Sihir Idol
Senin, 30 Agustus 2004
Imperealisme budaya merebak luas dan digandrungi masyarakat Muslim. Idolisasi dan mitosisasi Barat yang telah melibas nurani dan akal sehat baca CAP Adian Husaini, MA ke-67
“Sihir” program-program “Idol” di televisi sungguh luar biasa. Ribuan orang bernafsu menjadi peserta. Jutaan orang terlibat dalam acara itu melalui penghantaran SMS. Di AS, para peserta rela menginap dua hari di lapangan terbuka, hanya untuk menunggu giliran audisi. Di Malaysia, acara-acara sejenis, seperti Malaysian Idol, Akademi Fantasia, dan Audition, mampu meraup jumlah SMS puluhan juta, melebihi jumlah penduduk Malaysia. Di Indonesia, demam acara sejenis melanda sampai ke desa-desa. T-Shirt AFI ada juga yang dipakai pekerja Indonesia di Malaysia.
Ujung dari berbagai program tersebut adalah upaya penciptaan “idola”, “bintang pujaan”, khususnya dalam dunia bisnis hiburan (showbiz). Tentu, acara-acara ini merupakan lahan basah untuk meraup keuntungan para pemilik industri televisi. Iklan membanjiri acara-acara itu. Di Malaysia, acara Malaysian Idol meraup iklan dari perusahaan-perusahaan besar, seperti Telekom, Coca Cola, Revlon, dan sebagainya. “Idol” sudah menjadi kosa kata bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani “eidolon” yang berarti “image” atau “form”. The American Heritage Dictionary mengartikan kata “idol” sebagai “An image used as an object of worship”, atau “one who is adored”. “Dari kata ‘Idol’ berkembang kata “idolatry” kemudian dimaknai sebagai “The worship of idol”, yakni ‘penyembahan satu idola’ atau “blind devotion”, yakni, ‘ketaatan yang membuta’.
Kekaguman, pemujaan, biasanya memang berujung pada ketaatan yang membabi-buta. Itu tampak dari perilaku banyak remaja yang menggilai idola pujaannya di kalangan selebritis, mulai drai perilaku mengoleksi album, foto, tanda tangan, lalu meniru-niru perilaku dan model pakaiannya. Sebagian pak turut buta ini sampai rela menyerahkan dirinya untuk diapakan saja oleh idolanya. Berbagai acara TV yang mempertemukan antara idola dan pemujanya sudah ditayangkan. Biasanya digambarkan, bagaimana histerisnya, ketika sang pemuja berjumpa dengan sang idola. Satu bentuk kegetaran hati, kebahagiaan, keterharuan, yang menurut al-Quran, harusnya dialami oleh seorang mukmin, saat ‘berjumpa’ dengan Allah, ketika sang mukmin melaksanakan ibadah salat.
Jadi, kata “idol” memang berkaitan dengan aspek “pemujaan”, “penghormatan”, dan “penyembahan”. Para juara dalam program-program ini akan ditampilkan sebagai “idol”, idola, yang dipuja, dihormati, dan mendapatkan berbagai fasilitas hidup duniawi yang menggiurkan. Pesatnya perkembangan industri showbiz membutuhkan banyak “idol”. Sebagaimana layaknya, dunia showbiz, sosok-sosok pujaan dibangun di atas “realitas kamera” atau “realitas semu”, yang sifatnya temporer, sesuai dengan kebutuhan dunia bisnis hiburan. Di atas realitas inilah dibangun mitos-mitos. Mitos tentang idol, mitos tentang sang pujaan, mitos tentang sang bintang, yang cantik/tampan, berbakat menyanyi, berakting, dan beruntung.
Demam acara “Idol” di berbagai negara merupakan gambaran yang tepat dari sebuah proses globalisasi di bidang “fun” atau hiburan. Pada kenyataannya, globalisasi semakin mengarah kepada satu bentuk ‘imperialisme budaya’ (cultural imperialism) Barat terhadap budaya-budaya lain. Prof. Amer al-Roubaie, pakar Globalisasi di International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), mencatat: “It has been widely acknowledged that the present waves of global culture trends are mainly of Western products, spreads across the world by the advancement in electronic technologies and various form of media and communication systems. Terms such as cultural imperialism, media imperialism, cultural cleansing, cultural dependency and electronic colonialism are used to describe the new global culture as well as its implications on non-Western societies.”
Hegemoni Amerika dalam dunia hiburan dan pembentukan budaya global, dapat dikatakan sebagai satu bentuk “American Cultural Imperialism”. Industri film Amerika dan berbagai stasiun TV-nya mendominasi pembentukan budaya global. Dan dibalik itu semua adalah mempromosikan kepentingan-kepentingan Amerika dengan mengekspor modernitas dan mempropagandakan konsumerisme.
Globalisasi adalah satu masyarakat post-kapitalis yang mendorong kapitalisme dengan mempromosikan sejumlah karakteristik dari kapitalisme. Sebagaimana dikatakan Holton: “Americanization thesis is that it is capitalism rather than Americanization that is becoming globalized.”
Itulah yang sebenarnya sedang menimpa umat manusia di seluruh pelosok dunia, Sebuah proses imperialisme budaya yang dilakukan budaya Barat, yang akhirnya juga tidak lepas dari kepentingan (interests) dari negara-negara kuat. Dalam bukunya, Ideologies of Globalization: Contending visions of a New World Order, Mark Rupert menulis satu bab berjudul “The Hegemonic Project of Liberal Globalization”. Ia mencatat, bahwa globalisasi adalah proyek politik dari kekuatan sosial dominan dan akan selalu problematis dan mendapat tentangan: “There is no reason to believe that liberal globalization is ineluctable… it has been the political project of an identifiable constellation of dominant social forces and it has been, and continues to be, politically problematic and contestable.”
Berbagai kajian tentang fenomena globalisasi telah banyak diungkapkan. Namun, kuatnya arus konsumerisme, hedonisme, dan ‘narkotikisme’ yang dijejalkan kepada masyarakat dunia melalui berbagai acara-acara hiburan, memang sulit dibendung. Sihir-sihir dunia showbiz begitu menawan dan menyapu akal sehat. Manusia terus dijejali cara berpikir pragmatis dan hedonis, untuk melahap apa saja, menikmati hidup, tanpa peduli apakah cara yang dilakukannya menghancurkan nilai-nilai akhlak dan agama. Jika liberalisasi di bidang moral sudah berlangsung, maka sebagian kalangan akan mencoba-coba mencari legitimasi dari agama, sebagaimana dalam kasus homoseksual di Barat.
Homoseksualitas yang berabad-abad dicap sebagai praktik kotor dan maksiat, oleh agama-agama, justru kemudian diakui sebagai praktik yang manusiawi dan harus dihormati sebagai bagian dari penghormatan Hak Asasi Manusia. Perkembangan kasus homoseksualitas di Barat sungguh sangat mengerikan. Pemimpin-pemimpin Gereja semakin terdesak opininya, karena sebagian pemuka Kristen dan cendekiawanannya pun sudah mendukung dan menjadi pelaku homoseksual atau lesbianisme. Dalam kasus homoseksual, para teolog Kristen juga berlomba-lomba membuat tafsiran baru, agar praktik maksiat itu disahkan oleh Gereja. Tetapi, sebagian teolog Kristen pendukung homoseksual kemudian membuat tafsiran lain yang melegitimasi praktik homoseksual, juga dengan dalil-dalil Bible.
Logika kaum sekular di Barat yang enggan berpegang kepada agamanya ini sebenarnya sederhana. Karena homoseksual sudah menjadi kenyataan yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Barat, maka untuk memberikan legitimasinya, tidak jarang mereka harus merekayasa ajaran agama mereka agar sesuai dengan ‘tuntutan zaman’, agar Kristen tetap relevan untuk kaum homoseksual; agar Kristen tidak dicap kuno, dan dapat diterima oleh masyarakat modern, sebab homoseksual sudah dipersepsikan oleh para pendukungnya sebagai gaya hidup modern. Maka, dunia Kristen semakin terpukul ketika media massa membongkar ribuan kasus pedopilia (pelecehan seksual terhadap anak-anak) yang dilakukan oleh para tokoh Gereja. Seolah-olah kemunafikan itu terbongkar, dimana tokoh-tokoh agama yang ‘tidak kawin’ dan punya hak memberikan pengampunan dosa, ternyata melakukan tindakan keji dengan menzinahi anak-anak.
Pada 27 Februari 2004, The Associated Press wire menyiarkan satu tulisan berjudul Two Studies Cite Child Sex Abuse by 4 Percent of Priests, oleh Laurie Goodstein, yang menyebutkan, bahwa pelecehan seksual terhadap anak-anak dilakukan oleh 4 persen pastur Gereja Katolik. Setelah tahun 1970, 1 dari 10 pastur akhirnya tertuduh melakukan pelecehan seksual itu.
Dari tahun 1950 sampai 2002, sebanyak 10.667 anak-anak dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual oleh 4392 pastur. Studi ini dilakukan oleh The American Catholic bishops tahun 2002 sebagai respon terhadap tuduhan adanya penyembunyian kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan para tokoh Gereja.
Fenomena Idolisasi yang merebak luas dan digandrungi oleh masyarakat Muslim, seharusnya menjadi refleksi serius dari para ulama. Berkaca pada fenomena dalam masyarakat Barat, maka sumber masalah ini sebenarnya terletak pada diri kaum Muslimin sendiri, yaitu rusaknya ilmu dan ulama. Ulama sudah meninggalkan tugasnya, yaitu menjaga aqidah umat, dan tidak lagi peduli dengan pengembangan ilmu. Banyak ulama yang terjun ke politik, dan melupakan tugasnya, bahkan ada yang perilakunya dalam dunia politik, sama saja dengan kaum juhala. Atau, banyak juga orang yang berperilaku tidak baik, dan berilmu dangkal dalam agama, tetapi sudah dijuluki ulama. Padahal, kata ulama, artinya adalah orang yang sangat tinggi ilmunya. Harusnya, orang dijuluki ulama, karena ilmunya, bukan karena gelar “KH” yang kadang kala dipasang sendiri pada kartu namanya. Seharusnya masyarakat tidak terburu-buru mengakui seseorang sebagai “Kyai Haji” sebelum terbukti, orang itu ilmunya mumpuni dan akhlaknya terpuji. Rasulullah saw sangat mengkhawatirkan dampak dari perilaku ulama jahat (as-su’) terhadap amsyarakat. Ulama yang keliru dan salah lalu menyebarkan ilmunya yang salah, jauh besar pengaruh negatifnya ketimbang pastor yang salah.
Karena para remaja tidak menemukan lagi ‘panutan’ dan tidak mendapatkan ‘tuntunan’ dari para ulama, maka mereka mencari tuntunan pada dunia tontonan. Mereka lebih menghormati selebritis yang hobi mengumbar aurat, ketimbang ulama. Dalam masyarakat yang sakit, masyarakat, pers, pengusaha, dan pemerintah, jauh lebih menghormati dan memuliakan Artika Sari Devi, putri Indonesia 2004, dan Taufik Hidayat, ketimbang Septinus George Saa, pemenang medali emas dalam ajang First Step to Nobel Prize in Physics, 30 Maret 2004.
Fenomena ini menjadi tugas para ulama sejati untuk menelaah, memahami, dan mencarikan solusinya. Bangsa Indonesia – terutama calon presidennya – seyogyanya sadar bahwa mereka sedang berada dalam arus imperialisme budaya global yang dahsyat dan melenakan serta membuai kemiskinan dan kenistaan bangsa dengan “narkobaisme” dalam dunia hiburan. Imperialisme budaya membutuhkan “idol” dan sekaligus menciptakan “mitos-mitos” yang memang tumbuh subur dan berurat berakar dalam tradisi Barat, sejak zaman Yunani kuno.
Pembukaan acara Olimpiade di Athena baru-baru ini menunjukkan bagaimana kuatnya pengaruh mitos dalam kehidupan masyarakat Yunani ketika itu, yang kemudian juga diwarisi oleh masyarakat Barat. Berbagai mitos jauh lebih menarik dan berpengaruh terhadap perilaku masyarakat Barat ketimbang fakta-fakta.
