerogatif Allah.


Tak seorang pun berhak menghilangkan nyawa orang lain (membunuhnya), kecuali berdasarkan hak yang telah Allah tetapkan. Bahkan, menghilangkan nyawa diri sendiri (bunuh diri) pun diharamkan dalam Islam.
Namun, karena ketidakpahaman sebagian umat Islam akan masalah tersebut, maka begitu mudahnya mereka menghilangkan nyawa orang lain, bahkan terkadang dengan cara yang keji, seperti disiksa lebih dahulu, dibakar, dan lain-lain.

Karena itu, sangat perlu untuk menumbuhkan kesadaran akan besarnya hak hidup orang lain. Sebab jika kesadaran akan hal ini tidak segera ditumbuhkan, maka dapat dibayangkan, kehidupan di masa mendatang akan semakin kacau dan tidak karuan. Nyawa manusia akan dianggap sebagai lalat atau nyamuk yang bisa dilenyapkan kapan saja, oleh siapa saja jika mau dan mampu. Maraknya pembunuhan yang merupakan pertanda dekatnya kiamat, akan segera menjadi sebuah kenyataan, na'udzubillah min dzalik.

Haramnya Darah Seorang Muslim
Tentang haramnya darah seorang muslim, harta dan kehormatannya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menegaskan di dalam khutbah beliau pada Hari Arafah, beliau bersabda, "Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian semua, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini dan pada bulan kalian ini." (Muttafaq ‘alaih).

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya, "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar." (QS. Al-An'am:151)

"Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. (QS. al-Furqan: 68-70).

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan! Kemudian ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apakah tujuh perkara tersebut?” Maka beliau menyebutkan di antaranya adalah, "Menyekutukan Allah, sihir dan membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan cara yang hak." (HR. Bukhari dan Muslim).

Karena besarnya penghargaan Islam kepada nyawa seorang muslim, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan predikat fasik bagi yang mencaci seorang muslim dan kufur bagi orang yang membunuhnya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan,
"Mencaci maki seorang muslim adalah kefasikan, sedangkan membunuhnya adalah kekufuran." (Muttafaq ‘alaih).

Di dalam riwayat lain disebutkan, seorang mukmin ketika telah berani menumpahkan darah haram, maka ia akan terlempar keluar dari garis perlindungan agama (Islam), dalam arti kebebasan hidupnya akan diambil oleh Islam sebagaimana dia telah merenggut kebebasan hidup saudaranya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, "Seorang mukmin masih senantiasa dalam keluasan agamanya selagi tidak menumpahkan darah yang haram." (HR. Bukhari).

Ini merupakan isyarat yang sangat tegas, bahwa sesama muslim dilarang keras saling bunuh, saling serang dan bertikai satu dengan lainnya. Jika terjadi perseteruan antara dua orang mukmin, maka Allah memerintahkan mukmin yang lain supaya mendamaikan di antara keduanya. Jika dua orang mukmin saling menyerang dan bunuh, lalu ada salah satunya yang meninggal, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan, bahwa kedua-duanya masuk neraka. Diriwayatkan dari Abu Bakrah  dia berkata,

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
"Jika dua orang mukmin berkelahi dengan pedangnya, maka yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka. Aku (Abu Bakrah) bertanya, "Wahai Rasulullah, kalau orang yang membunuh sudah jelas, maka bagaimana halnya dengan yang terbunuh?” Beliau bersabda, "Sesungguhnya dia juga berkeinginan untuk membunuh lawannya itu." (Muttafaq ‘alaih).

Ibnu Umar berkata, "Sesungguhnya merupakan salah satu posisi tersulit yang tidak ada lagi jalan keluar bagi orang yang terjerumus di sana yaitu menumpahkan darah haram bukan dengan cara yang halal." (Diriwayatkan oleh Bukhari).

Ancaman dan Sanksi Membunuh
Allah Azza Wajalla memberikan ancaman yang sangat keras dalam perkara darah. Allah  telah menetapkan kemurkaan dan laknat bagi seorang pembunuh baik di dunia maupun akhirat. Allah

Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah Jahannam, kekallah ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisaa’: 93).

Adapun sanksi di dunia yang dikenakan kepada seorang pembunuh, maka Allah menetapkan qishash, yakni dibunuh juga (hukum mati). Ini merupakan hukuman yang sangat adil bagi pembunuhan yang disengaja atau direncanakan. Qishash juga akan memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban, akan membersihkan masyarakat dari keburukan dan tindak kriminal pembunuhan.

Dengan ditegakkannya qishash, maka orang tidak akan dengan mudah mengayunkan senjata membunuh orang lain, karena nyawanya kelak akan menjadi taruhannya.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.” (QS. al-Baqarah: 178).

Dalam kelanjutan ayat di atas Allah menegaskan, yang artinya,
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 179).

Namun demikian, pelaksanaan hukuman-nya pun harus dengan cara yang baik, tidak boleh berlebihan atau melampaui batas, sebagaimana difirmankan Allah Azza Wajalla, “Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. al-Israa’: 33).

Kapan Darah Seseorang Dihalalkan
Uraian di atas memberikan gambaran kepada kita betapa hebat dan ketatnya syariat Islam menjaga darah atau nyawa seseorang. Dengan ditetapkannya qishash, maka kelangsungan hidup manusia akan terjamin. Bukan lantaran disebabkan oleh tangan orang yang tidak berhak atasnya.

Namun demikian, di dalam Islam ada kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan darah seseorang yang tadinya haram menjadi halal dan boleh untuk ditumpahkan. Itu pun semata-mata karena alasan syar'i yang sangat mulia, di dalamnya ada faedah dan hikmah yang sangat besar. Ada tiga hal yang menjadikan halalnya darah seorang muslim, sebagaimana terangkum di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berikut ini, "Tidaklah halal darah seorang muslim, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara; (yaitu) jiwa dengan jiwa, orang yang sudah menikah yang berzina, dan orang yang keluar dari agamanya (Islam) memisahkan diri dari al-jamaah (kaum muslimin)." (Muttafaq ‘alaih).

Tiga hal inilah yang menjadikan halalnya darah seseorang. Itupun yang berhak melaksanakan hukuman tersebut adalah waliyul amri (pemerintah Islam).

Maka tidak dibolehkan membunuh atau menghukum mati seorang pencuri seperti yang sering terjadi belakangan ini. Tindakan ini jelas-jelas merupakan perbuatan melanggar hukum dan norma di dalam Islam. Perkara darah adalah perkara yang besar. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memberitahukan kepada kita, bahwa kasus/urusan yang pertama kali akan diputuskan nanti di Hari Kiamat adalah urusan darah.

Beliau bersabda,
"Perkara yang pertama kali akan diputuskan di antara manusia pada Hari Kiamat adalah masalah darah." (HR Muslim)

Penjagaan Islam Terhadap Jiwa Manusia
Demi menjaga darah dan jiwa manusia, Islam telah menetapkan aturan-aturan yang begitu indah dan luhur. Menerapkannya merupakan tindakan preventif dan antisipasif atas terjadinya hal-hal yang tak diinginkan yang berkaitan dengan jiwa atau darah sesama muslim. Di antaranya adalah Islam melarang seseorang membawa senjata di tempat umum dalam keadaan terbuka/ terhunus.

Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
"Barang siapa yang melewati suatu tempat di masjid kita atau pasar kita, sedangkan ia membawa panah, maka hendaklah ia menyimpannya atau memegang bagian mata panahnya dengan telapak tangan, agar jangan sampai sedikit pun mengenai salah seorang dari kaum muslimin." (Muttafaq ‘alaih).

Selain itu, Islam melarang seseorang untuk berisyarat atau mengacungkan senjata dan sejenisnya kepada sesama muslim, bahkan pelakunya akan mendapatkan laknat dari malaikat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu,

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
"Barang siapa berisyarat kepada saudaranya dengan (mengacungkan) besi, maka malaikat melaknatnya, meskipun dia adalah saudaranya seayah atau seibu." (HR Muslim).

Islam juga melarang saling ejek, mencela, memberikan julukan yang jelek, su'udzan (berburuk sangka), tajassus (memata-matai untuk mencari aib) dan ghibah (menggunjing). Karena itu semua terkadang menjadi pemicu terjadinya permusuhan dan yang tak jarang berakhir dengan pertumpahan darah.
Kita memohon kepada Allah Subhaanahu Wata’ala agar menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari segala fitnah, permusuhan dan pertikaian.
Wallahul Musta’an wailaihi at Tuklaan
Dari berbagai sumber
( Al Fikrah No.08 Tahun XI/3 Rabiuts Tsani 1431 H)



Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP