Yang Terlupakan oleh OIC
Sidang Kemuncak ke-10 OKI, di Putrajaya, Malaysia justru tak menyinggung nasib Muslim Moro. Bahkan 'nyaris tak terdengar'. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-27 Sejak hampir dua bulan lalu, televisi Malaysia sudah mempersiapkan diri besar-besaran dalam menyambut acara Konferensi Tingkat Tinggi ke-10 Organisasi Konferensi Islam (Organization of Islamic Islamic Conference), yang biasanya disingkat OIC.
Sebanyak 57 kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara Islam atau yang mewakilinya berembuk dalam forum ini. Malaysia menyebutnya sebagai ?Sidang Kemuncak Ketua-Ketua Negara OIC?. Bagi Malaysia, momentum Sidang OIC kali ini semakin penting dan menarik, karena bersamaan dengan saat-saat menentukan dalam sejarah politik Malaysia, yaitu akan mundurnya Perdana Manteri Mahathir Muhammad, yang sudah berkuasa selama 22 tahun. Televisi dan media massa Malaysia tak henti-hentinya membuat tayangan yang memuji kepemimpinan dokter Mahathir Muhammad.
Sebenarnya tidak banyak yang menarik dari Sidang OIC kali ini. Sudah lama berkembang kuat opini di kalangan masyarakat Muslim, bahwa OIC tidak data berbuat banyak untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi umat Islam. Media massa di Malaysia pun banyak membahas masalah ?ketidakberadayaan OIC?, yang dengan mudahnya diplesetkan singkatannya menjadi "Oh I See", "Ya, kami lihat". Artinya, setiap menghadapi tragedy yang menimpa umat islam, maka OIC akan dengan tekun menyimak, melihat, dan paling jauh akan mengeluarkan statemen yang mengutuk sana-sini. Tidak ada tindakan nyata yang bisa dilakukannya.
Sederet kasus bisa diungkap. Sebagai contoh, ketika umat Islam mengalami pembantaian besar-besaran di Bosnia-Herzegovina pada awal 1990-an, OIC hanya berhasil mengeluarkan pernyataan agar embargo atas Bosnia-Herzegovina dicabut. Umat Islam ketika itu tak henti-hentinya meratapi nasib saudaranya yang dijadikan bulan-bulanan ekstrimis Kristen-Ortodoks Serbia. Kini, setiap hari, dunia Islam menyaksikan keganasan rezim Zioinis Israel terhadap kaum Muslim Palestina. Kasus serbuan AS ke Irak belum lama berlalu, dan tentara AS masih bercokol ke sana. Tetapi, apa yang dapat diperbuat OIC? Mengecam, mengutuk, membuat resolusi, menyerukan perdamaian, dan sebagainya. Kita perlu menyorot dengan cermat sejarah dan kiprah OIC. Ini bukan untuk menambah pilu derita umat Islam, tetapi semoga catatan ini dapat menjadi bahan masukan untuk melakukan introspeksi umat Islam, di mana pun berada. Mengapa mereka begitu lemah dan mengapa mereka begitu gampang dijadikan bahan keroyokan. Persis seperti yang digambarkan oleh Rasulullah saw: "Akan tiba suatu masa dimana kalian (umat Islam) dikeroyok oleh berbagai kaum, seperti halnya suatu hidangan yang dikelilingi orang-orang yang kelaparan." Sahabat bertanya: "Apakah (kita menjadi seperti itu) kerana jumlah kita yang sedikit setakat itu, wahai Rasul Allah" Rasul saw menjawab: "Tidak, ketika itu jumlah kamu banyak, tetapi kamu adalah buih, seperti buihnya air laut. Ketika itu, Allah mencabut rasa takut dari hati-hati musuh kalian, dan Allah menanamkan "al-wahnu'" dalam hati kalian. (Sahabat bertanya): "apa itu al-wahnu, wahai Rasul Allah?" Rasul saw menjawab: "(al-wahnu) ialah cinta dunia dan takut mati".
Teks hadits tersebut diambil dari Sunan Abu Dawud, dalam bagian Kitab Malaahim. Dalam Musnad Imam Ahmad (Jld. V, hal. 278), ada redaksi yang menjelaskan, bahwa al-wahnu adalah "hubbul hayaat wa karaahiyatul maut" (cinta hidup dan takut mati). Juga, dalam Musnad Imam Ahmad, ada tambahan redaksi: "Yushiku an tadaa'a 'alaykum al-umamu min kulli ufuq." Artinya, ketika itu, umat Islam akan dikepung dari berbagai penjuru (min kulli ufuq). Hadits Rasulullah tersebut mengingatkan, bahwa problema yang dihadapi kaum Muslim adalah lebih disebabkan pada factor internal mereka. Mereka diposisikan sebagai "hidangan" yang dikeroyok oleh orang-orang lapar, karena mereka sendiri tidak berkualitas.
Betapa ironisnya, di tengah banyaknya kaum Muslim yang kelaparan, kekurangan, dan dibelit kemiskinan, umat Islam menyaksikan banyaknya penguasa-penguasa Muslim yang menghambur-hamburkan kekayaan dan tidak menggunakannya pada jalan yang tepat untuk meninggikan martabat rakyatnya. Jika demikian terus kondisi Muslim, tentu tidak pada tempatnya, kaum Muslim hanya menuding Zionis, Yahudi, Kristen, sebagai biang keladi semua kemunduran dan kekalahan umat Islam. Meskipun, kaum Muslim wajib mencermati berbagai bentuk serangan terhadap Islam, dari mana pun datangnya. Tetapi, jika pada saat yang sama, Muslim sendiri tidak meningkatkan potensi dan kekuatannya, maka sulitlah mereka menjadi umat tebaik, umat yang kuat, yang disegani oleh lawan-lawan mereka. Allah SWT sudah mengingatkan: ?Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu), kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengatahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya.? (al-Anfal:60)
Dalam catatan kali ini yang juga perlu kita sorot adalah adanya fenomena baru dalam Sidang Kemuncak ke-10 OIC. Sidang Kemuncak ini adalah yang pertama setelah peristiwa 11 September 2001, dan diadakan secara besar-besaran di Kuala Lumpur. Ada dua agenda politik yang sangat menonjol dalam Sidang kali ini, yaitu masalah Palestina dan Irak. Sejak didirikan, OIC tak henti-hentinya membahas masalah Palestina. Dan itu tidak mengherankan. Sebab OIC yang didirikan di Rabat, Maroko, pada 25 September 1969, memang dibentuk sebagai respon terhadap pembakaran Masjid al-Aqsha oleh Zionis Yahudi pada 21 Agustus tahun yang sama. OIC ketika itu dibentuk dengan maksud membebaskan Masjid al-Aqsha dan Baitul Maqdis (Jerusalem) pada umumnya. Kini, setelah 34 tahun, tujuan itu masih belum menunjukkan titik terang. Masalah Palestina memang begitu menyedot perhatian dunia internasional.
Tanpa mengecilkan arti masalah ini bagi dunia Islam, sebenarnya masih banyak masalah dalam dunia Islam yang perlu mendapat perhatian dan kepedulian dunia Islam, seperti masalah Kashmir, Moro, Chechnya, Uighur dan sebagainya. Masalah yang menimpa kaum Muslim Kashmir sebenarnya juga tidak kurang menyedihkan. Konflik di Kashmir merebak sejak 26 Oktober 1947. India yang menduduki Janmu Kashmir ? atas permintaan Rajanya yang Hindu ? terus mencengkeram kukunya di wilayah Muslim ini. Padahal, mayoritas rakyat Kashmir yang Muslim menginginkan bergabung dengan Pakistan. Sampai tahun 1990, jumlah korban perjuangan bersenjata sudah mencapai 100 ribu jiwa lebih. Lebih 60 ribu orang cacat, dan 371.729 ribu orang menjadi pengungsi. Pendudukan India terhadap Kashmir tidak pernah disahkan oleh PBB, dan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No 286, 21 April 1948, rakyat Kashmir harus diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Namun, India terus menolak untuk menerapkan resolusi PBB tersebut.
Betapa kontrasnya sikap PBB dan negara-negara Kristen Barat dalam masalah Kashmir ini dengan sikap mereka terhadap Timor Timur. Penduduk Kashmir yang muslim adalah sekitar 25 juta jiwa, sementara Timor Timur hanya berpenduduk sekitar 750 ribu jiwa. Bedanya, pada tahun 1994, 92,3 persen penduduk Timor Timur adalah Katolik, sehingga Vatikan mendukung kemerdekaan Timtim. Sedangkan Kashmir mayoritasnya Muslim. Masalah Kashmir sudah berlarut-larut begitu lama. Ironisnya, dalam sidang OIC kali ini, masalah Kashmir ini sudah tidak terdengar lagi dibicarakan. Bahkan, India semakin ganas dalam melakukan gempuran terhadap pejuang Kashmir. Pasca 11 September ada dua kelompok pejuang Kashmir yang masuk daftar teroris PBB, yaitu Laskar-E-Thayyiba dan Jaysh Muhammad. India juga semakin mendapat angin untuk memojokkan pejuang Kashmir, setelah berhasil memanfaatkan isu terorisme yang digulirkan AS. Kerjasama India-Israel semakin erat, dengan alas an menghadapi ?teroris?. Yang mereka maksudkan adalah para pejuang Islam untuk pembebasan Palestina dan Kashmir.
Awal September 2003, PM Israel Sharon berkunjung ke India. Ini merupakan kunjungan Perdana Menteri Israel pertama ke India. Koran Haaretz, 9 September 2003, menulis berita ini: "India and Israel - two countries that share challenges and values, the only two democracies in their regions. Both countries face dictatorships that sponsor terror." Ujung dari kunjungan Sharon tersebut, Israel menyediakan jasa pelatihan bagi pasukan anti-teror India untuk melawan para pejuang Kashmir. Entah mengapa kasus Kashmir ini tidak menarik perhatian para peserta Sidang Kemuncak OIC kali ini. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah Muslim Moro. Masalah ini juga sekarang tenggelam ditelan isu terorisme.
Beberapa hari lalu, media massa di Indonesia dan Malaysia banyak memberitakan tentang kematian Fathurrahman al-Ghozi yang konon ditembak tentara Filipina. Namun, hingga kini, masih belum jelas duduk sebenarnya dari cerita tersebut. Berita-berita tentang Al-Ghozi hanya dikaitkan dengan wacana tentang terorisme, dan sama sekali tidak dikaitkan dengan problema umat Islam Moro di Filipina Selatan. Padahal, akar dari persoalan al-Ghozi adalah masalah Muslim Moro. Moro ? dari kata Moor -- merupakan sebutan orang-orang Katolik di Spanyol terhadap kaum Muslim di sana. Sebutan itulah yang terus digunakan Spanyol saat berhasil menguasai Filipina (nama ini diambil dari nama "Philip", seorang raja Spanyol). Dalam sejarah tercatat, semangat Spanyol dan Portugal dalam ?membasmi? kaum Muslimin memang luar biasa. Masuknya Spanyol ke Filipina tahun 1565 ? pertama kali mendarat di Pulau Cebu ? merupakan kelanjutan dari aksi pembasmian kaum muslimin di Spanyol.
Karen Armstrong (2001), mencatat, pada tahun 1499, penduduk Muslim Spanyol diberikan dua pilihan: pindah agama atau dideportasi. ?Sejak itu, selama beberapa abad, Eropa menjadi daerah bebas muslim,? tulis Armstrong. Cerita-cerita tentang kekejaman Kristen Spanyol tehadap Muslim ? juga Yahudi ? sangat terkenal dalam sejarah. Henry Charles Lea, menulis empat jilid buku berjudul A History of the Inquisition of Spain, yang menggambarkan dengan rinci kekejaman-kekejaman yang sangat biadab dari penguasa politik dan Gereja Katolik Spanyol. Ada sebuah kisah, ketika pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri mereka dalam biara mereka di Madrid. Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka.
Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa diantaranya gila. Pasukan Perancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut. Kisah ini diceritakan oleh Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, yang terbit tahun 1991. Peter de Rosa adalah sarjana lulusan Gregorian University, Roma. Selama enam tahun ia menjadi guru besar bidang Metafisika dan Etika di Westminster Seminary dan enam tahun juga menjadi Dekan fakultas Teologi di Corpus Christi College, London. Tahun 1970, ia meninggalkan status kependetaannya dan kemudian menetap di Irlandia. Sejarah Muslim di Filipina tak lepas dari semangat pembasmian Muslim oleh kaum Katolik Spanyol ini. Semangat untuk menjadikan Filipina sebagai ?daerah bebas muslim? itulah yang dilakukan Spanyol di Filipina. Maka, begitu tiba di Filipina, Spanyol segera melakukan aksi penguasaan Filipina dan pembasmian Muslim yang sebelumnya sudah masuk ke Filipina sekitar tahun 1360. Spanyol berhasil merebut Manila tahun 1581 dari tangan Sultan Sulaeman. Berturut-turut kemudian wilayah-wilayah Islam di bagian Utara Filipina direbut penjajah.
Dalam catatannya tentang Dunia Islam di Majalah Panji Masyarakat (11 Agustus 1983), tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun (alm.) mencatat, bahwa kekuatan Katolik Spanyol kesulitan merebut wilayah Islam di Filipina Selatan, karena kerasnya perlawanan umat Islam dan bantuan dari sejumlah kesultanan Islam di sekitar Filipina Selatan, seperti Kasultanan Brunai, Makassar, dan Ternate. Sampai akhir kekuasaan Spanyol, tahun 1898, Spanyol tidak berhasil menguasai Mindanao dan Kesultanan-kesultanan Islam di Filipina Selatan. Setelah AS masuk ke Filipina menggantikan Spanyol, posisi Islam juga tidak berbeda jauh. Melalui Pax America, AS memaksa orang-orang Islam di Filipina Selatan membuka tanah-tanah mereka untuk orang-orang Kristen/Katolik, terutama dari Utara. Setelah merdeka dari Jepang, pada 4 Juni 1946, pemerintahan Filipina yang didominasi oleh orang-orang Katolik meneruskan kebijakan Spanyol terhadap kaum Muslim setempat. Upaya pembasmian kaum Muslim dilakukan. Dalam soal pertanahan, pemerintah Filipina juga melanjutkan politik AS, yaitu tanah-tanah orang Islam harus dibuka untuk orang-orang Katolik/Kristen. ?Belum puas dengan keadaan itu, orang-orang Katolik membentuk pasukan liar yang bernama Ilaga. Pasukan ini yang terus-menerus menteror dan membunuh orang-orang Islam, merusak masjid, harta benda, dan rumah orang Islam. Dalam hal ini pun, tentara Filipina tidak melindungi orang-orang Islam, bahkan sebaliknya, membantu pasukan liar Ilaga,? catat Lukman. Sikap penjajah Spanyol itu mengingatkan aksi Pangeran Henry Sang Pelaut (1394-1460) yang pernah melancarkan "strategi besar" dengan tujuan mengepung kekuatan Muslim dan membawa agama Kristen langsung ke wilayah Samudera Hindia.
Ketika berhasil menduduki Malaka, D'albuquerqe berpidato, "Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita adalah mengusir orang-orang Moor (Muslim) dari negara ini dan memadamkan api Sekte Muhammad, sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini.? Latar belakang sejarah perjuangan Muslim Moro ini perlu ditekankan, untuk memahami mengapa sampai ada anak-anak muda Muslim seperti Fathurrahman al-Ghozi yang nekad menggadaikan nyawanya untuk melakukan aksi-aksi yang diyakininya sebagai jihad. Berpuluh-puluh tahun sebelum peristiwa 11 September 2001, OIC menjadiikan masalah Moro sebagai agenda dunia Islam yang perlu diselesaikan. Indonesia juga pernah mengetuai Tim OIC dalam penyelesaian masalah Moro. Tetapi, kini, pemerintah Filipina berhasil memanfaatkan isu terorisme untuk menggencet pejuang Muslim Moro, dengan menggunakan isu baru, ?memburu teroris?.
Kini, dalam Sidang Kemuncak ke-10 OIC, masalah Muslim Moro tenggelam. Bukan hanya ?nyaris tak terdengar?, tetapi memang benar-benar ?tidak terdengar?. Banyak lagi masalah dunia Islam yang perlu ditelaah. Pada bulan Februari 2003, misalnya, Amnesti Internasional mendesak dilakukannya penyelidikan atas pemindasan pemeirntah Cina terhadap Muslim Uighur. Amnesti Internasional menyebut, adanya pelanggaran HAM secara serius pada saat dan sesudah aksi penindasan terhadap unjukrasa etnis minoritas Uighur di Cina Barat pada tahun 1997 lalu. Pemerintah Cina mengatakan hanya 10 orang yang tewas dalam kerusuhan itu, namun sumber-sumber Uighur ketika itu mengatakan sekitar 100 orang tewas dalam peristiwa tersebut. Problema-problema umat Islam itu memang tidak dapat diharapkan akan diselesaikan oleh para pemimpin OIC.
Sebab, mereka banyak yang sedang sibuk memikirkan kursinya sendiri-sendiri, dan memang selama ini mereka kurang serius memikirkan OIC itu sendiri. Rabu (16 Oktober 2003), Koran Utusan Malaysia, mengutip pendapat pakar politik internasional Dr. Chandra Muzaffar, yang menyebutkan, bahwa peruntukan dana untuk OIC hanya 11 juta USD per tahun. Betapa ironisnya alokasi dana sebesar itu. Padahal, tahun 2002 saja, AS membantu 200 juta USD kepada Israel, hanya untuk memberantas "teroris" versi Israel dan AS, seperti Hamas, Jihad Islam, dan sebagainya. Apa pun faktanya, kita ucapkan kepada para pemimpin negara-negara Islam: "Selamat Bersidang", semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar