Soekarno-Hatta, “Founding Fathers” Sekularisme Indonesia
Berbagai permasalahan yang terjadi pada umat Islam Indonesia dewasa ini, seperti berkembangnya paham sesat Ahmadiyah di tubuh umat Islam, maraknya orang yang mengaku sebagai nabi baru dan pendiri agama baru sempalan Islam, berkembangnya paham sesat pluralisme dan liberalisme yang kebanyakan diusung anak-anak muda berlatar belakang pendidikan agama, disintegrasi bangsa serta berbagai keterpurukan umat Islam di segala bidang dapat kita katakan penyebab utamanya adalah paham sekularisme yang menjadi asas berdirinya negara ini.
Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai: “A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship” (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan) atau sebagai: “The
belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into
the function of the state especially into public education”
(Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh
memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik) (Lihat M.
Shiddiq Al-Jawi, tt, Mengapa Kita Menolak Sekularisme?). Dari definisi ini jelas, paham sekularisme adalah paham yang mengusung gagasan fashluddin ‘anil hayah
(pemisahan agama dengan kehidupan) yang berarti Islam tak boleh campur
tangan sama sekali terhadap aturan-aturan bermasyarakat dan bernegara.
Konsekuensinya, Indonesia yang menganut falsafah ini meniscayakan
negara tersebut untuk meninggalkan sama sekali ajaran Islam sebagai
bagian integral pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Konsep negara Indonesia yang sekuler
sebenarnya bukanlah digali dari falsafah hidup bangsa Indonesia. Gagasan
ini bahkan tak pernah dikenal dalam perjalanan panjang sejarah bangsa
Indonesia. Sejak Indonesia meninggalkan fase prasejarah dengan
ditemukannya prasasti di Kalimantan pada abad ke-4 M, kerajaan-kerajaan
di Indonesia kemudian secara bergantian menggunakan ajaran Hindu dan
Budha sebagai falsafah kehidupan kerajaan nusantara. Bahkan sejak
masuknya Islam di Indonesia pada abad ke-7 M, institusi kerajaan
nusantara secara bertahap berganti baju menjadi kesultanan Islam yang
menjadikan Syariah Islam sebagai asas bernegara dan baru berakhir pada
awal abad ke-20 M (Lihat Booklet HTI, 2007, Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia).
Konsep Indonesia sekuler baru melembaga dengan berdirinya Budi Utomo
pada 1908 dan semakin diperkuat dengan Sumpah Pemuda oleh berbagai
kelompok pemuda pada 1928 yang sama sekali tak memasukkan Islam dalam
isi sumpahnya.
Gagasan Indonesia sekuler yang diselubungi
dengan gagasan nasionalisme merupakan gagasan yang diusung oleh
anak-anak bangsa yang mengecap pendidikan sekuler barat dan kemudian
silau dengan gaya kehidupan barat yang sekuler. Maraknya pengusung
ideologi sekularisme ini di Indonesia sejak awal abad ke-20 M, bukanlah
tanpa perlawanan dari anak bangsa yang masih menginginkan Islam –yang
sudah sejak turun-temurun menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia–
tetap menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia dan menjadi asas negara
Indonesia yang kelak akan didirikan. Lahirnya Jong Islamiten Bond (JIB) yang berasal dari pecahan Jong Java
pada 1924 bisa dikatakan sebagai awal dari pertentangan antara kelompok
pro Islam dengan kelompok pro sekuler (Lihat Mohammad Roem, 1977, Bunga Rampai Sejarah (II) hal. 90 dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 68).
Dan sebagaimana lazimnya sebuah ideologi,
ia hanya akan menjadi tumpukan buku dan literatur di rak-rak
perpustakaan dan tak akan menghasilkan apa-apa jika tak ada yang
mengusungnya serta menjadikannya sebuah dasar bagi sebuah kelompok atau
negara. Dan ideologi sekularisme yang berkembang pada masa pergerakan
kebangsaan Indonesia menemukan bentuk utuhnya setelah diproklamirkan
oleh Soekarno-Hatta pada tahun 1945. Tanpa menafikan kontribusi
tokoh-tokoh lain dalam mengusung gagasan Indonesia yang sekuler, tak
bisa dipungkiri tokoh dwitunggal Soekarno dan Hatta lah yang paling
bertanggung jawab terhadap menancapnya ideologi ini dalam negara
Indonesia.
Soekarno, sang proklamator, dikenal
sebagai pengagum berat bapak sekularisme Turki, Mustafa Kemal Pasha.
Kekagumannya terhadap sang tokoh terlihat dari gagasan-gagasannya
tentang konsep bernegara yang banyak mengambil dari Kemal Pasha.
Soekarno pernah mengutip pernyataan Kemal Pasha tentang pemisahan agama
dan negara, “Jangan marah, kita bukan melempar agama kita, kita
cuma menyerahkan agama kembali ke tangan rakyat kembali, lepas dari
urusan negara supaya agama dapat menjadi subur”. Dengan mengutip
pernyataan ini, Soekarno ingin membenarkan pendapatnya yang meninggalkan
agama dalam kehidupan bernegara Indonesia. Ia ingin menyesatkan
pemahaman umat Islam Indonesia, bahwa dalam negara Indonesia yang
sekuler Islam akan tumbuh lebih baik, sesuatu yang sebenarnya tak pernah
dibuktikan oleh Kemal Pasha sendiri di Turki.
Soekarno benar-benar serius mewacanakan
gagasan Indonesia yang sekuler lewat diskusi-diskusi dan
tulisan-tulisannya bertahun-tahun sebelum RI diproklamasikan. Tercatat
beberapa tulisan Soekarno yang ingin menyingkirkan Islam dalam ranah
kehidupan bernegara seperti: Memudakan Pengertian Islam, Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Islam Sontoloyo, dan lain sebagainya (Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara
hal 70). Walaupun argumentasi-argumentasi Soekarno mampu dipatahkan
oleh M. Natsir, tapi sepertinya Soekarno tak bergeming dan tetap
mewacanakan gagasan tersebut. Dan gagasan sekularisme Indonesia ini
benar-benar terwujud setelah Indonesia diproklamasikan dan Soekarno
dipilih menjadi presiden pertama RI. Sebelumnya bahkan upaya ini telah
menjadi bahan perdebatan yang hangat di sidang BPUPKI dan PPKI (Suratno,
2006, Islam dan Pancasila, Menegaskan Kembali Peran Islam di Negara Pancasila).
Setali tiga uang, pasangan dwitunggal
Soekarno yaitu Mohammad Hatta ternyata juga pengagum berat gagasan
sekularisme. Hatta merupakan orang yang paling bertanggung jawab
terhadap hilangnya 7 kata dalam Piagam Jakarta. Sehari setelah
proklamasi, kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang tercantum dalam Piagam Jakarta diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dengan alasan ada keberatan dari masyarakat Indonesia Timur yang non
Muslim terhadap kata-kata tersebut. Info itu disampaikan oleh Hatta
dalam sidang PPKI dengan menyatakan bahwa dia mendapatkannya dari
seorang Kaigun Jepang (Lihat Mohammad Hatta, 1982, Sekitar Proklamasi hal. 60 dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 69).
sumber: Abufurqan.com
dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar