keikhlasan dan kepedulian dalam dakwah
Pelajaran berharga dari seorang Natsir. Catatan “Seminar Moh. Natsir di IAIN Banjarmasin”. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-244
Oleh: Adian Husaini
Masih dalam rangkaian peringatan seabad Mohammad Natsir, pada 21 Agustus 2008 lalu diselenggarakan seminar tentang pemikiran Mohammad Natsir di Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin. Saya diminta menyampaikan makalah tentang Peran Mohammad Natsir dalam Integrasi Ilmu dan Agama. Seminar dibuka oleh Rektor IAIN Antasari, dan dihadiri kalangan sivitas akademika IAIN, khususnya dosen-dosen Fakultas Tarbiyah.
Mohammad Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Ia wafat di Jakarta 6 Februari 1993. Pendidikan Islam sejak kecil dengan orang tua dan lingkungannya. Pendidikan formal di HIS Solok, MULO (1923-1927), AMS di Bandung (1930). Ketika di Bandung itulah ia berkenalan dan menjadi murid sekaligus sahabat dari ulama pergerakan Islam, A Hassan. Orang sering mengenal Natsir sebagai tokoh dakwah dan politik. Tetapi, tidak banyak yang mengenal Natsir sebagai seorang tokoh Pendidikan Islam. Padahal, kiprahnya di bidang ini sangat fenomenal.
Sebelum menelaah kiprah Natsir di dunia pendidikan, adalah menarik jika menilik riwayat pendidikan Mohammad Natsir. Tahun 1916-1923 Natsir memasuki HIS (Hollands Inlandsche School ) di Solok. Sore harinya, ia menimba ilmu di Madrasah Diniyah. Tahun 1923-1927, Natsir memasuki jenjang sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Lalu, pada 1927-1930, ia memasuki jenjang sekolah lanjutan atas di AMS (Algemene Middelbare School ) di Bandung.
Natsir lahir dari pasangan suami-istri Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Dia dibesarkan pada keluarga muslim yang taat. Sejak kecil, dia sudah dibesarkan dalam tradisi keislaman yang kuat. Kemauannya yang kuat dalam mempelajari ilmu-ilmu agama menjadikan Natsir cepat mengusai bahasa Arab dan ilmu-ilmu lain. Dalam waktu singkat, dia pun sudah bisa membaca kitab kuning. Menurut Natsir, sejak kecil memang dia ingin menjadi seorang ”Meester in de Rechten” (Mr.), satu gelar yang dipandang hebat kala itu. Tapi, cita-cita itu ditinggalkannya setelah Natsir terjun langsung dalam perjuangan Islam di Bandung sejak duduk di bangku AMS.
Menilik sejarah hidupnya, Natsir bisa dikatakan sebagai seorang yang haus ilmu. Di AMS Bandung, dia segera mengejar ketertinggalannya dalam penguasaan Bahasa Belanda – bahasa kaum elite terpelajar waktu itu. Bahkan, dia juga mendapatkan angka tinggi untuk pelajaran bahasa Latin yang sulit. Di Kota Kembang ini pun Natsir terus mendalami agama, disamping belajar sungguh-sungguh di sekolah umum. Kegemarannya dalam membaca buku, mendorongnya menjadi anggota perpustakaan dengan bayaran tiga rupiah sebulan. Setiap buku baru yang datang, Natsir selalu mendapat kiriman dari perpustakaan. Ada tiga guru yang mempengaruhi alam pikirannya, yaitu pemimpin Persis A. Hassan, Haji Agus Salim, dan pendiri al-Irsyad Islamiyah Syech Akhmad Syoerkati. Natsir tertarik kepada kesederhanaan A. Hassan, juga kerapian kerja dan kealimannya. Selain itu A. Hassan juga dikenal seorang ahli perusahaan dan ahli debat.
Di Kota Bandung ini pula, Natsir aktif dalam organisasi Jong Islamiten Bond (JIB). Di sini dia sempat berinteraksi dengan para cendekiawan dan aktivis Islam terkemuka seperti Prawoto Mangkusasmito, Haji Agus Salim, dan lain-lain. Natsir juga sempat mengikuti organisasi Partai Syarikat Islam dan Muhammadiyah. Selain dalam bidang keilmuan, Natsir juga mulai terlibat masalah politik.
Sejak duduk di bangku sekolah AMS tersebut, Natsir sudah mulai terlibat dalam polemik tentang pemikiran Islam. Dia sangat peduli dengan pemikiran-pemikiran yang dinilainya merusak ajaran Islam. Polemik Natsir dengan Soekarno tentang Islam dan sekularisme juga menunjukkan bagaimana ketajaman dan kepedulian Natsir tentang dakwah dan pemikiran Islam. Ibarat pisau yang terasah dengan baik, pandangan dan analisis Natsir yang tajam, terlihat dalam berbagai tulisannya yang mengkritik paham sekularisme.
Lulus dari AMS pada tahun 1930 dengan nilai tinggi, Natsir sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi. Namun, Natsir tidak mengambil peluang kuliah dan menjadi pegawai pemerintah tersebut. Dia lebih suka terlibat langsung dalam perjuangan di tengah masyarakat. Pengalamannya dalam perjuangan Islam telah membawanya kepada cakrawala baru. Natsir memimpin Jong Islameten Bond cabang Bandung tahun 1928-1932. Ia sudah biasa menulis dan berceramah dalam bahasa Belanda – bahasa kaum terpelajar saat itu. Ketika duduk di kelas akhir AMS, Natsir sudah menulis kitab Pengajaran Shalat dalam bahasa Belanda dengan judul ”Komt tot het gebed”.
Ajip Rosidi menulis dalam buku biografi Natsir:
”Lalu, dimulainyalah hidup sebagai seorang bebas yang bermaksud membaktikan dirinya buat Islam. Setiap hari dia pergi ke rumah Tuan Hassan di Gang Belakang Pakgade dengan sepeda untuk mengurus penerbitan majalah Pembela Islam dan pada malam hari ditelaahnya Tafsir Al Qur’an dan kitab-kitab lainnya yang dianggap perlu, termasuk yang ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya. Dibacanya majalah-majalah tentang Islam dalam berbagai bahasa, seperti Islamic Review dalam bahasa Inggris, Moslemische Revue dalam bahasa Jerman, dan juga majalah al Manar dalam bahasa Arab yang terbit di Kairo. Penguasaannya atas bahasa Arab sebenarnya belum sebaik terhadap bahasa Inggris, Perancis atau Jerman-jangan dikata lagi bahasa Belanda- tetapi Tuan Hassan selalu mendesaknya agar dia membaca kitab-kitab atau majalah-majalah dalam bahasa Arab. Hal-hal yang menarik hati dari majalah yang dibacanya itu, disarikannya untuk dimuat dalam Pembela Islam, dengan demikian dibukanya semacam jendela sehingga para pembacanya dapat mengetahui juga keadaan dan pendapat sesama Muslim di bagian dunia yang lain. Pikiran-pikiran Amir Syakieb Arsalan misalnya mendapat tempat yang luas dalam halaman-halaman Pembela Islam, karyanya yang terkenal menelaah mengapa umat Islam mundur, dimuat bersambung di dalamnya.” (Ajip Rosidi, Natsir Sebuah Biografi, Girimukti Pasaka, 1990, hal. 76)
Pilihan Natsir untuk tidak melanjutkan studi ke universitas-universitas terkemuka sama sekali tidak menyurutkan dan menghentikan langkahnya untuk mengkaji ilmu. Pilihannya untuk menerjuni bidang keilmuan dan pendidikan Islam membuktikan kesungguhannya dalam bidang ini. Inilah sebuah pilihan berani dari seorang pemuda cerdas dan berani seperti Natsir. Ia kemudian memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan Ustad A. Hassan. Siang hari, bersama A. Hassan, Natsir bekerja menerbitkan majalah ”Pembela Islam”. Malamnya, dia mengaji al-Quran dan membaca kitab-kitab berbahasa Arab dan Inggris. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung .
Di sekolah Pendidikan Islam inilah, para siswa digembleng ilmu-ilmu agama dan sikap perjuangan. Alumninya kemudian mendirikan sekolah-sekolah sejenis di berbagai daerah. Pilihan Natsir terkadang menghadapkannya pada situasi sulit. Untuk menghidupi sekolah ini, menurut Natsir, kadang dia harus menggadaikan gelang istrinya. Para siswanya juga diajar hidup mandiri agar tidak bergantung kepada pemeritah.
Disamping bergelut dengan persoalan-persoalan nyata dalam dunia pendidikan dan keumatan, Natsir juga terus menerus menggali dan mengembangkan keilmuannya. Ia memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Syuhada Bahri, menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang biasa dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran karya Sayyid Quthb, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hassan.
Kecintaan Natsir di bidang keilmuan dan pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan besar dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya. Setelah disisihkan dari dunia politik di masa Orde Baru, Natsir kemudian benar-benar mengoptimalkan peran dakwah dalam masyarakat melalui lembaga dakwah yang didirikannya bersama berbagai tokoh Islam, yakni Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.
Natsir merupakan sosok ideal konsep aplikasi integrasi ilmu. Meskipun berpendidikan formal sekolah Belanda, dia menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan baik. Sejumlah tulisan dan kiprahnya menunjukkan, bahwa Natsir memegang prinsip integral, tidak dualistik, dalam pendidikan. Natsir tidak menginginkan umat Islam hanya menguasai ilmu-ilmu agama sehingga tertinggal dalam persaingan global. Demikian juga sebaliknya. Dia tidak mau umat Islam hanya mempelajari ilmu-ilmu “umum” dan buta terhadap agamanya yang akan menyebabkan mereka tidak mengetahui misi hidup yang sesungguhnya berdasarkan petunjuk Islam.
Pikirannya itu muncul setelah ia melihat kenyataan di lapangan pada masanya bahwa praktik pendidikan yang dihadapi umat satu sama lain saling menegasikan dan berseberangan. Di satu sisi, pendidikan klasikal a la Belanda yang baru diperkenalkan kepada masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama melalui kebijakan Politik Etis Belanda, sama sekali tidak mengajarkan dan menyentuh aspek-aspek agama. Lebih dari itu, Natsir adalah contoh. Dia adalah guru sejati. Dalam berbagai bidang yang digelutinya, dia menjadi guru bagi banyak orang. Imam Syafii pernah menyatakan, bahwa hanya air yang diam yang akan membusuk. Maka, kisah perjuangan Natsir, memang laksana air yang tak pernah berhenti mengalir.
Tulisan-tulisan Natsir mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam. Dalam buku-buku dan artikel-artikel yang ditulisnya tentang berbagai masalah dalam Islam, kita bisa menemukan semangat dan kepercayaan diri yang tinggi dari seoang Natsir yang sama sekali tidak ’minder’ atau rendah diri menghadapi serbuan paham sekularisme Barat. Prestasinya di sekolah-sekolah Belanda telah menjadikan Natsir seorang yang ’percaya diri’ dan tidak silau dengan kehebatan Barat, yang waktu itu begitu banyak menyihir otak kaum terpelajar dan elite bangsa.
Setidaknya ada dua hikmah yang dapat kita petik dari kisah Natsir dan kiprahnya dalam dunia pendidikan. Pertama, Natsir mempelajari ilmu agama dengan semangat yang tinggi dan niat yang ikhlas. Niat yang lurus dalam mencari ilmu adalah sangat mendasar dan menentukan sikapnya terhadap ilmu agama yang dipelajarinya. Dia belajar agama pada para ulama dan pejuang Islam, bukan kepada penjajah. Dengan posisi seperti itulah, Natsir menjadi orang yang merdeka. Dia tidak silau dengan materi, bahkan rela meninggalkan peluang pekerjaan pada pemerintah penjajah meskipun diiming-imingi gaji yang menggiurkan. Natsir memilih untuk membina umat secara langsung. Dia menawarkan diri untuk mengajar di beberapa sekolah umum yang ketika itu kosong dari pelajaran agama. Natsir mengajar secara sukarela, tidak meminta gaji.
Dalam seminar itu, saya juga mengimbau kepada sivitas akademika IAIN Antasari agar menata niat dalam mencari ilmu, jika ingin menjadikan Natsir sebagai teladan. Kembali saya ingatkan peringatan Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah, jika seseorang mencari ilmu ditujukan untuk kepentingan-kepentingan duniawi, maka dia sudah berjalan untuk menghancurkan agamanya sendiri. Dari Fakultas Tarbiyah, kita berharap lahir guru-guru agama yang cerdas, mukhlis, dan mencintai ilmu pengetahuan; bukan orang-orang yang cinta dunia, haus harta, dan gila jabatan.
Kedua, kita dapat mengambil hikmah dari kisah kepedulian Natsir terhadap masalah umat. Sejak muda, bahkan sejak usia anak-anak, Natsir sudah terlatih memahami masalah umat. Saat duduk di bangku AMS, Natsir sudah aktif menjawab pemikiran yang dinilainya keliru. Itu terjadi ketika seluruh kelasnya diundang oleh guru gambar untuk menghadiri pidato seorang pendeta Kristen bernama Ds. Christoffels, tahun 1929. Pidatonya berjudul ”Quran en Evangelie” dan ”Muhammad als Profeet”. Meskipun disampaikan dengan gaya yang lembut, Natsir melihat pidato si pendeta itu sesungguhnya menyerang Islam secara halus. Esoknya, pidato itu dimuat di surat kabar ”A.I.D.” (Algemeen Indish Dagblad). Natsir kemudian menulis artikel yang menjawab opini sang pendeta, melalui koran yang sama.
Ada cerita menarik dari M. Amin Jamaluddin, ketua LPPI. Pada bulan Oktober 1983, Amin menulis artikel yang mengkritik pemikiran Dr. Harun Nasution. Dalam artikelnya, Amin memaparkan dampak yang sangat serius dari pemikiran Harun Nasution terhadap mahasiswa IAIN. Tanpa diduga, papar Amin, gara-gara artikel itu, dia diundang oleh Pak Natsir. “Sebagai anak daerah, saya sangat bangga dipanggil Pak Natsir,” ujar Amin, pemuda asal NTB, yang ketika itu aktif di Pemuda Persis.
Amin lebih terkejut lagi, ketika Pak Natsir menyampaikan padanya, bahwa Dr. Harun Nasution adalah bagian dari tokoh orientalis internasional dan apa yang dilakukan Amin merupakan pekerjaaan bertaraf internasional. “Saya masih ingat benar ucapan Pak Natsir itu,” kata Amin Jamaluddin kepada saya.
Itulah dua pelajaran yang dapat kita ambil dari kehidupan Moh. Natsir. Ikhlas dalam mencai ilmu untuk berjuang menegakkan agama Allah dan sangat peduli dengan hal-hal yang merusak umat. [Depok, 5 Ramadhan 1429 H/5 September 2008/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar