..::::::..

Pesan Idul Fitri Dari Vatikan

Vatikan mengirimkan pesan penting untuk Ramadhan dan Idul Fithri pada umat Islam di seluruh dunia. Bagaimanakah kita menyikapi pesan persahabatan Vatikan seperti ini? Baca CAP Adian Husaini ke-32 Menyambut Idul Fitri 1424 H, ada satu hal yang menarik untuk kita telaah kali ini, yaitu pesan Ramadhan dan Idul Fithri 1424 Hijriah, dari Vatikan. Tepatnya dari lembaga di bawah Vatikan bernama “PONTIFICAL COUNCIL FOR INTERRELIGIOUS DIALOGUE” (DEWAN KEPAUSAN UNTUK DIALOG ANTARUMAT BERGAMA).

Judul pesannya: “MESSAGE FOR THE END OF RAMADAN, 'Id al-Fitr 1424 A.H . / 2003 A.D.” (PESAN PADA AKHIR BULAN RAMADHAN, Idul Fitri 1424H/2003M). Untuk menelaah secara lebih komprehensif, berikut ini kita simak terjemahan pesan ini dalam bahasa Indonesia, yang diterjemahkan dengan baik jika dibandingkan dengan teks bahasa Inggrisnya:

Sahabat-sahabat Muslim yang terkasih,

1. Ramadan tiba lagi dan merupakan kegembiraan yang besar bagi saya untuk menyampaikan salam saya yang terdalam bagi Anda semua.

Selama bulan yang istimewa ini santap bersama, iftâr, saat berbuka puasa pada akhir hari, dan anggota-anggota keluarga serta sahabat-sahabat berkumpul dalam suasana gembira. Cukup sering, mereka yang beragama lain diundang untuk ikut merasakan saat gembira makan bersama dan berkembanglah sekarang kebiasaan di kalangan orang-orang kristiani untuk menyelenggarakan iftâr bagi sahabat-sahabat yang beragama Islam.

Ungkapan-ungkapan persahabatan seperti itu memang pantas dihargai, teristimewa pada saat terjadi banyak kerusuhan dan ketegangan di dunia ini. Dalam semangat persaudaraan itulah saya, bersama semua yang berada di Dewan Kepausan, menyampaikan salam kepada semua umat Islam di seluruh dunia, terutama pada saat Idul Fitri, Hari Raya yang menutup bulan Ramadhan.

2. Sebagaimana telah menjadi kebiasaan dalam pesan tahunan seperti ini, saya ingin menyampaikan kepada saudara-saudara, dan nampaknya tepat bila memusatkan perhatian pada perlunya membangun perdamaian.

Saya mulai dari surat Paus Yohanes XIII yang empat puluh tahun yang lalu, pada tahun 1963, disampaikan kepada siapa saja yang berkehendak baik. Dalam surat yang diberi nama Pacem in Terris-Damai di Bumi, disampaikan bahwa perdamaian merupakan kenyataan yang bertumpu pada empat tiang penyangga: Kebenaran, Keadilan, Cinta Dan Kemerdekaan. Masing-masing nilai tersebut merupakan syarat terjalinnya hubungan yang rukun antar manusia dan antar bangsa.

3. Kebenaran merupakan tiang pertama, karena termasuk di dalamnya pengakuan bahwa manusia itu bukan merupakan penentu bagi dirinya sendiri, melainkan bahwa dia dipanggil untuk memenuhi kehendak Tuhan, Pencipta segalanya, yang adalah Sang Kebenaran Mutlak.

Dalam hubungan yang manusiawi kebenaran itu mengandaikan ketulusan, yang merupakan syarat untuk saling percaya dan dialog menuju perdamaian. Kecuali itu, kebenaran mengantar masing-masing orang untuk mengenal haknya sendiri, tetapi juga mengenal kewajibannya terhadap orang lain.

4. Namun perdamaian tidak dapat terjadi tanpa keadilan, hormat kepada martabat dan hak orang perorangan. Tiadanya keadilan baik di dalam hubungan-hubungan pribadi, sosial maupun internasional merupakan sebab terjadinya kekacauan yang menghasilkan kekerasan di dalam dunia kita sekarang ini.

5. Akan tetapi keadilan harus diimbangi dengan cinta.

Hal itu mengandaikan kemampuan untuk mengakui bahwa kita semua ini menjadi anggota sebuah keluarga manusia dan dengan demikian mampu melihat sesama manusia sebagai saudara lelaki dan saudara perempuan. Itu memberi kesanggupan untuk saling berbagi baik dalam kesengsaraan maupun kegembiraan. Itu membuat orang merasakan kebutuhan orang lain sebagai kebutuhannya sendiri, dan perasaan ini mengantar mereka untuk membagikan anugerah yang dimilikinya dengan sesama, bukan hanya yang berbentuk barang-barang jasmani tetapi juga nilai-nilai akal budi dan semangat. Cinta juga tidak kaku terhadap kelemahan, dan dengan demikian mencakup kemampuan untuk mengampuni. Pengampunan ini sangat penting untuk memulihkan perdamaian setelah pecah pertikaian, karena hal itu memungkinkan kita untuk memulai kembali, pada dasar yang baru, dalam hubungan yang telah dipulihkan.

6. Semuanya itu mengandaikan kemerdekaan, sebuah sifat hakiki yang dimiliki oleh manusia. Karena kemerdekaan memungkinkan manusia untuk bertindak berdasarkan akalnya dan memikul tanggung jawab atas tindakannya sendiri. Memang kita masing-masing bertanggung jawab di hadapan Tuhan atas sumbangan kita bagi masyarakat.

7. Untuk empat tiang tersebut, saya ingin menambahkan yang kelima, yaitu doa. Karena Anda semua tahu bahwa sebagai manusia, kita ini lemah. Kita alami bahwa tidak mudahlah hidup sesuai dengan cita-cita kita. Kita memerlukan bantuan Allah, dan untuk itu kita harus mohon dengan rendah hati. Perbolehkan saya di sini sekarang mengutip beberapa kata Paus Yohanes Paulus II:

"Bila perdamaian merupakan anugerah Allah dan bersumber pada-Nya, di mana kita harus mencarinya dan bagaimana kita membangunnya, bila bukan di dalam hubungan yang dalam dan mesra dengan Allah? Maka dari itu, untuk membangun perdamaian di dalam tata masyarakat, keadilan dan kemerdekaan menuntut adanya prioritas untuk melibatkan diri dalam doa, yang terbuka, mendengarkan, berdialog dan akhirnya bersatu dengan Tuhan, yang merupakan sumber utama perdamaian sejati." (Amanat pada Hari Doa Perdamaian, Asisi, 24 Januari, 2002).

Kemudian, Paus lebih lanjut berkata bahwa doa bukan bentuk pelarian. Sebaliknya, doa memungkinkan kita untuk menghadapi kenyataan dengan kekuatan yang berasal dari Allah.

8. Bulan Ramadhan bukan hanya merupakan saat untuk berpuasa, tetapi juga merupakan masa untuk berdoa secara intensif. Saya ingin menegaskan kepada Anda semua, sahabat-sahabat yang beragama Islam, bahwa kita disatukan dalam doa kepada Allah yang Mahakuasa dan Maharahim.

Semoga Dia memberkati Anda masing-masing dan semua Anggota keluarga Anda. Semoga Berkat ini menjadi sumber hiburan khususnya bagi mereka yang telah menderita, atau sedang menderita karena pertikaian bersenjata. Semoga Tuhan yang baik memberi kita semua kekuatan untuk menjadi pembangun perdamaian yang sejati.

Teriring harapan terbaik untuk Perayaan Yang Terberkati, 'Id mubârak. [Uskup Agung Michael L. Fitzgerald (Ketua)

0o0

Itulah pesan Ramadhan dan Idul Fithri dari Vatikan. Bagaimanakah kita menyikapi pesan persahabatan Ramadhan dan Idul Fithri dari Vatikan seperti itu? Secara umum, umat Islam tentu menyambut baik uluran persahabatan dan perdamaian. Namun, umat Islam tentu diharapkan menganalisisnya secara kritis. Banyak masalah yang tidak berhenti sampai disitu. Misalnya, tentang Perdamaian. Perdamaian yang bagaimanakah yang dikehendaki Vatikan? Dan bagaimana cara mencapainya?

Samakah konsep perdamaian Vatikan dengan konsep perdamaian dalam Islam? “Damai di bumi” (pacem in terris) yang bagaimana? Orang Romawi punya slogan yang terkenal sampai sekarang: si vis pacis para bellum (Jika anda mau damai, maka musti siap perang).

Perdamaian adalah harapan. Islam mencintai perdamaian. Tetapi, kebenaran lebih penting. Istilah “damai” itu sangatlah relatif. Bagaimana jika suatu masyarakat hidup damai dan sejahtera, namun mereka merestui dan melagalisasi perjudian, pelacuran, minuman keras, narkotika, homoseksual, dan sebagainya? Negara Belanda adalah negara yang damai, dibandingkan dengan Indonesia dan banyak negeri muslim lainnya. Namun, negara ini mengesahkan perkawinan homoseksual.

Kemunculan Islam pertama kali di Mekkah, dengan konsep Tauhidnya, dianggap oleh masyarakat waktu itu sebagai “perusak perdamaian”, karena Nabi Muhammad saw menentang tradisi penyembahan terhadap patung-patung.

Kadang-kadang, demi perdamaian, kebenaran bisa dikorbankan. Hamka menceritakan, ia pernah berkirim surat kepada Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, (ketika itu belum masuk Islam), yang isinya memprotes tindakan Kanwil P&K Jawa Timur karena melarang mengajarkan surat al-Ikhlas demi menjaga kerukunan dan toleransi umat beragama.

Surat Paus Yohanes XIII tahun 1963, yang diberi nama Pacem in Terris itu menyatakan, bahwa perdamaian merupakan kenyataan yang bertumpu pada empat tiang penyangga, yaitu: Kebenaran, Keadilan, Cinta dan Kemerdekaan. Masing-masing nilai tersebut merupakan syarat terjalinnya hubungan yang rukun antar manusia dan antar bangsa. Surat Paus Yohanes XIII itu perlu juga dianalisis secara kritis. Misalnya, tentang kebenaran. Apakah yang dimaksudkan dengan kebenaran oleh Paus? Konsep kebenaran dalam Kristen jelas berbeda dengan konsep kebenaran dalam Islam. Paus tetap berpegang dengan konsep kebenaran agamanya sendiri, dan memerintahkan agar misi Kristen tetap dijalankan. Konsili Vatikan II, yang berakhir tahun 1965, tetap menyatakan: "Tentu saja, ia mewartakan dan harus terus mewartakan Kristus, "jalan kebenaran dan kehidupan" (Yohanes 14:6), yang di dalam-Nya manusia dapat menemukan pemenuhan kehidupan keagamaan, yang di dalam-Nya Allah telah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya."

Paus Yohannes Paulus II sendiri tetap mengaku risau karena manusia yang tidak mengenal Injil terus bertambah. Simaklah pidato Paus Yohannes Paulus saat menyongsong Yubileum Agung Tahun 2000:

"Jumlah mereka yang tidak mengenal Kristus dan tidak menjadi anggota Gereja terus-menerus bertambah. Sungguh, sejak akhir Konsili (Vatikan II) jumlahnya hampir dua kali lipat. Bila kita memperhatikan bagian umat manusia yang besar ini yang dicintai Bapa dan kepada mereka Bapa mengutus Putra-Nya, mendesaknya tugas perutusan Gereja jelas sekali... Di hadapan Gereja, Allah membuka cakrawala kemanusiaan yang lebih siap untuk penaburan Injil. Saya merasa bahwa saatnya sudah tiba, yaitu saat untuk mengabdikan seluruh tenaga Gereja untuk penginjilan baru dan untuk perutusan kepada bangsa-bangsa (ad gentes). Tak ada satu pun orang yang beriman akan Kristus, tidak satu pun lembaga Gereja dapat menghindari tugas luhur ini: memaklumkan Kristus kepada semua bangsa. (RM no. 3)."

Jika Paus terus memerintahkan agar Kristus dimaklumkan kepada semua bangsa, itu artinya perintah menjalankan misi Kristen. Tentu saja, kaum Muslim dan agama-agama lain menolak konsep kebenaran versi Kristen itu. Bahkan, sejak kelahirannya, Islam telah memberikan bantahan yang tegas terhadap konsep-konsep teologi Kristen. Al-Quran banyak menjelaskan kekeliruan konsep-konsep Kristen dan Yahudi dan kelompok-kelompok musyrik lainnya.

Menjelang kedatangan Paus Yohanes Paulus II di Indonesia tanggal 3 Desember 1970, empat tokoh Islam Indonesia, yaitu M. Natsir, KH Masjkur, Prof. Rasjidi, dan KH Rusli Abdul Wahid menulis surat kepada Paus.

Isinya meminta agar penyalahgunaan "Diakonia" (pelayanan masyarakat) untuk tujuan mengkristenkan orang Islam, segera dihentikan. Sebab, cara-cara itu sendiri sudah ditentang dalam Konferensi Internasional tentang misi Kristen dan Dakwah Islam di Chambessy pada bulan Juni 1976, dimana para pemimpin Islam, Katolik, dan Protestan sudah memutuskan: "Konferensi mengutuk dengan keras semua penyalahgunaan diakonia… Konferensi, karena menyadari dengan pedih bahwa sikap umat Islam terhadap misi Kristen telah dipengaruhi secara merugikan oleh penyalahgunaan diakonia, dengan keras mendesak greja-gereja dan organisasi-organisasi keagamaan Kristen untuk menghentikan penyalahguaan diakonia mereka di dunia Islam."

Masalah keadilan, cinta, dan kebenaran, juga perlu dikaji secara kritis. Namun, yang menarik adalah upaya Vatikan untuk “merangkul” umat Islam dengan pesan-pesan perdamaian. Ini memberikan image positif pada Vatikan sebagai pelopor perdamaian. Kita mengimbau, agar Vatikan lebih keras lagi dalam menentang terorisme, terutama yang dilakukan oleh Israel dan Amerika Serikat. Sebab, di situlah sebenarnya salah satu sumber tidak terciptanya perdamaian di bumi. Kita juga nengharapkan, agar Vatikan bersikap tegas dan tidak meneruskan upaya-upaya misi Kristen untuk mengkonversi kaum Muslim. Lebih baik mereka berkonsentrasi “mengkristenkan kembali” orang-orang Amerika dan Eropa yang telah meninggalkan agama dan gereja-gereja mereka sendiri. Ucapan dan salam perdamaian akan lebih bermakna jika disertai dengan tindakan yang nyata.

Selama bulan Ramadhan, 1424 H, misalnya, televisi 1 Malaysia, menyiarkan program khusus bernama “Islam di Eropah”. Banyak sekali problema yang dihadapi umat Islam di sini. Mereka masih menghadapi berbagai diskriminasi social-politik di negara-negara yang rajin menggembar-gemborkan Hak Asasi Manusia.

Soal pendidikan, makanan, jilbab, kuburan Islam, dan sebagainya, umat Islam masih terdiskriminasi. Inilah yang seyogyanya diperjuangkan Vatikan. Apalagi dalam politik.

Bandingkan dengan kondisi kaum minoritas Kristen di Indonesia dan sebagainya, yang mereka tidak menghadapi masalah untuk menduduki jabatan-jabatan politik tingkat tinggi. Amerika dan Eropa hingga kini belum berani mengangkat seorang Muslim sebagai menteri dalam kabinet.

Hanya, kaum Muslim perlu melihat dengan sungguh-sungguh tindakan Vatikan yang aktif memelopori dialog-dialog dan kajian antar agama. Selain mendirikan lembaga dialog antar-agama, sejak tahun 1975, Vatikan juga menerbitkan sebuah Jurnal bernama “ISLAMOCHRISTIANA”, yang diterbitkan oleh “Pontifico Instituto di Studi Arabie d’Islamistica. Banyak tulisan-tulisan ilmiah berbobot yang dimuat dalam Jurnal ini. Penulisnya juga dari berbagai kalangan, termasuk kalangan cendekiawan Muslim.

Sikap ilmiah dan sungguh-sungguh untuk mengkaji Islam dari Vatikan ini seyogyanya menyadarkan Muslim, untuk melakukan hal yang seimbang.

Sebagian pusat-pusat pendidikan di dunia Islam, seyogyanya juga memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kajian Kristen, Yahudi, dan Barat pada umumnya. Sehingga dunia Islam mempunyai tenaga yang cukup untuk memahami Kristen, Yahudi, dan Barat. Satu contoh kecil, kini ribuan kaum Muslim belajar tentang Islam pada cendekiawan Yahudi dan Kristen; apakah ada orang-orang Kristen yang mau belajar tentang Kristen pada cendekiawan Muslim? Wallahu a’lam.

Selamat Idul Fithri 1424 Hijriah. Maaf lahir batin. Taqabbalallahu minna wa minkum.

(Kualalumpur, 21 November 2003).




Artikel Terkait:

0 komentar:

Flash

  © Blogger templates Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP