Berdialog Dengan Teroris (Belajar Dari Pengalaman Arab Saudi Dalam Menumpas Terorisme)
Senin, 10 Oktober 2011 10:24:23 WIB
Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin, MA
PENGANTAR
Setan memiliki dua pintu masuk untuk menggoda dan menyesatkan
manusia. Jika seseorang banyak melanggar dan berbuat maksiat, setan
akan menghiasi maksiat dan nafsu syahwat untuk orang tersebut agar tetap
jauh dari ketaatan. Sebaliknya jika seorang hamba taat dan rajin
ibadah, setan akan membuatnya berlebihan dalam ketaatan, sehingga
merusak agamanya dari sisi ini. Para Ulama menyebut godaan jenis pertama
sebagai syahwat, dan yang kedua sebagai syubhat. Meski berbeda,
keduanya saling berkaitan. Syahwat biasanya dilandasi oleh syubhat, dan
syubhat bisa tersemai dengan subur di ladang syahwat [1]
Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Godaan syubhat (dapat)
ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis
dengan kesabaran.” [2]
Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan
perampokan, agama Islam mensyariatkan hudûd, berupa hukuman-hukuman
fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan
hudûd untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran
menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudûd, tapi
lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski demikian,
kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan penyakit
syubhat dari seseorang.
Mengikis syubhat dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh
para ulama sejak zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan
menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog
langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal
tersebut juga dimaksudkan untuk menasihati ‘pemilik’ syubhat agar bisa
(mau) kembali ke jalan yang benar.
Khusus pemikiran kelompok Khawarij yang identik dengan terorisme, ada
beberapa kisah nasihat yang terkenal dari generasi awal umat Islam. Di
antaranya kisah Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhu yang mendatangi
kaum Khawarij secara langsung untuk meluruskan beberapa pemahaman agama
mereka yang menyimpang. Setelah diskusi yang cukup singkat dengan
mereka, sebanyak dua ribu orang bertaubat dari kesalahan pemikiran
mereka [3]
Juga tercermin pada kisah Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu ‘anhuma yang
dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij dan
berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya kepada
Jâbir Radhiyallahu ‘anhuma, akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij
kecuali satu orang saja.
Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasehat dan diskusi sangat bermanfaat
untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan
bahwa jika pemilik syubhat tidak datang sendiri mencari kebenaran
–seperti dalam kisah sahabat Jâbir-, kita dianjurkan untuk mendatangi
mereka, seperti dalam kisah sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma.
Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror
yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di
penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, namun tetap memegangi
pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah,
hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak
optimal. Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori
syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau
hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat
mereka jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah
(jihad) yang mendekatkan diri mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dan
hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang
semakin menambah pundi-pundi pahala mereka.
Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan ulama Ahlus Sunnah untuk
memikirkan solusi yang lebih baik, agar gerakan terorisme bisa ditekan
dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menyuguhkan sebuah solusi yang
telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme
berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi.
ARAB SAUDI DAN TERORISME
Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling
banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah
bin Laden akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan.
Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi
di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.
Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di
ibukota negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks
perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang, termasuk 16 pelaku bom
bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban (Propinsi
Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang.
Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan
menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei
2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu’
dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat
dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22
lainnya.
Harian ASHARQ AL-AWSATH telah merangkum peristiwa yang berhubungan
dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003,
dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan
bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak
Arab Saudi [4]. Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka
yang mengatakan bahwa ideologi terorismediimpor dari negeri ‘Wahhabi’,
karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.
Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah
banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak
terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan.
Kota suci Mekah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini.
Bahkan, ada beberapa tokoh agama yang terang-terangan memfatwakan
bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari objektivitas Amerika dan
sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk penghuni terbesar kamp
penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.
Tapi, tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab
Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan
pemerintah menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan
dini, rujuknya para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang
pernah terlibat aksi yang mengerikan tersebut.
Di samping itu, ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang
dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa,
penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga
saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan
yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam
kampanye penanggulangan terorisme di Arab Saudi, yaitu Lajnah
al-Munâshahah (Komite PenasEhat).
APA ITU LAJNAH AL-MUNASHAHAH?
Lajnah al-Munâshahah yang berarti Komite Penasehat mulai dibentuk pada
tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen Dalam Negeri (di bawah
pimpinan Deputi II Kabinet dan Menteri Dalam Negeri, Pangeran Nayif bin
Abdul Aziz) dan Biro Investigasi Umum. Tugas utamanya adalah memberikan
nasihat dan berdialog dengan para terpidana kasus terorisme di
penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munâshahah memulai aktivitasnya
dari Riyadh sebagai ibukota, kemudian memperluas cakupannya ke seluruh
wilayah Arab Saudi [5]
Lajnah al-Munâshahah terdiri dari 4 komisi, yaitu:
1. Lajnah ‘Ilmiyyah (Komisi Ilmiah) yang terdiri dari para ulama dan
dosen ilmu syariah dari berbagai perguruan tinggi. Komisi ini yang
bertugas langsung dalam dialog dan diskusi dengan para tahanan kasus
terorisme.
2. Lajnah Amniyyah (Komisi Keamanan) yang bertugas menilai kelayakan
para tahanan untuk dilepas ke masyarakat dari sisi keamanan, mengawasi
mereka setelah dilepas, dan menentukan langkah-langkah yang diperlukan
jika ternyata masih dinilai berbahaya.
3. Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (Komisi Psikologi dan Sosial) yang
bertugas menilai kondisi psikologis para tahanan dan kebutuhan sosial
mereka .
4. Lajnah I’lamiyyah (Komisi Penerangan) yang bertugas menerbitkan materi dialog dan melakukan penyuluhan masyarakat [6]
TEKNIK DIALOG
Hampir tiap hari Lajnah al-Munâshahah bertemu dengan para tahanan kasus
terorisme. Kegiatan memberi nasihat ini didominasi oleh dialog terbuka
yang bersifat transparan dan terus terang. Sesekali dialog tersebut
diselingi dengan canda tawa yang mubah (bersifat diperbolehkan syariat)
agar para tahanan merasa tenang dan menikmati dialog.
Ada juga kegiatan daurah ilmiah berupa penataran di kelas-kelas dengan
kurikulum yang menitikberatkan pada penjelasan syubhat-syubhat para
tahanan, seperti masalah takfir (vonis kafir), wala’ wal bara’
(loyalitas keagamaan), jihad, bai’at, ketaatan kepada pemerintah,
perjanjian damai dengan kaum kafir dan hukum keberadaan orang kafir di
Jazirah Arab [7]
Kegiatan dialog biasanya dilakukan setelah Maghrib dan kadang
berlangsung sampai larut malam. Agar efektif, dialog tidak dilakukan
secara kolektif, tapi satu persatu. Hanya satu tahanan yang diajak
berdialog dalam setiap kesempatan agar ia bisa bebas dan leluasa
berbicara, dan terhindar dari sisi negatif dialog kolektif.
Pada awalnya, banyak tahanan yang takut untuk berterus terang mengikuti
program dialog ini, karena mereka menyangka bahwa dialog ini adalah
bagian dari investigasi dan akan berdampak buruk pada perkembangan kasus
mereka. Namun begitu merasakan buah manis dialog, mereka sangat
bersemangat dan berlomba-lomba mengikutinya [8]
Mereka segera menyadari, bahwa dialog ini justru menguntungkan mereka.
Sebagian malah meminta agar mereka sering diajak dialog setelah melihat
keterbukaan dalam dialog dan penyampaian yang murni ilmiah (dipisahkan
dari investigai kasus) dan bermanfaat dalam meluruskan pemahaman salah
(syubhat) yang melekat pada pikiran mereka. Rupanya, mereka telah
menemukan bahwa ilmulah obat yang mereka cari, dan mereka pun dengan
senang hati mereguknya. [9]
Pada umumnya, mereka memiliki tingkat pendidikan rendah, tapi memiliki
kelebihan pada cabang ilmu yang mereka minati. Mereka –yang sekitar 35 %
pernah tinggal di wilayah konflik- mudah termakan oleh pemikiran dan
fatwa yang menyesatkan. Ketika dihadapkan pada ulama yang mumpuni dan
memiliki ilmu yang benar, mereka menyadari kesalahan pemahaman mereka.
Melalui dialog ini, Lajnah al-Munâshahah menjelaskan pemahaman yang
benar terhadap dalil, membongkar dalil-dalil yang dipotong atau
nukilan-nukilan yang tidak amanah [10]
Setelah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, banyak tahanan yang
menyatakan bahwa selama ini seolah-olah mereka mabuk. Banyak yang
mengaku bahwa mereka mulai mengenal pemikiran terorisme dari kaset-kaset
“Islami” (tentu saja Islam berlepas diri darinya), ceramah-ceramah yang
menggelorakan semangat dan menyentuh emosi keagamaan mereka, juga
fatwa-fatwa penganut terorisme. Tambahan gambar-gambar,
cuplikan-cuplikan audio-visual dan tambahan efek pada kaset dan video
ikut berpengaruh memainkan perasaan. Hal ini jika tidak dikelola dengan
baik bisa menjadi badai yang berbahaya.
Rekaman-rekaman seperti inilah sumber ‘ilmu’ mereka, dan oleh karenanya
disebarkan dengan intens di internet oleh pengusung pemikiran teror.
Setelah mereka jatuh dalam perangkap pemikiran ini, biasanya mereka
dilarang untuk mendengarkan siaran radio al-Quran al-Karim, radio
pemerintah yang didukung penuh oleh para ulama besar Arab Saudi. Hal ini
dimaksudkan untuk memutus akses para pemuda ini dari para ulama [11].
PROGRAM DAN SARANA PENUNJANG
Program dialog juga ditunjang dengan pemenuhan kebutuhan fisik para
tahanan. Berbeda dengan metode Guantanamo yang menyiksa, para tahanan
justru diberikan keleluasaan dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka dan
melakukan kegiatan refreshing.
Akses kunjungan keluarga dibuka lebar-lebar, karena hubungan yang baik
dengan keluarga adalah faktor penting yang mendorong mereka keluar dari
pemikiran rancu mereka. Bahkan saat dilepas, pemerintah memberikan
mereka rumah, membiayai kebutuhan anak-anak mereka, bahkan membantu
menikahkan mereka yang belum menikah. Intinya, mereka dibuat sibuk
dengan tanggung- jawab keluarga, sehingga tidak lagi tergoda untuk
kembali ke aktivitas negatif yang dahulu mereka lakukan atau
persahabatan buruk yang membuat mereka jatuh dalam syubhat. Keluarga
mereka juga mendapat arahan khusus untuk mendukung program ini dan
menjaga agar keberhasilan munâshahah di penjara tidak pudar di rumah
[12]
Sebelum dilepas kembali ke masyarakat, para tahanan ditempatkan di
pusat-pusat pembinaan berupa villa-villa peristirahatan tertutup yang
memiliki fasilitas lengkap berupa kelas-kelas pembinaan dan sarana
olahraga. Di pusat pembinaan yang dinamai Prince Mohammed bin
NayifCenter for Advice and Care ini, program dialog tetap berjalan,
ditambah kegiatan-kegiatan pemasyarakatan seperti pelatihan seni rupa
dan kursus ketrampilan berijazah. Secara berkala, mereka juga diberi
kesempatan untuk berkunjung ke rumah keluarga mereka untuk jangka waku
tertentu dengan pengawasan [13]
SANGAT BERHASIL, MESKIPUN KADANG GAGAL
Program munâshahah ini telah mencapai keberhasilan yang luar biasa.
Banyak teroris yang berhasil diluruskan kembali pemikiran dan akidahnya,
sehingga bisa kembali diterima masyarakat. Hanya sedikit sekali yang
yang kembali ke jalan terorisme dari ribuan orang telah mengikuti
dialog.
Seorang bernama Zabn bin Zhahir asy-Syammari, eks tahanan Guantanamo
yang telah mengikuti program munâshahah mengatakan, bahwa program ini
telah berhasil dengan baik dan orang-orang yang mengikutinya telah
memetik faidah yang besar. Tidak lupa, ia mengucapkan terima kasih atas
diadakannya program yang penuh berkah ini [14]
Tapi seperti usaha manusia yang lain, dialog ini juga kadang menemui
kegagalan. Salah satu kegagalan yang masyhur adalah kembalinya 7 eks
tahanan Guantanamo ke pemikiran mereka selepas dari penjara. Allâh Azza
wa Jalla tidak membukakan hati mereka untuk nasehat yang telah
disampaikan. Sebabnya, bisa jadi karena pemikiran takfir sudah
mendarah-daging pada diri mereka, atau tidak terwujudnya beberapa faktor
pendukung dalam dialog. Ada juga yang berpura-pura setuju dengan apa
yang disampaikan Lajnah Munâshahah secara lahir saja, tanpa kesungguhan
batin [15]
Menurut ‘Abdul ‘Azîz al-Khalîfah, anggota Lajnah al-Munâshahah, ada
tahanan yang penyimpangannya karena ketidaktahuan atau karena terpedaya.
Orang seperti ini akan mudah diajak dialog dan cepat menyadari
kesalahan. Ada juga yang penyimpangannya terbangun di atas prinsip yang
menyimpang atau kesesatan yang sudah lama dipeluknya. Yang demikian
lebih sulit dan membutuhkan usaha ekstra [16]
Namun, kegagalan kecil ini tidaklah mengurangi kegemilangan Kerajaan
Arab Saudi dalam menumpas terorisme. Bagi pemerintah Arab Saudi,
pemikiran tidak cukup dihadapi dengan senjata, tapi juga harus dilawan
dengan pemikiran [17]. Dunia internasional pun mengakui keberhasilan
ini. Masyarakat dunia menyebutnya sebagai “Strategi Halus Saudi” atau
“Kekuatan yang Lembut”. Sudah banyak pula negara yang belajar dari
pengalaman Arab Saudi dan mentransfernya ke negara mereka [18]
PENUTUP : BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?
Banyak kesamaan antara Indonesia dan Arab Saudi. Keduanya adalah negara
dengan penduduk mayoritas muslim, dan pemerintahnya sama-sama divonis
kafir oleh para pengusung paham terorime. Para tokoh teror Indonesia
juga banyak terpengaruh oleh para tokoh takfiri dari dunia Arab, yang
banyak ditemui di wilayah-wilayah konflik dunia. Bagaimanapun, bangsa
Arab tetap paling berpengaruh dalam ilmu agama Islam, baik ilmu yang
benar ataupun yang salah. Karena itu, apa yang telah berhasil
dipraktikkan di Arab Saudi Insyâ Allâh juga akan berhasil di Indonesia.
Pemerintah RI perlu belajar dari keberhasilan ini dan mentransfernya ke
bumi pertiwi, agar fitnah terorisme yang telah merusak citra Islam
segera hilang atau paling tidak bisa ditekan secara berarti. Pemikiran
harus dilawan dengan pemikiran, bukan dengan peluru! Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/1432/20011M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Bi Ayyi 'Aqlin wa Dîn Yakûnu at-Tafjîru Jihâdan?, Syaikh ‘Abdul
Muhsin al-‘Abbâd, hlm. 3, at-Tahdzîr min asy-Syahawât, ceramah Dr.
Sulaimân ar-Ruhaili
[2]. Ighâtsatul Lahafân, Ibnul Qayyim, 2/167
[3]. Sunan al-Baihaqi8/179
[4]. Harian ASHARQUL- AUSATH edisi 9297, 12 Mei 2004
[5]. Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Dirjen Penyuluhan dan Pengarahan Kemendagri Arab Saudi di Harian al-Riyâdh edisi 13.682
[6]. Markaz Muhammad bin Nayif lil Munâshahah, Su'ud ‘Abdul Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257
[7]. Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri'âyah asy-Syâmilah wal
Munâshahah, assakina.com, Markaz Muhammad bin Nayif lil Munâshahah,
Su'ud ‘Abdul ‘Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257
[8]. Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyâdh, edisi 13.682
[9]. Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyâdh, edisi 13.682
[10]. Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyâdh, edisi 13.682
[11]. Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri'âyah asy-Syâmilah wal
Munâshahah, assakina.com, Wawancara Dr. Ali an-Nafisah di Harian
al-Riyâdh edisi 13.68.
[12]. Markaz Muhammad bin Nayif lil Munâshahah, Su'ud Abdul Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257
[13]. Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayef lir Ri'âyah asy-Syâmilah wal Munâshahah, assakina.com
[14]. Harian al-Riyâdh edisi 14.848, Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayef lir Ri'âyah asy-Syâmilah wal Munâshahah, assakina.com
[15]. Harian al-Riyâdh, edisi 14.848
[16]. Harian al-Riyâdh, edisi 14.848.
[17]. Markaz Muhammad bin Nayef lil Munâshahah, Su'ud ‘Abdul ‘Aziz Kabuli, Horan al-Wathan, edisi 3.257
[18]. Koran al-Riyadh edisi 15.042
sumber: http://almanhaj.or.id/content/3160/slash/0
dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar