Saya orang indonesia atau orang Islam?
SAYA ADALAH ORANG INDONESIA YANG KEBETULAN BERAGAMA ISLAM. Coba baca berulang-ulang kalimat yang saya tulis di awal artikel ini. Apa yang Anda rasakan? Apa yang Anda pikirkan? Jika masih bingung, mohon dibaca lagi.
Jelas kalimat “saya adalah orang Indonesia
yang kebetulan beragama Islam” merupakan kalimat yang rancu maknanya
dan keliru. Kita sebagai orang Indonesia –dengan pemahaman bahwa kita
lahir dan besar di negeri bernama Indonesia– merupakan sesuatu yang
tidak bisa kita pilih. Ini sudah merupakan qadha Allah. Yang bisa kita
lakukan hanyalah ridha terhadap ketetapan Allah ta’ala tersebut. Kita
tidak bisa memilih lahir sebagai orang Arab atau sebagai orang Eropa
–yang bagi sebagian orang secara fisik lebih baik dari orang Indonesia
atau Melayu secara umum–, jadi, kita terima saja ketetapan Allah ini.
Sedangkan menjadi orang Islam -yang
tentunya harus terikat dengan semua aturan dalam ’ajaran hidup’
tersebut- merupakan pilihan. Ya, menjadi muslim merupakan pilihan.
Pikirkan sendiri, begitu banyak orang yang lahir dari seorang muslimah
dan punya ayah seorang muslim yang taat, namun kemudian pindah agama.
Begitu banyak pula, seorang yang lahir dan tumbuh besar sebagai non
muslim, namun kemudian mendapat hidayah hingga akhirnya dia menjadi
muslim.
Sekarang kembali ke kalimat yang kita
permasalahkan tadi. Bagi yang masih bingung, silakan baca lagi. Kalimat
tersebut jelas keliru karena menempatkan keberadaan kita sebagai orang
Indonesia seakan-akan merupakan sesuatu yang dapat dipilih. Begitu juga
sebaliknya, seakan-akan status keislaman kita merupakan hal yang saklek, yang harus kita terima tanpa perlu mempertanyakannya lagi. Ini adalah cara berpikir yang terbalik.
Hasil dari keterbalikan cara berpikir ini
adalah orang-orang yang begitu membanggakan keindonesiaan dan
menginferiorkan keislamannya sendiri. Seakan-akan status muslim yang
dia miliki harus tunduk pada statusnya sebagai orang Indonesia.
Akhirnya muncullah istilah-istilah aneh seperti “Islam Indonesia”, yang
mereka maknai sebagai pemahaman Islam yang tepat bagi orang Indonesia,
dan tak harus selalu persis dengan pemahaman Islam dari Arab (catatan
tambahan saya: frase “Islam Arab” ini juga sangat rancu, jika yang
dimaksud adalah pemahaman Islam murni seperti yang dibawa oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat ridhwanullahi
‘alaihim ajma’in yang notabene orang Arab, tentu WAJIB kita ikuti.
Namun, jika Islam Arab yang dimaksud adalah seperti Arab saat ini, tentu
kita juga tidak sepakat jika itu dijadikan rujukan).
Kalimat di atas, atau yang mirip dengan
kalimat tersebut, sering diungkapkan oleh orang-orang yang ingin
menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia secara membabi-buta, atau
orang-orang yang ingin menegaskan bahwa nasionalisme ekuivalen dengan
Islam, tidak bertentangan. Menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia
secara membabi-buta maksudnya adalah kecintaan tanpa proses dan cara
berpikir yang benar. Cinta Indonesia sebagai tanah air, kampung halaman
kita, merupakan hal yang fitrah. Rasulullah pun juga memiliki cinta
yang fitri tersebut. Namun kecintaan ini akan menjadi keliru, jika
kemudian diembel-embeli dengan berbagai logika paksaan untuk mendukung
argumentasi mereka. Keberadaan hadits palsu “hubbul wathan minal iman”
merupakan salah satu hasil dari cara berpikir yang keliru ini.
Sayangnya, hadits palsu ini masih saja dipakai oleh orang-orang yang tak
mau berpikir untuk menguatkan pendapat mereka.
Kecintaan terhadap Indonesia juga tak
seharusnya menggerus identitas keislaman seseorang, yang sebenarnya jauh
lebih penting untuk dimiliki. Fakta bahwa banyak orang yang begitu
tersinggung ketika keindonesiaan dihina, namun bersikap biasa ketika
Islam dihina, merupakan hasil dari kecintaan yang membabi buta ini.
Apalagi jika dua hal ini (keislaman dan keindonesiaan) bersinggungan,
maka akan terlihat siapa yang kecintaannya membabi buta dan siapa yang
masih bisa berpikir dengan waras. Contoh, seorang muslim yang
membanggakan tampilnya Putri Indonesia dari Aceh dalam ajang Miss
Universe, berarti dia telah mengalahkan keislamannya. Contoh-contoh lain
akan sangat banyak jika disebutkan di sini.
Bagi pendukung nasionalisme, dengan alasan
apapun, tentu kalimat yang sedang kita bahas ini –atau yang mirip
dengan itu– merupakan salah satu kalimat favorit mereka. Memang kita
sadari, walaupun sama-sama mendukung nasionalisme, kadang alasan mereka
sangat berbeda bahkan cenderung saling bertentangan. Namun tetap saja,
dengan alasan apapun, pemahaman mereka yang menyatakan nasionalisme
merupakan hal yang baik bahkan merupakan ajaran Islam, merupakan
pemahaman yang keliru dan harus diluruskan.
Nasionalisme, sejatinya menempatkan
kecintaan terhadap tanah air diatas segalanya. Paham ini tumbuh
berkembang di Eropa dan kemudian disebarkan oleh mereka ke seluruh
penjuru dunia dengan menumpang aksi imperialisme. Paham ini bukan saja
tidak berakar dari Islam, bahkan bertentangan. Fakta bahwa umat manusia
berbangsa-bangsa bukan merupakan pembenaran terhadap nasionalisme,
karena nasionalisme bukan sekedar fakta namun dia adalah ide atau isme
yang berasal dari akar ideologi tertentu. Islam telah menetapkan bahwa
cinta Allah dan cinta Rasul diatas segalanya, sedangkan nasionalisme
meletakkan dua kecintaan tersebut dibawah kecintaan terhadap negeri,
bangsa dan negara. Para penolak ide Khilafah –yang ingin menyatukan umat
Islam seluruh dunia– sebagian besar berpijak pada paham nasionalisme
ini. Mata hati mereka telah buta, sehingga ayat Al-Qur’an Al-Karim
maupun sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam rendah saja bagi
mereka, bahkan tak jarang mereka pelintir untuk kepentingan mereka.
Akhirul kalam, tulisan ini bukan untuk
memaksa Anda sependapat dengan saya, namun hanya berusaha mengajak Anda
sedikit berpikir di luar kotak, berpikir terbuka dan melihat segala
sesuatu secara lebih proporsional. Tuhan telah memberi kita akal, tentu
tak elok jika akal tersebut tak kita gunakan sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam bishshawwab.
Sumber: abufurqan.com
dipublikasikan ulang oleh hukmulislam.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar