Mengapa Harus Menunggu Musibah Aceh?
Jumat, 31 Desember 2004
Musibah Aceh bisa menggagalkan kegiatan pesta-pora menyambut tahun baru. Dananya dialihkan untuk Aceh. Mengapa amal shalih harus menunggu musibah Aceh dulu? Baca CAP Adian Husaini, MA ke-84
Bencana gempa bumi dan gelombang tsunami di wilayah Aceh (Ahad, 26 Desember 2004), sungguh luar biasa dahsyatnya. Bencana ini sangat mengerikan, diluar bayangan manusia dan para keluarga korban. Ada yang memperkirakan jumlah korban di Aceh dapat mencapai 80.000 orang. Hingga beberapa hari setelah bencana berlangsung, masih ribuan mayat manusia yang belum dapat dikuburkan, karena kesulitan pelaksana dan prasarana. Tidak terhitung lagi jumlah kerugian harta benda.
Bencana itu datang begitu tiba-tiba. Ahad, pagi hari, tiba-tiba saja, bumi bergoyang. Sekitar setengah jam kemudian, datang serangan ombak yang sangat dahsyat. Ada yang menyebut ketinggiannya sekitar 10-20 meter dengan kecepatan ratusan kilometer perjam. Berbagai cerita pilu terdengar. Banyak yang kehilangan, bukan hanya keluarga, tapi juga seluruh sanak famili.
Bahkan, tidak sedikit yang seluruh kampong halamannya musnah. Dalam sejarah Aceh, inilah bencana alam terbesar yang pernah mereka alami. Maka, saat ini, kewajiban kita adalah membantu meringankan beban penderitaan saudara-saudara kita yang menjadi korban musibah dahsyat itu, sesuai dengan kemampuan kita.
Mengapa Aceh yang ditimpa musibah begitu dahsyat? Mengapa bukan daerah-daerah tempat maksiat, seperti Macao, Las Vegas, atau pusat-pusat palacuran dan perjudian lainnya? Memang, sejumlah wilayah wisata di Tailand yang dikenal pusat maksiat juga terkena, tetapi jumlah korbannya tidak sehebat di Aceh. Hanya Allah yang tahu rahasia alam ini.
Musibah dapat bermakna banyak bagi manusia. Musibah bisa berarti hukuman, ujian, atau peringatan dari Allah SWT kepada manusia. Bencana tidak pilih-pilih bulu. Manusia yang baik dan buruk juga bisa terkena. Allah SWT sudah mengingatkan, “Dan takutlah kepada fitnah (bencana, penderitaan, ujian) yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah, Allah sangat keras siksanya.¨ (QS 8:25).
Kita tidak tahu pasti apa hikmah dibalik musibah besar yang ditimpakan Allah kepada saudara-saudara kita di Aceh. Yang telah wafat, mereka telah selesai tugas dan masa hidupnya di muka bumi. Mereka kembali kepada al-Khaliq. Mereka akan mempertanggungjawabkan amal perbuatannya. Anak-anak yang meninggal dunia tentu saja bebas dari segala pertanggungjawaban. Yang penting bagi kita saat ini adalah melakukan introspeksi. Musibah ini justru harusnya menjadi pelajaran bagi yang masih hidup. Bahwa, ternyata, nyawa manusia, dapat dicabut Malaikat Sang Pencabut Nyawa, kapan dan dimana saja. Siapa menyangka, mereka yang pagi itu sedang bercengkrama dengan keluarga, tiba-tiba, hanya dalam hitungan menit, harus berpisah untuk selamanya.
Bagi kaum muslim, musibah ini bisa dijadikan pelajaran dan segera melakukan perenungan kembali. Mengapa Allah menjatuhkan musibah. Merenungkan kembali, makna dan tujuan hakiki dari kehidupan. Manusia diciptakan Allah hanyalah untuk melakukan ibadah (QS 51:56) kepada Allah. Jadi, manusia bukan diciptakan untuk berhura-hura, bersenang-senang, dengan melupakan al-Khaliq. Mengingat umur manusia yang begitu terbatas dan singkat, semasa hidup di dunia, maka tidak seyogyanya mereka menghabiskan umurnya untuk berpesta pora, melakukan pekerjaan yang tidak ada gunanya. Selain itu, kaum Muslim juga mendapatkan tugas khusus, yaitu melanjutkan amanah Risalah Rasulullah saw. (QS. 22:78).
Tidak semua manusia ditakdirkan Allah SWT lahir dari keluarga dan lingkungan Muslim. Ada yang dilahirkan di tengah keluarga Kristen, Yahudi, atau atheis, dan dibesarkan di tengah keluarga yang bukan Islam. Maka, sudah semestinya, kaum Muslim menjalankan tugasnya, menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia. Kaum Muslim juga mendapatkan tugas melakukan amar ma¡¦ruf nahi munkar, memerintahkan yang baik dan mencegah kemungkaran. Umat Islam tidak boleh berdiam diri terhadap berbagai kemungkaran yang terjadi di sekitarnya. Karena itu mereka harus berilmu. Mereka tidak boleh bodoh dan bersifat egois. Mereka harus paham, mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang benar dan mana yang salah. Setelah tahu, mereka harus berbuat sesuatu untuk memperjuangkan yang haq dan memusnahkan kebatilan. Itulah hakikat hidup bagi seorang Muslim, yaitu memperjuangkan tegaknya kebenaran dan melawan kebatilan, yang dalam bahasa seorang pujangga Mesir, dikatakan: “Innal hayaata aqiidatan wa jihaadan.” Rasulullah saw menggambarkan satu masyarakat bagaikan penumpang sebuah kapal.
Jika mereka tidak peduli dan membiarkan sebagian penumpang yang melobangi tempat duduknya, maka semua penumpang akan tenggelam. Begitulah masyarakat. Jika mereka membiarkan kemungkaran berlaku di sekitarnya, maka semua akan ditimpa bencana, baik manusia yang berdosa atau yang tidak berdosa.
Ada baiknya kita melakukan introspeksi, sejauh manakah kita semua, kaum Muslim di Aceh, Jakarta, dan ditempat-tempat lain, telah menjalankan kewajiban mereka? Untuk shalat lima waktu saja, berapa persen yang menjalankan? Aceh, merupakan satu-satunya propinsi di Indonesia yang diberi kesempatan menjalankan syariat Islam.
Apa yang terjadi di Andalusia, Bosnia, Palestina, Aceh, dan sebagainya, bisa terjadi di tempat lain, jika Allah menghendaki. Kita patut bertanya, apakah bencana Aceh ini merupakan peringatan Allah SWT untuk menyadarkan bangsa Indonesia, dan umat Islam khususnya, agar mereka kembali mengingat Allah.
Bencana Aceh, terbukti telah menghentakkan banyak umat manusia. Syukur dengan bencana tsunami banyak kaum Muslim tersadarkan. Mereka kemudian enggan melaksanakan pesta pora di malam tahun baru 2005. Perdana Menteri Malaysia secara tegas meminta acara-acara malam tahun baru dibatalkan, dan digantikan dengan acara doa. Maka, banyak acara pesta pora dibatalkan. Di Indonesia, anehnya, ada saja yang masih mau menggelar acara hura-hura tahun baru.
Republika (30/12) melaporkan, Pemda Jakarta Selatan, misalnya, masih sibuk mempersiapkan penyambutan pergantian tahun, dengan melakukan acara karnaval, panggung hiburan, pertunjukan lenong, pembakaran kembang api, dan beragam lomba. Di Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), pesta tahun baru dengan gemerlap kembang api tetap berjalan. Memang, Gubernur Jakarta, Sutiyoso, telah membatalkan pesta kembang api di Monas. Tapi, pesta itu dipindahkan ke Ancol. Hotel Grand Melia Jakarta tetap meneruskan konser penyanyi Krisdayanti yang malam itu dibayar sekitar Rp 750 juta.
Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, mengimbau kepada masyarakat untuk membatalkan acara-acara Tahun Baru yang bersifat hura-hura. Hal ini disampaikan dalam acara muhasabah yang digelar MUI di Masjid Al-Azhar Jakarta, Selasa (28/12). ''Khususnya umat Islam, agar membatalkan acara hura-hura dan suka cita. Terutama acara yang membutuhkan dana yang besar. Sementara dananya lebih baik dikumpulkan dan disumbangkan,'' tuturnya.
Hal senada diungkapkan KH Abdullah Gymnastiar. Bagi masyarakat yang hendak merayakan Tahun Baru, kata Aa Gym, hendaknya menghindari acara yang penuh dengan hura-hura dan glamour. Aa Gym mengingatkan bahwa musibah di Aceh merupakan peringatan bagi bangsa Indonesia untuk berintrospeksi diri, betapa lemahnya manusia.
Tetapi, dalam hal kasus musibah Aceh dan perayaan tahun baru ini kita justru melihat hal yang lucu pada manusia Indonesia. Mengapa untuk menghentikan pesta pora tahun baru harus menunggu dijatuhkannya musibah sedahsyat Aceh? Bukankah secara fiansial, Indonesia sedang dalam kesulitan?.
Betapa banyaknya masyarakat Indonesia yang kelaparan dan tidak mampu melanjutkan pendidikan. Tidak mampu mendapatkan pengobatan yang layak, dan sebagainya. Betapa banyaknya saat ini, istri-istri yang harus bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga, meninggalkan suami dan anak-anaknya, karena mereka kesulitan ekonomi? Betapa banyak anak-anak terlantar dan putus sekolah yang berkeliaran di jalan-jalan di berbagai pelosok kota Jakarta? Semua itu ada di depan hidung para pejabat yang mendukung acara pesta pora tahun baru. Mengapa untuk menghentikan semua pemborosan dan pemubaziran uang itu harus menunggu musibah Aceh yang menelan korban puluhan ribu nyawa manusia?
Apakah, seandainya tidak ada musibah Aceh, maka acara-acara hura-hura di malam tahun baru itu merupakan amal shalih, sehingga wajib dijalankan oleh bangsa Indonesia?
Peringatan besar-besaran setiap acara pergantian tahun, yang biasanya ditandai dengan berbagai acara hura-hura, sebenarnya merupakan tindakan manusia yang bercirikan tidak mau berfikir. Setiap bergulirnya waktu, seharusnya manusia sadar, bahwa dirinya semakin dekat dengan liang kubur. Setiap hari kelahirannya dilewati, ia harusnya sadar, bahwa jatah hidupnya di dunia ini justru semakin berkurang. Artinya, waktu untuk menghadap kepada Allah, semakin dekat.
Jika mereka mengaku sebagai manusia beriman, seharusnya, ketika itulah, mereka memperbanyak amal ibadah, berzikir kepada Allah, mengingat dan merenungkan kembali apa-apa yang telah mereka lakukan. Maka, tahun baru, seyogyanya tidak perlu diperingati dengan berjingkrak-jingkrak, berteriak-teriak, meniup-niup terompet, atau bernyanyi-nyanyi. Apalagi dilakukan dengan mencampur adukkan hal yang haq dan bathil.
Beberapa tahun lalu, sebagian masyarakat, katanya untuk menciptakan kerukunan umat beragama, melakukan doa bersama antar agama. Padahal, bagi kaum Muslim, doa adalah ibadah khusus yang diatur tata caranya dengan jelas, dan tidak bisa begitu saja dibuat-buat ritualitas doa model baru.
Dengan musibah Aceh, banyak tokoh dan pejabat yang mengimbau, hentikan peringatan tahun baru dan perbanyak amal untuk membantu korban musibah Aceh. Imbauan begini, tentu saja sangat bagus. Tetapi, imbauan yang bagus itu seharusnya terus digelorakan, tanpa ada musibah Aceh sekalipun. Karena setiap hari, saat ini, bangsa Indonesia sedang ditimpa musibah besar. Kemiskinan dan kefakiran yang melilit sebagian besar warga bangsa adalah bencana, dan mendekatkan kepada kekufuran.
Kehancuran moral dan iman yang terus dipupuk oleh berbagai informasi dan hiburan destruktif adalah bencana. Kemusyrikan yang dibiarkan merajalela dengan menyebarkan paham-paham materialisme, liberalisme, sekularisme, hedonisme, dan sejenisnya, adalah musibah besar. Jika kita merinding dan menitikkan air mata, karena merasa ngeri melihat mayat-mayat yang membusuk di jalan-jalan di berbagai pelosok Aceh, maka seharusnya kita juga perlu menjerit dan menangis menyaksikan kehancuran iman dan akhlak yang menimpa umat Islam.
Jadi, seharusnya, untuk menghentikan acara-acara mungkar, tidaklah perlu menunggu datangnya satu musibah besar seperti gempa dan tsunami di Aceh. Tetapi, adalah hal yang sangat keterlaluan, jika sudah diberi musibah besar, seperti di Aceh, masih banyak juga yang melakukan kemungkaran kepada Allah SWT.
Berloma-lomba menciptakan berbagai acara hura-hura yang melupakan manusia untuk berpikir dan berzikir kepada Allah. Jika berbagai musibah sudah dijatuhkan, tetapi manusia tetap saja melupakan Allah SWT, dan lebih mencintai kehidupan dunia yang fana, maka mungkin saja, Allah akan memberikan peringatan yang lebih dahsyat lagi. Semoga hal itu tidak terjadi.
Ayat-ayat al-Quran penuh dengan peringatan, agar manusia mengingat kematian dan Hari kiamat nanti, dimana mereka akan menghadap Sang Pencipta dan mempertanggungjawabkan semua amal perbuatannya. Setiap amal perbuatan, baik dan buruk, akan diperthitungkan., Tidak ada yang terlewat.
Banyak manusia akan menyesal, mengapa semasa hidup di dunia, mereka tidak memanfaatkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ketika mereka mempunyai fisik yang sehat, gagah, dan cantik, anugerah itu bukannya untuk beribadah kepada Allah, tetapi untuk dipamerkan dan bahkan diumbar auratnya kepada manusia. Ketika mempunyai akal yang cerdas, kecerdasannya bukan digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah dan membimbing umat manusia lainnya untuk menuju jalan Allah. Tetapi, kecerdasannya justru digunakan untuk menyebarkan paham-paham yang keliru dan menjauhkan manusia dari ibadah dan taat kepada Allah.
Ketika mereka dikaruniai harta benda, harta bendanya bukan untuk berjuang di jalan Allah, membiayai aktivitas dakwah dan keilmuan, misalnya, tetapi justru digunakan untuk berfoya-foya, seolah-olah dia akan hidup selamanya di dunia. Padahal, di dunia pun, harta benda bukan jalan meraih kebahagiaan sejati, sebab kebahagiaan sejati, adalah terletak dalam hati yang beriman dan ridha kepada Allah SWT. Ma’rifattullah adalah jalan untuk meraih kebahagiaan hakiki.
Bencana Aceh semoga menjadi penghantak kita yang masih hidup untuk memahami makna kehidupan yang hakiki. Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua agar berada di jalan-Nya yang lurus, sehingga kita senantisa siap sedia menyongsong kematian, kapan pun, kematian itu datang. Allah SWT sudah mengingatkan, “Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kalian lari daripadanya, ia akan menjemputmu.¨ (QS 62:8).
Kematian pasti datang, dengan cara apa saja. Bisa melalui bencana alam, melalui penyakit, melalui peperangan, melalui kecelakaan, atau tanpa sebab yang jelas. Kematian juga pasti datang kepada setiap manusia, dalam keadaan apa pun; apakah seseorang sedang salat, sedang tidur, sedang bekerja, sedang mengendarai mobil, sedang bermain-main, sedang melampiaskan nafsunya di rumah pelacuran, sedang berjoged di malam tahun baru, atau sedang menonton konser Krisdayanti.
Wallahu a’lam.
(KL, 31 Desember 2004).
0 komentar:
Posting Komentar