Fenomena Sinetron dan Film Indonesia Bertendensi Merusak Citra Islam
BILA diperhatikan secara seksama, ada fenomena baru di dalam dunia sinetron dan film Indonesia. Antara lain, bisa dilihat melalui sinetron Hareem yang ditayangkan Indosiar sejak 26 Januari 2009, dari hari Senin hingga Jum’at, mulai pukul 19:00 wib. Juga, melalui film Perempuan Berkalung Sorban. Keduanya menampilkan warna Islam yang pekat, namun kehadirannya justru untuk melecehkan dan menjadikan Islam sebagai bahan olok-olok.
Sinetron Hareem Merusak Citra Islam
Pada sinetron Hareem ini, artis pendukungnya banyak yang mengenakan busana muslimah (berjilbab). Namun, bila dilihat isinya, ternyata mengkampanyekan citra negatif Islam. Siapa saja yang pernah menonton sinetron Hareem, atau setidaknya membaca sinopsis sinetron tersebut episode demi episode, maka kesan pertama yang tercipta adalah bahwa pembuat cerita sangat memanfaatkan kasus heboh perkawinan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa yang masih belia.
Di sinetron Hareem ini, sosok gadis Inayah yang masih muda belia terpaksa menikah dengan lelaki berumur, Kanjeng Doso, yang sebelumnya sudah punya tiga istri. Sehingga, Inayah menjadi isteri keempat. Yang menarik, isteri pertama tokoh di sinetron Hareem ini namanya sama dengan istri Syekh Puji, yaitu Umi Hany.
Menurut Mutammimul Ula (anggota DPR dari Fraksi PKS), cerita di sinetron Hareem itu terkesan merusak citra Islam. Sebagaimana tergambar melalui sebagian isi cerita, di antaranya tentang perilaku si anak (Aryo) berebut isteri keempat ayahnya (Kanjeng Doso). Lalu sang ayah (Kanjeng Doso) memperkosa istri mudanya (Inayah) yang masih remaja dan belum siap melakukan hubungan seksual.
Sedangkan menurut Nieke dari Banten, salah seorang penonton yang menyampaikan pengaduannya ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sinetron Hareem tidak ada unsur edukatifnya, malah yang terlihat justru adanya unsur mendiskreditkan Islam, sebagaimana digambarkan melalui karakter Kanjeng Doso yang digambarkan rajin sholat berjamaah, beristri empat. Kesan mendiskreditkan Islam juga bisa dirasakan melalui cara Kanjeng Doso memperlakukan istrinya yang sangat tidak manusiawi: istrinya dikunci gembok di dalam rumah, bila melakukan kesalahan sedikit saja hukumannya musti buka aurat dan dilarang masuk rumah. “Masa’ ada orang Islam yang taat agamanya tapi berbuat seperti itu,” keluh Nieke. (http://www.kpi.go.id/index.php?etats=pengaduan&nid=3617)
Penonton lainnya, Sukma, berpendapat “…betapa anehnya cerita ini terlalu mengekspos kebobrokan keluarga ‘Kanjeng’ keluarga agamis yang terpandang, terhormat, dan kaya raya. Diceritakan, Kanjeng menikahi Inayah (Sandy Aulia) yang notabene kekasih anak kandungnya sendiri. Dan Bapak anak ini jadi memperebutkan wanita yang sudah jadi istri keempat si Bapak. Inayah gadis remaja yang akhirnya dipaksa melayani alias diperkosa oleh Kanjeng dan keburukan-keburukan lain yang terekspos dalam keluarga ini, walaupun digambarkan juga keluarga ini rajin dan taat dalam beribadah.” (http://www.sukma.web.id/my-daily/sinetron-hareem-memperburuk-citra-islam.htm)
Bagi Sukma, sinetron Hareem memperburuk citra Islam. Sehingga Sukma jadi bertanya-tanya, “… tidak adakah ide tayangan yang lebih positif dalam mencitrakan kehidupan agar sebagai suri tauladan generasi muda dan keluarga di Indonesia?” Satu pertanyaan lain yang juga mengusik Sukma, “Apakah penulis skenario benar-benar mengerti tentang Islam…?”
Hendri Nova, yang juga pernah menyaksikan tayangan sinetron Hareem, terkaget-kaget karena pada tayangan perdananya saja, sinetron ini sudah menyuguhkan serangkaian kekerasan (penyiksaan). “Pertama, saat Inayah berdandan bak seekor kucing, di sebuah pesta kehormatan. Inayah langsung dimasukkan ke dalam garasi mobil dan sesampai di rumah langsung dihukum tidur di luar, dalam dekapan lebatnya hujan, hanya berpakaian basahan untuk mandi… Siksaan berikutnya diterima Inayah saat dia tidak mau membukakan pintu kamar. Tangannya langsung dihukum pukul, hingga terasa sangat sakit. Puncaknya ketika Inayah mengetahui orangtuanya sakit dan dia difasilitasi istri ketiga Kanjeng, untuk melarikan diri dari rumah… Hukuman yang diterima sangat menyakitkan, karena punggung Inayah jadi berlumuran darah bekas cambukan…”
Dari benak Hendri timbul pertanyaan, “Entah mengapa, sinetron penghinaan citra Islam ini, bisa tayang mulus di televisi…” Pertanyaan itu tentu saja mewakili kita semua. Ada apa dengan Indosiar?
Sehubungan dengan kasus sinetron Hareem ini, KPI telah menerima ratusan pengaduan, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan bahwa sinetron tersebut melecehkan citra Islam lewat perilaku buruk pemainnya. Oleh karena itu pada hari Rabu tanggal 4 Februari 2009, KPI Pusat telah mengirimkan surat peringatan kepada Indosiar, stasiun televisi yang menayangkan sinetron tersebut.
Menurut Sasa Djuarsa (Ketua KPI Pusat), sinetron Hareem yang ditayangkan oleh Indosiar itu telah melanggar aturan di P3 dan SPS KPI. Setidaknya, ada tiga pasal yang ditabrak oleh sinetron Hareem yakni pasal 8, 65 dan 62 ayat 2. Pasal 8 Standar Program Siaran (SPS) menyatakan, lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program yang mengandung serangan, penghinaan atau pelecehan terhadap pandangan dan keyakinan keagamaan tertentu. Pasal 65 menyebutkan, tayangan untuk dewasa wajib disiarkan pada pukul 22.00 sampai 03.00 wib. Dan, pada pasal 62 ayat 2 disebutkan lembaga penyiaran televisi wajib menyertakan informasi tentang penggolongan program siaran berdasarkan usia khalayak penonton.
Dari kasus sinetron Hareem ini kita disuguhi sebuah fenomena baru, yaitu menampilkan segala sesuatu yang berwarna Islam melalui sinetron, namun untuk melecehkannya. Ironisnya, pihak Indosiar tidak merasakan adanya pelecehan di sinetron itu. Menurut Gufron Sakaril, Humas Indosiar, cerita pada sinetron Hareem tidak sedikit pun berniat untuk melecehkan atau menghina Islam. Padahal, dengan membaca sinopsisnya saja, kita sudah bisa merasakan adanya pelecehan. Indosiar berbohong. Mereka lebih membela produser dan penulis cerita yang jelas-jelas punya maksud melecehkan agama Islam. Sampai tulisan ini dibuat (10 Feb 2009), sinetron Hareem tetap tayang di Indonsiar, mulai pukul 20:00 wib, setelah sinetron Muslimah.
Bila fenomena ini dipersonifikasikan dengan sosok seseorang, maka sosok itu seperti Musdah Mulia: tampilan berbusananya muslimah banget, sekolahnya di lembaga pendidikan Islam banget (IAIN atau UIN), nama yang disandangnya (Musdah Mulia) juga Islam banget. Tapi ‘profesi’ dan kiprahnya justru mencari-cari celah untuk mengacak-acak Islam dari dalam. Atau, sosok itu seperti Ulil dan organisme pendukungnya. Bila fenomena ini diinstitusionalisasikan, ya seperti JIL (Jaringan Islam Liberal). Rupanya, Indosiar pendukung Islam Liberal yang oleh MUI sudah difatwa sesat, diharamkan atas Ummat Islam.
Film Perempuan Berkalung Sorban
Virus sesat Islam liberal ternyata selain sudah merasuki sinetron, juga masuk ke dalam dunia film. Sebagaimana bisa dilihat pada film berjudul Perempuan Berkalung Sorban yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Menurut Hanung, film Perempuan Berkalung Sorban tidak menjelek-jelekkan Islam dan Al-Qur’an, namun hanya mengkritik laki-laki yang suka memaksakan kehendaknya kepada perempuan dengan dalil Al-Qur’an.
Melalui sinopsis film tersebut –tanpa harus menonton langsung filmnya– kita bisa temukan benang merah film Perempuan Berkalung Sorban, yang sejalan dengan materi popaganda yang biasa dijajakan kaum liberal dan aktivis kesetaraan gender. Menurut Imam besar Masjid Istiqlal, Ali Mustafa Yakub, ada dua hal yang menyakitkan umat Islam dalam film itu.
Pertama, pencitraan Islam yang sangat buruk. Seolah-olah Islam mengajarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman, misalnya, seorang perempuan tidak boleh keluar rumah untuk belajar dan sebagainya. Kedua, penggambaran salah tentang pesantren. Bahkan, Ali Mustafa Yakub berani mengatakan itu bukan sekedar hanya merusak citra pesantren, tetapi memfitnah.
Sikap Ali Mustafa Yakub mendapat dukungan dari Presiden PKS Tifatul Sembiring. Selain mendukung seruan agar film itu diboikot, Tifatul juga meminta film itu dikoreksi. Menurut Tifatul, kalau ada yang memojokkan kalangan pesantren, menurutnya sah-sah saja jika film tersebut dikoreksi. Ia juga mengimbau, agar para pekerja kreatif seperti film lebih berhati-hati dalam melahirkan karyanya bila bersentuhan dengan SARA.
Bagi Hanung Bramantyo, sikap Ali Mustafa Yakub membuatnya keheranan. Bahkan, Hanung curiga Imam Besar Masjid Istiqlal itu telah diprovokasi sekelompok orang yang ingin memfitnah film Perempuan Berkalung Sorban. Selain heran, Hanung menilai pernyataan Ali Mustafa Yakub sebagai sikap yang lucu. “Imamnya kok ya lucu, kok tidak menonton filmnya itu tapi kok malah bisa bilang sesat. Saya malah kasihan sama imam tersebut karena sudah tua, untuk datang ke bioskop pun dia perlu pertolongan orang muda. Menurut saya, imam tersebut sepertinya dibawa-bawa oleh masyarakat yang kontra untuk mengikuti pendapat masyarakat yang kontra dengan film tersebut.” (detiknews, Jumat, 06/02/2009 15:20 WIB).
Ali Mustafa Yakub beralasan, meski belum pernah –dan tidak akan pernah– menonton filmnya, namun untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan film tersebut, bisa melalui pihak ketiga (kawan-kawan) yang kredibel dan telah menonton film itu, kemudian menyimpulkan hal-hal yang menyakitkan hati umat Islam dari film tersebut.
Meski cerita pada film itu diangkat dari kisah nyata santriwati di salah satu pesantren, namun menurut Ali Mustafa Yakub hal itu tidak mencerminkan tradisi pesantren, bahkan tidak mencerminkan Islam secara keseluruhan. “Mungkin ada seorang yang melarang anak perempuannya begini begitu, tapi itu sifatnya lokal saja dan kasuistis, tapi dengan dibuat film seperti ini, jadi tergeneralisir seolah-olah pesantren seperti itu.” Demikian ulas Ali Mustafa Yakub.
Hanung Membayar Hutang
Aroma arogansi terasa begitu kuat dari pernyataan-pernyataan Hanung Bramantyo di dalam mengomentari sikap Imam Besar Masjid Istiqlal Ali Mustafa Yakub. Hal ini biasa kita temukan pada sosok yang tengah berada di atas daun (sukses), berlimpah materi, masih muda, kurang wawasan, kurang pengetahuan agama, namun tiba-tiba mengorbit ke angkasa tinggi berkat film bernafaskan Islam, (Ayat-ayat Cinta).
Kenyatannya, melalui film bernafaskan Islam (Ayat-ayat Cinta) Hanung jauh lebih dikenal, dan jauh lebih berlimpah materi. Namun setelah ‘kesuksesan’ itu diraih, ia justru melecehkan Islam, pesantren, dan bersikap arogan terhadap ulama. Bukannya prihatin dan minta maaf, Hanung malah ngeledekin ulama sebagaimana tersirat melalui kalimat “Saya malah kasihan sama imam tersebut karena sudah tua, untuk datang ke bioskop pun dia perlu pertolongan orang muda.”
Bila Hanung bisa menaruh curiga bahwa Ali Mustafa Yakub telah dipengaruhi oleh orang-orang yang punya motif memfitnah film Perempuan Berkalung Sorban, maka orang lain pun bisa mempunyai kecurigaan kepada Hanung. Misalnya, Hanung dibekingi para kelompok yang anti Islam. Indikasinya jelas, antara lain, Hanung pernah mengatakan bahwa membuat film Perempuan Berkalung Sorban ini seperti membayar hutang setelah ia membuat film Ayat-ayat Cinta.
“Film ini adalah hutang saya pada kaum perempuan yang sebelumnya kecewa dengan film AAC yang dianggap sangat berpihak pada poligami.” (http://www.entertainment.roll.co.id/news/21-news/21042-hanung-bramantyo-bayar-utang.html)
Ketika film Ayat-ayat Cinta sukses, sejumlah kalangan yang anti poligami tidak suka, karena melalui film Ayat-ayat Cinta itu poligami jadi disikapi lebih lembut oleh para wanita. Padahal, sebelumnya disikapi begitu sinis dan emosional. Tanpa disadari oleh Hanung sendiri, film Ayat-ayat Cinta justru menjadi media kampanye poligami dengan citra yang berbeda (lebih positif) dibandingkan dengan citra yang coba dikesankan kalangan anti poligami.
Menurut Hanung, banyak protes yang ditujukan kepada dirinya di balik kesuksesan film Ayat-ayat Cinta. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan yang menganggap Hanung pro poligami dan Ayat-ayat Cinta mencerminkan budaya patriarki yang merugikan kaum perempuan. Oleh karena itu, Hanung pun bergegas membuat film Perempuan Berkalung Sorban.
Nah, melalui film Perempuan Berkalung Sorban inilah Hanung membayar hutangnya, dengan membuat film yang turut memperjuangkan tema-tema feminisme yang content-nya sejalan dengan materi perjuangan para liberalis dan pegiat kesetaraan gender. Dalam bahasa sederhana, Hanung didukung oleh kalangan pro kesesatan. Jadi, Hanung –kalu berdaya nalar yang panjang– mestinya faham bila ada ulama yang menyesatkan karyanya.
Film Perempuan Berkalung Sorban dibuat berdasarkan novel karya Abidah El Khalieqy yang pernah diterbitkan oleh Yayasan Kesejahteraan Fatayat dan the Ford Foundation. Menurut Indra Yogi, The Ford Foundation terlanjur mempunyai citra yang tidak bagus. Di Indonesia, Ford Foundation pernah ikut menerbitkan sebuah buku berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neomodernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid yang diterbitkan secara bersama antara Paramadina, Yayasan Adikarya Ikapi, di tahun 1999. Buku tersebut aslinya merupakan disertasi Greg Barton (1995) tentang kemunculan pemikiran liberal di kalangan pemikir Indonesia.
Selain itu, menurut Indra Yogi, Ford Foundation merupakan donatur penting bagi International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Antara lain donasi yang pernah disalurkan Ford Foundation kepada ICIP adalah berupa dana segar sebesar satu juda dolar Amerika (US$ 1,000,000), yang ditujukan untuk Web-based distance learning courses to enable adolescent and adult Muslims in poor communities to continue their secular education. (Kursus jarak jauh melalui situs internet yang memungkinkan orang Islam dewasa yang berasal dari komunitas miskin untuk melanjutkan pendidikan sekularnya).
Menurut catatan Adian Husaini, ICIP merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama di pondok-pondok pesantren, juga aktif menyebarkan paham kesetaraan gender. Salah satu tokoh beken dari ICIP adalah Syai’i Anwar.
Jadi, pendukung utama Hanung di dalam membuat film Perempuan Berkalung Sorban ini adalah mereka yang selama ini aktif membela-bela kesesatan, antara lain Musdah Mulia. Sebagai aktivis kesetaraan gender, Musdah tidak setuju dengan seruan boikot yang dikumandangkan Ali Mustafa Yakub. Karena, menurut Musdah, film Perempuan Berkalung Sorban justru mengungkapkan realitas penindasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan agama.
Selama ini Musdah Mulia memang dikenal sebagai penjaja kesesatan, pembela Ahmadiyah, anti UU Pornografi, membolehkan pernikahan sesama jenis (homoseksual), dan sebagainya.
Sedangkan Umar Shihab, salah satu Ketua MUI, tidak begitu antusias merespon sikap Ali Mustafa Yakub yang mengajak umat Islam memboikot film Perempuan Berkalung Sorban. Umar Shihab yang dikenal dekat dengan kalangan dan aliran sesat Syi’ah ini mengatakan, film Perempuan Berkalung Sorban harus dinilai sesuai konteksnya; zaman dulu, memang terjadi diskriminasi terhadap perempaun di pesantren; tapi sekarang pesantren sudah modern dan perempuan sudah bebas.
Adanya fenomena Hanung dan film Perempuan Berkalung Sorban membuat umat Islam harus lebih tegas. Apa-apa yang dilakukan Hanung bukan sekedar berkreasi dengan bebas, tetapi memang ada unsur memfitnah Islam. Bila terbukti Hanung memfitnah Islam, begitu juga dengan pembuat cerita sinetron Hareem, maka yang perlu ditempuh umat Islam bukanlah memberikan sekedar himbauan, menggelar unjuk rasa sambil menenteng-nenteng pedang seraya meneriakkan Allahu Akbar, tetapi tempuhlah cara-cara yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga bila telah kuat bukti-buktinya dan memenuhi syarat, maka mereka boleh dibunuh. (haji/tede)
0 komentar:
Posting Komentar