Jan Bremmer, dalam buku “Interpretations of Greek Mythology”, mencatat, bahwa meskipun masyarakat Barat sudah tersekulerkan dan membuang hal-hal yang supranatural, namun mereka tetap memelihara cerita-cerita tertentu sebagai model perilaku dan ekspresi ideal negara mereka. Meskipun berbeda, masyarakat Barat memiliki banyak kesamaan dengan masyarakat Yunani. Sebagaimana masyarakat Yunani, mitos-mitos juga banyak menarik bagi masyarakat Barat.
Kata mitos (myth) berasal dari kata Yunani kuno “muthos” yang asalnya berarti “ucapan”, dan kemudian berarti “cerita oral atau tertulis”. Pengaruh mitos-mitos Yunani terhadap masyarakat Barat dapat dilihat dari banyaknya istilah atau nama-nama yang diambil dari nama-nama dewa dalam mitologi Yunani, seperti Titans, Eros, Aether, Uranus, Electra, Hera, Apollo, Mars, Hermes, dan sebagainya. Apollo, yang dijadikan nama pesawat pertama Amerika Serikat ke bulan, dipuja sebagai dewa rasional, dan diasosiasikan dengan budaya dan musik. Ia digambarkan sebagai pria tampan yang memiliki banyak affair dengan laki-laki maupun wanita. Hermes, anak Zeus – bos para Dewa yang bermarkas di Gunung Olympus -- juga digambarkan memiliki banyak affair, seperti Apollo. Ia pun dikenal sebagai Dewa para pencuri. Ketika ia tumbuh besar, Zeus menjadikannya sebagai utusan para dewa. Dari nama Hermes kemudian diambil istilah ‘hermeneutika’.
Cerita-cerita dalam mitologi Yunani memang dipenuhi dengan unsur seksual dan perselingkuhan, baik diantara para dewa maupun antara dewa dengan manusia. Karena itu, gambaran tentang dewa oleh Iwan Fals, dalam lagunya, “Manusia Setengah Dewa” tidaklah terlalu tepat.
Mitos-mitos itu hidup di tengah masyarakat Yunani, meskipun sebagian mereka juga mengembangkan pemikiran tentang filsafat dan ilmu pengetahuan alam. Bahkan, seringkali “rasional” dan “mitos’ disatukan dalam satu figur. Seperti sosok Horace (Quintus Horatius Flaccus). Selain belajar filsafat di Academia di Athena, ia juga percaya kepada mitos-mitos. Sebelum bergabung dengan tentara Brutus melawan Antonius, ia berkunjung ke kuil Dewa Apollo di Delphi (yang gambarnya berulangkali muncul dalam acara seputar Olympiade 2004).
Di masa modern, Barat pun mengembangkan mitos-mitos yang mirip dengan mitologi Yunani. Wonderwomen yang diperkenalkan oleh Charles Moulton, identik dengan cerita Diana dalam mitologi Yunani. Superman, yang tidak dapat dilemahkan kecuali dengan Kryptonite Hijau, mirip dengan kehebatan Achilles yang tidak dapat dilukai kecuali pada tumitnya. Dalam tradisi masyarakat Barat, misalnya, juga sangat terkenal legenda dan mitos tentang Santa Claus dan Suartepit, dalam kaitan dengan Perayaan Natal. Cerita ini sama sekali tidak ada kaitan dengan agama Kristen. Tetapi, toh, tetap mendominasi suasana Natal di Barat dan berbagai penjuru dunia lainnya. Sosok Santa Claus jauh lebih popular ketimbang Jesus dalam perayaan Natal.
Di era globalisasi, idolisasi dan mitosisasi terus dibangun untuk berbagai tujuan dan kepentingan. Arus besar Idolisasi dan mitosisasi Barat yang mengandung unsur-unsur “narkotikisme”, telah melibas nurani dan akal sehat, membuai banyak manusia dengan hiburan.
Jika mau bertahan dan survive, Indonesia, dalam kondisi seperti ini, membutuhkan “al-Ghazali”, dan “Shalahuddin al-Ayyubi” yang mengembangkan peradaban berbasis ilmu dan keyakinan; bukan lagi kelas “Ken Arok” dan “Ken Dedes” yang mengembangkan peradaban berbasis keris, batu dan ‘pesona badan’.
Wallahu a’lam.
(KL, 28 Agustus 2004).
0 komentar:
Posting Komentar