Awas Misi Gereja Kristen!
Nashruddin Syarief
Insiden bentrokan antara 200 jemaat Huria Batak Kristen Protestan (HKBP) dengan sembilan orang warga Bekasi 3 Syawwal 1431 H silam di Ciketing, Bekasi, menyisakan luka yang cukup dalam di benak umat Islam Indonesia. Hal itu disebabkan umat Islam lagi-lagi menjadi sasaran fitnah masyarakat nasional dan internasional sebagai pihak yang tidak menghargai kebebasan beragama dan menciptakan ketidakrukunan di antara umat beragama.
Istilah “kebebasan beragama” dan “kerukunan umat beragama” pun kemudian menjadi dua kata kunci yang efektif untuk memojokkan umat Islam, khususnya mereka yang menjadi warga Bekasi. Dengan jaringan media yang luas, dan dengan analisa yang cenderung dipenuhi stigma negatif terhadap umat Islam, jadilah pembuatan opini yang tidak seimbang oleh mereka yang sensitif dengan dua kata tersebut cenderung berhasil.
Padahal pangkal masalah dari kebebasan beragama yang seolah-olah tidak menemukan solusinya di negeri berpenduduk mayoritas muslim ini terletak pada “misi” gereja itu sendiri. Misi bagi gereja selama ini sering disamakan dengan dakwah yang dipraktikkan umat Islam. Padahal keduanya sangat jauh berbeda. Misi bagi gereja bersifat memaksakan, dan kalau perlu konfrontasi, sementara dakwah dalam Islam sama sekali tidak ada sifat memaksakan, apalagi sampai harus konfrontasi. Akibatnya tidak heran jika peraturan yang telah disepakati bersama untuk menciptakan kerukunan umat beragama (baca: SKB), sering dilanggar oleh mereka dengan alasan menjalankan misi suci Kristen.
Misi dalam Kristen telah ditegaskan oleh kitab suci Kristen dalam Matius 28:19-20 yang dikenal dengan “amanat agung”: “Karena itu pergilah jadikanlah semua bangsa muridku, baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” Kata “semua bangsa” merupakan terjemahan dari Bibel berbahasa Inggris: all of the nation. Akan tetapi jika dirujuk pada Bibel aslinya yang berbahasa Yunani: kata yang digunakan adalah τα εθυη (ta ethne) yang artinya “bangsa yang belum percaya kepada Tuhan” yakni Tuhan versi mereka.
Dalam Islam, ajaran yang serupa tidak akan ditemukan, karena sudah menjadi prinsip ajaran yang jelas la ikraha fid-din; tidak ada paksaan dalam agama. Atau lakum dinukum wa liya din; agama kalian terserah kalian, aku hanya peduli dengan agamaku, demikian kurang lebih penafsirannya. Semua perintah dakwah menggunakan kalimat ud’u (serulah/ajaklah) atau ta’alau (marilah). Kepada pemeluk Yahudi dan Kristen yang masih juga menolak seruan Islam, menurut QS. Ali ‘Imran [3] : 64: “Maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. Artinya, cukup akui bahwa umat Islam adalah pemeluk agama wahyu (Islam), jangan diganggu dan dianiaya. Atau dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 20 diarahkan: “Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah).” Bukan memaksa untuk memeluk Islam kepada orang yang belum beragama Islam.
Hal selanjutnya yang membedakan misi Kristen dan dakwah Islam adalah kesatuan ajarannya itu sendiri. Dalam Islam ada banyak kesatuan ajaran khususnya dalam rukun iman dan islam. Konsekuensinya, siapapun yang meyakini rukun iman dan islam adalah bersaudara, bisa beribadah berjama’ah satu masjid walaupun tidak saling kenal, sehingga tidak perlu diinterogasi dulu Kartu Anggotanya dari ormas mana. Sementara hal yang sama tidak berlaku di Kristen. Jemaat HKBP misalnya tidak bisa ikut kebaktian di gereja non HKBP, mereka harus beribadat hanya dengan jemaat HKBP lagi. Akibatnya jangan heran jika misi gereja rentan dengan pendirian gereja-gereja. Padahal di gereja-gereja yang sudah ada pun tidak pernah terceritakan jemaatnya membludak seperti halnya dalam shalat Jum’at atau shalat ‘Id yang ada di umat Islam. Walaupun komunitas mereka sedikit, mereka tidak segan-segan untuk mendirikan gereja terkait misi mereka itu.
Misi Kristen yang populer disebut “kristenisasi” atau yang belakang diubah istilahnya oleh kaum Kristiani sendiri menjadi “transformasi”, merupakan sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Pdt. Dr. A.A. Yewangoe sendiri, Ketua Umum PGI, secara terus terang menyatakannya dalam majalah Kristen Narwastu, No.2, Agustus 2003: “Memang tidak perlu dibantah, gereja senantiasa melakukan kristenisasi sebagai mandat skriptural (kitab suci—red).” Sementara Pdt. Erastus Sabdono, M.Th., seorang Gembala Sidang Rehobot Ministry dalam majalah Kristen Spirit No.10 Thn. II, 2003, menyatakan: “Kita berubah dari manusia dunia menjadi manusia rohani. Istilah gereja memasehikan (mengkristenkan) dunia, inilah yang dimaksud dengan transformasi.”
Praktik kristenisasi itu sendiri, menurut Drs. Mowo Purwito R., Dipl. HRD, S.Th, MAR yang seorang mantan Pendeta Kristen dan kemudian menjadi muallaf ini, terdiri dari tiga gerakan: Pertama, oikos concept atau konsep gereja rumah. Kedua, cell group atau kelompok sel. Dan ketiga, sector fellowship atau persekutuan wilayah. Konsep gereja rumah adalah dengan mengadakan kebaktian di rumah-rumah. Kelompok sel adalah dengan mengadakan kegiatan kerohanian di lembaga-lembaga non gereja, semisal perusahaan, dengan pola perekrutan mirip MLM. Dan persekutuan wilayah tidak terbatas pada gereja (church organizing) saja tapi juga pada lembaga-lembaga non gereja (para-church organizing), semisal LSM, yayasan, dan lain sebagainya.
Mowo menuturkan lebih lanjut, kegiatan yang dilakukan dalam proses transformasi itu sendiri ada yang berupa café church (gereja di café/mall); conselling (konsultasi) melalui media cetak, elektronik, dan telekomunikasi; social problem solving (pemecahan masalah sosial) seperti program beasiswa (scholarship) SD s.d S3, pemulihan ekonomi, advokasi hukum & HAM, dan penyembuhan, baik yang sifatnya medis atau non-medis seperti penyembuhan lewat do’a pendeta; friendship explossion (semacam jaringan pertemanan); community development (pembangunan masyarakat) seperti bakti sosial dan pelayanan sosial; youth generation community (komunitas generasi muda) seperti adanya bimbingan belajar untuk anak-anak muda, kursus bahasa Inggris di gereja, dan lain sebagainya; gospel contextualization (kontekstualisasi bible/alkitab) dengan melakukan penerjemahan ke bahasa daerah atau bahasa Arab. Semua itu merupakan kegiatan-kegiatan yang mengandung misi dan sering diakhiri dengan kegiatan pembaptisan.
Misi seperti ini tentu akan menimbulkan reaksi dari masyarakat sekitar, tidak hanya yang beragama Islam, tapi juga yang beragama Hindu dan Budha, seperti yang sering terjadi di Bali. Reaksi yang spontan bisa menimbulkan konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu adanya peraturan berupa SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9/2006 tentang kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah yang sudah disetujui oleh tokoh lintas agama seyogianya dijadikan standar untuk menilai mana sebenarnya pihak yang tidak menghargai kebebasan beragama dan kerukunan umat beragama. Kalau pihak Kristen sering mengklaim diri dikekang kebebasan beragamanya karena tidak bebas mendirikan rumah ibadah, sebenarnya hal yang sama juga dialami oleh masyarakat muslim minoritas di daerah mayoritas Kristen. Akan tetapi sepanjang SKB ditaati insiden seperti yang terjadi di Bekasi tidak mungkin terjadi.
Pelajaran dari Kasus Bekasi
Apa yang terjadi di Ciketing, Bekasi, adalah salah satu contoh yang jelas dari adanya misi dalam gereja yang dimulai dari gereja rumah. Walau dari 1 Maret 2010 rumah yang dijadikan kebaktian oleh HKBP sudah disegel oleh Pemkot Bekasi, mereka tetap ngotot untuk mengadakan kebaktian di sana. Akibatnya, pada 20 Juni 2010 rumah di Jl. Puyuh No. 14 tersebut kembali disegel oleh Pemkot Bekasi. Pada tanggal 11 Juli 2010 jemaat HKBP kemudian beralih melakukan kebaktian di sebuah tanah lapang di Ciketing Asem, 3 km dari rumah kebaktian yang sudah disegel. Saat menuju ke tanah lapang, jemaah HKBP melakukan konvoi dari Jl. Puyuh ke tempat kebaktian yang juga belum mendapatkan izin sesuai SKB.
Pada 12 September 2010, terjadi bentrok antara sembilan warga dengan 200 jemaat HKBP yang sedang konvoi. Akibatnya dua pengurus HKBP Pondok Timur Indah tertusuk di perut bagian atas. Sembilan warga lainnya terluka, lebam, patah tangan, dan tertusuk. Menurut informasi dari kedua pihak pada saat insiden terjadi, kedua belah pihak membawa senjata tajam, bahkan sampai ada yang membawa senjata api. Pada 16 September 2010, Pemkot Bekasi kemudian mengeluarkan larangan menyelenggarakan kebaktian di lapangan Ciketing dengan alasan mengganggu ketertiban umum, dan kemudian menyewakan sebuah gedung eks Pemuda Pancasila untuk jemaat HKBP. Akan tetapi pada 19 September 2010 mereka malah kembali menggelar kebaktian di rumah Jl. Puyuh yang sudah sejak awal disegel.
Apa yang terjadi di Bekasi tersebut setidaknya harus menjadi ‘ibrah bagi umat Islam semuanya, khususnya yang ada di Indonesia, untuk senantiasa waspada dengan misi gereja Kristen. Sebab bagi masyarakat Kristiani, mengkristenkan umat Islam secara paksa, walau harus dengan konfrontasi, wajib dilakukan sebagai pemenuhan titah amanat agung. Umat Islam sudah seyogianya mengedepankan budaya dialog dengan menggunakan dasar SKB untuk menghadapi mereka, bukan dengan sikap konfrontasi yang akan selalu berujung pada insiden. Wal-’Llahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar