Ganasnya Minoritas Kafir Terhadap Muslimin
Oleh: Ust. hartono Ahmad jaiz
Penjajah Belanda yang beragama Kristen, dan mereka itu adalah minoritas di Nusantara, terbukti telah bercokol mencengkeramkan kuku-kukunya di Nusantara selama 350-an tahun dengan aneka pelanggaran dan pemerkosaan hak-hak sipil. Berapa ribu ulama yang telah dibantai dengan cara diadu domba. Contohnya, di zaman Amangkurat I, pengganti Sultan Agung di Kerajaan Mataram Islam, di Jogjakarta, Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan Belanda, lalu para ulama tidak setuju, maka dikumpulkanlah para ulama itu di alun-alun (lapangan) sejumlah 5.000-an ulama, lalu dibantai. Sejarahnya sebagai berikut:
Dalam Tulisan Ini [hide]
1
2 Amangkurat I membantai ribuan ulama
3 Di Zaman penjajahan menyusu penjajah, zaman merdeka bertingkah
3.1 Zaman merdeka, minoritas pun membantai umat Islam
3.2 Tirani minoritas
Amangkurat I membantai ribuan ulama
Pembantaian terhadap umat Islam kadang bukan hanya menimpa umat secara umum, namun justru inti umat yang dibantai, yaitu para ulama. Pembantaian yang diarahkan kepada ulama itu di antaranya oleh Amangkurat I, penerus Sultan Agung, raja Mataram Islam di Jawa, tahun 1646.
Peristiwa itu bisa kita simak sebagai berikut:
‘Penyebaran Islam menjadi benar-benar terhambat dan sekaligus merupakan sejarah paling hitam tatkala Amangkurat I mengumpulkan 5000 sampai 6000 orang ulama seluruh Jawa dan membunuhnya seluruhnya secara serentak.’[1]
Masalah ini ditegaskan lagi oleh Sjamsudduha pada halaman lain: ‘Penyebaran Islam pernah mengalami hambatan yang bersifat politis, yaitu adanya pergolakan intern dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hambatan yang paling hebat dalam proses penyebaran Islam terjadi ketika Amangkurat I melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap lima sampai enam ribu ulama dan keluarganya. Penyebaran Islam di Jawa mengalami stagnasi untuk beberapa lama karena kehabisan muballigh, dan perasaan takut.’[2]
Dibantainya lima ribu sampai enam ribu ulama itu adalah masalah yang sangat besar. Sumber yang lain menyebutkan:
‘Amangkurat I, juga terkenal dengan nama Amangkurat Tegal Arum atau Tegal Wangi (karena mangkat di tempat tersebut) ialah putera Sultan Agung; naik tahta Mataram (1645) sebagai pengganti ayahnya. Berlainan dengan Sultan Agung yang bijaksana, Amangkurat I pada waktu hidupnya membuat beberapa kesalahan dan sebagai tanda kelemahan ia mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kompeni Belanda (1646). Tindakannnya ini ditentang oleh beberapa golongan, di antaranya para alim ulama, sehingga mereka ini disuruh bunuh.’[3]
Peristiwa besar berupa pembantaian terhadap ribuan ulama itu tidak terjadi kecuali di belakangnya ada penjajah Belanda yang menyetir Amangkurat I.
Penjajah Belanda itu jumlahnya sedikit, minoritas, tetapi memegang kendali kepemimpinan, terbukti memainkan peran jahatnya terhadap inti umat Islam yaitu membantai ribuan ulama. Kelompok minoritas itu sampai membantai yang mayoritas saja tidak takut, apalagi kejahatan-kejahatan lainnya.
Di Zaman penjajahan menyusu penjajah, zaman merdeka bertingkah
Berikut ini sebagian data kejahatan minoritas kafir penjajah Belanda terhadap umat Islam dalam hal memberi dana sangat besar kepada Kristen dan Katolik, sebaliknya sangat kecil terhadap Islam.
Semenjak masa pemerintah kolonial Belanda, Katolik terutama Protestan memperoleh dana bantuan yang besar sekali, tidak demikian dengan Islam. Sebagai contoh pada tahun 1927 alokasi bantuan untuk modal dalam rangka pengembangan agama, adalah sebagai berikut:
Protestan memperoleh € 31.000.000
Katolik memperoleh € 10.080.000
Islam memperoleh € 80.000.[4]
Dana besar dari penjajah Belanda itu digunakan oleh orang Kristen dan Katolik untuk membangun gedung-gedung, sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Sedang ummat Islam tidak punya uang. Pada gilirannya, anak-anak orang kafirin itu telah makan sekolahan sedang anak-anak Muslimin belum, kecuali sedikit, maka ketika merdeka, orang-orang kafirin Nasrani itu masuk ke pos-pos pemerintahan di mana-mana. Padahal mereka itu ogah-ogahan untuk merdeka, lebih enak menyusu pada penjajah sesama kafir. Jadi, yang berjuang mengorbankan nyawa dan harta untuk melawan penjajah kafir itu orang Islam, namun ketika merdeka, penyusu Belanda itu justru yang leha-leha duduk di kursi-kursi pemerintahan.
Keadaan itu makin didukung oleh sikap pemerintahan Soekarno yang bersama PKI (Partai Komunis Indonesia) mempecundangi ummat Islam. Senjata ampuh Soekarno dan PKI adalah istilah DI (Darul Islam) yang harus dihabisi sampai seakar-akarnya. Di situ kafirin Nasrani bersorak kegirangan karena ummat Islam dikuyo-kuyo (dipecundangi, disengsarakan). Di masa Soeharto berkuasa 32 tahun pun ummat Islam dikuyo-kuyo lagi oleh Soharto, Ali Moertopo, Benny Moerdani, Sudomo (sebelum masuk Islam) dengan tunggangan Golkar. Sampai hanya untuk bicara agama saja harus pakai SIM (Surat Izin Muballigh). Dan ummat Islam banyak dibantai di mana- mana, di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng Jabar dan sebagainya. Lagi-lagi kafirin Nasrani bersorak sorai.
Mereka yang sorak sorai –selama umat Islam dibantai, dikuyo-kuyo dan didhalimi– itu kini diusulkan oleh Dawam Rahardjo (pembela aliran-aliran sesat yang merusak Islam seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Sepilis –sekulerisme, pluralisme agama, dan liberalisme— dan semacamnya) untuk memimpin Departemen Agama. Padahal diadakannya Departemen Agama itu sendiri menurut sejarahnya adalah hadiah bagi umat Islam, karena para ulama dan umat Islam telah berjuang mati-matian untuk meraih kemerdekaan.
Bagaimana kira-kira kalau usulan Dawam Rahardjo itu terlaksana?
Kalau toh penyengsaraan terhadap umat Islam tidak sampai tingkat pembantaian, maka seandainya dari kalangan Kristen memimpin Departemen Agama, lakon nenek moyangnya dalam ideology dan agama, yaitu penjajah Belanda, bisa diterapkan pula. Yaitu dana untuk Nasrani 41 juta Gulden, sedang untuk Islam hanya 80 ribu Gulden saja.
Tidak usah jauh-jauh ke zaman Belanda, di saat pemerintahan Orde Baru pimpinan presiden Soeharto, ketika Benny Moerdani yang Nasrani itu dijadikan Menteri Pertahanan dan Keamanan/ Panglima Angkatan Bersenjata, ternyata ratusan umat Islam dibantai di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 12 September 1984. Diperkirakan ratusan Muslimin dibantai, diangkut bertruck-truck entah ke mana dikuburkannya, tak jelas.
Kemudian ketika TB Silalahi dari Nasrani pula dijadikan Menteri Aparatur Negara, maka membuat kebijakan yang mengarah pada pembunuhan madrasah-madrasah sore hari, dengan cara menambah lama bersekolah di sekolah-sekolah umum sampai agak sore, sehingga mengakibatkan rontoknya madrasah-madrasah sore hari. Masih pula ditambah dengan menghapus pengadaan guru-buru negeri untuk sekolah swasta, yang artinya adalah membunuh madrasah-madrasah (swasta) se-Indonesia. Hingga kini setelah tahun 2000 pun dampaknya makin memprihatinkan. Madrasah-madrasah (swasta) mengalami koleps, rata-rata dalam keadaan megap-megap, karena kekuarangan guru. Untuk seluruh Indonesia diperkirakan butuh 200.000-an guru madrasah, dan khabarnya sampai sekarang kalau Departemen Agama RI mengajukan kepada pemerintah untuk mengadakan tenaga guru itu senantiasa ditolak, kecuali sangat sedikit. Sebaliknya, TB Silalahi walau sudah tak jadi menteri masih aktif dalam kenasraniannya secara nasional, misalnya jadi ketua panitia natalan tingkat nasional, yang mampu menggiring para pejabat Muslim sampai tingkat presiden untuk hadir di upacara bernatalan ria, satu hal yang telah diharamkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi umat Islam. Seakan fatwa MUI itu dianggap angin lalu oleh para pejabat Muslim. Padahal, mereka (pejabat-pejabat Muslim) itu ketika sebelum naik jabatan biasanya mendekat-dekat kepada umat Islam, paling kurang dengan cara hadir di masjid-masjid,guna meraih simpati umat Islam, misalnya. Terkutuklah mereka. Agama dijadikan alat untuk meraih jabatan.
Betapa bedanya antara pejabat yang Muslim dengan yang kafir. Kalau pejabat kafir, sampai sudah tidak menjabat pun masih gigih menjajakan kekafirannya, seperti menjadi panitia upacara nasional kekafiran mereka, dan mampu menggiring pejabat yang masih aktif untuk hadir di acara kekafiran mereka. Sebaliknya, pejabat-pejabat Muslim, ketika masih menjabat saja sudah lupa terhadap Islam dan umat Islam. Justru biasanya mereka ikut-ikutan ke acara-acara kafir. Kemudian setelah mereka tidak punya jabatan lagi, baru sebagian mendekat-dekat lagi ke umat Islam, tetapi sudah tidak ada daya apa-apa, hanya sekadar mengisi waktu menunggu umur. Itu saja sering-sering hanya berfungsi untuk mengendur-ngendurkan perjuangan Islam, dengan alasan persatuan dan kesatuan, misalnya; lalu cenderung ke pluralisme agama, menyamakan semua agama, atau paling tidak ya sekuler. Yang nampak di permukaan biasanya seperti itu, bila kebetulan tidak tersangkut perkara korupsi dan semacamnya yang mengakibatkan sakit atau malahan meninggal sebelum sempat diadili.
Kalau ketika jadi pejabat dikenal galak, atau pelit, atau lebih dari itu justru tukang peras, biasanya ketika pensiun, mereka minggat, menjauh dari tempat semula. Entah dengan cara membeli tanah di kompleks yang suasananya dianggap aman, atau sekadar ndompleng ke anak atau menantu, bila perlu. Perkara nasib mereka di akherat seperti apa, itu urusan Allah subhanahu wata’ala terhadap mereka. Kalau di dunia sudah banyak mendhalimi manusia, bahkan agama Allah subhanahu wata’ala, maka betapa ngerinya. Maka mumpung masih hidup, sebaiknya bertaubat, memperbanyak amal sholih, ikhlas lillahi Ta’ala, agar husnul khotimah.
Kembali kepada sikap Dawam Rahardjo, perlu diingatkan mengenai kegigigihan orang kafir tersebut. Yang telah dikemukakan itu tadi, orang-orang Nasrani sampai sebegitu jauhnya dalam memecundangi Islam dan umat Islam. Padahal mereka itu tidak langsung memegang jabatan yang berkaitan dengan agama Islam. Bagaimana pula seandainya mereka yang Nasrani itu menjadi menteri agama? Tidak jadi menteri agama saja, terbukti pencelakaan terhadap umat Islam sudah sedemikian drastisnya. Lha kok Dawam Rahardjo yang dijuluki sebagai cendekiawan Muslim malahan sama sekali buta terhadap lakon jahat orang Nasrani yang telah ditusukkan kepada umat Islam se-Indonesia, padahal jelas-jelas di depan mata.
Sebaiknya Dawam Rahardjo membuka mata, melihat sejarah, agar ada sedikit gambaran tentang betapa mengenaskannya (memprihatinkannya) kondisi umat Islam akibat disengsarakan oleh kelompok minoritas anti Islam.
Kembali ke kekejaman Belanda (minoritas tapi menjajah) dalam membunuhi umat Islam. Peristiwa Perang Paderi selama 13 tahun (1824-1837M), antara Islam (Salaf)[5] yang dipimpin Imam Bonjol dan kaum adat (Islam tradisional) di Sumatera Barat dicampur tangani Belanda. Belanda memihak kaum adat. Kaum adat berdebat sesamanya. Sebagian kaum adat memihak ke Imam Bonjol, dan sebagian menyerah terhadap Belanda. Lalu Imam Bonjol sendiri ditipu oleh Belanda dengan cara pura-pura akan diadakan perdamaian, namun hanya menipu untuk menangkapnya, kemudian membuangnya ke Betawi, ke Cianjur Jawa Barat, lalu ditahan di Ambon, dipindah ke Menado, dan wafat di sana setelah 10 tahun di Menado, 6 November 1864.[6]
Belum lagi perang Aceh, Belanda dengan dipanas-panasi oleh penasihatnya, Snouck Hurgronje bahwa satu-satunya jalan hanyalah berlaku keras terhadap para ulama dan umat Islam, lalu dibantailah para ulama di Aceh, beserta umat Islam.
Sikap Snouck terhadap Islam, Ulama, dan Muslimin
Fakta sejarah menunjukkan kedustaan Snaouck Hurgronje dan rencana penyamarannya bukan tidak mungkin menunjukkan bahwa masuk Islamnya di Jeddah serta hubungannya dengan orang-orang Aceh di Mekkah al-Mukarramah pun termasuk perbuatan pura-puranya. Namun, dusta tersebut telah memberinya jalan memasuki daerah Aceh, tempat dia akan mengumpulkan informasi-informasi yang dapat memberi saham dalam mewujudkan pemecahan masalah atas daerah Aceh bagi Belanda. Untuk itu Snouck Hurgronje menerima pekerjaan di Batavia.
Di Batavia, dia mulai mengumpulkan informasi tentang pengajaran Islam di sekolah-sekolah Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta tentang apa yang dinamakan hierarki keagamaan Islam yang berkali-kali disangkal keberadaannya oleh Snouck Hurgronje. Pada dasarnya, Snouck benar karena di dalam Islam tidak dikenal sistem hierarki sebagaimana dalam Katolik atau Kristen pada umumnya. Kemudian datang perintah untuknya agar melaksanakan tugas resmi yang telah digambarkan dalam rekomendasi-rekomendasi sebagai sesuatu yang sangat rahasia. Dalam perjalanan mata-matanya itu, orang-orang Aceh, termasuk beberapa ulama, menaruh kepercayaan penuh kepadanya. Mereka memberi sambutan hangat dan menerima kedatangannya. Laporan-laporannya (kepada pemerintah Belanda, pen) berisi kebencian, dendam, pemutarbalikan, dan kebohongan, khususnya terhadap para ulama yang dianggap sebagai kendala penghambat tunduknya daerah Aceh kepada pemerintah Belanda. Para ulama merupakan motor penggerak spitritual masyarakat dalam membela daerah itu sehingga di dalam laporan-laporan spionasenya, para ulama itu berpuluh-puluh kali dijuluki gerombolan ulama. Selain itu, diapun menyampaikan usul kepada pemerintah kolonial untuk menempuh cara politik kekerasan dan penumpasan terhadap para ulama dengan menyatakan:
“Sesungguhnya musuh utama dan yang giat adalah para ulama dan para petualang yang menyusun gerombolan-gerombolan yang kuat. Sekalipun jumlah mereka sedikit dan tumbuh di antara lapisan-lapisan masyarakat yang bermacam-macam, mereka mendapat tambahan dari sebagian penduduk dan pemimpin-pemimpinnya. Tidak mungkin akan diperoleh manfaat dalam perundingan dengan partai musuh ini karena akidah dan kepentingan pribadi mereka mengharuskan mereka untuk tidak tunduk, kecuali dengan penggunaan kekerasan terhadap mereka. Sesungguhnya persyaratan yang paling mendasar untuk mengembalikan peraturan di daerah Aceh haruslah mengkaunter para ulama dengan kekerasan sehingga ‘ketakutan’ menjadi faktor yang menghalangi orang-orang Aceh untuk bergabung dengan pemimpin-pemimpin gerombolan agar terhindar dari bahaya. Menurut pendapat saya, mesti dipersiapkan rencana mata-mata yang efektif dan terorganisasi untuk memata-matai Tuanku Kuta Karang (pemimpin ulama pada tahun 1892) dan gerombolannya. Pasti akan ada hasil awalnya. Biarpun saya tidak mampu menjelaskan seluruh rinciannya, namun saya berani berkata bahwa pekerjaan mata-mata itu adalah suatu kemungkinan.” [7]
Demikianlah faktanya. Snouck telah melibatkan dirinya untuk kepentingan penjajahan dengan bukti pernyataan dan laporannya kepada Jendral Van Houts untuk memerangi kaum muslimin di seluruh wilayah jajahan Belanda. Dengan kata lain ia mengusulkan untuk menggunakan kekerasan dalam menumpas kaum muslimin. Karena itu Jendral tadi mendapat julukan “pedang Snouck yang ampuh” karena keberhasilannya dalam memerangi umat Islam.
Di samping itu Snouck Hurgronye juga banyak membantu dalam pembinaan kader missionaris Belanda dan membuka sekolahan untuk mengkristenkan muslimin di seluruh wilayah jajahannya.
Terdapat fakta lain pula bahwa seorang tokoh missionaris kondang dan sangat disegani di kalangan kaum orientalis yang bernama Hendrick Kraemer adalah murid Snouck Hurgronje, dari tahun 1921 hingga tahun 1935. Hubungan di antara guru dan murid terus berkesinambungan tanpa putus. Snouck Hurgronje wafat pada tahun 1936.[8]
Dr Van Koningsveled berkata: “Tidak terputus surat menyurat antara Snouck Hurgronje dan muridnya, Hendrik Kraemer, misisionaris terkenal dan berpengaruh dalam lingkungan aktivis kristenisasi dari tahun 1921 sampai dengan 1935. Menurut penjelasan Boland, buku Hendrik Kraemer, Misi Kristen di Dunia Non Kristen[9] mengungkapkan dengan jelas bahwa orang-orang Kristen mempunyai rencana untuk mengkristenkan dunia, khususnya Indonesia. Mereka bertujuan menundukkan dunia Islam.[10] Bahkan, Kreamer membandingkan Islam dengan Nazi.[11]
Zaman merdeka, minoritas pun membantai umat Islam
Bahkan di zaman merdeka dan setelah tahun 2000 pun Indonesia yang mayoritas Muslim ini, kaum minoritas membantai umat Islam di Poso Sulawesi, juga di Ambon. Tibo, otak pembantaian terhadap umat Islam di Poso, dikabarakan mengaku didoakan oleh gereja ketika mau melakukan pembantaian itu.[12] Majalah Sabili No 22, Th XIII, 18 Mei 2006/ 20 Rabi’ul Akhir 1427H memberitakan sebagai berikut:
Gereja acap kali disebut-sebut dalam berbagai kerusuhan di tanah air. Keterlibatan gereja pula yang disebut tervonis mati Tibo baru-baru ini.
Menjelang eksekusi mati, panglima pasukan Merah saat konflik Poso berkecamuk beberapa waktu lalu ini, mengungkap keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). GKST pimpinan pendeta Damanik yang berpusat di Tentena ini, menurut Tibo terlibat dalam pembantaian umat Islam Poso.
Menurut Tibo, (pihak gereja) GKST memberikan dukungan moril dan lainnya kepada pasukan Merah yang hendak menyerang kaum Muslimin Poso. Bahkan, lanjut Tibo, para pendeta mendoakan mereka dengan upacara ala Kristen di Gereja tersebut.
Hasilnya? Sebuah tragedy kemanusiaan yang di luar batas kewajaran manusia. Pembantaian dan penganiayaan terhadap umat Islam secara biadab telah dilakukan pasukan Merah. Fakta ini terungkap dari keterangan sejumlah saksi saat persidangan Tibo beberapa waktu yang lalu.
Kesadisan pasukan Kelelawar pimpinan Tibo terhadap kaum Muslimin terungkap di persidangan. Menurut salah satu saksi, pembina pesantren Walisongo Poso, Ustadz Ilham, ia melihat rekannya dibacok pasukan Merah pimpinan Tibo, sebelum ia nekad loncat dari mobil dan meloloskan diri.
Sebelumnya, Ustadz Ilham bersama 28 orang lainnya disuruh buka baju. Selanjutnya tangan diikat satu persatu dengan sabut kelapa, tali nilon dan kabel. Kemudian digiring lewat hutan tembus desa Lempomawu. Rombongan Ustadz Ilham berjalan ke desa Ranononco dan ditampung di sebuah baruga.
Di sanalah mereka disiksa dalam keadaan berbanjar dua barisan. Selanjutnya ikatan tangan ditambah sampai bersusun tiga. Badan Ustadz Ilham diiris, ditendang dan dipukul dengan berbagai alat. Tak puas dengan itu, mereka menyirami umat Islam dengan air panas selama dua jam.
Kebringasan pasukan Merah itu juga diungkap saksi lainnya, Tuminah. Menurut kesaksian Tuminah, pasukan Merah mengikat mereka dengan tali dan memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Di bilik sebuah sekolah, Dominggus meminta para Muslimah melepas bajunya dan disuruh berputar-putar di depannya.
Jauh sebelumnya, keterlibatan Gereja juga disebut-sebut saat penyerangan kaum Kristen terhadap umat Islam Maluku di akhir tahun 1999. Sehari setelah Natal, Ahad (26/12 1999), dengan amat tiba-tiba, massa Kristen menyerang dan membantai kaum Muslimin di Kecamatan Tobelo, Maluku Utara.
Seorang saksi menceritakan, pembantaian yang menyayat hati umat Islam tersebut. Menurut ceritanya, sebelum penyerangan biadab itu terdengar suara lonceng Gereja saling bersahutan serta suara gaduh tiang listrik, bak pertanda kesiapan untuk menyerang.
Seketika, massa Kristen yang membawa berbagai senjata tajam sudah mengepung dan membombardir Masjid Jami’ tempat berlindungnya ribuan kaum Muslimin. Masjid Jami’pun diguyur bensin dan dengan cepat api menjilat tembok-temboknya.
Jerit tangis anak-anak kecil bayi yang kepanasan dan istighfar para Muslimah terdengar bersahut-sahutan. Yang mencoba keluar masjid langsung dibantai. Kurang lebih 750 orang kaum Muslimin yang berada di dalam masjid tersebut terbakar hidup-hidup, hingga mengeluarkan aroma daging terbakar.[13]
Sejumlah pihak pun mensinyalir keterlibatan Gereja di sejumlah daerah konflik lainnya. Sebut misalnya, kerusuhan Timor Timur (saat masih masuk wilayah Indonesia). Ketika itu, kepala Kanwil Departemen Agama di Timor Timur seorang Katolik. Ternyata karyawannya yang beragama Islam, hanya mau berkhutbah Jum’at di masjid saja dilarang oleh Kakanwilnya yang Katolik itu. Pengakuan karyawan Kanwil Departemen Agama Timor Timur bahwa dirinya dilarang oleh Kakanwilnya untuk berkhutbah di masjid itu penulis dengar langsung ketika penulis bersama rombongan wartawan Islam dari Jakarta berada di Dilly Timor Timur, waktu masih jadi wilayah Indonesia. Nah, kalau menteri agamanya dari Katolik atau Kristen, jenis-jenis pembantaian terhadap umat Islam dan pelarangan-pelarangan khutbah di masjid-masjid bagi karyawan Departemen Agama, apakah tidak dilancarkan, bahkan digalakkan? Dawam Rahardjo perlu berpikir ulang, kalau memang masih mengaku Muslim, atau berpikiran obyektif.
Tirani minoritas
Apakah itu tidak pernah terdengar di telinga seorang professor yang menyandang gelar cendekiawan Muslim seperti Dawam Rahardjo? Sedang tidur di mana dia? Selain itu, apakah tidak pernah mendengar bahwa dalam perpolitikan di Indonesia selama masa Orde baru di bawah rezim Soeharto, dalam tempo 25 tahun dari 32 tahun kekuasaannya sering diistilahkan adanya tirani minoritas, lantaran kebijakan Soeharto mengikuti pihak minoritas dengan CSIS-nya dan di bidang kekuasaan adalah Benny Murdani-nya? Kemudian setelah ada kerenggangan antara Benny dan Soeharto, lantas terjadilah aneka kerusuhan di daerah-daerah Indonesia bagian timur yang di sana campur antara Muslim dan Kristiani, maka umat Islam dibantai, dibakari rumahnya, tokonya, dan bahkan masjid-masjidnya seperti yang terjadi di Timor Timur, Flores dan lainnya. Apakah Dawam tak pernah dengar? Bagaimana ketika pegawai Departemen Agama saja tidak boleh khutbah di masjid oleh atasannya ketika atasannya orang Katolik seperti yang terjadi di Timor Timur, padahal secara penduduk Indonesia, Katolik adalah minoritas. Apakah Dawam tak pernah dengar? Bagaimana misalnya menteri agamanya itu orang Kristen, lalu melarang pegawai Departemen Agama berkhutbah di masjid, sebagaimana Kepala Kanwil Depag Timor Timur waktu masih jadi wilayah Indonesia melarang pegawainya berkhutbah di masjid yang sudah ada, bahkan untuk didirikan musholla saja sulit di sana? Masih banyak lagi tentunya.
Bukan hanya di wilayah yang banyak orang Kristennya. Di zaman Soeharto, saat berlangsung tirani minoritas, maka pencekalan terhadap khotib-khotib dan muballigh pun berlangsung, hingga ada istilah SIM (Surat Izin Muballigh). Daftar apa yang disebut muballigh-muballigh ekstrim pun beredar. Hingga muballigh digagalkan untuk berkhutbah hari raya seperti Pak Dr Deliar Noer yang digagalkan hingga masuk berita di Koran pun, Dawam tentunya dengar. Kenapa? Karena umat Islam dikuyo-kuyo oleh kebijakan yang memihak pada minoritas Kristen.
Nah, sekarang ini, rupanya Dawam justru menjadikan dirinya rela, suka ria, menjadi orang yang tidak perlu ditekan-tekan oleh minoritas Kristen, justru mencadangkan diri untuk di bagian depan sebagai orang yang rela untuk ditepuki oleh orang Kristen. Makin ramai tepuk sorak orang Kristen, makin bersemangatlah Dawam. Padahal, nanti kalau meninggal dunia, Pak Dawam apakah akan dirumat oleh orang Kristen? Apakah yang memandikan, mengkafani, mensholati, dan memasukkan ke liang kubur nanti diharapkan dari orang-orang Kristen? Dan misalnya masih percaya terhadap doa, apakah lebih baik yang mendoakan mayat Dawam nanti orang Kristen dengan nyanyian-nyanyian kemusyrikannya?
Kalau Dawam Rahardjo istiqomah dengan pendapatnya, maka logika yang dapat dipetik: Lebih baik nanti yang merawat jenazah saya adalah dari pihak yang minoritas, misalnya Kristen. Karena mereka yang minoritas itu nanti tidak akan berani sewenang-wenang terhadap jasad saya. Berbeda dengan kalau yang merawat sampai menguburkan jasad saya itu dari pihak yang mayoritas, yakni kaum Muslimin, mereka pasti akan berbuat sewenang-wenang, karena merasa mayoritas, dan tidak dapat dikontrol dalam hal merawat jasad saya. Jadi saya lebih memilih untuk dirawat oleh orang Kristen dari proses perawatan jenazah saya sampai penguburannya. Kalau dapat, justru yang paling minoritas, yaitu orang yang tidak beragamalah yang harus merawat sampai menguburkan jenazah saya. Karena kalau yang paling minoritas, maka tidak mungkin akan berani untuk berbuat sewenang-wenang terhadap jasad saya. Berbeda dengan kalau yang mayoritas. Jadi saya lebih memilih untuk dirawat jenazah saya oleh orang yang tidak beragama, daripada yang beragama.” Itu logika yang pas dari ungkapan-ungkapan Dawam Rahardjo yang telah terlontar sebelumnya, bila dirangkaikan dengan kematiannya, kapan-kapan. (haji).
[1] Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam- Katolik- Protestan di Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1987, halaman 119.
[2] Ibid, halaman 167.
[3] Prof. Mr, AG. Pringgodigdo –Hassan Shadily MA, Ensiklopedi Umum, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1977, halaman 45.
[4] Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam – Katolik- Protestan di Indonesia,_Usaha Nasional Indonesia, cet II, 1987, hal 129.
[5] Sebelum Imam Bonjol datang dari Makkah, sudah berlangsung pemurnian Islam di Minangkabau menjelang akhir abad 18, dengan dibereskannya tarikat-tarikat Syatariyah dan sebagainya ke arah lebih mengikuti syara’. Lalu datanglah Imam Bonjol dan tokoh-tokoh yang baru pulang dari Makkah dan mengikuti manhaj salaf, sesuai dengan Islam yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diwarisi para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan diteruskan ilmunya serta penyebarannya oleh para ulama. Kaum Padri (pimpinan Imam Bonjol) itu mengganti penghulu-penghulu adat dengan qodhi (hakim agama) dan imam. Dengan ini, Imam Bonjol dan jama’ahnya mengubah system social adat. Tapi ini hanya berlangsung 3 tahun. (Sistem Imam Bonjol tentunya system Islam, hukum waris ya cara Islam. Sayangnya, hanya berlangsung 3 tahun, kembali ke adat lagi. Sampai buku ini ditulis, tahun 2006, walaupun masyarakat Sumatera Barat atau Minangkabau itu beragama Islam, tetapi dalam hal warisan harta orang yang meninggal dunia, memakai cara adat, khabarnya, tidak memakai hukum Islam).
Sesudah 3 tahun itu imam tetap ada, tetapi yang berkuasa adalah penghulu adat, bukan imam. Tahun 1827, Belanda mulai ikut-ikutan campur tangan. Imam Bonjol mengajak para penghulu adat untuk menentukan sikap. Tetapi para penghulu adat berdebat sesamanya, ada yang mau perang, ada yang mau menyerah. Imam Bonjol akhirnya pergi – dia tidak kuasa…
Lalu Belanda menipu Imam Bonjol dengan liciknya, yaitu diajak berunding, tetapi ditangkap, 29 Oktober 1837, lalu diasingkan. Mula-mula di Bukittinggi, lalu Cianjur, Ambon, dan Manado. (Lihat Leksikon Islam, Pustaka Azet Perkasa, Jakarta 1988, jilid 2, halaman 561).
[6] (lihat Ensiklopedi Umum, Pringgodigdo, 1977, halaman 444).
[7] K. Van de Maaten, Snouck Hurgronje en de Atjeh Oorlog, Leiden, 1948, hal 95, dikutip Dr Qasim Assamurai, Al-Istisyraqu bainal Maudhu’iyati wal Ifti’aliyah, terjemahan Prof. Dr Syuhudi Isma’il dkk, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, GIP, Jakarta, cetakan pertama 1417H/ 1996M, hal 158.
[8] Dr Ahmad Abdul Hamid Ghurab, ru’yah Islamiyyah lil Istisyraq, terjemahan AM Basalamah, Menyingkap Tabir Orientalisme, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, I, 1992, hal 97-98.
[9] Hendrik Kraemer, the Crisitian Message in a non-Christian World, London, 1938, edisi kedua, 1947.
[10] B.J Boland, the Strugle of Islam in Modern Indonesia’s Gravenhage, 1970, hal 236, dikutip Qasim Assamurai hal 164.
[11] Kraemer, op cit, hal 353, bandingkan Boland, op cit, hal 240, no 146, dikutip Qasim, ibid, hal 164.
[12] To:insistnet@yahoogroups.com
From:”Syahril”
Date:Wed, 12 Apr 2006 17:43:32 +0700
Subject:[INSISTS] Fw: Tibo pahlawan HAM?
dr milis sebelah..,
nc
—– Original Message —–
Sent: Wednesday, April 12, 2006 9:35 AM
Subject: Re: Tibo pahlawan HAM?
Saya juga sungguh bingung dan geram dengan perkembangan kasus Tibo yang semakin tidak jelas dan menjauh dari konteks.
Saya melihat media, baik media cetak maupun elektronik berperan sangat besar dalam membuat kasus tibo menjauh dari substansinya.
Sebagian besar media jelas sekali menutup mata dan tidak mau peduli atas fakta-fakta yang menunjukan bahwa “trio pembantai” ini — Tibo, Da Silva, dan Marianus Riwu, jelas-jelas terlibat dalam pembantaian ratusan Santri di Poso, mereka bertiga bahkan berperan sebagai pimpinan dari pasukan kelelawar hitam, pasukan kelompok merah yang memobilisasi pembantaian terhadap ratusan santri di Poso.
Membaca artikel Kompas beberapa hari lalu, saya sungguh geram dan bingung. Bagaimana tidak ? dalam artikel itu,Tibo dikesankan sebagai seorang yang religius dan tak berdosa, sang wartawan sama sekali tidak menyentuh peran Tibo dalam kasus Pembantaian di Poso. Reaksi dari sebagian kecil masyarakat yang meminta pembatalan hukuman mati terhadap Tibo Cs, diexpose secara besar-besaran baik di Koran maupun TV, sementara reaksi dukungan masyarakat agar Tibo segera dieksekusi sama sekali tak ditayangkan. Apakah seperti yang namanya Cover Both sides? Media juga terlihat menerapkan diskriminasi dan standar ganda dalam memberitakan Kasus Tibo Cs, dan Amrozi Cs.
Standar Ganda dan diskriminasi dalam melihat permasalahan hukum ternyata juga diterapkan oleh “para aktivis kemanusiaan” dan para pakar hukum di negeri ini.Mereka — aktivis manusia dan praktisi hukum– seperti kebakaran jenggot ketika ditetapkannya keputusan agar Tibo Cs dieksekusi mati, belasan artikel mereka tulis di koran-koran tentang penentangan pelaksanaan hukuman Mati di negeri ini, mereka bilang Hukuman Mati adalah warisan dari Zaman Jahiliah, tetapi kemana suara mereka ketika keputusan hukuman mati dijatuhkan kepada Imam Samudra Cs???
Sungguh semua hal di negeri ini sudah terbolak-balik, bahkan kepada media, aktivis kemanusiaan, dan para pakar hukumpun saya sudah tak percaya lagi.
Banyak contoh dan fakta bahwa Media sering berat sebelah dalam memberitakan sesuatu, banyak fakta juga yang menunjukan kapan para aktivis kemanusiaan akan berteriak keras dan kapan mereka akan bungkam seribu bahasa. Hal yang sama juga terjadi pada para pakar hukum.
Di negeri ini semuanya Anomali, Jika Mayoritas Islam yang jadi korban itu bukan masalah, media diam, aktivis kemanusiaan bungkam, pakar hukum tutup mulut, tetapi jika Minoritas sedikit saja jadi korban, maka media akan bersuara kencang, aktivis kemanusiaan akan berteriak keras : Ini melanggar HAM!, sementara para aktivis hukum akan bertindak layaknya pahlawan pembela kebenaran, Hahahhaaa
Sungguh dagelan seperti ini memilukan buat saya..
[13] Majalah SabiliNo 22, Th XIII, 18 Mei 2006/ 20 Rabi’ul Akhir 1427H, halaman 20-21.
dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar