Hermeneutika al-Qur’an?
Sebagian sarjana muslim sangat bersemangat menerapkan hermeneutika pada al-Qur`an. Ujung-ujungnya, al-Qur`an disamakan dengan Bible. Sebuah produk sejarah yang dihasilkan manusia, penafsiran terhadapnya relatif, dan ajaran-ajaran yang dikandungnya harus dirombak total agar sesuai dengan zaman. Seperti itukah?
Hermeneutika adalah tafsir Bible. The New Encyclopedia Britannica menjelaskan bahwa hermeneutika adalah the study of the general principle of biblical interpretation (studi prinsip-prinsip umum tentang penafsiran Bible). Dan Bible itu adalah kitab suci Kristen dan Yahudi, terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Perjanjian Lama adalah Bible Yahudi, di mana lima kitab pertamanya diyakini sebagai Taurat. Sementara Perjanjian Baru adalah Bible Kristen yang diyakini sebagai Injil. Tentu saja penggabungan keduanya ini versi Kristen, karena Yahudi hanya mengakui Bibel Yahudi/Hebrew Bible saja). Hermeneutika digunakan oleh Kristen karena memang Bible bukan kalam Tuhan. Ia merupakan produk manusia, oleh karenanya banyak sekali variannya. Dan dengan hermeneutika itu Kristen berharap agar kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible yang bervariasi itu dapat ditemukan.
Seiring perkembangan zaman, hermeneutika ini kemudian diperluas kepada teks apa pun di luar Bible. Termasuk karya-karya seni. Beberapa sarjana muslim kemudian terlalu latah mengadopsinya karena berasumsi bahwa hermeneutika ini akan menjadikan al-Qur`an lebih bisa ditafsirkan sesuai dengan kehendak zaman. Konsekuensinya, al-Qur`an disamakan statusnya dengan Bible; sebuah produk sejarah yang dihasilkan manusia, penafsiran terhadapnya relatif, dan ajaran-ajaran yang dikandungnya harus dirombak total agar sesuai dengan zaman.
Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zaid—di antara tokoh pemikir yang sering dijadikan rujukan oleh para sarjana peminat hermeneutika—misalnya menyatakan bahwa al-Qur`an adalah produk sejarah. Ia hanyalah hasil sosial dan budaya yang dijadikan “tak terpikirkan” disebabkan semata-mata pemaksaan penguasa resmi. Arkoun menyatakan bahwa wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui “edisi dunia” (editions terrestres) yang telah mengalami modifikasi, revisi dan substitusi. Nasr Hamid menegaskan, al-Qur`an adalah bahasa manusia. Perubahan teks ilahi menjadi teks manusiawi terjadi sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad.
Fazlur Rahman dengan hermeneutika yang dianutnya menyatakan bahwa tafsir yang ada sekarang sangat tradisional, karena pendekatan yang dilakukannya parsial dan atomistik. Bagi Fazlur Rahman, metode menafsirkan al-Qur`an haruslah dengan cara “gerakan ganda” versi hermeneutika Gadamer; tidak hanya melihat masa lalu, tapi juga menyesuaikannya dengan masa sekarang dalam satu kesepaduan. Hasilnya, Fazlur Rahman menolak poligami, hukuman potong tangan, bunga bank sebagai riba, dan hukum-hukum Islam lainnya.
Dalam buku Indahnya Kawin Sesama Jenis yang diterbitkan oleh eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama) pada tahun 2005 lalu, disebutkan bahwa homoseks diharamkan karena penafsiran yang tidak kritis. Sang penulis kemudian mengaku menafsirkan dengan kritis—sebagaimana berlaku dalam hermeneutika—dengan menyatakan bahwa motif Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual (sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur`an surat al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82) tidak lepas dari faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks (hlm. 39). Sesuatu yang kemudian dihebohkan kembali oleh Musdah Mulia akhir Maret silam.
Sebelumnya, Guru Besar UIN Jakarta ini juga menyatakan bahwa penafsiran larangan kawin beda agama atas QS. Al-Mumtahanah [60] : 10 haruslah dengan memahami konteksnya. Sebuah madzhab yang khas dalam hermeneutika. Menurutnya, seperti yang ditulis dalam bukunya Muslimah Reformis hlm. 63, konteksnya waktu itu kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan umat Islam. Sehingga wajar jika kemudian diharamkan. Tapi sekarang konteksnya sudah berbeda, sehingga tidak tepat kalau masih dinyatakan haram.
Amina Wadud, seorang professor Islamic Studies di Virginia Commonwealth University menyatakan dalam bukunya, Qur`an and Women: Rereading the Sacred Text from a woman’s Perspective, bahwa penafsiran al-Qur`an ‘model klasik’ yang ada saat ini bias gender, menindas wanita. Sehingga kemudian janganlah heran kalau ia mengehebohkan dunia Islam dengan menjadi imam sekaligus khatib Jum’at di sebuah Katedral New York 18 Maret 2005 silam.
Amin Abdullah, Rektor UIN Yogyakarta, lebih provokatif lagi. Dalam pengantarnya untuk buku Hermeneutika Pembebasan ia berani menyatakan, “Tafsir-tafsir klasik al-Qur`an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.” Sebuah pernyataan yang dikeluarkan Amin Abdullah dalam keadaan dirinya tidak pernah mengeluarkan satu karya tafsir (atau hermeneutika) pun. Baginya, makna yang jelas itu hanya akan didapatkan dalam hermeneutika yang seperti dijelaskannya dalam Pengantar buku Hermeneutika al-Qur`an:
“Dengan sangat intensif hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapa pun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah “terbatas, parsial-kontekstual pemahamannya”, serta “bisa saja keliru”. Hal ini tentu berseberangan dengan keinginan egois hampir semua orang untuk “Selalu Benar”.
Pernyataan yang menyanjung hermeneutika itu, ternyata sempat juga dikeluarkan oleh Nurcholish Madjid. Dalam pengantarnya untuk buku Menafsirkan Kehendak Tuhan, ia menulis:
“Dari sudut pandangan inilah absurd-nya pengakuan diri sendiri sebagai yang paling benar, meskipun dari sudut pandangan lain—keyakinan, misalnya—pengakuan itu mungkin bisa dibenarkan, atau malah secara logis diperlukan…
Maka yang benar ialah—seperti telah ditunjukkan buku ini—menerapkan sikap “ragu yang sehat” (healthy secepticism), atau memberi orang lain apa yang disebut “hikmat keraguan” (benefit of doubt) dalam pergaulan sesama manusia, khususnya sesama Muslim.”
MEMBEDAH HERMENEUTIKA
Asal-usul Hermeneutika
Hermeneutika adalah tafsir Bible. The New Encyclopedia Britannica menjelaskan bahwa hermeneutika adalah the study of the general principle of biblical interpretation to discover the truths and values of the Bible (studi prinsip-prinsip umum tentang penafsiran Bible untuk mencari kebenaran dan nilai-nilai kebenaran Bible). Bible itu sendiri adalah kitab suci Kristen dan Yahudi, terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Akar katanya berasal dari bahasa Yunani Kuno ta hermeneutika yang berarti ‘hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan’. Kata tersebut merupakan turunan dari hermes, yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dan konsep hermeneutic itu sendiri di masa Yunani resminya digunakan untuk kebutuhan kultural bagi menentukan makna, peran dan fungsi teks-teks kesusasteraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno. Saat itu dikenal dua model interpretasi, yaitu literal yang dikembangkan Aristoteles, dan alegoris yang dikembangkan oleh Plato.
Hermeneutika di Dunia Kristen
Menurut para ahli, Kristen mengadopsi hermeneutika disebabkan kalangan Kristen hampir sepakat bahwa Bible secara harfiahnya bukan kalam Tuhan. Itu dibuktikan dengan adanya perbedaan pengarang yang secara otomatis melahirkan style yang berbeda-beda. Oleh karena itu mereka memerlukan hermeneutika untuk memahami kalam Tuhan yang sebenarnya.
Problem lainnya adalah, bahwa Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dengan bahasa asalnya. Bahasa asal Bible adalah Hebrew untuk Perjanjian Lama dan Greek untuk Perjanjian Baru. Sementara itu Yesus sendiri berbicara dengan bahasa Aramaic. Bible ini kemudian diterjemahkan secara keseluruhannya ke dalam bahasa Latin, lantas ke dalam bahasa-bahasa Eropa yang lain seperti Jerman, Inggris, Perancis dan lain-lain, termasuk bahasa Indonesia yang banyak mengambil dari Bible dalam bahasa Inggris.
Mengenai bahasa Hebrew Bible pula, karena tidak ada seorang pun kini yang native dalam bahasa Hebrew Kuno, maka untuk memahami bahasa Hebrew Bible itu para teolog Yahudi dan Kristen memerlukan bantuan bahasa yang serumpun dalam semitic languages. Dan bahasa yang dapat membantu mengungkap bahasa Hebrew kuno itu tidak lain adalah bahasa Arab, karena bahasa Arab satu-satunya bahasa yang masih hidup hingga hari ini. Dengan demikian kontras sekali perbedaanya; jika bahasa Arab diselamatkan keberadaannya oleh al-Qur`an, maka Yahudi dan Kristen harus terlebih dahulu menyelamatkan bahasanya sebelum dapat menyelamatkan Bible.
Teks-teks Hebrew Bible juga mempunyai masalah dengan isu keasliannya. Itu dikarenakan Hebrew Bible ditulis setelah jauh berselang dari era pewahyuannya, kurang lebih 2000 tahun. Terlebih lagi sebelumnya Yahudi mengalami diaspora; penyebaran penduduk Yahudi ke berbagai daerah di luar Jerusalem sebagai akibat dari penjajahan bangsa-bangsa lain terhadap Yahudi yang menyebabkan terjadinya akulturasi budaya termasuk bahasa dengan penduduk setempat. Sehingga janganlah heran kalau dokumentasi Hebrew Bible itu sendiri tidak ada yang otentik; baik itu lisan apalagi tulisan.
Madzhab Hermeneutika Kristen
Dalam perkembangannya, sebagaimana ditulis The New Encyclopedia Britannica, terdapat empat model utama interpretasi Bible yang berkembang di kalangan Kristen, yaitu (1) literal interpretation, (2) moral interpretation, (3) allegorical interpretation, dan (4) anagogical interpretation. Tiga interpretasi pertama disistematisasikan oleh Origen (185-254 M). Sementara model interpretasi keempat, dikembangkan oleh Johannes Cassianus (360-430 M).
Menurut literal interpretation, teks Bible haruslah diinterpretasikan sesuai dengan makna yang jelas (plain meaning), sesuai konstruksi tata bahasa dan konteks sejarahnya. Model ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kemauan penulis Bible. Mereka percaya bahwa kata-kata yang tercantum dalam Bible adalah berasal dari Tuhan. Namun pendapat ini banyak mendapatkan kritik. Sebab, faktanya, dalam Bible terdapat banyak bahasa individu sang penulis Bible itu sendiri.
Model moral interpretation mencoba membangun prinsip-prinsip penafsiran yang memungkinkan nilai-nilai etik diambil dari beberapa bagian dalam Bible. Misalnya, menginterpretasikan undang-undang tentang makanan dalam Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan untuk memakan daging hewan tertentu, tetapi lebih merupakan sifat-sifat buruk yang secara imajinatif diasosiasikan dengan hewan-hewan itu.
Menurut model ketiga, allegorical interpretation, teks-teks Bible mempunyai makna pada level kedua, di atas seseorang, sesuatu, ataupun yang jelas-jelas disebutkan secara gamblang dalam teks. Sementara model keempat, anagogical interpretation, ini dikenal sebagai mystical interpretation. Model ini dipengaruhi oleh tradisi mistik Yahudi (Kabbala) yang di antaranya mencoba mencari makna-makna mistis dari angka-angka dan huruf-huruf Hebrew.
Contoh dari interpretasi empat tingkat adalah kata Jerusalem. Pada level literal, Jerusalem adalah nama kota yang ada di bumi. Menurut makna moral, Jerusalem berarti jiwa (soul). Pada makna alegoris, Jerusalem diartikan sebagai gereja Kristen. Dan pada level anagogical, Jerusalem adalah “kota Tuhan di masa depan”.
Dari empat model itu, dua model menjadi arus utama interpretasi Bible pada awal-awal sejarah kekristenan, yaitu model alegoris yang berpusat di Alexandria dan model literal yang berpusat di Antioch. Model alegoris ini merupakan kelanjutan dari metode interpretasi Plato sedangkan model literal merupakan kepanjangan dari metode interpretasi Aristoteles.
Karena model alegoris ini bisa menghasilkan pengertian yang liar, maka kalangan Kristen membatasi model ini dengan batasan keimanan (rule of faith), yakni bahwa interpretasi haruslah sejalan dengan ajaran gereja. Batasan lainnya adalah apa yang disebut hermeneutical circle, yakni bahwa suatu teks harus diinterpretasikan sesuai konteks Bible secara keseluruhan, bukan hanya konteks lokal teks tersebut. Model interpretasi ini pada tahap selanjutnya hanya membatasi pastur-pastur saja sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk menginterpretasi. Sebuah model interpretasi yang kemudian mendominasi Katholik Roma.
Sebagai bentuk protes pada model interpretasi khas gereja di atas, Marthin Luther menyatakan bahwa “kata-kata Tuhan” harus diartikan secara jelas sesuai arti bahasa dan makna literalnya. Ia menghendaki metode penafsiran literal dengan tujuan untuk mengalihkan otoritas interpretasi Bible dari gereja, konsili-konsili dan Paus, ke teks Bible itu sendiri. Prinsip yang didengungkannya adalah sola scriptura; cukup dengan kitab suci saja. Prinsip ini kemudian dipegang teguh oleh kalangan Kristen Protestan. Dari sinilah, menurut para ahli, mulainya pembakuan hermeneutika sebagai ilmu, metode dan teknik interpretasi yang otonom.
Hermeneutika Barat (Filsafat)
Memasuki abad ke-17, dipelopori oleh Schleiermacher—seorang pendeta Protestan yang juga filosof—hermeneutika dijadikan sebuah filsafat pemahaman yang mencakup semua bidang ilmu, tidak hanya Bible. Dalam periode ini, setidaknya terdapat tiga aliran hermeneutika, yaitu:
Pertama, hermeneutika teoretis (hermeneutical theory). Schleiermacher (1768-1834) sebagai pencetus aliran ini menyatakan bahwa hermeneutika haruslah menempuh dua bentuk penafsiran: (1) penafsiran gramatikal, bertitik tolak pada wacana umum suatu bahasa atau kebudayaan, dan (2) penafsiran psikologis yang didasarkan pada subjektifitas pengarang. Yakni pembaca berusaha memahami maksud pengarang dengan cara merekonstruksi perasaan si pengarang, sehingga dimungkinkan mampu memahami lebih baik daripada pengarangnya sendiri.
Wilhelm Dilthey (1833-1911)—kritikus sastra dan sejarawan asal Jerman— sependapat dengan Schleiermacher. Hanya ia mengkritik penafsiran psikologis yang berkutat pada batin si pengarang. Menurutnya, yang perlu direproduksi bukan kondisi batin pengarangnya, tapi makna-makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks.
Kedua, hermeneutika filosofis (hermeneutic philosophy). Aliran ini dipelopori oleh Hans-Georg Gadamer. Aliran ini membantah hermeneutika filosofis yang berkutat pada masa lalu. Menurut aliran ini, sebuah proses penafsiran selalu berarti proses produksi makna baru dan bukan reproduksi makna awal. Karena kita hanya dapat memahami masa lalu (teks, pengalaman sejarah) dari sudut pandang kita dan dari situasi kekinian kita. Oleh karenanya, penafsiran adalah sebuah proses re-interpretation; memahami lagi teks secara baru dan makna baru pula. Inilah yang kemudian disebut teori double movement.
Ketiga, hermeneutika kritis (critical hermeneutics). Aliran ini dipelopori oleh Jurgen Habermas (1929- ). Menurutnya, hemeneutika teoretis dan filosofis terlalu berkutat pada bahasa dan bahasa itu sendiri. Apakah itu dikaitkan dengan subjektifitas pengarang, situasi kesejarahan masa lalu, ataupun dalam posisinya menatap masa depan. Semestinya, hermeneutika harus bisa membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung, khususnya kepentingan kekuasaan, yang melatarbelakangi lahirnya teks. Pemikiran ini muncul sangat mungkin disebabkan terpengaruh oleh lingkungan sosial Habermas yang Marxis.
Uraian di atas, setidaknya dapat meemberikan gambaran kepada kita bahwa hermeneutika tidak bebas nilai. Ia sangat terpengaruh oleh latar belakang masing-masing pemikirnya. Tergambar pula dengan jelas bahwa dalam hermeneutika tidak ada kesepakatan yang sama tentang bagaimana sebenarnya metode penafsiran yang benar. Masing-masingnya saling menjatuhkan dan mengklaim bahwa penafsiran versi dirinyalah yang paling benar. Inilah yang kemudian membuat para pemikir dewasa ini meyakini bahwa penafsiran itu relatif; tergantung pada metodologinya.
HERMENEUTIKA AL-QUR`AN (?)
Dekonstruksi Wahyu
Setelah menguraikan dengan singkat mengenai perjalanan hermeneutika dalam mitologi Yunani, teologi Kristen lalu filsafat Barat, selanjutnya kita lihat bagaimana aplikasi herrmeneutika untuk al-Qur`an. dalam hal ini penulis merujuk pada satu buku yang ditulis oleh Rektor UIN Jakarta saat ini, Komaruddin Hidayat, dalam karyanya Menafsirkan Kehendak Tuhan. Dalam karyanya tersebut, ia menegaskan bahwa al-Qur`an haruslah dilihat dari perspektif teologi dan filsafat linguistik. Sebuah pandangan teologis menyebutkan bahwa al-Qur`an adalah suci, kebenarannya absolut, berlaku di mana dan kapan saja, sehingga ia tidak mungkin bisa diubah dan diterjemahkan. Begitu diterjemahkan dan ditafsirkan, maka ia bukan lagi al-Qur`an, melainkan terjemahan dan tafsiran al-Qur`an.
Namun demikian, menurutnya, dari sudut historis dan filsafat linguistik, pandangan di atas menimbulkan problem tersendiri. Begitu kalam Tuhan telah membumi dan sekarang malah menjelma ke dalam teks, maka al-Qur`an tidak bisa mengelak untuk diperlakukan sebagai objek kajian hermeneutik. Karena umat beragama tidak berjumpa langsung dengan Tuhan ataupun Malaikat Jibril sebagaimana yang dialami Rasulullah, melainkan hanya dalam bentuk teks dan tafsiran yang diantarkan pada kita melalui mata-rantai tradisi. Itu artinya, teks al-Qur`an kemudian memiliki dua dimensi; sakral dan profan, absolut dan relatif, historis dan metahistoris. Tegasnya, teks al-Qur`an tidak ada bedanya dengan teks-teks lainnya yang bersifat terbuka untuk digugat dan dikritisi.
Komaruddin juga menjelaskan, wahyu itu pada dasarnya bukanlah bahasa tertulis. Wujud wahyu adalah “suara” atau “bisikan”. Proses kalam Allah yang abadi, universal dan metahistoris tersebut menjadi bahasa Arab yang bersifat budaya, berdimensi lokal dan partikular merupakan sebuah hal yang selalu memancing nalar kritis. Para hermeneut kemudian sering mengajukan pertanyaan, apakah jaminannya bahwa Muhammad tidak salah tangkap dan salah ingat, padahal Muhammad kadang kala merasa ketakutan dan bagaikan menahan beban berat ketika menerima wahyu?
Karena hermeneutika ini berkutat pada penafsiran, maka yang jadi sasaran tembak selanjutnya dalam al-Qur`an pun adalah penafsiran. Dengan cukup “canggih” mereka menjelaskan tiga tahapan penafsiran yang terjadi pada al-Qur`an.
Pertama, penafsiran al-Qur`an yang dilakukan oleh Jibril dan kemudian didiktekan kepada Muhammad saw. Secara filosofis, persoalan siapa Jibril, masih bisa diperdebatkan. Mengapa Allah yang lebih dekat ketimbang urat nadi manusia masih memerlukan perantara untuk berbicara kepada Muhammad? Kalau begitu, apa dan siapa yang disebut Jibril itu?
Kedua, penafsiran yang mungkin terjadi dalam diri Muhammad Rasulullah. Bukankah Muhammad sebuah sosok probadi yang cerdas, jujur, amanah (bisa dipercaya), dan bukan sebuah kaset kosong untuk diisi rekaman? Jadi, ketika menerima wahyu, Muhammad bertindak aktif memahami, menyerap dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arab. Selain itu, menambahkan penjelasannya melalui hadits. Bahkan, manusiawi jika Muhammad kadang kala merasa bagaikan memikul beban yang amat berat ketika wahyu itu turun, atau seperti mendengar lonceng yang mememakkan gendang telinga, ketika Jibril datang hendak menyampaikan wahyu.
Ketiga, penafsiran terhadap teks al-Qur`an dan hadits yang dilakukan pasca meninggalnya Nabi Muhammad saw. Karena jaraknya semakin jauh berselang, maka sangatlah tepat kalau kemudian penafsiran dalam tahapan ini relatif. Karena setiap penafsir tidak bertemu langsung dengan pengarangnya, melainkan dengan teks yang suasana sosio-psikologis dari pengarangnya tidak diketahui.
Pemahaman para hermeneut terhadap wahyu jelas sekali terpengaruh oleh mitologi Yunani tentang Hermes; sesosok dewa yang betugas menerjemahkan pesan Tuhan yang universal ke dalam bahasa yang lokal. Karena konsep wahyu dalam Islam adalah tanzil; diturunkan langsung kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa Arab tanpa pengorupsian satu huruf pun.
Mencurigai Shahabat dan Ulama
Dalam tradisi hermeneutika modern dikenal tiga orang yang disebut sebagai three masters of prejudices, yaitu Sigmund Freud, Karl Marx, dan Friedrich Nietzsche. Sikap “prejudice” atau prasangka ini dimaknai oleh mereka secara positif agar tidak tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan.
Dari Sigmund Freud, para hermeneut belajar bahwa alam bawah sadar (subconscious) setiap pengarang, juga pembaca, pasti turut berperan dalam memandang dan menafsirkan realitas. Isi bawah sadar yang paling dominan, kata Freud, adalah dorongan dan ilusi-ilusi libido. Jika asumsi Freud ini diterapkan pada al-Qur`an, maka fenomena yang segera muncul adalah, bagaimana kita mesti memahami narasi al-Qur`an yang bercorak sangat laki-laki? Bukankah itu disebabkan kultur Arab yang lebih dominan peran sosial laki-lakinya?
Dari Karl Marx para hermeneut diajari untuk mewaspadai kesadaran pengarang dan pembaca yang mudah sekali dipengaruhi oleh status ekonomi dan politik. Kelahiran teks jenis apa pun, termasuk teks keagamaan, tidak luput dari pengaruh ekonomi dan politik. Oleh karenanya, dalam memahami dan menafsirkan teks, termasuk al-Qur`an, asumsi-asumsi kepentingan politis-ekonomis ini harus bisa dilewati dengan cara dekonstruksi (merusak total) kerangka yang ada, dalam rangka memperoleh kebenaran objektif. Maka yang terjadi adalah penafsiran shahabat dan para ulama salaf lainnya selalu “dicurigai” dengan motif politis-ekonomis.
Adapun dari Nietzsche, para hermeneut belajar bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki dorongan untuk menguasai orang lain. Maka pembakuan Mushaf ‘Utsmaniy akan selalu dicurigai sebagai kebijakan penguasa yang tidak adil. Pembakuan beberapa tafsir salaf pun akan selalu dicurigai dengan motif yang ini.
Mempertimbangkan asumsi dan peringatan yang dikemukakan Freud, Marx, maupun Nietzsche, maka jelas sekali, hermeneutika sebagai sebuah metodologi penafsiran berusaha memperingatkan pembaca untuk selalu “curiga” kepada para shahabat dan ulama yang dituduh telah “membakukan secara paksa” al-Qur`an dan ilmu tafsirnya. Bahkan tidak hanya itu, Jibril dan Nabi Muhammad saw pun mereka curigai dari ketiga motif yang telah dijelaskan di atas. Anehnya, para hermeneut itu sendiri banyak yang terlalu lugu karena tidak mampu “mencurigai” teori-teori yang dikemukakan para masternya itu.
Relativisme Tafsir
Sebuah titik sentral yang selalu ditekankan oleh para hermeneut adalah bahwa al-Qur`an ini produk sejarah. Ia terlahir dari sejarah dan terpengaruh oleh sejarah (historis, bukan metahistoris). Menurut Gadamer, sejarah adalah sebuah perjalanan tradisi yang ingin membangun visi dan horizon kehidupan di masa depan. Oleh karena itu, sejarah ini; baik yang masa lalu ataupun masa sekarang haruslah dilihat sebagai sebuah kesepaduan. Teori double movement (gerakan ganda) yang diajukannya, kemudian banyak dianut oleh para liberalis. Dalam memahami al-Qur`an dan Sunnah, menurut mereka, tidak hanya dengan mengarahkan realitas ke masa lalu, melainkan dengan memroyeksikannya ke masa depan. Akibatnya beberapa hukum final dalam Islam pun mereka dekonstruksi dengan dalih sudah tidak sesuai lagi dengan zaman.
Gaya hermeneutika seperti itu tentu akan melahirkan relativisme. Apa yang benar pada suatu zaman, belum tentu akan benar juga pada zaman yang lain. Kebenaran dan kesalahan menjadi sesuatu yang tidak jelas pangkalnya. Ia murni hanya diserahkan pada konteks (zaman dan tempat) tertentu.
Makanya tidak heran kalau kemudian dalam hermeneutika ini lahir berbagai aliran pemikiran. Masing-masingnya saling membantah terhadap sebagiannya lagi. Akibatnya al-Qur`an dan agama Islam menjadi sebuah objek yang akan selalu diwacanakan dan direlatifkan. Ia akan mejadi sangat repot untuk diimani apalagi diamalkan. Padahal al-Qur`an dan ajarannya menuntut sebuah keimanan dan penerapan, sebagai prasyarat menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menepis Keraguan
Mempersoalkan teks al-Qur`an dengan sedemikian rupa merupakan cermin dari ketidakpahaman atas hakikat al-Qur`an itu sendiri. Allah swt dengan sangat tegas menyatakan bahwa al-Qur`an ini tanzil; diturunkan langsung dalam bahasa Arab. Tidak ada campur tangan malaikat, Nabi saw, bahkan para jin dan syetan sekalipun.
Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (QS. As-Syu’ara [26] : 192-195).
Oleh karenanya teks al-Qur`an tidak akan sama dengan teks buatan penyair zaman itu, ataupun jampi-jampi paranormal.
Dan Al-Qur`an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya (langsung menyiksanya). Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. (QS. Al-Haqqah [69] : 40-47)
Untuk membuktikannya, dari sejak teks al-Qur`an ini diturunkan, ia telah menantang siapa saja untuk membuat teks tandingan; satu kitab, sepuluh surat, atau cukup satu surat saja.
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur`an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur`an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al-Baqarah [2] : 23)
Apa yang terjadi? Al-Qur`an memang bukan sebuah teks yang dilahirkan sejarah, ia melintasi sejarah/metahistoris. Itu terbukti dengan tidak adanya satu orang pun yang bisa membuat teks seperti teks al-Qur`an. Lalu, dengan fakta seperti ini, masihkah akan terus ngotot memaksakan bahwa teks al-Qur`an itu produk sejarah?
Berkaitan dengan wahyu dan beratnya Rasul saw dalam menerimanya, kedudukannya haruslah dipahami berdasarkan hujjah-hujjah yang nyata, bukan asumsi, apalagi yang berdasarkan pada mitologi Yunani. Agar kemudian tidak sembarangan menuduh bahwa Nabi saw melakukan penafsiran sendiri terhadap wahyu itu. Karena Ibn ‘Abbas menjelaskan:
Dari Ibn ‘Abbas perihal firman Allah Ta’ala “Janganlah kau menggerakkan lisanmu karena tergesa-gesa”: Rasulullah Saw merasa berat ketika turun wahyu sampai beliau menggerak-gerakkan kedua bibirnya… Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kau gerak-gerakkan lisanmu karena tergesa-gesa. Sesungguhnya tangung jawab kami mengumpulkannya dan membacakannya.” Ibn ‘Abbas berkata: Yaitu mengumpulkannya dalam dadamu dan kau mampu membacanya. “Maka apabila Kami membacakannya, maka ikutilah bacaannya.” Yaitu perhatikanlah dan diamlah. “Kemudian sesungguhnya tanggung jawab kami menjelaskannya.” Yaitu, sesungguhnya tanggung jawab kami kau dapat membacakannya. Maka Rasul Saw setelah itu apabila Jibril datang kepadanya, beliau menyimaknya. Dan apabila Jibril telah pergi, Nabi Saw membacakannya sebagaimana Jibril membacakannya.” (Shahih al-Bukhariy kitab bad`il-wahyi bab kaifa kana bad`ul-wahyi ila Rasulillah, no. 5. Athrâf-nya 4643, 4645, 4757, 7086. Shahih Muslim kitab as-shalat bab al-istima’ lil-qira`ah no. 448).
Konsekuensi selanjutnya, berkaitan dengan penafsiran. Dengan kejelasan status al-Qur`an sebagai kalam Allah yang tanzil, maka penafsiran pun akan jauh dari relativisme. Benar ada beberapa perbedaan pendapat dalam penafsiran al-Qur`an. Tapi itu tidak akan ditemukan pada ayat-ayat yang muhkamat, dalam persoalan-persoalan yang qath’iy. Ini sekaligus menjadi bukti lain bahwa bukannya al-Qur`an yang disesuaikan dengan sejarah ternyata, melainkan sejarah yang selalu ditundukkan kepada al-Qur`an. Karena memang seperti itulah misi diturunkannya al-Qur`an.
PENUTUP
Dengan latar belakang seperti itu, hermeneutika jelas tidak bebas nilai. Ia telah bergeser dari satu kutub ke kutub yang lain mengikuti pandangan hidup tokohnya. Jika kemudian dipaksakan untuk diaplikasikan pada al-Qur`an, maka akan timbul konsekuensi sebagai berikut:
Pertama, hermeneutika menganggap semua teks sama, semuanya merupakan karya manusia sebagai ‘produk sejarah’. Bila diterapkan pada al-Qur`an, hermeneutika otomatis menghendaki penolakan terhadap status al-Qur`an sebagai kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, sekaligus menggugat kemutawatiran mushhaf ‘Utsmaniy. Asumsinya bisa karena itu dipaksakan oleh penguasa waktu itu, akibat hegemoni bangsa Arab, dan lain sebagainya.
Kedua, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari mana pun datangnya, dan terus menerus terperangkap dalam apa yang disebut ‘lingkaran hermeneutis’, di mana makna senantiasa berubah. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut sebagian orang, mungkin salah menurut orang lain. Karena kebenaran sangat bergantung pada konteks zaman dan tempat tertentu.
Ada benarnya apa yang diutarakan oleh Josef Van Ess, seorang professor emeritus dan pakar sejarah teologi Islam dari Universitas Tuebingen, Jerman. Sebagaimana dikutip oleh Syamsuddin Arif, professor itu menyatakan bahwa hermeneutika yang berasal dari Jerman itu sebenarnya memang bukan ditujukan untuk kajian keislaman. Pada asalnya ia merupakan produk teologi Protestan. Dipakai untuk mengkaji Bible oleh Schleiermacher, dan belakangan oleh Heidegger dan Gadamer dalam kajian kesusasteraan Jerman maupun klasik. Yang mereka maksud dengan istilah ‘teks’ ialah karya tulis buatan manusia, sesuatu yang indah lagi menarik, biasanya sebuah naskah kuno yang hanya terdapat dalam satu versi, seperti kisah tragedi karangan Sopochles, dialog-dialog karya Plato, ataupun puisi yang ditulis Holderlin. Ini jelas tidak sama dengan konsep teks dalam kajian Islam.
Oleh karena itu, Syamsuddin Arif menegaskan, hermeneutika hanya akan membuahkan kebingungan dan keragu-raguan. Betapa tidak, sedangkan ia bertolak dari skpetisisme dan relativisme, menghendaki ketidakpastian makna dan penafsiran, merayakan konflik dan kontradiksi. Karena itu, bagi cendekiawan mukmin, tegasnya, hermeneutika lebih tepat kalau dikategorikan sebagai musibah ketimbang hikmah.
Sungguh tepat sekali apa yang diperingatkan Rasul saw:
قَالَ: فَمَنْ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ. قُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
“Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga walau mereka masuk lubang biawak sekalipun kamu akan mengikutinya juga.” Kemudian Rasulullah saw ditanya: “Apakah mereka yang dimaksud itu Yahudi dan Nashrani?” Jawab Rasul: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”
_______________
MARAJI’:
1. Al-Quran Digital
2. Al-Maktabah as-Syamilah al-Ishdar 2
3. Adian Husaini, Catatan Akhir Pekan [CAP], dalam www.hidayatullah.com.
4. Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di perguruan Tinggi. Depok: Gema Insani Press, 2006.
5. Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat. Depok: Gema Insani Press, 2005.
6. Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur`an. Depok: Gema Insani Press, 2007, Cet. III.
7. Adnin Armas, Hermeneutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur`an. Makalah Kuliah Islamic Worldview PPS UIKA Bogor.
8. Fakhruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur`an; Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.
9. Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007, Cet. IV.
10. Hamid Fahmy Zarkasyi, Menguak Nilai di Balik Hermeneutika dalam Jurnal ISLAMIA Th. I No. 1/Muharram 1425.
11. Hamid Qadri, Dimension of Christianity, terj. Masyhur Abudi dan Lis Amalia R., Dimensi Keimanan Kristen. Pustaka Da’i, 1999.
12. Ilham. B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Jakarta: Teraju, 2002.
13. Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju, 2004, Cet. II.
14. Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis. Bandung: Mizan, 2005.
15. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Intelektual. Depok: Gema Insani Press, 2008
16. The Jakarta Post edisi Jumat (28/3/2008).
17. Ugi Suharto, Apakah al-Qur`an Memerlukan Hermeneutika? dalam Jurnal ISLAMIA Th. I No. 1/Muharram 1425.
18. Wawancara dengan Herlianto, seorang pendeta reformis Kristen, Ketua Yayasan Bina Awam (Yabina), magister teologi dari Princeton, USA (MTh), pada tanggal 4 Maret 2008.
0 komentar:
Posting Komentar