terang-terangan mengaku sepilis
Menyambut perayaan 40 tahun orasi pembaruan Islam Nurcholish Madjid (3 Januari 1970-2010), Budhy Munawar-Rachman menerbitkan empat buah buku tentang sekularisme, liberalisme dan pluralisme (sepilis). Berdasarkan penelitian yang dilakukannya selama 12 tahun terakhir, Budhy mengklaim bahwa sepilis sangat sesuai dengan Islam, dan dengan sendirinya fatwa MUI tentang haramnya paham sepilis adalah salah fatal untuk tidak disebut bodoh. Budhy juga membeberkan fakta empiris terkait lembaga-lembaga mana saja yang terang-terangan mengembangkan ide sekularisme, liberalisme dan pluralisme.
Empat buku tersebut masing-masing berjudul: (1) Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme; (2) Argumen Islam untuk Sekularisme; (3) Argumen Islam untuk Pluralisme; dan (4) Argumen Islam untuk Liberalisme. Semua buku tersebut berjudul kecil “Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya”. Dalam buku pertama, Budhy menguraikan dengan gamblang konsep dasar sekularisme, liberalisme dan pluralisme lengkap dengan profil lembaga-lembaga pengusungnya sekaligus pola gerakan dari masing-masing lembaga tersebut. Sementara tiga buku terakhirnya menguraikan secara lebih lengkap “justifikasi” Islam untuk sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Budhy dengan jujur menyatakan “justifikasi” karena walaupun ide-ide tersebut berasal dari Barat, tapi sebenarnya sangat sesuai dengan ajaran Islam. “Dengan kata “menjustifikasi” di sini maksudnya adalah bagaimana Islam bisa menerima pandangan-pandangan demokrasi modern seperti sekularisme, liberalisme dan pluralisme sebagai miliknya sendiri, karena memang nilai-nilai dasar ketiga konsep itu sejatinya adalah ajaran agama.” (Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, hlm. 1).
Buku tersebut diterbitkan dalam rangka perayaaan 40 tahun orasi pembaruan Islam Nurcholish Madjid (Cak Nur), karena menurut Budhy, Cak Nur memang seorang tokoh yang telah sungguh-sungguh mencoba menggali paham Islam tentang sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Nurcholish Madjid, terang Budhy, sepanjang karir intelektualnya terus menerus menulis dan mengadvokasikan argumen sekularisme , liberalisme dan pluralisme agama melalui karangan-karangannya yang tersebar, di antaranya sebagaimana telah dikumpulkan oleh Budhy dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid.
Merespon Fatwa MUI
Hal lain yang diakui secara jujur oleh Budhy, buku-buku ini merupakan jawaban atas fatwa MUI yang mengharamkan sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Karena menurut Budhy, secara substansial sekularisme, liberalisme dan pluralisme keagamaan adalah bagian integral dari spirit Islam—dan sangat penting, bahkan merupakan suatu keharusan dikembangkan dewasa ini untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, terbuka dan demokratis. Ketiga hal tersebut—masyarakat Indonesia yang adil, terbuka dan demokratis—tegas Budhy, tidak akan terwujud jika sekularisme, liberalisme dan pluralisme tidak berkembang dan dikembangkan di Indonesia.
Maka dari itu, menurut Budhy, fatwa MUI walau bagaimanapun tidak benar dan hanya menimbulkan kontroversi karena menyebabkan orang yang menerima paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme dinilai sebagai “orang sekular” yang “jauh dari agama Islam yang benar”. Akibatnya ketiga konsep tersebut dianggap berbahaya oleh masyarakat dan dinilai sebagai sebuah penyakit berbahaya dengan sebutan penyakit “sepilis”.
Budhy pun kemudian mengutip pendapat tokoh-tokoh Islam Progresif yang menolak dengan tegas fatwa MUI tersebut, di antaranya, Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute, Jakarta, yang menyatakan: “Bagi saya, alasan yang dikeluarkan MUI dalam memfatwa haram sekularisme, liberalisme dan pluralisme itu sama sekali tidak masuk akal.” Ulil Abshar-Abdalla pentolan JIL mengatakan: “Secara keseluruhan, fatwa MUI itu penuh persoalan dilihat dari sudut kehidupan berbangsa. Fatwa itu adalah setback ditinjau dari upaya membangun kehidupan kebangsaan yang plural.”
Islam Progresif
Dalam buku-bukunya ini, Budhy menyatakan bahwa kajian Islam atas sekularisme, liberalisme dan pluralisme yang disajikannya didasarkan pada paradigma Islam Progresif. Islam Progresif berarti Islam yang selalu responsif terhadap kemajuan (progress). Mengutip Nur Kholis Setiawan, Budhy menjelaskan bahwa Islam Progresif adalah Islam yang menawarkan sebuah kontekstualisasi penafsiran Islam yang terbuka, ramah, segar, serta responsif terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Islam Progresif menawarkan sebuah metode berislam yang menekankan terciptanya keadilan sosial, kesetaraan gender, dan pluralisme keagamaan.
Budhy tidak menampik penilaian bahwa Islam Progresif ini adalah Islam Liberal, karena di antara dua istilah ini menurutnya kadang bisa dipertukarkan. Yang jelas istilah ini menggambarkan suatu gerakan mutakhir dalam Islam Indonesia yang melampaui gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam modern. Istilah lain dari Islam Progresif adalah Islam Neo-Modernis sebagaimana dipopulerkan Fazlur Rahman. Ciri utama dari Islam Progresif/Liberal/Neo-Modernis ini adalah penerimaan terhadap sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Metodologi yang mereka gunakan adalah melakukan pembacaan ulang terhadap ajaran-ajaran agama melalui ilmu-ilmu baru seperti hermeneutika dan ilmu-ilmu sosial.
Kelompok Islam Progresif
Kelompok Islam Progresif lahir dari kalangan tradisional yang diwakili oleh NU dan dari kalangan modern yang diwakili oleh Muhammadiyah. Secara umum kecenderungan ideologis mereka, menurut Budhy, bersemangat kritis terhadap teks-teks keagamaan, dekonstruksionis (merusak tatanan keilmuan yang sudah ada), dan dalam batas-batas tertentu bercorak kekiri-kirian.
Para perintisnya, dari generasi intelektual “jilid pertama” adalah Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan M. Dawam Rahardjo yang semuanya dikenal masuk dalam gerbong “Islam Liberal-Progresif” atau “Neo-Modernisme Islam”. Dilanjutkan oleh intelektual progresif “jilid kedua” seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Amin Abdullah, Bachtiar Effendy, Moeslim Abdurrahman, Abdul Munir Mulkhan, Jalaluddin Rakhmat, dan M. Syafi’i Anwar.
Lembaga-lembaga yang masuk dalam kategori Islam Progresif ini selanjutnya bisa dibagi ke dalam tiga kelompok; 1) berbasiskan “tradisional” dan berafiliasi dengan NU, 2) berbasiskan “modernis” dan berafiliasi dengan Muhammadiyah, dan 3) berbasiskan gabungan “tradisional” dan “modernis”.
Kelompok yang berbasiskan “tradisional” dan berafiliasi dengan NU adalah:
Pertama, Jaringan Islam Liberal (JIL). Sebuah lembaga yang pertama kali dikenal publik berkat kiprah kontroversial sang koordinatornya, Ulil Abshar-Abdalla. Lembaga ini didirikan secara resmi pada 8 Maret 2001, dan diprakarsai serta difasilitasi oleh Goenawan Mohammad, pentolan Tempo. Program kegiatannya berupa sindikasi penulis Islam Liberal yang menyebarkan tulisan-tulisan ke berbagai media, talkshow di kantor berita 68H dengan jaringan 70 radionya, penerbitan buku, diskusi keislaman, dan iklan layanan masyarakat.
Kedua, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Lembaga yang dipimpin oleh Masdar Farid Mas’udi dan Zuhairi Misrawi ini semula dirintis oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) yang dipimpin oleh M. Dawam Rahardjo dan memfokuskan diri pada pengembangan pesantren. Selain mengembangkan kurikulum dan ekonomi kepesantrenan, lembaga ini pun memasarkan tafsir emansipatoris (yang membebaskan) seperti telah ditempuh oleh Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Mohammad Arkoun, dan Farid Esack. Untuk itu, P3M melaksanakan program training untuk pesantren tentang fiqh tasamuh (fiqh toleransi), yang berisikan dasar-dasar pluralisme dalam Islam, yang kemudian dilanjutkan dengan “Interfaith Solidarity for Poverty Reduction” (kerjasama antaragama untuk pengentasan kemiskinan). Dari program ini sampai sekarang telah dilatih 250 kyai muda progresif yang mempunyai perhatian pada isu pluralisme dan transformasi sosial.
Ketiga, The Wahid Institute. Dari namanya sudah identik dengan pendirinya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Visi lembaga ini, sebagaimana dituturkan Direkturnya, Yenny Wahid, adalah mewujudkan visi Gus Dur, yaitu membangun pemikiran Islam moderat dan progresif, yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama, multikulturalisme dan toleransi. Program yang digulirkannya adalah kampanye Islam, pluralisme, dan demokrasi; penerbitan dan perpustakaan; capacity building untuk jaringan Islam Progresif; dan pendidikan yang di antaranya diarahkan pada kyai-kyai muda yang ada di desa dengan pendidikan yang berdasarkan visi Gus Dur.
Keempat, Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU. Berdiri sejak didengungkannya kembali khittah 1926 yang menuntut NU keluar dari gelanggang politk praktis untuk fokus pada pengembangan masyarakat. Sejak 1995 lembaga ini menjadikan isu radikalisme keberagamaan sebagai isu strategis yang harus mereka tangani melalui pendidikan kritis dengan mewacanakan Islam yang moderat, pluralis, dan ramah. Program yang digulirkannya adalah program pengembangan wacana keulamaan untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil dan demokratis; kampanye Islam pluralis dan moderat melalui radio dan televisi; pengembangan wacana kritis bagi aktivis dakwah; menganalisis perubahan wacana di antaranya dengan menjadikan wacana radikalisme agama sebagai isu strategis; menerbitkan jurnal Tashwirul Afkar yang berisi kajian-kajian keislaman yang bersifat progresif.
Kelima, Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKiS) yang bermula dari kelompok diskusi dan gerakan mahasiswa awal tahun 1990-an di Yogyakarta yang dimotori oleh PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Misi lembaga ini adalah menyebarluaskan gagasan Islam yang transformatif, toleran, dan bersifat keindonesiaan; mengembangkan pembelajaran Islam yang lebih menghargai kemajemukan dan kritis terhadap ketidakadilan. Program yang dilaksanakannya adalah penelitian Islam dan sosial; diskusi berkala; pelatihan HAM dan Islam di pesantren; Belajar Bersama sebuah program kursus tematik wacana Islam transformatif dan toleran; penerbitan bulletin Al-Ikhtilaf untuk jamaah masjid; talkshow di media dan program audio visual; pendidikan demokrasi dan advokasi.
Selanjutnya, lembaga-lembaga Islam Progresif yang berbasiskan “modernis” dan berafiliasi dengan Muhammadiyah adalah:
Keenam, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) yang merupakan lembaga pelopor Islam Progresif. Didirikan di Jakarta pada 16 Desember 1983. Salah satu tokoh pendirinya yang dikenal publik adalah M. Dawam Rahardjo. Menurutnya, LSAF didirikan untuk mengembangkan pemikiran Islam yang waktu itu lebih mengedepankan teologi, pada wilayah filsafat yang cakupannya lebih luas karena tidak hanya membahas ketuhanan saja tapi juga perubahan sosial. LSAF sampai saat ini, menurut Dawam, fokus pada reorientasi epistemik dengan memikirkan ulang makna teologis dari konsep sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Gerakan yang digulirkannya adalah penerbitan jurnal Ulumul Quran dan Bulletin Kebebasan; advokasi membela kebebasan beragama seperti ditujukan pada Ahmadiyah, Komunitas Eden, JIL, dan para penolak UU Pornografi; mengembangkan Jaringan Islam Kampus (JARIK) di tujuh kota (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Mataram, Makassar dan Medan) dengan program trainingnya tentang sekularisme, liberalisme dan pluralisme (2006-sekarang).
Ketujuh, Yayasan Paramadina. Didirikan pada 31 Oktober 1986 dengan tokoh utamanya Nurcholish Madjid. Mengusung visi keislaman, kemodernan dan keindonesiaan. Visi keislaman Paramadina bersifat liberal dan progresif, visi kemodernannya terkait dengan proses sekularisasi dan moderasi Islam, sementara visi keindonesiaannya adalah pengembangan civil society di Indonesia. Di antara kegiatannya yang menonjol adalah menyelenggarakan Klub Kajian Agama (KKA) di hotel-hotel; menerbitkan media dan buku yang berhaluan liberal-progresif seperti Fiqh Lintas Agama dan majalah Madina; mengembangkan yayasan dan universitas; dan melalui Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)-nya menyelenggarakan workshop, penulisan artikel di media dan penerbitan.
Kedelapan, International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Sebuah lembaga yang dikepalai oleh M. Syafi’i Anwar, yang berupaya menghubungkan para aktivis Islam Progresif-Pluralis di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, dan di lain pihak berupaya membendung maraknya pemahaman dan kelompok Islam yang radikal di kawasan itu. Program-program ICIP adalah workshop Islam dan demokrasi, HAM dan pluralisme; study tour; fellowship (pertukaran) intelektual; penelitian dan penerbitan, di antaranya majalah al-Wasathiyyah yang disebar ke pesantren-pesantren PERSIS/BKSPPI di Jawa Barat; dan pemberdayaan masyarakat.
Kesembilan, Maarif Institute for Culture and Humanity dan Kesepuluh, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Kedua lembaga yang didirikan pada 2003 ini dibidani oleh Ketua Umum PP. Muhammadiyah waktu itu, Ahmad Syafii Maarif. Jika Maarif Institute langsung di bawah Syafii Maarif, maka JIMM dikomandoi oleh Moeslim Abdurrahman. Kedua lembaga ini sama-sama mengembangkan visi Islam Subtantif yang menolak formalisasi syari’at Islam di Indonesia. Maarif Institute menerbitkan situs www.maarifinstitute.org dan jurnal Maarif yang terbit setiap bulan. Sementara JIMM menyelenggarakan workshop-workshop dengan tiga pilar: hermeneutika, ilmu sosial kritis dan gerakan sosial baru. Kelahiran dua lembaga ini tidak direstui oleh arus utama Muhammadiyah yang menilai pemikiran mereka sudah keluar dari sumber Islam, al-Qur`an dan Sunnah.
Kesebelas, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Yogyakarta dan jaringan STAIN/IAIN/UIN se-Indonesia sebagai lembaga pengusung sekularisme, liberalisme dan pluralisme yang basisnya gabungan dari kalangan “tradisionalis” dan “modernis”. Lembaga-lembaga pendidikan ini secara sadar telah mengakui perubahan misinya dari yang sekadar sebagai lembaga dakwah yang bertanggung jawab menyiarkan agama di masyarakat, menjadi lembaga pendidikan Islam yang mementingkan tanggungjawab akademis-ilmiah dengan menggunakan beragam pendekatan studi agama seperti yang berlaku dalam ilmu-ilmu sosial Barat. Sehingga lahirlah wacana keislaman yang bersifat kritis-hermeneutis dan historis-empirik menggantikan paradigma fiqh oriented yang dinilai parsial dan terbelakang. Tokoh-tokoh utamanya adalah Harun Nasution dan Mukti Ali. Dua UIN; Jakarta dan Yogyakarta, merupakan pilot project pengembangan UIN seperti disinggung di atas bekerjasama dengan Universitas McGill di Kanada.
Dalih Pembenaran Sepilis
Bagi Islam Progresif, tulis Budhy, sekularisme penting karena kemaslahatan bangsa lebih utama daripada kepentingan kelompok, golongan atau ideologi agama tertentu. Mengutip Dawam Rahardjo, ia menyatakan, sekularisme adalah sikap netral negara terhadap agama-agama, agar pemerintah bisa bersikap adil terhadap semua golongan agama, terutama hak-hak minoritas. Sekularisme juga harus dipahami sebagai independensi agama dari wilayah-wilayah yang diatur oleh negara. Maka dari itu, menurut Syafii Anwar, fatwa MUI tentang sekularisme adalah salah sasaran.
Terkait pluralisme, para pemikir Islam Progresif menyadari bahwa kemajemukan atau pluralitas itu merupakan kenyataan. Untuk mengatur pluralitas yang berpotensi konflik ini diperlukan suatu pandangan etis pluralisme yang mengajarkan sikap toleran, keterbukaan dan kesetaraan. Dalam masyarakat yang majemuk dan di sebuah negara yang sekular, Islam Progresif menilai negara tidak berhak menyatakan bahwa agama yang satu benar dan agama yang lain salah atau sesat menyesatkan seperti yang dilakukan MUI kepada Ahmadiyah. Artinya, semua agama harus dianggap benar, yaitu benar menurut keyakinan pemeluk agama masing-masing. Semua agama juga harus dianggap baik. Jika semua agama dianggap baik, maka orang terdorong untuk saling belajar. Jika tidak, orang pasti akan bertahan dengan agamanya sendiri. Dari sinilah pluralisme memberikan kondisi saling menyuburkan dari iman masing-masing. Sehingga tanpa pluralisme, menurut mereka, kerukunan umat beragama tidak mungkin terjadi.
Sementara liberalisme adalah pengakuan terhadap kebebasan dan hak-hak sipil. Oleh karenanya, munculnya liberalisme selalu disertai dengan hukum (rule of law). Kebebasan tidak akan terjadi tanpa adanya aturan-aturan hukum. Kebebasan beragama dinilai sebagai bagian yang paling penting dari hak-hak sipil, sehingga negara tidak boleh membagi masyarakat beragama menjadi masyarakat agama mayoritas dan minoritas. Oleh karena itu, gagasan liberalisme yang diusung oleh Islam Progresif selalu menyosialisasikan pandangan yang membebaskan diri dari otoritarianisme agama yang berwujud khazanah keilmuan fiqh, kalam dan tasawuf yang telah mendominasi keberagamaan umat Islam Indonesia.
Hal lain yang diperjuangkan oleh para intelektual Islam Progresif adalah pemahaman tentang syariat Islam. Syariat Islam sebagai way of life, menurut mereka seharusnya didasarkan pada tujuan syariat, yakni melindungi kebebasan, hak hidup, hak milik, kehormatan individu, dan menjamin regenerasi manusia. Jika syariat bertentangan dengan tujuannya, maka syariat harus ditinggalkan. Ketika agama mengambil alih peran publik negara, maka akan tercipta produk hukum yang personal. Ini menurut mereka sangat berbahaya, sehingga harus diantisipasi dengan pengembangan pemahaman sekularisme, liberalisme, dan pluralisme.
Membuka Kedok Sendiri
Keterusterangan kelompok Islam Progresif tentang konsep sekularisme, liberalisme, dan pluralisme sebagaimana diulas di atas, sebenarnya sebuah pengakuan tulus akan ketersesatan mereka. Mereka lupa atau sengaja lupa bahwa Islam hadir ke dunia untuk menciptakan kemaslahatan dengan segenap aturannya. Bukan kemudian ditolak aturan-aturan Islam tersebut dengan “dalih” kemaslahatan juga.
Layak disebut “dalih” karena apa yang mereka sebut sebagai masyarakat Indonesia yang adil, terbuka dan demokratis yang merupakan landasan utama dari paham sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, merupakan sikap arogansi intelektual semata. Mereka lupa atau sengaja lupa bahwa sepanjang sejarah peradabannya, Islam selalu menjadi peradaban yang paling sukses dalam membina masyarakat yang adil di tengah-tengah masyarakat majemuk. Tanyalah misalnya bangsa Yahudi ketika mereka diteror dan dijajah oleh Barat-Kristen. Semua itu berhasil dicapai Islam tanpa mengorbankan satu pun ajaran pokoknya (aqidah dan syari’ah), karena memang pada faktanya Islam sudah memberikan rambu-rambu yang cukup untuk mewujudkan masyarakat yang toleran. Untuk persoalan ini mereka rupanya lupa juga untuk berguru kepada Agus Salim, M. Natsir, Wahid Hasyim, dan founding father Indonesia lainnya yang kukuh untuk memasukkan Islam sebagai bagian dari kehidupan bernegara ini tanpa harus menzhalimi masyarakat agama lainnya.
Ketika mereka menolak dengan keras fatwa MUI dengan menuduh MUI bodoh karena tidak tahu sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, ternyata pada faktanya apa yang mereka tulis dan gulirkan dalam program-programnya justru menguatkan kebenaran fatwa MUI tersebut. Sangat jelas sekali MUI dalam fatwanya menyatakan bahwa (1) Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. (2) Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. (3) Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. (4) Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial. Dari uraian definisi istilah tersebut, berdasarkan prinsip ajaran Islam yang mengharuskan eksklusif dalam aqidah dan syari’ah, tapi boleh inklusif dan toleran dalam pergaulan sosial, maka MUI menyatakan bahwa paham sepilis bertentangan dengan ajaran Islam dan umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama.
Kita masing ingat, setahun yang lalu terjadi kontroversi hebat apakah Gus Dur dan Cak Nur itu tokoh sekuler, liberal sekaligus pluralis; maka buku Budhy ini ternyata mengakuinya sendiri secara terus terang. Demikian juga, di kalangan pesantren pernah ada perdebatan apakah LSAF, ICIP, P3M, Maarif Institute, merupakan lembaga-lembaga dengan misi liberalisasi Islam; maka ternyata buku Budhy ini pun mengakuinya secara terus terang. Semoga ketulusan dari Islam Progresif dalam mengakui sikap mereka yang mendukung paham sekularisme, liberalisme, dan pluralisme ini semakin menjadikan kita “mawas diri” siapa kawan dan lawan. Bukan untuk memerangi atau memberi cap “kafir” kepada mereka memang, akan tetapi jangan sampai kita masuk ke dalam ta’awanu ‘alal-itsmi wal-’udwan. Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar