Wanita, Narkoba, dan Rusaknya Negara
PERISTIWA tertangkapnya Putri Aryanti Haryo Wibowo (20 tahun) dalam kasus narkoba, menjadi menarik perhatian bukan saja karena yang bersangkutan merupakan cicit dari mendiang mantan presiden Soeharto, tetapi juga karena ada beberapa hal lain yang menyertainya.
Pertama, ketika ditangkap (Jum’at dini hari tanggal 18 Maret 2011) ia sedang menggunakan sabu bersama seorang ‘pengawal’ berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (setingkat Letnan Kolonel pada TNI Angkatan Darat), dan empat orang lainnya. Konon, dari tangan Putri hanya ditemukan sabu seberat 0,8 gram.
Kedua, pada saat penangkapan berlangsung, polisi menyita 30 gram sabu dan 30 butir ekstasi, konon milik seorang bandar yang juga teman Putri.
Ketiga, Putri punya riwayat keluarga yang dekat dengan kasus serupa. Ibunya, Raden Roro Gusti Maya Firanti Noer (istri pertama Ari Sigit, cucu mantan Presiden Soeharto) ditangkap aparat kepolisian karena kedapatan memakai sabu seberat 0,5 gram pada tanggal 22 Juni 2000.
Dari kasus di atas, setidaknya kita memperoleh gambaran tentang adanya peranan kaum wanita di dalam dunia kelam narkoba. Meski seorang ibu pernah terlibat narkoba, namun bila ia bertobat dan membimbing anak-anaknya dengan ajaran agama, insya Allah anak keturunannya tidak terperosok ke dalam lembah yang sama. Tapi, bila ia tak juga bertobat, boleh jadi anak-keturunannya akan terjerembab ke kubangan yang sama.
Dalam hal ini, kasus narkoba yang menjerat Maya-Putri adalah dalam rangka mereguk kesenangan duniawi yang semu, dan tentu saja bukan karena kesulitan ekonomi, sebagaimana terjadi pada janda muda berinisial Y (21 tahun) yang ditangkap BNN beberapa hari sebelum Putri ditangkap. Pada tanggal 16 Maret 2011, tim gabungan BNN menangkap Y di sebuah apartemen di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dari tangan Y disita 20 ribu butir ekstasi dan lima ribu butir Happy Five.
Ternyata, janda muda asal Bandung ini hanya berperan sebagai kurir yang bekerja untuk kekasihnya berinisial E (30 tahun) yang masih mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat. Meski berstatus narapidana kasus narkoba, namun E tetap dapat mengendalikan bisnis beromzet miliaran rupiah ini dari dalam rutan, dan hal ini sudah berlangsung sejak November 2010. Ini juga menjadi satu bukti penguat, bahwa penjara tidak menghalangi seorang bandar atau pengedar melanjutkan bisnis haramnya.
Menjadikan wanita sebagai kurir narkoba memang bukan hal baru. Bahkan, sudah menjadi salah satu modus operandi. Bulan lalu (08 Februari 2011), tim gabungan BNN menangkap wanita cantik beinisial RA di Batam yang berperan sebagai kurir narkoba untuk jaringan internasional asal Nigeria.
Modus operandi yang digunakan RA adalah menjadikan bingkai lukisan sebagai media penyimpan sabu yang dibawanya. Dari empat buah lukisan yang dibawanya, berisi sabu dengan berat total 5,52 kilogram. Dengan tertangkapnya RA, aparat kemudian berhasil menangkap lima orang lainya, diantaranya warga Nigeria berinisial PR yang merupakan teman kumpul kebo (zina) RA.
Pada hari Kamis tanggal 17 Maret 2011, aparat kepolisian dari Polda Kalbar meringkus ibu rumah tangga berinisial YN (30 tahun), yang diduga menjalankan peran sebagai pengedar sabu. YN tertangkap di Jalan Putri Dara Nante, Gang Karimata, Pontianak, saat sedang transaksi. Dari tangan YN polisi berhasil mengamankan sembilan gram sabu beserta uang tunai Rp 920 ribu.
Tiga hari sebelumnya, 14 Maret 2011, aparat polresto Jakarta Timur menangkap perempuan berinisial FB (25 tahun) yang menjalankan profesi sebagai pengedar sabu. Dari tangan FB polisi mengamankan 0,50 gram sabu dan 18 paket kecil sabu dengan berat 3,50 gram. FB adalah residivis. Beberapa bulan sebelumnya, ibu kandung FB berusia 45 tahun telah lebih dulu dicokok aparat karena tertangkap tangan sedang mengedarkan sabu di sekitar kediaman mereka di kawasan Berlan, Matraman, Jakarta Timur. Keduanya memang sering keluar-masuk penjara untuk urusan narkoba (pengedar sabu).
Di Samarinda, Kalimantan Timur, aparat kepolisian di sana menangkap wanita beranak tiga berinisial MN (43 tahun) karena kedapatan membawa sabu seberat 20,79 gram. MN adalah warga jalan P Bendahara, Samarinda Seberang. Ia menyimpan sabu siap edar bernilai Rp 50 juta di tumpukan piring telur dengan harapan tidak mudah terendus petugas. Upayanya itu gagal.
Pada awal Januari 2011, aparat kepolisian Polda Sulawesi Tenggara menangkap wanita berusia 30 tahun bernama Ayu, salah seorang pengedar narkoba terutama untuk kawasan Raha, ibukota Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Ayu ditangkap di Hotel Rosidah sekitar pukul 10.00 Wita. Dari tangan Ayu polisi berhasil menyita barang bukti satu paket sabu siap konsumsi.
Sepanjang 2010
Keterlibatan kaum wanita di dalam dunia kelam narkoba, bisa terjalin secara tidak langsung, sebagaimana terjadi pada Suparti (saat itu 56 tahun), warga jalan Lasem Baru No. 42 kecamatan Krembangan Surabaya, Jawa Timur. Sehari-hari Suparti bekerja sebagai pengasuh balita. Di sela-sela kesibukannya, ia menjalani peran sebagai ‘asisten’ anaknya yang menjadi pengedar narkoba. Setiap ada pesanan dari pelanggan yang membutuhkan sabu, sang anak selalu mengarahkan kliennya mengambil sabu di rumah.
Sang anak tidak menemui langsung pelanggannya, tetapi ia menjadikan ibunya sebagai ‘asisten’ untuk menyerahkan sabu kepada setiap pelanggan yang datang. Akhirnya, peran ganda Suparti diketahui aparat, dan ia diamankan aparat Polwiltabes Surabaya pada 07 Januari 2010. Dari tempat Suparti aparat menemukan barang bukti berupa sabu seberat 0,35 gram.
Bila Suparti hanya menjadi ‘asisten’ anaknya, di Tangerang (Provinsi Banten), seorang ibu (berinisial TLM) justru menjadi produsen sabu dengan mendapat bantuan kedua orang anaknya (RK dan RD). Mereka menjadikan tempat tinggalnya di Jalan Taman Parahyangan 2 No. 15 Villa Permata Lippo Karawaci, Tangerang, sebagai pabrik sabu. Pada saat digrebek (12 Februari 2010), aparat menemukan 200 gram sabu siap edar.
Di Majene, Sulawesi Barat, tiga ibu rumah tangga ditangkap aparat kepolisian setempat karena selain menjadi pemakai juga pengedar sabu. Mereka adalah Fitri, Cimmi, dan Sumarni. Ketiganya ditangkap pada hari Ahad tanggal 7 Maret 2010, saat sedang mengkonsumsi sabu di rumah salah seorang tersangka. Mereka mengaku menjalani bisnis sabu karena alasan kebutuhan ekonomi. Pada saat ditangkap, polisi menemukan barang bukti antara lain satu paket sabu seberat 0,5 gram.
Alasan ekonomi juga yang mendorong Suwarni (saat itu 52 tahun) menjadi pengedar ganja. Suwarni adalah penduduk Jalan Benteng Hulu Gang Pribadi Medan, Sumatera Utara, yang ditinggal mati suaminya. Untuk menghidupi keempat anaknya, Suwarni nekat menjadi pengedar ganja. Perjalanan Suwarni sebagai pengedar ganja berakhir, ketika pada hari Senin tanggal 19 April 2010, sekitar pukul 08:00 waktu setempat, ia dicokok aparat kepolisian dari Poltabes Medan. Saat dicokok, polisi menemukan ganja kering sebanyak tiga kilogram yang disimpan di dalam rumah Suwarni. Ganja kering itu dalam keadaan siap edar.
Di Jakarta, ibu empat anak karena alasan eknomi juga menjadi pengedar narkoba. Berbeda dengan Suwarni yang mengedarkan ganja, Mayangsari penduduk Jalan Gading Raya, Kelurahan Pisangan Timur, Jakarta Timur ini mengedarkan sabu. Ia ditangkap aparat kepolisian Resor Jakarta Timur pada Senin malam tanggal 3 Mei 2010 di rumahnya. Sebelumnya, Mayangsari pernah ditahan di Rumah Tahanan Pondokbambu selama satu tahun satu bulan karena kasus ganja. Rupanya penjara tidak membuat Mayangsari kapok. Ia malah naik kelas, dari pengedar ganja menjadi pengedar sabu.
Ida Fitriani (saat itu 31 tahun) juga sering masuk penjara untuk urusan narkoba, namun tak pernah kapok. Pada hari Senin tanggal 24 Mei 2010, ia kembali ditangkap aparat Polda Lampung, dengan barang bukti berupa sabu dengan berat total 17 gram (terdiri dari satu paket sabu seberat 2 gram dan 15 gram sabu yang dibagi dalam empat paket). Ibu rumah tangga yang masih punya anak kecil ini, nekat menjual sabu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ida Fitriani warga Desa Margakaya, Jatiagung, Lampung Selatan, ini didakwa melanggar pasal 114 ayat 1 dan pasal 112 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Di Jawa Timur, Polresta Malang pada tanggal 01 Agustus 2010 menangkap Ngatmina Sulaika alias Risa (saat itu 25 tahun), warga Jalan Inspektur Suwoto, RT 005 RW 001 Desa Sidodadi, Lawang, Malang, karena diduga menjadi pengedar sabu. Risa adalah ibu dua anak, isteri ketiga dari salah seorang pegawai Kecamatan Glagah, Bangkalan, Madura. Ia ditangkap di tempat kosnya, Jalan Diponegoro gang Enggal, Lawang. Dari tangan Risa petugas mengamankan barang bukti berupa empat paket sabu dengan berat total 4 gram.
Penjara tak membuat kapok, nampaknya juga berlaku bagi Syarifah (saat itu 25 tahun). Ibu dua anak warga jalan RE Martadinata, Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini, sebelumnya pernah masuk penjara karena kasus sabu. Kini, ia ditangkap aparat karena diduga mengedarkan ineks. Syarifah nekat menjadi pengedar ineks, karena ia membutuhkan uang untuk menebus kendaraan miliknya yang digadaikan salah seorang temannya. Saat ditangkap, awal November 2010 lalu, Syarifah baru saja menjual 30 butir ineks dengan keuntungan per butir mencapai Rp 70.000. Namun, keuntungan itu belum sempat dinikmati, karena Syarifah keburu ditangkap aparat.
Di Kediri, dua ibu rumah tangga, yaitu Agustin Suminto (30 tahun) warga Jalan Anjasmara Gang II, Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri dan Afrita Herawati (23 tahun), ditangkap aparat. Semula, keduanya hanya pemakai biasa. Namun belakangan beralih menjadi pengedar karena tak tahan ujian menghadapi persoalan rumah tangga. Agustin dalam proses cerai dengan suaminya, sedangkan Afrita tak tahan hidup serba kekurangan.
Senin siang, 22 November 2010, aparat kepolisian menangkap Agustin (ibu satu anak) yang siap mengedarkan sejumlah 520 butir pil dobel L. Setelah menangkap Agustin, polisi berhasil menangkap Afrita yang menjadi pemasok narkoba kepada Agustin. Dari tempat Afrita, polisi berhasil mengamankan sebanyak 9.000 butir pil dobel L.
Di Malang, Jawa Timur, dua wanita lesbi ditangkap aparat kepolisian Polda Jatim karena diduga menjadi pengedar sabu. Mereka adalah Dika Sugiarti (saat itu 20 tahun ) dan Nina (saat itu 45 tahun). Keduanya warga Karang Ploso, Malang. Nina sehari-hari berjualan tahu di Pasar Karang Ploso. Sedangkan Dika, sehari-hari menjadi pedagang asongan di kawasan GOR Ken Arok Malang. Untuk memenuhi biaya hidup mereka berdua, Nina dan Dika nekat menjadi pengedar sabu. Ketika ditangkap, 23 November 2010, aparat mengamankan sabu seberat 49,6 gram.
Di Deliserdang, Sumatera Utara, seorang ibu bernisial SA (saat itu 30 tahun), pada hari Sabtu siang tanggal 09 Oktober 2010, ditangkap petugas dari Polsekta Medan Helvetia, karena diduga menjadi pengedar sabu. Saat ditangkap, dari tangan SA yang merupakan warga Jalan Binjai Km 9,5 Kelurahan Lalang, Deliserdang ini, ditemukan empat paket sabu senilai Rp 1 juta. Beberapa saat sebelumnya, suami SA yaitu SU (saat itu 45 tahun) telah lebih dulu ditangkap aparat karena menjadi pengedar sabu. Rupanya, SA tidak jera. Meski suaminya sudah tertangkap, ia tetap nekat menjadi pengedar sabu.
***
Dari fakta-fakta di atas, ternyata peranan wanita di dalam dunia kelam narkoba tidak sekedar menjadi pengguna dan pengedar, tetapi juga menjadi produsen (mendirikan dan mengelola pabrik sabu rumahan) sebagaimana dilakoni seorang ibu berinisial TLM, warga Jalan Taman Parahyangan 2 No. 15 Villa Permata Lippo Karawaci, Tangerang, Banten. Perkembangan seperti ini jelas mengkhawatirkan. Karena wanita adalah tiang negara. Bila tiangnya saja sudah rusak karena menjadi pengguna, pengedar bahkan produsen narkoba, keruntuhan sebuah negara sudah menjadi sesuatu yang niscaya. (haji/tede)
(nahimunkar.com)
0 komentar:
Posting Komentar